Share

Bab 0.5

Author: Winda
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Tenang, ada Mbak, tapi kalau kita bicara sama calon istri Om Doni, siapa tau istrinya mau tinggal di sini, tar Mbak yang ngomong dan bujuk dia," ujar ku.

Ku melepas pelukan, kedua tangan membingkai wajahnya, ku usap lembut air mata yang membekas di pipi chubby nya dengan ibu jari.

"Mbak Tia, sayang gak sama aku? Apa Mbak nanti kalau sudah dewasa, terus menikah, Mbak juga mau tinggalin aku,"

"Gak, Bimo, Mbak gak akan tinggalin kamu sampai kamu dewasa nanti, dan kamu memiliki keluarga sendiri, jikalau suatu saat nanti kamu sudah memiliki pendamping hidup, Mbak baru bisa tenang ninggalin kamu dengan keluarga baru kamu," terang ku panjang lebar.

"Gak Mbak, aku gak mau punya pendamping hidup,"

"Loh kok," aku menautkan alis keheranan.

"Aku mau, Mbak Tia yang menjadi pendamping hidup aku nanti!" ucapan Bimo membuat aku tercengang.

Ku menanggapinya dengan senyuman, mungkin dia hanya bergurau, dasar anak kecil, apa yang ada dalam fikirannya, aku ini kakaknya kenapa dia bicara seperti itu.

"Bimo, kamu ngomong apa sih Dek?"

"Aku mau, Mbak jadi pendamping hidup aku! jikalau aku sudah dewasa nanti." Dia mengulangi ucapannya lagi, hadeeh... aku mendadak atsma mendengarnya.

"Kan Mbak ini kakak mu, mana boleh kakak beradik menjadi pasangan hidup!"

"Aku tau, Mbak itu bukan kakak kandungku, jadi kita gak di haramkan untuk menikah, di masa depan nanti,"

What? Aku tepok jidat mendengar kata yang keluar dari bibir mungilnya. Dari mana dia tau aku ini bukan kakak kandungnya, ucapnya membuat aku bergeming sesaat.

Anak ini benar-benar polos, siapa sih, orang yang telah memberi tau dia tentang status aku di dalam keluarganya, kalau aku tau, akan ku damprat dia habis-habisan.

"Kamu jangan ngarang Bimo! Mbak ini kakak kamu, Awas ya akan ku cabik-cabik orang itu, sudah membocorkan rahasia keluarga!" umpat ku, sambil meremat kertas yang aku ambil dari meja belajar Bimo.

"Bimo, emang siapa yang mengatakan, bahwa Mbak ini bukan kakak kandung mu?" desak ku, dengan tangan mengepal.

"Pak ustadz," ucap Bimo sambil mendongak, "Emang Mbak berani,cabik-cabik Pak ustadz?" tanyanya polos.

"Hak." Aku termangu kenapa pak ustadz mengatakan itu, mana berani aku mendamprat guru ngaji ku, bisa-bisa aku di kutuk karena menjadi murid durhaka, aku menggeleng pelan sambil tersenyum kaku.

 "Bimo, apa yang sudah pak ustadz katakan sama kamu?" Aku mengguncang pundaknya.

"Kata pak ustadz, kalau kita berangkat ngaji, kan kita selalu berpegangan tangan, sambil memeluk Al-Qur'an, Mbak kan sudah baligh, nah kalau nanti, jika aku sudah akhil baligh, kita kalau bersentuhan batal wudhu nya, karena bukan sodara kandung, jadi kalau kita batal wudhu nya haram memegang Al-Qur'an!" terangnya begitu enteng.

"Oh, gitu ya, kapan pak ustadz ngomong seperti itu?" Aku manggut-manggut.

"Kemaren malam, pas Mbak di luar majelis, lagi nungguin aku baca hafalan, Pak ustadz bilang sama aku, kalau kita ini saudara angkat," terang Bimo.

"Bimo, tapi Mbak gak menganggap kamu seperti Adik angkat, Mbak menganggap kamu, sebagai Adik kandung Mbak sendiri,"

"Tapi, aku cinta sama Mbak."

Hidih... Ya Tuhan bocah ini, apa yang ada di dalam isi kepalanya, kenapa dia mengatakan cinta, dari mana anak kecil seperti dia tau soal begitu?

Apa mungkin pengaruh dari teman-teman sepermainannya. Atau karena dia kebanyakan nonton FTV di saluran satu untuk semua.

"Ah Bimo, jangan ngawur kamu!" sergahku. "Kamu ini baru kelas empat SD, tau dari mana kamu tentang cinta?" lanjut ku, seraya mengacak rambutnya yang agak gondrong.

 Anak ini memang susah sekali jika aku menyuruhnya memangkas rambut, harus di bujuk dulu kadang dari pagi sampai sore.

Itu juga kalau berhasil, kalau tidak ya sudah, nunggu ketua kelasnya yang memotong rambut Bimo.

"Ya aku tau lah Mbak, arti cinta itu apa, tayangan di TV juga banyak, bahkan anak-anak sekolah banyak yang pacaran."

Wardaw ampun deh ah... Rasanya aku pengen ngunyah sirih terus ku semburkan sama Bimo biar dia sadar dari gurauannya.

"Astaghfirullaah, Bimo." Aku mengelus dada. "Ini udah malam, tidur sana! Besok bangun pagi, jangan lupa solat subuh, kamu udah gede, sudah wajib belajar solat!" sanggah ku, di tutup dengan cubitan di pipinya.

"Sakit!" Bimo mengelus bekas cubitan ku.

"Lagian," pungkas ku. 

Lebih baik aku segera pergi, menghindari perkataan dia yang belum pantas ia ucapkan.

Cinta dia bilang, aku aja belum tau itu cinta seperti apa, manis atau pahit, ataukah rasanya nano-nano, aku tak tau, karena aku masih jomblo, Bimo yang selalu melarang aku punya pacar.

"Mbak gak konsisten, tadi bilangnya aku masih kecil pas ngomong cinta, kenapa sekarang bilangnya aku udah gede ketika nyuruh aku sholat?"

"Kalau untuk cinta-cintaan, kamu memang masih kecil, belum umur, tapi kalau untuk belajar melaksanakan kewajiban, kamu sudah harus karena sudah mulai gede, belajar itu harus sedini mungkin, biar nanti ketika sudah dewasa jadi terbiasa, gak usah di suruh-suruh lagi untuk beribadah," ujar ku panjang kali lebar kaya danau Toba.

"Oh, kan aku juga rajin, ibadahnya Mbak,"

"Solat subuh, kamu jarang, apalagi hari Minggu, bablas tidur sampe jam sepuluh, udah tidur sana! Takut kesiangan!"

 Aku mengangkat kedua bahunya ke atas dan menggandengnya ke tempat tidur. Lalu aku menekan pundak Bimo agar dia merebah. 

"Mbak, aku belum ngantuk!" sergahnya.

"Jangan banyak protes! Tuh liat jam berapa?" ucapku mendongak seraya menunjuk ke arah jam dinding.

"Jam, setengah sepuluh Mbak,"

"Udah gak usah bantah!" Aku menyelimuti tubuhnya, lalu mencium keningnya sebagai rasa sayang kakak kepada adiknya.

"Ih, Mbak, galak!" protes Bimo, sembari mengerucutkan bibirnya.

"Tidur ya Dek, besok pukul setengah lima pagi, Mbak bangunin untuk solat bareng, sekarang Mbak juga mau tidur, udah ngantuk."

Related chapters

  • Adik Angkat   Bab 0.6

    Lantunan adzan subuh berkumandang di Masjid yang letaknya tak jauh dari kediaman kami, jaraknya sekitar tiga puluh meter dari rumah ini.Aku mengerjap seraya mengucek mata, ku lirik jam di atas nakas menunjukkan pukul setengah lims pagi, ku bergegas menuju kamar mandi untuk membasuh muka lalu mengambil wudhu.Setelah bersuci, ku buka lemari pakaian dan mengambil mukena yang berada di hanger, ku kenakan untuk menutupi seluruh aurat ku.Mukena sutra berwarna putih dengan bordir warna emas di setiap ujungnya, mukena ini peninggalan almarhumah ibu, aku selalu mengenakannya setiap aku menjalankan kewajiban yang lima waktu.Aku menuju kamar Bimo, kamar kami berada di lantai dua letaknya berdampingan, ku buka kamar Adikku yang tak pernah di kunci sehingga aku mudah jika aku masuk ke kamarnya untuk membangunkan dia."Dek," ucapku sambil menekan saklar lampu, seketika ruangan itu menjadi terang.Matanya mengerjap karena silau dari cahaya

  • Adik Angkat   Bab 0.7

    Aku banyak belajar tentang segala hal dari dia, yang belum pernah aku mengerti dan tidak aku fahami."Kita mulai! bismillahirrahmanirrahim," ucap Om Doni. Aku pun mengikutinya. "Bimo, kamu membaca Qomat!"Bimo pun mulai membaca Qomat sebelum melaksanakan shalat berjama'ah, Dua raka'at kami sudah menjalankan perintahnya.Selepas melaksanakan kewajiban, Om Doni mengambil Al-Qur'an yang berada di rak, dia memberikannya pada kami satu persatu, dan mengajak kami tadarusan meskipun satu atau dua ayat.Dia selalu berpesan, kami harus sering membaca ayat suci Al-Qur'an, apalagi di malam Jum'at selepas Maghrib, dimana para orangtua kita yang sudah tiada mengharap kiriman do'a dari keturunannya."Bimo, Tia, kalian kan sudah besar, jadi kalian harus bisa jaga diri! Apalagi Om sebentar lagi tidak tinggal di sini," ucap Om Doni."Iya Om, kami ngerti," sahutku sembari mengangguk."Jaga Bimo dengan baik! Om percaya kamu bisa membimbing Adik mu, Bimo, k

  • Adik Angkat   Bab 0.8

    Awal pekan adalah awal semangat baru untuk menyambut hari. Ku lirik jam di pergelangan tangan, menunjukkan pukul enam lewat lima belas menit masih banyak waktu luang, untuk sarapan dan beres-beres, aku selalu bagi tugas sama Om Doni soal pekerja'an di rumah ini, kecuali Bimo anak manja.Ku berdiri di depan cermin, sambil menyisir rambut ku yang panjangnya sebahu, ku sematkan jepitan warna silver berbentuk love, di sisi kiri bagian atas kepala.Aku sudah siap untuk mencari ilmu di SMU Karunia Bakti, ku kenakan baju kebangaga'an ku, seragam putih abu-abu dan sepatu hitam dengan sedikit garis putih menyamping, di setiap sisinya.Lalu kuraih tas selempang berwarna hitam, yang sudah ku siapkan di atas meja belajar, tempat ku membawa semua alat tulis dan perlengkapan sekolah.Ku tatap wajah ini, dengan seksama, aku semakin dewasa, tinggi ku juga sudah bertambah, Mungkin tinggi badanku sekitar 158 cm.Aku baru sadar tak lama lagi usiaku mengin

  • Adik Angkat   Bab 0.9

    "Bimo, kamu ini, ngomong apa sih? Om Doni terlalu dewasa buat Mbak, lagian dia juga udah punya calon istri, dia kan Om kita, aneh kamu!""Tapi Mbak, kalau Om Doni belum punya calon gimana, Mbak mau sama dia?"Aku menggaruk tengkuk yang tentunya tak gatal, aku mengalungkan tangan di leher bocah kelas empat SD ini."Bim, kamu tu ya kalau ngomong, fikir dulu dong sedikit! Usia Mbak sekarang tujuh belas tahun, menginjak delapan belas. Sementara Om Doni sudah tiga puluh tahun. Mbak mentargetkan untuk menikah di usia dua lima, kalau ketemu jodohnya," seloroh ku."Jadi kalau sama Om Doni, ya... ketua'an, buat mbak," lanjut ku."Oh, kalau Mbak nanti nikahnya sama aku gimana? Mau gak? Apa ke muda'an aku nya, buat mbak," celetuk Bimo.Aku tertegun jantung ku seakan mencelos sesa'at ingin ku jitak kepala ini bocah, tapi aku ingat dia anak yatim-piatu, kata teman-teman, gak boleh jitak anak seperti Bimo nanti dosa, dan kualat."Mau enggak Mbak, Ka

  • Adik Angkat   Bab 10

    "Bimo, enak banget kan, nasgornya? seperti buatan mamang nasi goreng profesional, yang setiap malam keliling di depan rumah kita," ujarku namun Bimo diam seribu bahasa tak ada komen dari bibir mungilnya.Om Doni terheran dengan sikap Adikku yang berubah, tak seperti biasanya."Bimo, kamu kok diem aja dari tadi, ada apa Nak?" tanya Om Doni sambil mengusap bahunya."Gak kenapa-kenapa, aku baik-baik aja Om," jawab Bimo datar.Mood anak ini sedang tidak baik, hanya karena aku tadi salah ngomong, niat ku bercanda eh... dia malah marah, dasar bocah gampang tersinggung.Baperan terlalu peka dan sensitif seperti ibu hamil saja, rutuku dalam hati tak berani aku ngomong di hadapannya nanti dia bertambah ngambek.Setelah sarapan selesai kami pun berangkat sekolah dengan di antarkan oleh Om Doni. Gedung tempatku menimba ilmu tak jauh dari sekolahan Bimo hanya terhalang jalan raya.Kami berdua berpamitan pada Om, dan mencium punggung tangannya berg

  • Adik Angkat   Bab 11

    "Tia, itu adik mu kan?" tanya Mas Rio menoleh pada Bimo yang duduk menekuk lutut di bawah tiang listrik."He'em," jawab ku setelah turun dari sepeda motor Mas Rio."Dia lagi ngapain, di situ?" tanyanya lagi setengah berbisik, seraya mencondongkan tubuhnya ke arahku."Gak tau, mungkin dia lagi nunggu tukang Bakso!" jawabku sekenanya, lalu merapikan rambut ku yang acak-acakan karena terkena angin saat di perjalanan pulang."Ouwh," balas Mas Rio turun dari sepeda motornya, sembari melepas jaket jeans dan menyampirkan di lengan kirinya.Aku menoleh pada Bimo yang acuh tak acuh dengan kedatangan ku, tumben dia cuek melihat aku pulang bareng Mas Rio tak seperti biasanya.Dia gak ngeliat aku, apa pura-pura gak lihat, tapi, ah masa segede gini gak kelihatan, tatapannya mengedar ke kanan dan kiri, sambil manggut-manggut, entah apa yang dia lihat, gayanya sok cool lagi, membuat aku geleng-geleng."Bimo," panggilku sambil mendekat ke arahnya. Dia

  • Adik Angkat   Bab 12

    "Tia," ucap Mas Rio pelan, aku mengangkat wajah dan menatapnya."Iya Mas, ada apa?" tanya ku."Eum, ada yang ingin Mas katakan!" ucap Pria berkaos putih dan celana jeans, dia menggosok telapak tangannya, sambil menarik napas panjang, sepertinya dia gugup, apa yang mau dia katakan sehingga membuatnya begitu terlihat canggung."Ya, ngomong aja!" ujarku mengangkat kedua bahu."Tia, mungkin ini saatnya, setelah beberapa waktu menunggu, Mas ingin_" Mas Rio mengatup bibirnya seraya mendongak menatap ke arah pintu dapur."Apa?" tanyaku ingin tau. Mas Rio diam lalu menunduk."Ah, mungkin lain kali," ucap Mas Rio pelan, lalu menggigit bibirnya, aku pun menoleh ke arah tatapan Mas Rio tadi."Bimo," gumam ku pantesan, mas Rio mengatup kembali bibirnya."Kopinya sudah jadi." Bimo berjalan ke arah kami sambil membawa nampan."Sini Bim!" ajak Mas Rio melambai kecil."Iya, siap Mas," balas Bimo, dia meletakan nampan di atas meja

  • Adik Angkat   Bab 13

    Si Bimo bener-bener bikin aku naek darah, apa... coba maksudnya, pake ngerjain Mas Rio segala. Gak manusiawi banget, aku kan jadi merasa sangat bersalah, sama dia.Ku ambil gelas yang ada di hadapanku, isinya masih utuh belum sama sekali aku sentuh."Mas, ini minum coklat ku! Biar mulut mu gak keasinan!" ucap ku seraya menyodorkan gelas berisi coklat dingin, semoga saja rasanya manis gak di kasih garam oleh Bimo, gak mungkin juga sih, masa dia mau mengerjai kakaknya."Gak usah Tia! Mas gak apa-apa," sergahnya. Aku kasihan melihat Mas Rio, yang meringis karena minum kopi campur garam, dasar bocah kurang kecut.Ku letakan kembali gelas berisi coklat tersebut di meja, karena Mas Rio menolaknya, mungkin dia trauma dengan kejadian tadi.'Awas saja nanti, akan ku balas dia dengan cara halus' batinku menggerutu."Sorry banget ya Mas! kamu udah di jahilin Adikku." Ku menangkupkan kedua telapak tangan, sembari menunduk penuh sesal."Hm, gak usa

Latest chapter

  • Adik Angkat   29

    Setelah beberapa saat aku membujuk Bimo untuk turun dan bergabung di acara yang begitu penting bagiku, adik lelakiku akhirnya mau juga. Kami berjalan beriringan menuruni tangga menuju ruang tengah, tanpa ada suara dari bibirnya sama sekali. Bimo sepertinya enggan untuk mengeluarkan sepatah kata pun, meski aku mengajaknya ngobrol, untuk mencairkan suasana."Ayo duduk sini, Bimo!" ajak om Doni menepuk karpet bludru warna coklat bermotif raja hutan, yang menjadi alas duduk. Setelah kami sampai di lantai dasar. Aku membimbing adikku untuk duduk di sisi lelaki berbaju Koko putih dan celana bahan tersebut."Makasih, Mbak," jawab Bimo datar."Iya, Bim. Mbak ke sana dulu, ya," kataku seraya menunjuk dengan dagu ke arah Tante Amira yang berada tak jauh dari Om Doni."Bimo, tak usah cemberut, gitu. Wajahmu, jelek, tau!" ejek Om Doni tersenyum tipis, seraya mengelus bahu Bimo.Sedikit merundukkan tubuh dengan sopan saat aku berjalan menuju Tante Amira, lantas aku duduk di samping perempuan berb

  • Adik Angkat   Bab 28.

    Setelah Mas Rio berpamitan untuk pulang, aku pun menyusul Bibi ke kamar Bimo, ku langkahkan kaki berpijak di lantai keramik berwarna putih, berdiri di ambang pintu seraya mengetuk pelan dan meminta izin Bimo, untuk ku masuk ke dalam kamarnya."Masuk Mbak," ucapnya, tanpa menoleh ke arah ku. Saat aku masuk ke dalam, dia membalikkan badannya menyembunyikan wajah dari tatapanku.Bibi mengangguk di barengi senyuman kecil, dan bangkit meninggalkan Bimo bersama ku. Kaki ku berderap mendekati bocah berambut agak gondrong belah samping ini, ku duduk di tepian ranjang menatap dia yang tertunduk dan masih membelakangi ku."Bim, gimana keputusan kamu, apa kamu mengizinkan Mas Rio untuk melamar Mbak besok malam?" tanyaku ragu. Tangan kiri ku menggapai pundaknya lalu mengusapnya dengan lembut.Dia menganggukkan kepalanya pelan, "Iya Mbak, aku setuju moga bahagia ya! Ku harap, kamu masih mau menganggap ku adik!" ujar Bimo lirih. Bagaimana dia bisa m

  • Adik Angkat   Bab 27.

    POV Bimo."Mbak Tia, aku mencintai kamu," teriak ku, seraya masuk ke dalam kamar dan menutup kembali pintu dengan membantingnya.Ku hempaskan tubuh ke atas tempat tidur, dengan posisi menelungkup, ku peluk guling dan ku tutup wajahku dengan sebuah bantal. Sesak nafas ku saat ini yang ku rasa, melihat Mas Rio dan Mbak Tia semakin dekat.Terlebih tadi, ucapan Mas Rio yang meminta izin ku, untuk merestui hubungan mereka, hati ku terasa di hujam sebilah pedang, mendengar penuturan Mbak Tia yang ingin segera menikah dengan Mas Rio."Kenapa Mbak? Kenapa kamu tidak mengerti perasaanku, aku begitu mencintai mu," lirihku di sela isak tangis, dengan hati terasa teriris, perih, sunguh perih hati ini, dengan kenyataan yang ada di hadapanku, Mbak Tia akan menjadi milik orang lain, aku berusaha menepis perasa'an yang salah ini. Dan berusaha meredam rasa cinta ku pada Mbak Tia.Sedari dahulu aku memang mencintainya aku selalu berusa menghalangi hubungan Mba

  • Adik Angkat   Bab 26.

    "Apa ini artinya, kamu setuju Bim? Dan kamu merestui hubungan Mbak sama mas Rio," ucap ku penuh harap. "Iya, aku setuju. Aku gak berhak melarang-larang Mbak, lagian aku ini bukan siapa-siapanya Mbak, bahkan kita gak ada hubungan darah. Dan tak lebih, dari seorang adik angkat, aku ini hanya orang lain," ujar Bimo lirih, dengan wajah tertunduk, dari nada suaranya begitu lesu menyiratkan kekecewaan yang mendalam. "Maksud kamu, apa sih Bim?" Aku mengernyitkan dahi seraya menatap lekat wajahnya yang tampan, bak Oppa Korea. "Bimo, meskipun kita bukan saudara kandung, bahkan bukan kerabat sama sekali, tapi bagi Mbak, kamu adalah adik Mbak satu-satunya, jangan sebut kata orang lain lagi! Mbak gak suka kamu berkata seperti itu! Mbak sangat menyayangi kamu." Ku ayunkan tangan mengsap punggung bocah tujuh belas tahun ini dengan lembut, berharap bisa menyentuh dan meluluhkan hatinya. Bimo bangkit dari duduknya, ku mendongak lalu berdiri dan memegang bahuny

  • Adik Angkat   Bab 25.

    "Diiih... Malah melamun lagi kamu. Mikirin apa lagi sih?" tanyanya Mas Rio menepuk bahu ku, membuatku tersentak kaget. "Hm, gak mikirin apa-apa," sanggah ku menatap spontan ke arahnya. "Jadi gak cari Bimo? Tar keburu malam loh, udah nunggunya kelama'an, dandannya gak kelar-kelar, kaya mau kondangan aja, sekarang malam bengong mulu," protesnya menggerutu. "Baru setengah sembilan juga, masih sore kali Mas," balas ku melirik benda yang melingkar di pergelangan tangan ku. "Emang gak boleh apa, calon istrinya tampil cantik?" sambung ku seraya mengangkat alis. Aku selalu ingin tampil cantik di depan Pria berjaket jeans ini, entah kenapa aku merasa tidak percaya diri jikalau tidak bersolek sebelum menemui dia, meskipun hanya bertemu sebentar dan perginya pun bukan ke tempat yang jauh. "Tentu boleh, kamu memang calon istri idaman," ucap Mas Rio, balas menaikan alisnya kilas. "Tapi jangan kebanyakan bengong, ayam tetangga aja epilepsi loh,

  • Adik Angkat   Bab 25.

    "Diiih... Malah melamun lagi kamu. Mikirin apa lagi sih?" tanyanya Mas Rio menepuk bahu ku, membuatku tersentak kaget."Hm, gak mikirin apa-apa," sanggah ku menatap spontan ke arahnya."Jadi gak cari Bimo? Tar keburu malam loh, udah nunggunya kelama'an, dandannya gak kelar-kelar, kaya mau kondangan aja, sekarang malam bengong mulu," protesnya menggerutu."Baru setengah sembilan juga, masih sore kali Mas," balas ku melirik benda yang melingkar di pergelangan tangan ku. "Emang gak boleh apa, calon istrinya tampil cantik?" sambung ku seraya mengangkat alis.Aku selalu ingin tampil cantik di depan Pria berjaket jeans ini, entah kenapa aku merasa tidak percaya diri kalau tidak bersolek sebelum menemui dia, meskipun perginya hanya sebentar."Tentu boleh, kamu memang calon istri idaman," ucap Mas balas menaikan alisnya kilas. "Tapi jangan kebanyakan bengong, ayam tetangga aja epilepsi loh, karena melam

  • Adik Angkat   Bab 24.

    Ku ambil kembali kertas yang sama menggulung kusut di dekat ranjang, lalu duduk di tepiannya dengan kaki menjuntai, dan ku buka perlahan dengan tangan gemetar gulungan kertas tersebut, kemudian ku baca dengan seksama. "Mbak Tia, apa kamu masih ingat dengan janji mu, sama almarhum ibu? Kamu bilang, tak kan pernah meninggalkan ku untuk selamanya, dan akan selalu menjagaku sampai kapan pun. Tapi, kenapa kamu malah mencintai orang lain, dan berniat membina rumah tangga dengan Mas Rio, orang yang paling tak aku sukai, aku benci Mbak Tia!" Sontak membuat hati ini sesak sesaat setelah membacanya. Ku menengadahkan wajah seraya memejamkan mata, ku genggam erat kertas tersebut dalam pelukan. "Ma'afin Mbak Bim! Mbak cuma menganggap kamu sebagai adik, tak lebih, gak mungkin juga Mbak membalas cinta kamu, itu sangat mustahil!" Tak terasa air mata ku menetes, mengingat ucapan ibu dahulu, beliau meminta ku menemani dan m

  • Adik Angkat   Bab 23

    *"Non, jadi den Bimo." Bi Ijah menggantung kalimatnya. Dia nampaknya mengerti dengan perkataan, yang aku ucapkan barusan. Aku duduk di kursi berhadapan dengan Bi Ijah."Iya Bi," jawabku pelan, seraya melipat kedua tangan di meja."Terus, perasa'an Neng Tia sama den Bimo gimana?" tanyanya serius. Aku menggeleng pelan sembari memajukan bibir bawah."Ya, aku sih, sayang sebatas Kakak sama adiknya, gak lebih, aku benar-benar bingung Bi, gak tau harus bagaimana menjelaskan pada Bimo, agar dia mengerti," ucap ku, menoleh padanya, satu tanganku terangkat dan menopang dagu."Maksud Eneng?" Bi Ijah menatapku dengan alis bertaut."Bimo, menginginkan," ucap ku ragu. Ku hela nafas pelan. Bi Ijah semakin serius menatapku, dengan tatapan penuh tanya."Kenapa Neng?" Dia memegang seraya mengusap punggung tangan ku."Aku bingung, harus berkata apa sama Bimo, yang jelas, setiap kali Mas Rio berniat ingin menyambangi rumah ini, bersama kedua

  • Adik Angkat   Bab 22

    *Aku tak berhasil menghalangi dan mencegah langkah Bimo, dia malah mengabaikan panggilan ku, dan pergi melengos begitu saja meninggalkan ku yang terpaku di teras menatap dia berlalu.Helaan nafas keluar dari mulutku. Aku tak mengerti sampai kapan Bimo akan bersikap seperti itu, mengapa dia se-posesif ini, ku kira semakin dia dewasa, sikapnya juga akan lebih dewasa.Namun, aku salah menduga, dia masih sama seperti dulu, malah sekarang lebih posesif lagi, bahkan dia melarang niat baik ku dan Mas Rio, untuk melanjutkan hubungan kami ke jenjang pernikahan.Perasaan kesal pada sikap bocah itu sudah menggerogoti hati ku, lebih baik aku kembali ke ruang makan, untuk membereskan bekas kami makan, bahkan nasi pun belum masuk semua ke perut ku, nafsu makan ku mendadak hilang karena sikapnya yang membuatku muak."Neng," ucap Bi Ijah menghampiri ku, saat aku hendak membereskan piring beserta laluk pauk yang berada di meja, bahkan masih tertata dan m

DMCA.com Protection Status