Aku berdiri di depan kamar Bimo, yang letaknya berdampingan dengan kamar ku.
"Bimo, kamu lagi ngapain, udah tidur belum?" panggil ku dari depan kamar sambil mengetuk pintu. "Mbak masuk ya! Boleh gak!"
Tak ada jawaban, apa anak ini udah tidur baru saja jam setengah sembilan malam, masa dia sudah tidur.
Aku memutar kenop pintu lalu membukanya, berderap masuk ke kamar Bimo, dia berada di meja belajar melipat kedua tangannya seraya membenamkan wajahnya di antara lengan.
Ku mendekat dan berdiri di sampingnya, "Bimo, kamu kenapa Dek? Kok nangis? Masa jagoan cengeng," ucapku sambil mengusap punggungnya. Dia mengangkat kepalanya mendongak menatap wajahku.
"Mbak, aku kangen Ayah dan Ibu," lirih Bimo, wajahnya begitu sayu ku melihat kesedihan yang mendalam di mata indahnya, dia sangat merindukan kedua orangtua yang sangat ia sayangi.
"Iya, sama, Mbak juga kangen Ayah dan Ibu, tapi kamu jangan sedih dong! Kan ada Mbak disini, yang selalu ada untuk kamu." Aku mencondongkan tubuh dan memeluknya.
Hatiku teriris melihat Bimo kecil menangis, dia sering merasakan kesepian kala teringat orang tuanya yang sudah lama tiada.
Aku juga merasa yang ia rasakan, kami sangat kehilangan, juga merindukan ayah dan ibu. Meskipun aku bukan anak kandungnya tapi aku menganggap mereka lebih dari orangtua ku sendiri.
Aku telah mendapatkan kasih sayang yang sangat besar dari orangtua Bimo, sekarang giliran aku yang harus menyayanginya dan menjaganya sepenuh hati.
"Mbak, kenapa Tuhan tak adil pada kita? Orang tua kita bukan orang jahat, tapi kenapa mereka merampas ayah dan ibu dari kita Mbak?" ucapnya di sela tangisan, hatiku sesak mendengar ucapan anak ini.
"Shhh..." Aku mendesah nafasku sesak, aku menepuk-nepuk punggung Bimo dengan lembut.
"Dek, kamu jangan bicara seperti itu, kamu masih inget kan, apa kata Pak ustadz, kita jangan sekali-kali mengatakan tuhan itu tidak adil! nanti kita berdosa, Tuhan maha adil Dek, jangan su'udzon padanya, kita harus selalu husnudzon! Harus berbaik sangka," terang ku agar Bimo tak selalu mengeluh dan menyalahkan takdir.
Hatiku juga terluka bila teringat kejadian itu, tangis Bimo mengiringi setiap malam kami, semenjak kepergian ayah dan ibu dunia ini terasa sepi dan hampa,
Tapi aku harus kuat demi Adikku. Meski ada Om Doni yang menemani kami namun dia tak seperti ayah dan ibu. Mungkin karena dia pria lajang yang belum paham mengurusi anak-anak seperti kami.
"Tapi Mbak, kita udah gak punya orangtua, Om Doni sebentar lagi pindah dari rumah ini, masa kita tinggal berdua? Aku gak mau Mbak, aku takut, nanti ada penjahat lagi masuk ke rumah ini."
Rupanya Bimo masih trauma dengan kejadian beberapa tahun lalu, sama aku juga masih trauma, namun aku selalu melawan rasa takut itu, aku selalu di ajarkan harus menjadi wanita yang kuat dan tangguh oleh ibu panti.
Ibu panti selalu memberi nasehat, sampai sekarang aku selalu mengingatnya, ketika aku menangis karena aku anak yang tak di harapkan oleh orangtuaku.
Namun beliau selalu mengatakan bahwa aku ini gadis yang kuat, belasan tahun yang lalu aku di temukan dalam tong sampah di bawah guyuran hujan, dengan tubuh menggigil dan kedinginan.
Katanya kondisiku sangat memprihatinkan dan kritis, tapi aku bisa melawan rasa sakit ku, aku tangguh, dan harus kuat, itulah yang selalu di tanamkan oleh ibu panti dalam diri ini.
"Bimo, dengerin Mbak, meskipun kita tinggal berdua di rumah ini, tapi Mbak yakin kamu berani, kamu anak yang hebat, lagian penjahatnya kan sekarang masih di penjara, jadi gak mungkin, dia kembali lagi kesini,"
"Iya Mbak, ku harap seperti itu, tapi Om Doni kok tega ya sama kita? Apa dia sudah tak mau lagi menemani kita Mbak?"
"Adek Mbak yang ganteng, Om Doni akan mempunyai keluarga baru, jadi kita gak ada hak untuk melarang dia pergi dari sini!" ucap ku pelan.
"Tapi Mbak, aku takut," lirih Bimo memelukku erat, dia selalu manja padaku meskipun dia kini sudah sudah usia sembilan tahun tapi manjanya sama seperti dahulu.
"Tenang, ada Mbak, tapi kalau kita bicara sama calon istri Om Doni, siapa tau istrinya mau tinggal di sini, tar Mbak yang ngomong dan bujuk dia," ujar ku.Ku melepas pelukan, kedua tangan membingkai wajahnya, ku usap lembut air mata yang membekas di pipi chubby nya dengan ibu jari."Mbak Tia, sayang gak sama aku? Apa Mbak nanti kalau sudah dewasa, terus menikah, Mbak juga mau tinggalin aku,""Gak, Bimo, Mbak gak akan tinggalin kamu sampai kamu dewasa nanti, dan kamu memiliki keluarga sendiri, jikalau suatu saat nanti kamu sudah memiliki pendamping hidup, Mbak baru bisa tenang ninggalin kamu dengan keluarga baru kamu," terang ku panjang lebar."Gak Mbak, aku gak mau punya pendamping hidup,""Loh kok," aku menautkan alis keheranan."Aku mau, Mbak Tia yang menjadi pendamping hidup aku nanti!" ucapan Bimo membuat aku tercengang.Ku menanggapinya dengan senyuman, mungkin dia hanya bergurau, dasar anak kecil, apa yang ada dalam fikirannya, aku ini
Lantunan adzan subuh berkumandang di Masjid yang letaknya tak jauh dari kediaman kami, jaraknya sekitar tiga puluh meter dari rumah ini.Aku mengerjap seraya mengucek mata, ku lirik jam di atas nakas menunjukkan pukul setengah lims pagi, ku bergegas menuju kamar mandi untuk membasuh muka lalu mengambil wudhu.Setelah bersuci, ku buka lemari pakaian dan mengambil mukena yang berada di hanger, ku kenakan untuk menutupi seluruh aurat ku.Mukena sutra berwarna putih dengan bordir warna emas di setiap ujungnya, mukena ini peninggalan almarhumah ibu, aku selalu mengenakannya setiap aku menjalankan kewajiban yang lima waktu.Aku menuju kamar Bimo, kamar kami berada di lantai dua letaknya berdampingan, ku buka kamar Adikku yang tak pernah di kunci sehingga aku mudah jika aku masuk ke kamarnya untuk membangunkan dia."Dek," ucapku sambil menekan saklar lampu, seketika ruangan itu menjadi terang.Matanya mengerjap karena silau dari cahaya
Aku banyak belajar tentang segala hal dari dia, yang belum pernah aku mengerti dan tidak aku fahami."Kita mulai! bismillahirrahmanirrahim," ucap Om Doni. Aku pun mengikutinya. "Bimo, kamu membaca Qomat!"Bimo pun mulai membaca Qomat sebelum melaksanakan shalat berjama'ah, Dua raka'at kami sudah menjalankan perintahnya.Selepas melaksanakan kewajiban, Om Doni mengambil Al-Qur'an yang berada di rak, dia memberikannya pada kami satu persatu, dan mengajak kami tadarusan meskipun satu atau dua ayat.Dia selalu berpesan, kami harus sering membaca ayat suci Al-Qur'an, apalagi di malam Jum'at selepas Maghrib, dimana para orangtua kita yang sudah tiada mengharap kiriman do'a dari keturunannya."Bimo, Tia, kalian kan sudah besar, jadi kalian harus bisa jaga diri! Apalagi Om sebentar lagi tidak tinggal di sini," ucap Om Doni."Iya Om, kami ngerti," sahutku sembari mengangguk."Jaga Bimo dengan baik! Om percaya kamu bisa membimbing Adik mu, Bimo, k
Awal pekan adalah awal semangat baru untuk menyambut hari. Ku lirik jam di pergelangan tangan, menunjukkan pukul enam lewat lima belas menit masih banyak waktu luang, untuk sarapan dan beres-beres, aku selalu bagi tugas sama Om Doni soal pekerja'an di rumah ini, kecuali Bimo anak manja.Ku berdiri di depan cermin, sambil menyisir rambut ku yang panjangnya sebahu, ku sematkan jepitan warna silver berbentuk love, di sisi kiri bagian atas kepala.Aku sudah siap untuk mencari ilmu di SMU Karunia Bakti, ku kenakan baju kebangaga'an ku, seragam putih abu-abu dan sepatu hitam dengan sedikit garis putih menyamping, di setiap sisinya.Lalu kuraih tas selempang berwarna hitam, yang sudah ku siapkan di atas meja belajar, tempat ku membawa semua alat tulis dan perlengkapan sekolah.Ku tatap wajah ini, dengan seksama, aku semakin dewasa, tinggi ku juga sudah bertambah, Mungkin tinggi badanku sekitar 158 cm.Aku baru sadar tak lama lagi usiaku mengin
"Bimo, kamu ini, ngomong apa sih? Om Doni terlalu dewasa buat Mbak, lagian dia juga udah punya calon istri, dia kan Om kita, aneh kamu!""Tapi Mbak, kalau Om Doni belum punya calon gimana, Mbak mau sama dia?"Aku menggaruk tengkuk yang tentunya tak gatal, aku mengalungkan tangan di leher bocah kelas empat SD ini."Bim, kamu tu ya kalau ngomong, fikir dulu dong sedikit! Usia Mbak sekarang tujuh belas tahun, menginjak delapan belas. Sementara Om Doni sudah tiga puluh tahun. Mbak mentargetkan untuk menikah di usia dua lima, kalau ketemu jodohnya," seloroh ku."Jadi kalau sama Om Doni, ya... ketua'an, buat mbak," lanjut ku."Oh, kalau Mbak nanti nikahnya sama aku gimana? Mau gak? Apa ke muda'an aku nya, buat mbak," celetuk Bimo.Aku tertegun jantung ku seakan mencelos sesa'at ingin ku jitak kepala ini bocah, tapi aku ingat dia anak yatim-piatu, kata teman-teman, gak boleh jitak anak seperti Bimo nanti dosa, dan kualat."Mau enggak Mbak, Ka
"Bimo, enak banget kan, nasgornya? seperti buatan mamang nasi goreng profesional, yang setiap malam keliling di depan rumah kita," ujarku namun Bimo diam seribu bahasa tak ada komen dari bibir mungilnya.Om Doni terheran dengan sikap Adikku yang berubah, tak seperti biasanya."Bimo, kamu kok diem aja dari tadi, ada apa Nak?" tanya Om Doni sambil mengusap bahunya."Gak kenapa-kenapa, aku baik-baik aja Om," jawab Bimo datar.Mood anak ini sedang tidak baik, hanya karena aku tadi salah ngomong, niat ku bercanda eh... dia malah marah, dasar bocah gampang tersinggung.Baperan terlalu peka dan sensitif seperti ibu hamil saja, rutuku dalam hati tak berani aku ngomong di hadapannya nanti dia bertambah ngambek.Setelah sarapan selesai kami pun berangkat sekolah dengan di antarkan oleh Om Doni. Gedung tempatku menimba ilmu tak jauh dari sekolahan Bimo hanya terhalang jalan raya.Kami berdua berpamitan pada Om, dan mencium punggung tangannya berg
"Tia, itu adik mu kan?" tanya Mas Rio menoleh pada Bimo yang duduk menekuk lutut di bawah tiang listrik."He'em," jawab ku setelah turun dari sepeda motor Mas Rio."Dia lagi ngapain, di situ?" tanyanya lagi setengah berbisik, seraya mencondongkan tubuhnya ke arahku."Gak tau, mungkin dia lagi nunggu tukang Bakso!" jawabku sekenanya, lalu merapikan rambut ku yang acak-acakan karena terkena angin saat di perjalanan pulang."Ouwh," balas Mas Rio turun dari sepeda motornya, sembari melepas jaket jeans dan menyampirkan di lengan kirinya.Aku menoleh pada Bimo yang acuh tak acuh dengan kedatangan ku, tumben dia cuek melihat aku pulang bareng Mas Rio tak seperti biasanya.Dia gak ngeliat aku, apa pura-pura gak lihat, tapi, ah masa segede gini gak kelihatan, tatapannya mengedar ke kanan dan kiri, sambil manggut-manggut, entah apa yang dia lihat, gayanya sok cool lagi, membuat aku geleng-geleng."Bimo," panggilku sambil mendekat ke arahnya. Dia
"Tia," ucap Mas Rio pelan, aku mengangkat wajah dan menatapnya."Iya Mas, ada apa?" tanya ku."Eum, ada yang ingin Mas katakan!" ucap Pria berkaos putih dan celana jeans, dia menggosok telapak tangannya, sambil menarik napas panjang, sepertinya dia gugup, apa yang mau dia katakan sehingga membuatnya begitu terlihat canggung."Ya, ngomong aja!" ujarku mengangkat kedua bahu."Tia, mungkin ini saatnya, setelah beberapa waktu menunggu, Mas ingin_" Mas Rio mengatup bibirnya seraya mendongak menatap ke arah pintu dapur."Apa?" tanyaku ingin tau. Mas Rio diam lalu menunduk."Ah, mungkin lain kali," ucap Mas Rio pelan, lalu menggigit bibirnya, aku pun menoleh ke arah tatapan Mas Rio tadi."Bimo," gumam ku pantesan, mas Rio mengatup kembali bibirnya."Kopinya sudah jadi." Bimo berjalan ke arah kami sambil membawa nampan."Sini Bim!" ajak Mas Rio melambai kecil."Iya, siap Mas," balas Bimo, dia meletakan nampan di atas meja
Setelah beberapa saat aku membujuk Bimo untuk turun dan bergabung di acara yang begitu penting bagiku, adik lelakiku akhirnya mau juga. Kami berjalan beriringan menuruni tangga menuju ruang tengah, tanpa ada suara dari bibirnya sama sekali. Bimo sepertinya enggan untuk mengeluarkan sepatah kata pun, meski aku mengajaknya ngobrol, untuk mencairkan suasana."Ayo duduk sini, Bimo!" ajak om Doni menepuk karpet bludru warna coklat bermotif raja hutan, yang menjadi alas duduk. Setelah kami sampai di lantai dasar. Aku membimbing adikku untuk duduk di sisi lelaki berbaju Koko putih dan celana bahan tersebut."Makasih, Mbak," jawab Bimo datar."Iya, Bim. Mbak ke sana dulu, ya," kataku seraya menunjuk dengan dagu ke arah Tante Amira yang berada tak jauh dari Om Doni."Bimo, tak usah cemberut, gitu. Wajahmu, jelek, tau!" ejek Om Doni tersenyum tipis, seraya mengelus bahu Bimo.Sedikit merundukkan tubuh dengan sopan saat aku berjalan menuju Tante Amira, lantas aku duduk di samping perempuan berb
Setelah Mas Rio berpamitan untuk pulang, aku pun menyusul Bibi ke kamar Bimo, ku langkahkan kaki berpijak di lantai keramik berwarna putih, berdiri di ambang pintu seraya mengetuk pelan dan meminta izin Bimo, untuk ku masuk ke dalam kamarnya."Masuk Mbak," ucapnya, tanpa menoleh ke arah ku. Saat aku masuk ke dalam, dia membalikkan badannya menyembunyikan wajah dari tatapanku.Bibi mengangguk di barengi senyuman kecil, dan bangkit meninggalkan Bimo bersama ku. Kaki ku berderap mendekati bocah berambut agak gondrong belah samping ini, ku duduk di tepian ranjang menatap dia yang tertunduk dan masih membelakangi ku."Bim, gimana keputusan kamu, apa kamu mengizinkan Mas Rio untuk melamar Mbak besok malam?" tanyaku ragu. Tangan kiri ku menggapai pundaknya lalu mengusapnya dengan lembut.Dia menganggukkan kepalanya pelan, "Iya Mbak, aku setuju moga bahagia ya! Ku harap, kamu masih mau menganggap ku adik!" ujar Bimo lirih. Bagaimana dia bisa m
POV Bimo."Mbak Tia, aku mencintai kamu," teriak ku, seraya masuk ke dalam kamar dan menutup kembali pintu dengan membantingnya.Ku hempaskan tubuh ke atas tempat tidur, dengan posisi menelungkup, ku peluk guling dan ku tutup wajahku dengan sebuah bantal. Sesak nafas ku saat ini yang ku rasa, melihat Mas Rio dan Mbak Tia semakin dekat.Terlebih tadi, ucapan Mas Rio yang meminta izin ku, untuk merestui hubungan mereka, hati ku terasa di hujam sebilah pedang, mendengar penuturan Mbak Tia yang ingin segera menikah dengan Mas Rio."Kenapa Mbak? Kenapa kamu tidak mengerti perasaanku, aku begitu mencintai mu," lirihku di sela isak tangis, dengan hati terasa teriris, perih, sunguh perih hati ini, dengan kenyataan yang ada di hadapanku, Mbak Tia akan menjadi milik orang lain, aku berusaha menepis perasa'an yang salah ini. Dan berusaha meredam rasa cinta ku pada Mbak Tia.Sedari dahulu aku memang mencintainya aku selalu berusa menghalangi hubungan Mba
"Apa ini artinya, kamu setuju Bim? Dan kamu merestui hubungan Mbak sama mas Rio," ucap ku penuh harap. "Iya, aku setuju. Aku gak berhak melarang-larang Mbak, lagian aku ini bukan siapa-siapanya Mbak, bahkan kita gak ada hubungan darah. Dan tak lebih, dari seorang adik angkat, aku ini hanya orang lain," ujar Bimo lirih, dengan wajah tertunduk, dari nada suaranya begitu lesu menyiratkan kekecewaan yang mendalam. "Maksud kamu, apa sih Bim?" Aku mengernyitkan dahi seraya menatap lekat wajahnya yang tampan, bak Oppa Korea. "Bimo, meskipun kita bukan saudara kandung, bahkan bukan kerabat sama sekali, tapi bagi Mbak, kamu adalah adik Mbak satu-satunya, jangan sebut kata orang lain lagi! Mbak gak suka kamu berkata seperti itu! Mbak sangat menyayangi kamu." Ku ayunkan tangan mengsap punggung bocah tujuh belas tahun ini dengan lembut, berharap bisa menyentuh dan meluluhkan hatinya. Bimo bangkit dari duduknya, ku mendongak lalu berdiri dan memegang bahuny
"Diiih... Malah melamun lagi kamu. Mikirin apa lagi sih?" tanyanya Mas Rio menepuk bahu ku, membuatku tersentak kaget. "Hm, gak mikirin apa-apa," sanggah ku menatap spontan ke arahnya. "Jadi gak cari Bimo? Tar keburu malam loh, udah nunggunya kelama'an, dandannya gak kelar-kelar, kaya mau kondangan aja, sekarang malam bengong mulu," protesnya menggerutu. "Baru setengah sembilan juga, masih sore kali Mas," balas ku melirik benda yang melingkar di pergelangan tangan ku. "Emang gak boleh apa, calon istrinya tampil cantik?" sambung ku seraya mengangkat alis. Aku selalu ingin tampil cantik di depan Pria berjaket jeans ini, entah kenapa aku merasa tidak percaya diri jikalau tidak bersolek sebelum menemui dia, meskipun hanya bertemu sebentar dan perginya pun bukan ke tempat yang jauh. "Tentu boleh, kamu memang calon istri idaman," ucap Mas Rio, balas menaikan alisnya kilas. "Tapi jangan kebanyakan bengong, ayam tetangga aja epilepsi loh,
"Diiih... Malah melamun lagi kamu. Mikirin apa lagi sih?" tanyanya Mas Rio menepuk bahu ku, membuatku tersentak kaget."Hm, gak mikirin apa-apa," sanggah ku menatap spontan ke arahnya."Jadi gak cari Bimo? Tar keburu malam loh, udah nunggunya kelama'an, dandannya gak kelar-kelar, kaya mau kondangan aja, sekarang malam bengong mulu," protesnya menggerutu."Baru setengah sembilan juga, masih sore kali Mas," balas ku melirik benda yang melingkar di pergelangan tangan ku. "Emang gak boleh apa, calon istrinya tampil cantik?" sambung ku seraya mengangkat alis.Aku selalu ingin tampil cantik di depan Pria berjaket jeans ini, entah kenapa aku merasa tidak percaya diri kalau tidak bersolek sebelum menemui dia, meskipun perginya hanya sebentar."Tentu boleh, kamu memang calon istri idaman," ucap Mas balas menaikan alisnya kilas. "Tapi jangan kebanyakan bengong, ayam tetangga aja epilepsi loh, karena melam
Ku ambil kembali kertas yang sama menggulung kusut di dekat ranjang, lalu duduk di tepiannya dengan kaki menjuntai, dan ku buka perlahan dengan tangan gemetar gulungan kertas tersebut, kemudian ku baca dengan seksama. "Mbak Tia, apa kamu masih ingat dengan janji mu, sama almarhum ibu? Kamu bilang, tak kan pernah meninggalkan ku untuk selamanya, dan akan selalu menjagaku sampai kapan pun. Tapi, kenapa kamu malah mencintai orang lain, dan berniat membina rumah tangga dengan Mas Rio, orang yang paling tak aku sukai, aku benci Mbak Tia!" Sontak membuat hati ini sesak sesaat setelah membacanya. Ku menengadahkan wajah seraya memejamkan mata, ku genggam erat kertas tersebut dalam pelukan. "Ma'afin Mbak Bim! Mbak cuma menganggap kamu sebagai adik, tak lebih, gak mungkin juga Mbak membalas cinta kamu, itu sangat mustahil!" Tak terasa air mata ku menetes, mengingat ucapan ibu dahulu, beliau meminta ku menemani dan m
*"Non, jadi den Bimo." Bi Ijah menggantung kalimatnya. Dia nampaknya mengerti dengan perkataan, yang aku ucapkan barusan. Aku duduk di kursi berhadapan dengan Bi Ijah."Iya Bi," jawabku pelan, seraya melipat kedua tangan di meja."Terus, perasa'an Neng Tia sama den Bimo gimana?" tanyanya serius. Aku menggeleng pelan sembari memajukan bibir bawah."Ya, aku sih, sayang sebatas Kakak sama adiknya, gak lebih, aku benar-benar bingung Bi, gak tau harus bagaimana menjelaskan pada Bimo, agar dia mengerti," ucap ku, menoleh padanya, satu tanganku terangkat dan menopang dagu."Maksud Eneng?" Bi Ijah menatapku dengan alis bertaut."Bimo, menginginkan," ucap ku ragu. Ku hela nafas pelan. Bi Ijah semakin serius menatapku, dengan tatapan penuh tanya."Kenapa Neng?" Dia memegang seraya mengusap punggung tangan ku."Aku bingung, harus berkata apa sama Bimo, yang jelas, setiap kali Mas Rio berniat ingin menyambangi rumah ini, bersama kedua
*Aku tak berhasil menghalangi dan mencegah langkah Bimo, dia malah mengabaikan panggilan ku, dan pergi melengos begitu saja meninggalkan ku yang terpaku di teras menatap dia berlalu.Helaan nafas keluar dari mulutku. Aku tak mengerti sampai kapan Bimo akan bersikap seperti itu, mengapa dia se-posesif ini, ku kira semakin dia dewasa, sikapnya juga akan lebih dewasa.Namun, aku salah menduga, dia masih sama seperti dulu, malah sekarang lebih posesif lagi, bahkan dia melarang niat baik ku dan Mas Rio, untuk melanjutkan hubungan kami ke jenjang pernikahan.Perasaan kesal pada sikap bocah itu sudah menggerogoti hati ku, lebih baik aku kembali ke ruang makan, untuk membereskan bekas kami makan, bahkan nasi pun belum masuk semua ke perut ku, nafsu makan ku mendadak hilang karena sikapnya yang membuatku muak."Neng," ucap Bi Ijah menghampiri ku, saat aku hendak membereskan piring beserta laluk pauk yang berada di meja, bahkan masih tertata dan m