“Bagaimana, Qai?” Jaya bertanya setelah mengungkapkan rencana yang telah dibuat bersama Dandi. “Bisa, kan?”Bagaimana bisa Qai menolak perintah Jaya kalau begini. Dahulu kala, ia meminta bantuan Jaya untuk membalas dendam pada Lingga dan pria itu setuju. Lantas sekarang, waktunya Qai membalas utang tersebut tanpa bisa menolak.“Bisa, Pa.” Tidak mungkin Qai berkata tidak. Daripada harus dimusuhi papa mertua dan keluarga Sebastian, maka ia mencari aman saja.“Oke!” Jaya tersenyum lebar. “Kamu yang atur skenarionya. Papa tahu beres!”Qai tersenyum, meskipun hatinya penuh keterpaksaan. Sekali lagi, ia akan berhadapan dengan situasi balas dendam dengan keluarga Mahawira. Padahal, Qai sudah ingin berdamai dengan semua hal dan hidup tenang seraya menyambut kelahiran anaknya.“Kalau bisa, besok langsung kita eksekusi,” lanjut Jaya. “Jangan diundur, biar semua cepat selesai.”“Pa.” Qai menggaruk kepala sebentar. “Aku bisa lakuin semua keinginan Papa. Tapi masalahnya, aku tahu pasti jerat hukum
“Maaf, Bu Hera.” Rafa masuk ke ruangan Hera dengan terburu. Matanya memindai meja yang ada di dalam ruangan, lalu menemukan benda kecil yang dicarinya. Rafa mengambil benda tersebut, lalu mengarahkannya pada televisi yang tergantung di sisi dinding. “Dandi diwawancara di depan Mabes Polri, masalah foto-foto Rumi kemarin.”Setelah mendapatkan channel televisi perusahaannya, Rafa memundurkan tayangan yang sempat dilihatnya. “Dia sudah dapatin orang yang disuruh ngantar foto-foto itu ke setiap perusahaan.”“Ini tapping?” Hera menarik kedua tangannya dari keyboard, lalu berdiri dan terpaku.“Yang ini tapping,” terang Rafa. “Dandi ke mabes tadi pagi dan saya sudah konfirmasi ke awak redaksi yang tugas di sana.”Keduanya tidak lagi bicara. Hanya mendengar penjelasan Dandi tentang laporan yang dilakukannya. Dengan seksama, Hera mendengar ucapan Dandi dan mencernanya.“Kalau pesuruh itu nyebut nama Alpha …”“Proses hukum berlanjut,” timpal Rafa.“Glory … skandal lagi.” Hera mendesah dan kemba
Yanti hanya bisa menutup mulut dengan kedua tangan, saat mendengar kejujuran yang diungkapkan Rumi. Syok, karena semua tidak seperti yang terlihat dan Yanti bayangkan.Padahal, keterkejutan Yanti belum juga hilang, karena Rumi ternyata sudah kembali bersama Dandi sejak beberapa hari yang lalu.“Bu …” Rumi melepas tangan Dandi, lalu beranjak dari sofa. Menghampiri Yanti yang duduk di tepi tempat tidur dan berlutut. Rumi merebahkan kepalanya di atas paha sang ibu dan memeluk kedua kaki Yanti. “Aku minta maaf.”Air mata Rumi jatuh begitu saja. Banyak sesal yang menghampiri, tetapi Rumi lega karena sudah mengatakan semuanya pada Yanti. Awalnya memang tidak mudah, tetapi dengan adanya Dandi yang selalu mendukungnya, maka Rumi akhirnya bisa melewati itu semua.“Aku sudah banyak salah dan bikin Ibu kecewa,” isak Rumi dengan nyeri yang begitu menusuk di relung hati.Yanti mematung. Masih mencerna semua cerita Rumi yang sungguh membuat perasaannya campur aduk. Satu hal lagi yang sudah membuat
Dandi melihat Alpha yang baru memasuki lobi Glory tanpa senyum. Dengan percaya diri, ia menghampiri Alpha yang juga berjalan ke arahnya. Dandi sengaja datang pagi-pagi sekali, agar bisa menemui Alpha dan merusak mood pria itu pagi ini.“Aku nggak tahu, siapa yang kamu temui di parkiran Mabes.” Dandi menyerahkan sebuah gulungan map pada Alpha. “Tapi, aku bisa dengan mudah cari tahu, karena aku punya fotonya.” Telunjuk Dandi kemudian mengarah pada map yang berada di tangan Alpha. “Itu data orang suruhanmu, sama kurir yang ngirim foto-foto Rumi ke setiap media. Tapi untuk sementara waktu, kamu nggak akan bisa menjangkau mereka.”Alpha tetap menjaga ekspresi datarnya. Ia membuka map tersebut dan membaca data dua orang yang disebutkan Dandi dengan cepat.“Aku nggak ngerti.” Alpha menutup kembali map tersebut, lalu meletakkan di dada Dandi. “Siapa mereka?”Dandi menarik napas pelan dan mengambil map yang diberikan Alpha. Ia berusaha tenang, meskipun amarah Dandi mulai tersulut.“Tadinya, ak
“Berengsek!” Alpha mengumpat, saat menonton berita di televisi yang ada di ruang kerjanya. Di layar berukuran 32 inci tersebut, terpampang berita penangkapan pelaku penyebar foto-foto tidak senonoh Rumi di media. Dandi benar-benar bergerak cepat dan tidak membiarkan Alpha berpikir barang sejenak.Di layar tersebut, ada wawancara dari pihak aparat, yang menyatakan bahwa kedua orang tersebut hanyalah suruhan. Sementara untuk pelaku utama, mereka sudah mengantongi nama, beserta barang buktinya. Setelah ini, mereka hanya tinggal melakukan proses sesuai hukum yang berlaku.Alpha mematikan televisi dan melempar remote-nya ke sofa dengan kasar. Belum sempat kakinya melangkah, pintu ruangannya terbuka dan Agnes muncul di sana.“Ma—”“Diam, Al!” hardik Agnes sembari berjalan masuk, diikuti Hera di belakangnya. “Sudah lihat berita? Atau sudah baca?”“Langsung ke intinya.” Alpha kembali menyandarkan bokong di sisi meja kerjanya. Tidak jadi kembali ke kursi kerja dan melanjutkan pekerjaannya hari
“Ibu sepertinya butuh istirahat.” Rafa menghampiri Agnes, yang sudah menunggunya di kantin Glory yang berada di lantai atas. Karena jam makan siang sudah usai, maka suasana di lantai teratas gedung tidak terlalu ramai. Agnes sepertinya butuh seseorang untuk berkeluh kesah. Karena itulah, Rafa langsung pergi menjumpai Agnes setelah mendapat panggilan dari wanita itu. “Harusnya memang seperti itu, setelah saya melepas semuanya sama Hera.” Agnes memajukan kursinya. “Tapi, ternyata masalah datang lagi.”Rafa turut prihatin dengan semua kejadian yang menimpa keluarga Mahawira. Jika saja, semua orang yang terlibat mau bersikap rendah hati dan membuang jauh keegoisannya, maka semua ini tidak akan terjadi. “Apa Ibu siap, melihat Alpha ada di penjara?” Agnes menggeleng. Ibu mana yang siap dan tega, melihat anaknya berada dalam masalah lalu jatuh dalam keterpurukan. Namun, Agnes pun tidak mampu melakukan apa-apa.“Siap, nggak siap.” Agnes harus belajar legawa atas musibah yang terjadi. “Kare
“Ini penawaran pertama dan terakhir.” Hermawan Soerapraja, melempar sebuah amplop cokelat di hadapan Alpha. Mendengar Agnes semakin sakit kepala dengan sikap Alpha, akhirnya ia pun turun tangan. Padahal, Hermawan paling tidak mau mencampuri urusan orang lain. Jika saja Agnes bukan kakaknya, maka Hermawan enggan menolong wanita itu.“Penawaran?” Alpha membuka amplop tersebut, lalu membaca dokumen yang baru dikeluarkannya dengan seksama.Semua orang yang mengelilingi meja makan, menunggu dalam diam dan tidak berani berucap apa pun, karena pertemuan malam ini sangatlah krusial. Keputusan yang akan diambil Alpha, akan menentukan bagaimana Hera akan bersikap ke depannya.“Apa ini!” seru AlphaBrak!Hermawan menggebrak meja di detik Alpha menyerukan suaranya. Terang saja beberapa orang lainnya langsung terkejut dengan sikap Hermawan tersebut.“Apa masih kurang jelas!” Hermawan membalas Alpha dengan intonasi yang sama.Alpha mengerjap. Tetap bersikap tenang dan mengangkat dagunya. Meskipun s
“Ini kamarnya Dandi dulu.” Tya masuk lebih dulu, setelah membuka pintu kamar Dandi yang sudah tidak pernah lagi digunakan putranya. “Nggak ada yang diubah. Paling cuma ganti sprei sama dibersihin.”Rumi menelisik kamar Dandi dengan perlahan. Kamar yang simple dan tidak banyak perabotan di dalamnya. Sama seperti kamar yang berada di rumah milik Dandi. Bernuansa minimalis dan hanya meletakkan barang-barang yang perlu saja.Setelah sedikit drama saat melihat rumah, akhirnya Dandi langsung mengajak Rumi ke rumah orang tuanya. Kebetulan, Tya tidak ada acara dan baru akan pergi sore harinya.“Mas Dandi memang nggak punya foto, Ma?” tanya Rumi. “Di rumah juga nggak ada fotonya.”“Haduuh, dia itu kalau difoto susah banget!” seru Tya sembari duduk di tepi ranjang. “Pokoknya nggak fotogenik.”Rumi terkekeh dan baru menyadari mereka berdua tidak memiliki foto mesra berdua di ponsel. Rasya sepertinya punya foto akad nikah Rumi dan Dandi, tetapi situasinya saat itu benar-benar formal. Setelah ini,