"Kak," Karina melepas bibir Justin lebih dahulu."Kalau kamu begini, aku gak ngerti apa yang harus aku rasain tentang kamu," sambungnya."Maaf," kata Justin.Karina sangat kesal dengan pria di hadapannya ini, Karina hanya ingin dengar apa yang Justin rasakan padanya. Bukan bertindak seenaknya tanpa mengatakan apapun, seolah Karina tahu apa yang dia rasakan. Justin terlalu gengsi untuk mengatakan hal kecil yang bisa menjelaskan segalanya.Karina meninggalkan Justin di dapur. Justin sadar apa yang ia lakukan, tapi ia masih tidak mau mengakui kalau ia mulai nyaman berada di dekat Karina. Ia tidak suka Karina bersama Norman, apalagi Norman membawanya pergi. Justin tidak suka saat Karina jauh darinya. Tapi perlu digaris bawahi, bahwa Justin adalah orang yang gengsi. Hanya tiga puluh persen saja kemungkinan ia akan mengatakan pada orang lain tentang apa yang dirasakannya."Kamu masih gak mau ngaku juga?" Alice tiba-tiba datang dan membuyarkan renungan Justin di depan piring-piring kotor."N
"Kalian ngapain?" tanya Norman yang datang tiba-tiba, melihat Justin dan Karina sedang berpelukan. Tentu saja keduanya langsung buru-buru melepas pelukan dramatis itu. Suasana semakin canggung saat Norman mendekat, dan kembali bertanya."Apa yang kalian lakuin di sini malem-malem?" nada bicara Norman agak tinggi dari biasanya, tergolong tinggi dan aneh, antara marah atau sekedar tidak suka atas kedekatan kedua orang di hadapannya.Sesaat kemudian, Karina berdiri."Aku mau ke kamar," katanya. Bukannya menjawab pertanyaan Norman, Karina seperti menghindari pertanyaan itu dengan dalih ia mengantuk, terlihat dari gerak-geriknya yang berpura-pura menguap dan mengucek matanya.Setelah Karina masuk ke kamar, Norman duduk di sebelah Justin."Gue mau tidur," ujar Justin berdiri, tapi tangan Norman menahannya lebih dulu."Elo belum jawab pertanyaan gue," Norman menatap Justin dengan tatapan menginterogasi."Apa? Apa yang elo tanyain ke gue?" Justin seakan dibuat amnesia untuk kejadian beberapa
Pagi ini, stasiun televisi dan radio di seluruh Korea masih membawakan berita mengenai badai di Incheon. Dari layar televisi, terlihat beberapa bangunan yang ambruk karena tersambar petir, untung saja tidak ada korban jiwa dalam badai kemarin. Dan ternyata, perbatasan Seoul dan Incheon juga terkena dampak badai itu meski tidak terlalu parah. Akibatnya, hari ini seluruh perusahaan, sekolah maupun universitas di Incheon berhenti beroperasi.Norman mematikan siaran berita tersebut, kemudian mengusap wajahnya dengan frustasi. Ia memikirkan perkataan Justin semalam, tentang Karina yang tidak akan membatalkan kontrak. Ia bingung harus sedih atau bahagia. Di sisi lain ia merasa lega, karena tidak harus membayar denda, tapi disisi lain Norman merasa sedih karena Karina harus kembali pada Justin menjadi sepasang suami istri, meski hanya bualan.Norman tahu betul Justin dan Karina tidak benar-benar menikah. Karena itulah, Norman berani mengutarakan perasaannya pada Karina, meski
Di tengah perbincangan keduanya, pintu tiba-tiba terdobrak masuk oleh seseorang."Justin!" teriaknya sambil berlari masuk. Ternyata hanya Norman yang tergopoh-gopoh dengan sebuah dokumen di amplop cokelat."Justin!" panggilnya lagi untuk membuyarkan tatapan Justin yang heran."Kenapa sih?" Justin mengerutkan dahinya.Norman menarik nafasnya dalam-dalam, lantas menghembuskannya dengan kasar."Elo dapet job!" ujarnya setengah histeris dengan menyodorkan amplop cokelat itu. Justin agak berbinar dibuatnya, lantas meraih amplop itu. Tulisan pertama yang Justin baca adalah nama sebuah agensi, Starland Entertainment. Nama agensi itu cukup asing bagi Justin, tapi dilihat dari namanya, agensi ini cukup bisa diandalkan.Kertas putih itu menawarkan sebuah peran dalam drama Korea yang menunjuk Justin sebagai peran protagonis utama. Bercerita tentang seorang penakluk monster dan iblis yang ditugaskan ke bumi oleh dewa. Justin membatin, cerita drama ini s
Keesokan paginya, Justin terbangun dari tidurnya yang tak nyenyak. Lehernya terasa sakit karena bersandar pada kursi besi. Pantatnya juga sekarang terasa seperti berbentuk kotak pipih karena terlalu lama duduk. Saat matanya terbuka, orang pertama yang ia cari adalah Karina. Karena terakhir kali ia melihat Karina saat mereka bertengkar semalam, dan Karina pergi, entah ke mana.Terdengar seperti seseorang yang sedang berbincang dari dalam ruangan tempat Norman dirawat. Justin mengerutkan dahinya sejenak."Apa Norman sudah sadar?" tanyanya, yang entah pada siapa."Mungkin aja Karina juga di dalam sekarang," imbuhnya berlari kecil masuk kedalam ruangan. Dan benar saja, ia melihat Norman sedang terbaring, namun sudah siuman, dengan Karina yang duduk di sebelahnya, menyuapi semangkuk bubur hambar buatan rumah sakit.Karina menoleh, lalu kembali memusatkan pandangan pada Norman."Elo udah sadar?" tanya Justin basa-basi, melangkah mendekat."Iya, cu
Di jalanan aspal yang begitu sepi, dikelilingi pohon tinggi yang menjulang, dengan lebar jalan yang hanya bisa dibuat berpapasan satu mobil dengan satu mobil lainnya saja, itupun jarak antar kedua mobilnya sangat tipis.Alice melangkah mundur, menarik baju Justin agar Justin juga ikut mundur. Tubuh pria itu perlahan mencoba bangkit dari aspal yang sudah digenangi cairan kental yang merah pekat. Pria itu sudah berdiri dengan sempurna, menatap wajah Justin dan juga Alice yang terkejut.Kondisinya terbilang seperti zombie. Wajahnya setengah hancur karena tergerus aspal. Darah tidak berhenti keluar dari belakang kepalanya. Bagaimana bisa pria itu masih hidup dan berdiri sempurna sementara tubuhnya terlihat seperti mengalami banyak patah tulang."Justin, dia bukan manusia!" teriak Alice histeris. Justin mencoba tidak panik dengan menenangkan Alice."Kita bertemu lagi, Justin," katanya. Justin tidak mengerti apa maksud dari pria itu. Ucapannya menandakan bahwa Justin pernah bertemu dengan o
Incheon sudah mulai sembuh. Senyum di masing-masing orang sudah nampak terukir meski belum sempurna. Gedung-gedung yang semula porak poranda, kini satu persatu, gedung itu kembali utuh, bahkan beberapa di antaranya berubah menjadi lebih bagus. Sekolah, kantor, universitas dan juga mall-mall kembali dibuka setelah mengalami perbaikan total. Badai tempo hari itu mengubah Incheon menjadi jauh lebih indah sekarang, meski sebelumnya sempat menghancurkan, namun melahirkan suasana baru.Bukan hanya Incheon yang membaik, tapi juga Norman. Manager Justin itu sudah pulang dari rumah sakit, karena mendapat izin atas perawatan yang diambil oleh Dokter William. Wajah Norman sangat bahagia ketika dirinya keluar dari rumah sakit dan melihat Incheon dengan suasana yang berbeda, seperti berada di kota lain."Justin, apa elo gak keberatan kalau apartemen elo ditempatin orang banyak kayak gini?" tanya Norman yang duduk di kursi roda, dengan Justin yang mendorongnya."Apa boleh buat, ini juga buat nebus
"Aku kenal bagaimana aura Lucivher, tapi yang aku rasakan tadi bukan Lucivher.""Dave, aku hanya merasa kalau di sekitarku saat itu adalah Lucivher, tidak ada iblis lain," Pangeran Biru bersikeras bahwa yang ia rasakan adalah Lucivher, bukan iblis lain. Dave menjadi bergeming, apakah firasatnya tentang hal itu ternyata salah?"Mungkin Lucivher sudah semakin kuat, jadi Dave tidak mengenali auranya," sahut Alice, ia tak ingin membesar-besarkan masalah ini, karena ia sendiri juga tidak tahu kebenarannya."Itu mungkin saja," Dave menghela nafasnya."Jadi, kenapa kamu memanggil kami?" tanya Justin pada Dave."Tentang rubah ekor sembilan. Mungkin ini akan sedikit membantu. Rubah ekor sembilan itu memiliki kelemahan yang mudah dikenali, air," jelas Dave."Air? Apa kekuatanku bisa menjadi kelemahannya?" Alice tidak lupa kalau dirinya memiliki kekuatan air."Benar, kamu bisa menjadi kelemahan terbesar rubah ekor sembilan. Selain itu, dia juga tidak seberapa suka terkena cahaya, saat siang dia