“Sari sekretaris kantor dan sudah dua tahun bekerja. Kemarin memang beberapa kali sedang mendapat tugas ke luar kota," jelasnya sambil menatap Alisha lekat.
Mas Tyo lanjut berkata, "Aku lebih senang menceritakan mengapa “Shabra” menjadi nama perusahaan." Ditariknya napas setelah berhenti sejenak dan melanjutkan ucapannya."Alisha dan Bramantyo disingkat Shabra. Mana yang lebih tertarik? Sari atau Shabra?," tanya Mas Tyo sambil menatapnya tajam.Sesaat menatap matanya yang dingin, akhirnya Alisha tertunduk malu. Tak pernah kukira jika Mas Tyo sudah sejauh itu membuat hubungan yang dia sendiri belum memahaminya.“Sudahlah. Yuk, kembali ke ruangan. Kita diskusikan di ruangan,” ajak Tyo setelah selesai memakannya. Dikirimnya pesan agar Hendra membayarkan makanannnya.Mas Tyo menarik tangan Alisha dan sengaja menggandengnya mesra saat melewati meja Sari dan rekan-rekannya.***Besok adalah jadwal sidang. Beberapa hari berdiskusi dengan Mas Tyo membuat keraguan Alisha hilang. Kini dia yakin bisa menjawab pertanyaan yang akan diajukan.“Besok, mau langsung ke kantor setelah sidang atau mau istirahat?” tanya Tyo saat mereka akan memulai pekerjaannya kembali..“Lihat besok mas. Takutnya janji tapi tidak ditepati," jawab Alisha sambil membuka laptopnya di atas meja.Mas Tyo membuka agenda besok. Menghubungi sekretaris untuk memastikan rapat dengan pihak Rumah Sakit Bhaskara. Mereka ingin mendesain ulang beberapa ruangan.“Benar Pak Bram, besok setelah makan siang langsung rapat di aula rumah sakit,” suara Sari terdengar di telepon saat menjawab pertanyaan.“Minta Pak Andi membawa desain yang sudah disiapkan.”“Baik Pak.”Terdengar suara ketukan dan Pak Andi masuk setelah Mas Tyo menyuruhnya. Beberapa berkas desain di pasang pada meja gambar. Isyarat tangan Mas Tyo memintaku mendekat. Pak Andi menjelaskan beberapa perubahan yang diminta, kemudian mengganti kertas di meja gambar dengan desain terbaru.“Sudah dibahas dengan dewan direksi rumah sakit?” tanyanyansetelahPak Andi selesai menjelaskan.“Sudah Pak, intinya mereka setuju. Besok hanya menjelaskan desain yang sudah disempurnakan.”Mas Tyo menganggukkan kepala dan meminta Pak Andi menyiapkan semua persiapan untuk besok. Sari akan mendampingi mereka jika ada berkas administrasi yang diperlukan.Tyo mengantar Alisha pulang setelah semua pekerjaannya selesai. Tadi siang Angga mengirimkan pesan jika ingin berdiskusi terkait pekerjaan.Angga selalu berdiskusi dengannya jika ada hal yang tak bisa diselesaikan sendiri. Dua kepala selalu memberikan solusi terbaik. Didampingi Hendra sebagai eksekutor lapangan.Kemampuan Hendra dalam mencari informasi yang dibutuhkan sangat membantu dalam penyelesaian kontrak dengannya. Semua pembahasan sudah final. Mereka akan menggelontorkan modal yang diperlukan Fariz. Kontrak yang diajukan sama-sama menguntungkan dua perusahaan. Perubahan manajemen yang akan mengelola pusat perbelanjaan juga dapat diterima dua belah pihak.“Kontraknya sudah beres dan aman. Pekan depan jadi ke Bandung? Apa perlu ditemani?” tanya Tyo setelah mendengar semua penjelasanku dan Hendra.“Kamu temani Alisha saja. Biar aku tenang menyelesaikan pekerjaanku," jawabku singkat.Alisha sempat menemani mereka setelah makan malam, namun karena mengantuk Alisha pamit masuk kek kamarnya. Aku berpesan agar besok tidak terburu-buru menjawab pertanyaan penguji. Pikirkan jawaban terbaik baru disampaikan. Alisha hanya mengangguk memahaminya.“Mimpi indah, Sha. Jangan lupa hadirkan wajah tampanku ya," ucap Mas Tyo saat Alisha mulai beranjak.Alisha mencibir pada Mas Tyo, yang sangat percaya diri. Senyum yang memperlihatkan gigi putih membalas cibirannya. Alisha melangkah menuju kamar dan dihempaskannya tubuh yang mulai terasa berat ke kasur. Tak lama dia sudah tertidur pulas.Tangan Alisha berusaha meraih tangan yang menjulur berusaha mengapai. Entah mengapa dia melihat bayangan Mas Angga seakan menjauh dan menghilang Alisha berteriak dan menangis tak ingin kehilangan.“Mas Angga... jangan tinggalkan Alisha!” teriaknya pelan dan membuatku kaget.Alisha terbangun mendengar suara alarm. Pukul 04.00 pagi, diraihnya ponsel di nakas dan mematikan alarm. Keringat masih mengucur dari dahinya. DIcobanya untuk mengingat kejadian dalam mimpi tadi. Digelengkan kepala seakan tak ingin ada hal buruk yang menimpa Mas Angga.Pagi ini sengaja dipasangnya alarm karena dia berencana mengulang kembali catatan-catatan yang kemarin sudah dibuat. Sepertinya mimpi barusan membuat Alisha tak berkeinginan memulainya. Diputuskan untuk salat malam terlebih dahulu untuk menenangkan diri.Selesai salat diraihnya ponsel di nakas. Memeriksa pesan yang masuk semalam. Alisha tersenyum melihat pesan paling atas.-Sudah bangun, Sha?--Belum--Loh kok online-Alisha tersenyum membaca pesannya. Tak lama dering ponsel dengan nama Mas Tyo muncul di layar. Digesernya layar untuk mengangkatnya.“Katanya belum bangun, ini siapa yang angkat?” tanyanya dari ujung seberang.“Lagi mas ada-ada saja. Masih pagi sudah telepon,” jawabku pelan.“Tidak bisa tidur, Sha. Kepikiran kamu terus ini.”“Bukannya agenda hari ini padat mas? Istirahat dulu saja.”Bukannya memutus telepon, Alisha malah menceritakan mimpi barusan. Mas Tyo menasihati agar tidak memikirkannya. Mungkin hanya bunga tidur. Obrolan berlanjut mengenai sidang nanti. Alsha sudah siap dan tak khawatir lagi. Dia juga ingin membanggakan orang-orang yang disayanginya.Terdengar suara azan subuh. Alisha meminta maaf membuat Mas Tyo tidak jadi beristirahat. Diputuskan sambungan telepon untuk bangun dan bersiap salat.Selepas salat subuh Alisha turun menuju dapur. Bunda sudah selesai membuat sarapan. Dibantunya merapikan nasi goreng di meja makan dan menata piring serta membuat segelas susu untuknya dan kopi untuk Mas Angga.Saat sarapan, Aku menyampaikan rencana ke Bandung pekan depan. Mengecek langsung ke pusat perbelanjaan sambil menyesuaikan beberapa data dengan kondisi riil di lapangan. Setelah semua sesuai dengan kontrak, maka penandatanganan kontrak dapat dilakukan.“Mas doakan ya, hari ini sidang skripsinya. Semoga hasilnya baik dan lulus, jadi bisa langsung yudisium,” pinta Alisha sebelum sarapan di mulai.“Aamiin. Mas selalu mendoakan yang terbaik untuk kamu dan bunda,” jawabku cepat.“Oh ya, Mas Angga kapan mau bawa calon? Katanya kalau Alisha sudah lulus kuliah,” tanya Alisha sambil menatap penuh tanya.Alisha tersenyum melihat kekagetan di wajahku. Hingga saat ini aku belum mengenalkan satu pun perempuan yang dekat denganku. Saat sekolah dulu aku dekat dengan Aristya, namun semuanya hanya tinggal masa lalu.Aku tak ingin mengingat rasa sakit hati yang dulu kurasakan. Hingga aku memutuskan tak ingin lagi dekat dengan yang namanya perempuan, aku hanya mencurahkan kasih dan sayangku pada bunda dan adikku. Alisha, hanya dia perempuan yang sangat dekat denganku. Hingga kini aku selalu merasakan hal yang aneh saat berdekatan dengannya."Calon mas sudah ada di sini, tidak perlu bawa-bawa lagi," selorohnya sambil tersenyum."Loh... siapa mas?" tanyanya penasaran."Kamu dong Alisha, siapa lagi?" tanyaku sambil tertawa, walau dalam hati aku kadang bersedih melihatnya dekat dengan Tyo."Apa-apaan sih mas, gak jelas," sungut Alisha yang sudah tak kupedulikan selain memulai sarapan.Selesai sarapan Mas Angga langsung pamit menuju kantor, beberapa pekerjaan harus diselesaikan lebih cepat sebelum ke Bandung. Beberapa hari akan dihabiskan di sana. Karena tak mungkin dia bolak-balik ke Bandung untuk melakukan pengecekan nanti. Mas Angga hanya ditemani Hendra untuk menyelesaikan semua pekerjaan nanti. -Sha, sudah siap? Mau bareng tidak berangkatnya?- Sebuah pesan masuk pada ponselnya, saat dilihat tertera nama Dania. Alisha tersenyum dan dibalas 'sudah'. Setelah lima hari bersama Mas Tyo, kegugupan Alisha menghilang berganti dengan percaya diri jika dia akan melewati semua dengan baik. Bunda juga selalu mendoakannya. Terkadang dia tak sengaja mendengar doa bunda selepas salat. Bunda adalah yang terbaik. Walau ayah sudah pergi meninggalkan mereka. Alisha tak pernah kehilangan kasih sayang ayah, karena Mas Angga selalu memberikannya. -Bareng?- tanya Dania mengulangi. -Sepertinya tidak Dania, kita bertemu di kampus saja ya.- -Ok.- Setelah membantu merapikan meja ma
Dalam perjalanan ke kampus disempatkan membeli buket bunga dan sekotak coklat. Sudah dibayangkan Alisha akan senang sekali menerimanya. Tyo minta diturunkan langsung di kantin dan meminta sopir menjalankan mobil perlahan. Diedarkan pandangan mencari sosok Alisha. Setelah melihatnya Tyo turun dan menghampiri. Seperti ucapannya, mereka berenam dan ada Satria di sana. Dipercepat langkahnya agar segera sampai. Bagaimanapun cara Satria memandang dirasakan berbeda, walau Alisha sudah menjelaskan. Mereka sedang asyik berbincang saat Tyo sampai.“Wah kalau sudah lulus semua bisa kumpul seperti ini tidak ya? Coba tebak, siapa yang bakal nikah dulu?” “Harus bisa dong.” “Satria, kapan mau lamar Shinta?” Mereka menunggu jawaban Satria, sedangkan Shinta hanya tersipu malu. Dania malah meledek Alisha dengan mengatakan akan mendahului Satria. Alisha menutup mulut Dania yang duduk di sampingnya. Hingga sebuah suara meredakan canda di sana. “Sha, sudah selesai? Ayo kita pulang.” “Cie... Sang Pang
Saat makan malam, bunda kembali menanyakan keberangkatanku ke Bandung. Sepertinya rencana pekan depan akan dimajukan. Tak mungkin menunggu hingga pekan depan sedangkan kondisi Paman Hasan sedang sakit. Paling cepat lusa bunda, sekalian aku siapkan semua pekerjaan yang akan ditinggal. Paling tidak ini saatnya memaksa Alisha untuk ke kantor. Selama ini Alisha selalu menghindar jika kuminta ke kantor. Senyumku sesaat terukir membayangkan Alisha tak akan bisa menolaknya. “Bunda, makan apa malam ini?” t anya Alisha sambil menarik kursi dan menghempaskan tubuhnya di sampingku. “Wah tuan putri sudah menemukan pangerannya ya. Sampai lupa pada kakak yang ganteng ini,” sedikit kutekan saat mengucapkan ‘pangerannya’. Alisah mengerucutkan bibirnya ke arahku, tak peduli dengan ucapanku namun langsung menyendok nasi. Tanganku menahan tangannya yang akan memindahkan lauk ke piring. “Bunda... Mas Angga tidak bolehkan Alisha makan.” Bunda datang melerai, menatap tajam padaku hingga aku membiarkan
Rencana kepulangan sore kumajukan, karena penasaran mengapa Hanafi ingin menemuiku. Saat sarapan pagi tadi aku menyampaikan pada bunda disetujuinya. Selesai makan siang aku siapkan mobil. Dua koper dan beberapa tas berisi oleh-oleh sudah masuk dalam mobil. Kami masuk ke dalam kamar paman untuk pamit. Tak lupa bunda menitip pesan untuk berkabar jika ada hal yang penting pada Nia. Aku sudah pamit pada Mas Fariz tadi pagi, dan setelah semua selesai kulajukan mobil menuju Jakarta. Aku sudah mengabari Hendra jika sore nanti Hanafi bisa menemuiku di kantor. Kupesankan untuk tidak memberitahu Alisha tentang kepulanganku. Aku ingin membuat kejutan kecil untuknya. “Bunda, paman terlihat lebih kurus dan pucat. Kondisi sebenarnya bagaimana?” Menurut dokter penyakit paman bergantung pada kondisi psikisnya. Penyakit jantung yang diderita paman sudah menahun dan akan semakin menjadi jika paman banyak beban pikiran. “Bunda, jika ada kesalahan paman yang Angga tahu. Apakah Angga harus memaafkanny
Kuhubungi Tyo agar tidak kembali ke apartemen setelah mengantar Alisha. Ingin berbagi beban pikiran dan berdiskusi mengenai masalah hari ini. Bagaimanapun suatu hari nanti dia adalah bagian dari keluarganya. Walaupun tak ada hubungan darah dengan Alisha? Kuhembuskan napas kasar, saat mengingatnya kembali. Sesampainya di rumah, bunda masih sibuk di dapur. Aku datangi bunda untuk melihatnya. Pesan terakhir tak dibalas bunda. Aku sedikit khawatir. Sesaat melihatku, bunda mencoba tersenyum. Sedikit dipaksakan. Kucium tangannya sambil menanyakan sedang memasak apa untuk makan malam nanti. Bunda hanya menunjukkan wajan yang berisi ayam bumbu merah. “Bunda..., Alisha kangen.” Suara Alisha memecahkan suasana kaku di dapur. Sedikit berlari ditubruknya bunda dan memeluknya. Bunda balas memeluk Alisha, mengelus lembut kepalanya. Kulihat mata bunda berkaca-kaca menahan kesedihan. Bergegas aku ke luar menemui Tyo. Tyo duduk di sofa, menggulung tangan kemeja hingga atas siku agar terlihat lebih
Bunda sudah kuberitahu mengenai kabar dari Mas Fariz. Kuputuskan besok pagi baru berangkat ke Bandung. Malam ini biar Hendra saja ke sana, dia bisa membantu mengurus keperluan keluarga paman. “Iya, Angga. Bunda juga perlu beristirahat,” jawab bunda sambil beranjak meninggalkanku menuju kamar. Sesaat melewati Alisha, bunda tersenyum. Tak lupa bunda pamit pada Tyo, karena tak bisa menemani ngobrol. Mereka berempat kembali duduk di ruang tamu. Angga menyampaikan berita duka. Malam ini sepertinya mereka perlu mengistirahatkan pikiran setelah menerima penjelasan Pak Aditya mengenai masa lalu ayah. “Hendra, kamu langsung berangkat ya. Bantu keluarga paman. Kami akan berangkat besok pagi. Bunda biar beristirahat dahulu. Alisha kamu juga istirahat dan bersiap.” “Besok aku temani Alisha, kamu berangkat dengan bunda saja dahulu. Alisha biar ke kantor untuk koordinasi pekerjaan selama kalian di Bandung. Sekalian aku ada rapat sebentar.” Aku mengangguk tanda setuju. Hendra langsung pamit untu
Alisha dan bunda sudah selesai berbelanja. Semua keperluan dapur sudah dibeli. Kue untuk pengajian nanti malam juga sudah di pesan. Akan diantar menjelang sore nanti. “Bunda kita jadi ke makam?” tanyanya pada bunda. “Jadi, Sha. Kita beli bunga dulu," jawab bunda pelan.Mereka berjalan menuju penjaja bunga, membeli beberapa bungkus bunga untuk ditaburkan di makam ayah dan paman. Di kejauhan tanpa mereka sadari, ada beberapa orang yang mengamati dan memberi laporan melalui telepon. “Mereka akan ke makam, pak. Saat ini mereka sudah menuju mobil yang akan membawanya.” “Oke, kita bertemu di makam. Ikuti terus, jaga keamanan mereka," balas Pak Yudha di seberang telepon.“Baik pak. Saat ini kami tidak melihat ada yang mencurigakan.” Setelah menaburkan bunga di kedua makam, bunda cukup lama bersimpuh di makam ayah. Sesekali bunda mengusap ujung matanya. Alisha tahu tamu malam itu membuka luka lama bunda. Kepergian ayah sulit dilupakan, apalagi saat itu bunda melahirkanku. Kondisi yang mem
“Mas, Alisha beli cendol dulu ya. Pak Yudha juga mau?” tanya Alisha sambil berlalu menghentikan tukang cendol yang kebetulan lewat di depan kedai. Sepeninggal Alisha aku terdiam sejenak. Kupersilakan Pak Yudha untuk duduk bersama kami. “Tyo, apakah saya bisa mempercayaimu?” tanyanya pelan“Maksudnya?” tanyanya dalam kebingungan. “Saya titip Alisha, tolong bantu saya untuk menjaganya. Saya tahu kamu adalah pilihan terbaiknya.” Tyo masih belum memahami apa maksudnya. Alisha datang dengan membawa segelas plastik cendol diikuti penjual cendol yang membawa dua gelas lainnya. “Taruh sini saja pak. Terima kasih.” “Ini untuk Mas Tyo dan ini untuk Pak Yudha.” Alisha kembali duduk di kursinya menikmati cendol yang baru dibelinya. Sepertinya lupa dengan mie yang baru dimakan separuh. Pesanan Pak Yudha diantar ke meja kami. Tyo memutuskan melanjutkan makan sambil mencoba mencerna ucapannya. “Pak Yudha, nanti malam ikut pengajian?” tanya Alisha. “Rencananya seperti itu. Mudah-mudahan tidak
Setelah dokter bisa menangani Aristya aku memutuskan kembali ke ruang rawat Alisha. Hendra berdiri di depan pintu kamar bersama John dan Hans. Saat melihatku, mereka mengangguk namun tak berbicara. “Hendra, jika ada kabar penting langsung hubungi aku,” pesanku sebelum kembali ke kamar Alisha. “Baik Pak.” “Bukannya tadi ada Adrian?” tanyaku melihat sekeliling. Hendra menatap John dan Hans bergantian. Tadi Adrian memang ada di sini. Mereka sempat mengobrol. Adrian datang bersama Dania. Aku menghubungi Alisha. Hanya nada sambung terdengar berbunyi, tapi Alisha tidak mengangkatnya. Kucoba hingga tiga kali, namun hasilnya sama saja. Aku langsung bergegas menuju lorong ruang rawat Alisha. Perasaanku tak enak. Hendra kuminta menghubungi Fathir. Jika ada di luar minta segera kembali ke ruang Alisha. John dan Hans mengikuti langkahku. Aku tak ingin kejadian buruk menimpa Alisha. Apalagi ada bayiku di sana. Sesampainya di depan ruangan tak kulihat Fathir dan Petra. Aku ingin
Saat Alisha membuka matanya, dirasakannya dia terbaring dalam kamar dengan aroma yang sangat dikenalnya. Dinding putihnya selalu bersih. Walau suka dengan warnanya tapi dia tak mau lama-lama di sini. Mas Angga…? Tadi Hendra bilang jika Mas Angga kecelakaan. Sari yang menabraknya. Jadi benar yang dikatakan Adrian jika kotak hadiah itu dari Sari. Nomor yang selalu menerornya mungkin juga Sari. Tapi mengapa? Alisha mencoba bangun dari tidurnya. Alisha harus mencari Mas Angga. Dia harus tahu kondisinya saat ini. Saat badannya mulai digeser untuk duduk, suara pintu dibuka menghentikan gerakkannya. Ditunggunya siapa yang akan masuk dengan terus menatap lurus ke arah pintu. “Mas Angga…!” Aku duduk di kursi roda yang didorong masuk oleh Fathir, menatap Alisha tajam. Kemudian tersenyum saat melihatnya diam. Setelah Alisha sadar siapa yang datang, Alisha ingin beranjak turun memeluknya. “Di sana saja Hanny. Mas tidak mau kamu lelah,” ucapku sambil memberikan tanda agar Alisha tetap di
Jadi hadiah itu dari Sari. Tiba-tiba rasa mual kurasakan, aku bangun menuju toilet. Dania mengikutiku dari belakang. Adrian hanya duduk diam dalam kebingungan memutuskan untuk menunggu mereka. Aku didampingi Dania Kembali duduk di hadapan Adrian. Masih banyak yang ingin aku ketahui. Tapi aku ingin tahu di mana Mas Angga saat ini. Pesan yang tadi kukirim masih belum dibacanya. Kucoba menghubungi, tapi hanya suara operator yang menjawab. Aku mencoba menghubungi Hendra, namun sama saja. Saat aku panik, dering telepon berbunyi. Mas Angga. Aku langsung menggeser layer dan berbicara padanya. “Mas di mana? Kenapa sulit dihubungi?” “Maaf Hanny, mas lagi rapat dan susah sinyal. Ini juga hanya sebentar bisa teleponnya. Mas mau mengingatkan jangan lupa makan siang ya.” “Iya mas. Mas Angga juga ya,” ucapku menginggatkannya. “Kalau di kantor, jangan terlalu lelah ya, kasihan dede nanti. Makan siangnya ditemenin Dania saja ya Hanny,” ucap Mas Angga. Belum sempat aku jawab, suara samb
Aku menoleh ke arah Mas Angga, mencoba tersenyum dan menatap wajahnya lekat. Aku Kembali mengusap lembut perutku. Aku harus kuat, Arjuna dan aku bisa melewatinya dulu. Kini aku juga harus bisa. “Tidak apa mas, sudah mulai terasa tidak enak perutnya,” jawabku pelan. “Sebentar lagi kita sampai dede, sabar ya.” Aku tersenyum mendengarnya. Mas Angga sangat memperhatikan kami, aku berharap ini bukan sementara. Pikiranku mengenai Aristya masih mengganjal. Apalagi nomor asing yang mengirim pesan dan foto, membuat aku bertanya-tanya siapa dia? Sesampainya di rumah besar, aku langsung masuk ke dalam kamar. Mas Angga menggendong Arjuna ke kamarnya. Oma dan Opa juga akan beristirahat, sebelum Oma menyiapkan makan siang. Suara pintu kamar yang dibuka membuat aku menoleh. Mas Angga sudah melangkah menuju ke arahku yang masih duduk di tepi tempat tidur. “Masih jail dedenya?” tanya Mas Angga padaku. “Tidak papa. Dede aman,” jawabku sambil tersenyum. Mas Angga mendekat dan berhenti di ha
Aku menatap wajah Alisha lekat, rasa bersalah menyelimuti. Aku sepertinya terlalu terburu-buru mengharapkan kehamilannya. Seharusnya aku membahagiakannya dahulu. Aku melangkah mendekatinya dan memeluknya erat. “Tidak apa Hanny, masih banyak waktu. Arjuna pasti mau menunggu,” ucapku pelan di telinganya. “Arjuna mau menunggu, apakah mas juga mau menunggu?” tanyanya pelan. Aku lepas pelukanku, menangkup kedua pipinya dan memintanya menatapku. Mata Alisha berkaca-kaca, aku tak ingin butiran air mata itu turun. Aku tersenyum menguatkannya. “Aku pasti akan menunggu Hanny, tidak perlu khawatir. Sampai nanti Allah memberikan kita kepercayaan untuk menjaga amanah,” ucapku pelan sambil tetap tersenyum. “Mas, ini hasilnya,” suara Alisha terdengar pelan sambil menyodorkan testpack yang tadi kuberikan. Aku mengambilnya dan meneliti bagian yang memiliki garis merah. Kesedihan Alisha sepertinya harus kuhilangkan, aku sudah merencanakan akan mengajaknya bersama Arjuna berlibur nanti. Aku
“Lebih baik diperiksa ke dokter kandungan, biar lebih yakin hasilnya,” ucap Oma sambil menatap pada Alisha. “Oma bilang apa? Aku tidak salah dengar kan?” tanyaku mendengar ucapan Oma pada Alisha. Oma hanya tersenyum. Mengajak Arjuna untuk kembali ke rumah. Arjuna yang masih duduk di samping Alisha mengangguk, meminta papa untuk menjaga bunda dan dia berjanji akan menuruti Oma dan Opa. Aku tersenyum mendengarnya kemudian menurunkan Arjuna setelah mencium pipi Alisha dan membuat janji kelingking agar Arjuna menepati janji. Alisha melambaikan tangannya hingga Arjuna menghilang di balik pintu. Kini hanya ada aku dan Alisha di kamar. “Mas mau keluar sebentar Hanny, berani sendiri atau mau dipanggilkan perawat?” tanyaku sesaat tiba di samping tempat tidur. “Berani mas, tapi jangan lama-lama ya,” jawab Alisha pelan sambil menatap matanya. Sebuah senyum terbit dari sudut bibirku, kemudian melangkah keluar kamar. Setelah aku menutup pintu Alisha merebahkan tubuhnya. Sebenarnya Alisha
Alisha mengeratkan genggamannya pada tangan Mas Angga. Menatapnya lembut dan mencoba tersenyum padanya. Bebannya sudah sangat berat. Sepertinya dia harus mengesampingkan perasaan cemburu pada Aristya, apalagi Oma tadi sudah berpesan agar dirinya tak egois. “Mas, jika mas ingin melihat Nenek Hanum pergilah. Alisha bisa sendiri di sini. Alisha juga tidak mau lama-lama di rawat Mas,” ucapnya pelan. “Iya Hanny, Mas juga ingin kamu sehat. Tidak sakit seperti ini. Mas minta maaf ya. Lain kali Mas akan hati-hati dengan orang-orang yang suka mengambil foto sembunyi-sembunyi," ucapku meyakinkan. Alisha mengangguk. Aku kembali mengecup tangan Alisha dan tersenyum padanya. Sedikit bebanku sudah terangkat. Aku bisa tersenyum sekarang. Alisha membalas senyumku hingga aku seakan diberikan sedikit kekuatan dengan adanya kabar mengenai Nenek Hanum. “Mas menunggu Hendra di IGD ya Hanny, jika ada apa-apa panggil perawat," ucapku saat menghitung waktu kemungkinan Hendra sudah sampai. “Iya mas, nan
Oma dan Opa mendekati tempat tidur perlahan. Mereka tak mau mengganggu tidur Arjuna. Oma mengusap pelan tangan Alisha yang memeluk Arjuna. Setelah memastikan keduanya pulas. Mereka menunggu di sofa. Aku memilih untuk tetap duduk di samping tempat tidur menunggu mereka berdua bangun. Setelah menunggu hampir setengah jam. Arjuna mulai membuka matanya. Digesernya tangan bunda yang memeluknya saat tertidur. Aku menutup laptop dan meletakkannya di meja. Arjuna yang kini sudah duduk di ranjang, mengucek matanya dan membuka perlahan. “Papa, kita di rumah sakit?” “Iya jagoan. Masih mengantuk?” tanyaku sambil mengusap lembut pucuk kepalanya. Arjuna menggeleng dan matanya berpindah ke arah bunda yang masih tertidur. Diciumnya pipi bunda dengan penuh rasa sayang kemudian diusapnya. “Bunda maaf ya. Oma bilang kalau Arjuna mau punya adik perempuan bunda akan sakit dan muntah-muntah juga. Arjuna mau adik tapi tidak mau bunda sakit,” ujarnya pelan. Aku yang mendengarnya tersenyum. Semoga
Aku terduduk dipinggir tempat tidur, butir air mata mulai mengalir di pipiku. Di saat aku baru saja merasakan kebahagiaan mengapa ada yang merusaknya? Apakah Mas Angga benar-benar menjalin hubungan dengan Aristya tanpa sepengetahuanku. Aristya memang masa lalu Mas Angga, namun Mas Angga juga mengatakan jika mereka tak pernah memiliki hubungan dekat. Tapi mengapa bukti-bukti yang kuterima tidak menunjukkannya, malah sebaliknya hubungan mereka terlihat sangat dekat. Apakah dalam lubuk hati terdalam, Mas Angga masih mencintainya? Kepalaku terasa semakin pusing, aku menarik napas panjang. Tak kubayangkan apa jadinya hari-hariku menghadapi hubungan yang aku tak tahu kapan dimulainya. Aku beranjak menuju kamar mandi, sepertinya berendam memang akan menyegarkanku. *** “Papa...!” Arjuna berlari menyambutku yang baru saja turun dari mobil yang dikendarai Fathir. Setelah cukup lama menunggu bagasi akhirnya aku bisa meninggalkan bandara. Hampir dua jam menunggu, untungnya Alisha sudah k