(Cuplikan)
"Bim, Bimo... bangun! kita sarapan pagi yuk!" ajak ku sambil berjalan ke arah jendela kamar, dan menyibak gorden putih bermotif bunga Lily agar cahaya matahari masuk.Ku menoleh ke arahnya yang masih bergulung dengan selimut tebal, menutupi seluruh tubuhnya. Sepertinya anak itu masih pulas, karena tak ada pergerakan sama sekali dengan teriakan ku.
Lalu aku mendekat dan duduk di tepian ranjang kuraih pundak Bimo seraya mengguncangnya pelan.
"Bimo sayang... Ini udah siang loh, katanya kita mau joging, kok malah tidur mulu," ajak ku dengan suara lembut dan mendayu, pada anak itu.
Ku lirik jam di nakas menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Aku menyingkap selimut namun tangannya semakin erat memegang ujung selimut yang menutupi wajahnya.
"Adikku sayang, mau ikut gak? Kita jalan-jalan pagi keliling komplek cari yang seger-seger!" bujuk ku lagi, aku meletakkan satu tangan di sisi tubuh Bimo, sambil mencondongkan tubuhku ke arah kepalanya.
"Hei, bangun Dedek!" bisik ku, namun Bimo tetap bergeming, lantas aku tak mau menyerah begitu saja dong, ku rangkul tubuh mungilnya, sambil menggelitiki perut adik laki-laki ku yang manjanya setengah mati.
"Diem! Gak usah pegang aku!" hardik nya, sambil meronta ia mengambil bantal dan menutupi wajahnya, membuatku terkejut dengan tingkah aneh anak ini.
Biasanya Bimo kalau pagi-pagi aku bangunkan, dia langsung bangkit dan bersemangat. Tapi kali ini lain, aku merasakan ada yang berbeda dalam dirinya di pagi ini.
"Bimo, kamu kenapa Dek? Kok pagi-pagi udah marah gak jelas sama Mbak, ayo kita sarapan! abis gitu kita joging," ajak ku lagi.
Aku tetap tak mau menyerah begitu saja, meskipun dia marah pada ku, entah apa yang membuat dia begitu marah dan bersikap seperti itu.
"Mbak jahat! Aku benci Mbak Tia!" umpatnya dengan suara tertahan di balik selimut juga wajah yang di tutupi oleh bantal.
Aku mengerutkan kening agak bingung, dan tak mengerti, kenapa anak ini mengatakan bahwa aku jahat.
Selama ini aku gak pernah jahat sama sekali pada dia, malah aku selalu mengalah untuknya, setiap hari dan setiap waktu aku habiskan hanya untuk menemaninya, tapi dia masih bilang aku ini jahat, apa yang salah dari diriku.
"Mbak, gak pernah jahat sama kamu Bim, Mbak sayaang... banget sama kamu, ada masalah apa sih sebenarnya, sampe kamu seperti ini?" tanya ku keheranan.
"Mbak jangan pura-pura polos! Aku sebel sama Mbak,"
Aku menarik paksa dan menyingkirkan selimutnya, dia terkesia menampakan wajah yang begitu marah dan kesal pada ku, tanpa berkata apapun dia langsung membalikkan badannya membelakangi aku.
"Bimo, ada apa? Katakan sama Mbak! Jangan bikin Mbak bingung dong, ayo cerita!"
Aku melihat pundaknya berguncan sepertinya dia sedang menangis, aku semakin bingung dengan anak ini.
Aku naik ke atas kasur dan duduk di belakangnya, kuraih kepala Bimo dan mengusap rambutnya dengan lembut.
"Ada apa sih Dek? Emang Mbak punya salah apa sama kamu?" tanyaku lagi dengan penuh kebingungan.
Dia memutar tubuhnya dan menatap wajahku, bibir mungilnya mengerucut matanya yang indah menatapku dengan tajam.
"Mbak," ucap nya dengan wajah memberengut sambil menarik tubuhnya, dan menyandarkan punggung di sandaran ranjang, lalu dia menggenggam tanganku erat.
"Apa Dek? Coba katakan salah Mbak dimana! Biar tak ada salah faham, kamu keluarga Mbak satu satunya." Ku tatap wajahnya lekat-lekat.
"Mbak, kamu sayang gak sama aku?" ucapnya dengan suara rendah dan manja.
"Bimo, kenapa kamu tanya seperti itu? Jelas-jelas Mbak sangat menyayangi mu, di dunia ini gak ada yang lebih Mbak sayangi selain kamu," kelasku sambil menangkup pipi kirinya.
"Katanya Mbak sayang sama aku, tapi, kenapa Mbak semalam pergi sama cowok itu? Aku gak suka, sama dia!" ketusnya dengan wajah di tekuk, dan kedua bola matanya merah.
Aku hanya tersenyum mendengar ucapan anak ini, memang aku semalam jalan sama Mas Rio, calon kekasih ku meski dia belum mengungkapkan perasaannya tapi aku merasakannya dari tatapan matanya, juga dari sikapnya yang begitu perhatian sama aku.
Namun Bimo selalu bersikap posesif jika aku dekat dengan lawan jenis, dia selalu cemburu dan tak ingin perhatianku terbagi untuk orang lain.
Ku raih kedua bahunya dan mengangkat tubuh mungil Bimo yang masih di balut piyama biru motif Doraemon, ku menyuruh dia untuk duduk.
"Bimo, kenapa kamu marah? Mbak kan cuma jalan sebentar, lagian kamu juga semalam, pergi sama teman-teman mu kan," ucapku memberi pengertian.
"Mbak, aku tuh gak suka Mbak jalan sama Mas Rio, pake ngasih coklat segala lagi, kalau sekedar coklat aku juga bisa membelikan untuk kamu Mbak,"
"Emang kamu liat Mbak di mana, kok kamu tau kalau Mbak di kasih coklat sama Mas Rio?"
Bimo menarik nafas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan.
"Semalam, aku gak sengaja liat kamu Mbak, saat aku lagi nongkrong sama teman-teman di cafe, tempat di mana kamu berada sama Mas Rio, aku melihat kamu begitu mesra sama dia, apalagi saat Mas Rio ngasih coklat, aku lihat Mbak Tia, begitu gembira saat menerima coklat itu,"
"Bimo, emangnya kenapa? Cemburu ya?" goda ku sembari mengapit hidung bangirnya.
Lalu ku menangkup kedua belah pipi tirus Bimo, yang dahulu pipi ini chubby, kini dia sudah remaja dan sebentar lagi beranjak dewasa, usianya kini menginjak enam belas tahun.
Bimo Arya Prasetyo dia adalah Adik angkatku, kami bersaudara beda Ayah juga ibu, namun aku tak sama sekali menganggap dia saudara angkat.
Belasan tahun yang lalu aku di angkat anak oleh pasangan suami istri yang sangat baik, saat itu aku berusia tujuh tahun.
Dahulu aku tinggal di panti asuhan Bunda kasih tempat di mana aku di besarkan, orang tua Bimo adalah salah satu donatur di yayasan yatim piatu tersebut.
Mereka adalah orang-orang yang sangat baik, pemiliki usaha garment yang memproduksi baju muslim dewasa dan juga anak-anak Pria dan Wanita.
Keseluruhan karyawannya mencapai dua puluh lima orang, dari bagian sewing dan beberapa orang lagi, untuk bagian lain sebagainya.
Usaha mereka cukup maju sebagai distributor baju muslim, hasil produksi konveksi Rianty fashion di kirim ke toko-toko di pasar tradisional.
Dulu ketika aku pulang sekolah tak ayal aku sering di ajak orang tua ku berkeliling dan memantau pekerjaan para karyawan di sana.
Mereka mengatakan aku harus bisa memahami dunia bisnis, agar suatu saat aku bisa melanjutkan usahanya.Jika mereka sudah tua nanti maka akulah dan Bimo yang akan jadi penerus bisnisnya, aku bangga meskipun aku bukan anak kandungnya namun aku sudah di beri kepercayaan oleh Ayah dan Ibu.
Aku beruntung di adopsi oleh kedua pasangan itu. Nama orang tua angkatku Bu Rianty, dan Pak Budi Prasetyo, mereka pasangan suami istri yang sangat baik dan dermawan.
Namaku Mutia Dewi Prasetyo. Pak Budi ayah angkat ku memberikan nama belakangnya untukku, ayah dan ibu begitu menyayangiku seperti menyayangi anaknya sendiri.Satu tahun aku tinggal di tengah keluarga Prasetyo, kebahagiaan mereka bertambah dengan hadirnya bayi mungil dan tampan yang kini beranjak remaja.Aku dan Bimo terpaut usia delapan tahun, kini kami hanya tinggal berdua, karena orang tua kami sudah lama meninggal korban pembunuhan oleh sekelompok perampok sepuluh tahun yang lalu.Peristiwa itu terjadi tengah malam setelah Bimo ulang tahun yang ke enam. Kami sedang tertidur pulas tiba-tiba mendengar beberapa kali suara letusan senjata api, akupun dan Bimo terbangun, karena kegaduhan tersebut.Aku memeluk Bimo dan membawanya bersembunyi di bawah kolong tempat tidur, kami berdua berbaring saling berhadapan.Bimo memeluk ku meminta perlindungan, tubuhnya gemetaran, namun aku berusaha tetap tenang agar Bimo tidak takut dan menangis, mesk
"Ibu, bangun!" ucapku sambil meletakan kepalanya di pangkuanku. Ku usap wajahnya yang sangat pucat karena kehabisan banyak darah. Ibu menggenggam tanganku dengan erat, ia meringis menahan sakit karena luka di tubuhnya."Tia, Ibu minta Ma'af, tidak bisa menjaga kalian lagi! Ibu mohon kamu jaga Bimo, untuk selamanya, ibu percayakan dia sama kamu, jaga dia nak!" ucapnya dengan suara parau dan tercekat.Aku menggeleng cepat sambil terisak, "Bu... jangan bicara seperti itu! Ibu harus bangkit, aku_aku mau cari bantuan," ucapku di sela isakan tangisku, aku meletakkan kepala ibu di lantai.Ku lirik Ayah yang juga tergeletak di sebrang tempat tidur dengan tubuh bersimbah darah sama seperti ibu, sebelum aku keluar untuk meminta tolong aku mendekati Ayah."Ayah, bangun!" ucapku lirih sambil mengguncangkan tubuhnya, namun tak ada pergerakan sama sekali, tubuh ayah kaku, dengan mulut menganga.Aku bangkit dan mundur selangkah, detak jantung ku serasa berh
Aku berdiri di depan kamar Bimo, yang letaknya berdampingan dengan kamar ku."Bimo, kamu lagi ngapain, udah tidur belum?" panggil ku dari depan kamar sambil mengetuk pintu. "Mbak masuk ya! Boleh gak!"Tak ada jawaban, apa anak ini udah tidur baru saja jam setengah sembilan malam, masa dia sudah tidur.Aku memutar kenop pintu lalu membukanya, berderap masuk ke kamar Bimo, dia berada di meja belajar melipat kedua tangannya seraya membenamkan wajahnya di antara lengan.Ku mendekat dan berdiri di sampingnya, "Bimo, kamu kenapa Dek? Kok nangis? Masa jagoan cengeng," ucapku sambil mengusap punggungnya. Dia mengangkat kepalanya mendongak menatap wajahku."Mbak, aku kangen Ayah dan Ibu," lirih Bimo, wajahnya begitu sayu ku melihat kesedihan yang mendalam di mata indahnya, dia sangat merindukan kedua orangtua yang sangat ia sayangi."Iya, sama, Mbak juga kangen Ayah dan Ibu, tapi kamu jangan sedih dong! Kan ada Mbak disini, yang selalu ada untuk kamu
"Tenang, ada Mbak, tapi kalau kita bicara sama calon istri Om Doni, siapa tau istrinya mau tinggal di sini, tar Mbak yang ngomong dan bujuk dia," ujar ku.Ku melepas pelukan, kedua tangan membingkai wajahnya, ku usap lembut air mata yang membekas di pipi chubby nya dengan ibu jari."Mbak Tia, sayang gak sama aku? Apa Mbak nanti kalau sudah dewasa, terus menikah, Mbak juga mau tinggalin aku,""Gak, Bimo, Mbak gak akan tinggalin kamu sampai kamu dewasa nanti, dan kamu memiliki keluarga sendiri, jikalau suatu saat nanti kamu sudah memiliki pendamping hidup, Mbak baru bisa tenang ninggalin kamu dengan keluarga baru kamu," terang ku panjang lebar."Gak Mbak, aku gak mau punya pendamping hidup,""Loh kok," aku menautkan alis keheranan."Aku mau, Mbak Tia yang menjadi pendamping hidup aku nanti!" ucapan Bimo membuat aku tercengang.Ku menanggapinya dengan senyuman, mungkin dia hanya bergurau, dasar anak kecil, apa yang ada dalam fikirannya, aku ini
Lantunan adzan subuh berkumandang di Masjid yang letaknya tak jauh dari kediaman kami, jaraknya sekitar tiga puluh meter dari rumah ini.Aku mengerjap seraya mengucek mata, ku lirik jam di atas nakas menunjukkan pukul setengah lims pagi, ku bergegas menuju kamar mandi untuk membasuh muka lalu mengambil wudhu.Setelah bersuci, ku buka lemari pakaian dan mengambil mukena yang berada di hanger, ku kenakan untuk menutupi seluruh aurat ku.Mukena sutra berwarna putih dengan bordir warna emas di setiap ujungnya, mukena ini peninggalan almarhumah ibu, aku selalu mengenakannya setiap aku menjalankan kewajiban yang lima waktu.Aku menuju kamar Bimo, kamar kami berada di lantai dua letaknya berdampingan, ku buka kamar Adikku yang tak pernah di kunci sehingga aku mudah jika aku masuk ke kamarnya untuk membangunkan dia."Dek," ucapku sambil menekan saklar lampu, seketika ruangan itu menjadi terang.Matanya mengerjap karena silau dari cahaya
Aku banyak belajar tentang segala hal dari dia, yang belum pernah aku mengerti dan tidak aku fahami."Kita mulai! bismillahirrahmanirrahim," ucap Om Doni. Aku pun mengikutinya. "Bimo, kamu membaca Qomat!"Bimo pun mulai membaca Qomat sebelum melaksanakan shalat berjama'ah, Dua raka'at kami sudah menjalankan perintahnya.Selepas melaksanakan kewajiban, Om Doni mengambil Al-Qur'an yang berada di rak, dia memberikannya pada kami satu persatu, dan mengajak kami tadarusan meskipun satu atau dua ayat.Dia selalu berpesan, kami harus sering membaca ayat suci Al-Qur'an, apalagi di malam Jum'at selepas Maghrib, dimana para orangtua kita yang sudah tiada mengharap kiriman do'a dari keturunannya."Bimo, Tia, kalian kan sudah besar, jadi kalian harus bisa jaga diri! Apalagi Om sebentar lagi tidak tinggal di sini," ucap Om Doni."Iya Om, kami ngerti," sahutku sembari mengangguk."Jaga Bimo dengan baik! Om percaya kamu bisa membimbing Adik mu, Bimo, k
Awal pekan adalah awal semangat baru untuk menyambut hari. Ku lirik jam di pergelangan tangan, menunjukkan pukul enam lewat lima belas menit masih banyak waktu luang, untuk sarapan dan beres-beres, aku selalu bagi tugas sama Om Doni soal pekerja'an di rumah ini, kecuali Bimo anak manja.Ku berdiri di depan cermin, sambil menyisir rambut ku yang panjangnya sebahu, ku sematkan jepitan warna silver berbentuk love, di sisi kiri bagian atas kepala.Aku sudah siap untuk mencari ilmu di SMU Karunia Bakti, ku kenakan baju kebangaga'an ku, seragam putih abu-abu dan sepatu hitam dengan sedikit garis putih menyamping, di setiap sisinya.Lalu kuraih tas selempang berwarna hitam, yang sudah ku siapkan di atas meja belajar, tempat ku membawa semua alat tulis dan perlengkapan sekolah.Ku tatap wajah ini, dengan seksama, aku semakin dewasa, tinggi ku juga sudah bertambah, Mungkin tinggi badanku sekitar 158 cm.Aku baru sadar tak lama lagi usiaku mengin
"Bimo, kamu ini, ngomong apa sih? Om Doni terlalu dewasa buat Mbak, lagian dia juga udah punya calon istri, dia kan Om kita, aneh kamu!""Tapi Mbak, kalau Om Doni belum punya calon gimana, Mbak mau sama dia?"Aku menggaruk tengkuk yang tentunya tak gatal, aku mengalungkan tangan di leher bocah kelas empat SD ini."Bim, kamu tu ya kalau ngomong, fikir dulu dong sedikit! Usia Mbak sekarang tujuh belas tahun, menginjak delapan belas. Sementara Om Doni sudah tiga puluh tahun. Mbak mentargetkan untuk menikah di usia dua lima, kalau ketemu jodohnya," seloroh ku."Jadi kalau sama Om Doni, ya... ketua'an, buat mbak," lanjut ku."Oh, kalau Mbak nanti nikahnya sama aku gimana? Mau gak? Apa ke muda'an aku nya, buat mbak," celetuk Bimo.Aku tertegun jantung ku seakan mencelos sesa'at ingin ku jitak kepala ini bocah, tapi aku ingat dia anak yatim-piatu, kata teman-teman, gak boleh jitak anak seperti Bimo nanti dosa, dan kualat."Mau enggak Mbak, Ka
Setelah beberapa saat aku membujuk Bimo untuk turun dan bergabung di acara yang begitu penting bagiku, adik lelakiku akhirnya mau juga. Kami berjalan beriringan menuruni tangga menuju ruang tengah, tanpa ada suara dari bibirnya sama sekali. Bimo sepertinya enggan untuk mengeluarkan sepatah kata pun, meski aku mengajaknya ngobrol, untuk mencairkan suasana."Ayo duduk sini, Bimo!" ajak om Doni menepuk karpet bludru warna coklat bermotif raja hutan, yang menjadi alas duduk. Setelah kami sampai di lantai dasar. Aku membimbing adikku untuk duduk di sisi lelaki berbaju Koko putih dan celana bahan tersebut."Makasih, Mbak," jawab Bimo datar."Iya, Bim. Mbak ke sana dulu, ya," kataku seraya menunjuk dengan dagu ke arah Tante Amira yang berada tak jauh dari Om Doni."Bimo, tak usah cemberut, gitu. Wajahmu, jelek, tau!" ejek Om Doni tersenyum tipis, seraya mengelus bahu Bimo.Sedikit merundukkan tubuh dengan sopan saat aku berjalan menuju Tante Amira, lantas aku duduk di samping perempuan berb
Setelah Mas Rio berpamitan untuk pulang, aku pun menyusul Bibi ke kamar Bimo, ku langkahkan kaki berpijak di lantai keramik berwarna putih, berdiri di ambang pintu seraya mengetuk pelan dan meminta izin Bimo, untuk ku masuk ke dalam kamarnya."Masuk Mbak," ucapnya, tanpa menoleh ke arah ku. Saat aku masuk ke dalam, dia membalikkan badannya menyembunyikan wajah dari tatapanku.Bibi mengangguk di barengi senyuman kecil, dan bangkit meninggalkan Bimo bersama ku. Kaki ku berderap mendekati bocah berambut agak gondrong belah samping ini, ku duduk di tepian ranjang menatap dia yang tertunduk dan masih membelakangi ku."Bim, gimana keputusan kamu, apa kamu mengizinkan Mas Rio untuk melamar Mbak besok malam?" tanyaku ragu. Tangan kiri ku menggapai pundaknya lalu mengusapnya dengan lembut.Dia menganggukkan kepalanya pelan, "Iya Mbak, aku setuju moga bahagia ya! Ku harap, kamu masih mau menganggap ku adik!" ujar Bimo lirih. Bagaimana dia bisa m
POV Bimo."Mbak Tia, aku mencintai kamu," teriak ku, seraya masuk ke dalam kamar dan menutup kembali pintu dengan membantingnya.Ku hempaskan tubuh ke atas tempat tidur, dengan posisi menelungkup, ku peluk guling dan ku tutup wajahku dengan sebuah bantal. Sesak nafas ku saat ini yang ku rasa, melihat Mas Rio dan Mbak Tia semakin dekat.Terlebih tadi, ucapan Mas Rio yang meminta izin ku, untuk merestui hubungan mereka, hati ku terasa di hujam sebilah pedang, mendengar penuturan Mbak Tia yang ingin segera menikah dengan Mas Rio."Kenapa Mbak? Kenapa kamu tidak mengerti perasaanku, aku begitu mencintai mu," lirihku di sela isak tangis, dengan hati terasa teriris, perih, sunguh perih hati ini, dengan kenyataan yang ada di hadapanku, Mbak Tia akan menjadi milik orang lain, aku berusaha menepis perasa'an yang salah ini. Dan berusaha meredam rasa cinta ku pada Mbak Tia.Sedari dahulu aku memang mencintainya aku selalu berusa menghalangi hubungan Mba
"Apa ini artinya, kamu setuju Bim? Dan kamu merestui hubungan Mbak sama mas Rio," ucap ku penuh harap. "Iya, aku setuju. Aku gak berhak melarang-larang Mbak, lagian aku ini bukan siapa-siapanya Mbak, bahkan kita gak ada hubungan darah. Dan tak lebih, dari seorang adik angkat, aku ini hanya orang lain," ujar Bimo lirih, dengan wajah tertunduk, dari nada suaranya begitu lesu menyiratkan kekecewaan yang mendalam. "Maksud kamu, apa sih Bim?" Aku mengernyitkan dahi seraya menatap lekat wajahnya yang tampan, bak Oppa Korea. "Bimo, meskipun kita bukan saudara kandung, bahkan bukan kerabat sama sekali, tapi bagi Mbak, kamu adalah adik Mbak satu-satunya, jangan sebut kata orang lain lagi! Mbak gak suka kamu berkata seperti itu! Mbak sangat menyayangi kamu." Ku ayunkan tangan mengsap punggung bocah tujuh belas tahun ini dengan lembut, berharap bisa menyentuh dan meluluhkan hatinya. Bimo bangkit dari duduknya, ku mendongak lalu berdiri dan memegang bahuny
"Diiih... Malah melamun lagi kamu. Mikirin apa lagi sih?" tanyanya Mas Rio menepuk bahu ku, membuatku tersentak kaget. "Hm, gak mikirin apa-apa," sanggah ku menatap spontan ke arahnya. "Jadi gak cari Bimo? Tar keburu malam loh, udah nunggunya kelama'an, dandannya gak kelar-kelar, kaya mau kondangan aja, sekarang malam bengong mulu," protesnya menggerutu. "Baru setengah sembilan juga, masih sore kali Mas," balas ku melirik benda yang melingkar di pergelangan tangan ku. "Emang gak boleh apa, calon istrinya tampil cantik?" sambung ku seraya mengangkat alis. Aku selalu ingin tampil cantik di depan Pria berjaket jeans ini, entah kenapa aku merasa tidak percaya diri jikalau tidak bersolek sebelum menemui dia, meskipun hanya bertemu sebentar dan perginya pun bukan ke tempat yang jauh. "Tentu boleh, kamu memang calon istri idaman," ucap Mas Rio, balas menaikan alisnya kilas. "Tapi jangan kebanyakan bengong, ayam tetangga aja epilepsi loh,
"Diiih... Malah melamun lagi kamu. Mikirin apa lagi sih?" tanyanya Mas Rio menepuk bahu ku, membuatku tersentak kaget."Hm, gak mikirin apa-apa," sanggah ku menatap spontan ke arahnya."Jadi gak cari Bimo? Tar keburu malam loh, udah nunggunya kelama'an, dandannya gak kelar-kelar, kaya mau kondangan aja, sekarang malam bengong mulu," protesnya menggerutu."Baru setengah sembilan juga, masih sore kali Mas," balas ku melirik benda yang melingkar di pergelangan tangan ku. "Emang gak boleh apa, calon istrinya tampil cantik?" sambung ku seraya mengangkat alis.Aku selalu ingin tampil cantik di depan Pria berjaket jeans ini, entah kenapa aku merasa tidak percaya diri kalau tidak bersolek sebelum menemui dia, meskipun perginya hanya sebentar."Tentu boleh, kamu memang calon istri idaman," ucap Mas balas menaikan alisnya kilas. "Tapi jangan kebanyakan bengong, ayam tetangga aja epilepsi loh, karena melam
Ku ambil kembali kertas yang sama menggulung kusut di dekat ranjang, lalu duduk di tepiannya dengan kaki menjuntai, dan ku buka perlahan dengan tangan gemetar gulungan kertas tersebut, kemudian ku baca dengan seksama. "Mbak Tia, apa kamu masih ingat dengan janji mu, sama almarhum ibu? Kamu bilang, tak kan pernah meninggalkan ku untuk selamanya, dan akan selalu menjagaku sampai kapan pun. Tapi, kenapa kamu malah mencintai orang lain, dan berniat membina rumah tangga dengan Mas Rio, orang yang paling tak aku sukai, aku benci Mbak Tia!" Sontak membuat hati ini sesak sesaat setelah membacanya. Ku menengadahkan wajah seraya memejamkan mata, ku genggam erat kertas tersebut dalam pelukan. "Ma'afin Mbak Bim! Mbak cuma menganggap kamu sebagai adik, tak lebih, gak mungkin juga Mbak membalas cinta kamu, itu sangat mustahil!" Tak terasa air mata ku menetes, mengingat ucapan ibu dahulu, beliau meminta ku menemani dan m
*"Non, jadi den Bimo." Bi Ijah menggantung kalimatnya. Dia nampaknya mengerti dengan perkataan, yang aku ucapkan barusan. Aku duduk di kursi berhadapan dengan Bi Ijah."Iya Bi," jawabku pelan, seraya melipat kedua tangan di meja."Terus, perasa'an Neng Tia sama den Bimo gimana?" tanyanya serius. Aku menggeleng pelan sembari memajukan bibir bawah."Ya, aku sih, sayang sebatas Kakak sama adiknya, gak lebih, aku benar-benar bingung Bi, gak tau harus bagaimana menjelaskan pada Bimo, agar dia mengerti," ucap ku, menoleh padanya, satu tanganku terangkat dan menopang dagu."Maksud Eneng?" Bi Ijah menatapku dengan alis bertaut."Bimo, menginginkan," ucap ku ragu. Ku hela nafas pelan. Bi Ijah semakin serius menatapku, dengan tatapan penuh tanya."Kenapa Neng?" Dia memegang seraya mengusap punggung tangan ku."Aku bingung, harus berkata apa sama Bimo, yang jelas, setiap kali Mas Rio berniat ingin menyambangi rumah ini, bersama kedua
*Aku tak berhasil menghalangi dan mencegah langkah Bimo, dia malah mengabaikan panggilan ku, dan pergi melengos begitu saja meninggalkan ku yang terpaku di teras menatap dia berlalu.Helaan nafas keluar dari mulutku. Aku tak mengerti sampai kapan Bimo akan bersikap seperti itu, mengapa dia se-posesif ini, ku kira semakin dia dewasa, sikapnya juga akan lebih dewasa.Namun, aku salah menduga, dia masih sama seperti dulu, malah sekarang lebih posesif lagi, bahkan dia melarang niat baik ku dan Mas Rio, untuk melanjutkan hubungan kami ke jenjang pernikahan.Perasaan kesal pada sikap bocah itu sudah menggerogoti hati ku, lebih baik aku kembali ke ruang makan, untuk membereskan bekas kami makan, bahkan nasi pun belum masuk semua ke perut ku, nafsu makan ku mendadak hilang karena sikapnya yang membuatku muak."Neng," ucap Bi Ijah menghampiri ku, saat aku hendak membereskan piring beserta laluk pauk yang berada di meja, bahkan masih tertata dan m