Kepala Karina sudah merapat ke kaca di belakangnya. Ia tak tahu harus berbuat apa, Justin membuatnya bingung."Harusnya gini," tangan Justin terangkat, meraih pita yang mengikat rambut Karina, ia menariknya, lantas jatuhlah helai demi helai, hingga rambut Karina tergerai bebas dengan sangat cantik. Karina kehilangan kata-kata, ia tidak menyangka sama sekali, apa yang baru saja dilakukan oleh Justin. Pria itu baru saja melepas ikat rambut Karina. "Aku lebih suka gini," kata Justin memberikan pita merah pada Karina.Sungguh demi seisi bumi dan langit, Karina ingin pingsan sekarang."Udah sana keluar, aku mau ganti baju."Justin membuka lemari di sebelah Karina."Aku gak apa-apa kok di sini." Karina menyengir."Tapi aku yang ada apa-apa, udah sana keluar."Justin memberi gerakan mengusir."Pelit banget jadi suami," Karina menggerutu keluar dari kamar Justin.Karina mendengar suara pintu yang diketuk, sepertinya itu adalah Norman, Karina buru-buru membukanya."Pagi, Kak Norman!" seru Kari
"Rin, kamu jangan bercanda, ya?" Justin kembali menggedor pintu."Kak Justin!" suara dari dalam membuat Norman dan Justin terkejut."Rin, kamu kenapa?" sahut Norman."Aku gak bisa buka resleting baju ini, Kak. Bantuin dong," katanya.Mendengar hal ini, Norman dan Justin menghela nafasnya bersamaan. Mereka lega karena ternyata Karina baik-baik saja."Ya udah aku bantuin ya?" tanya Norman."Bentar, Kak. Aku buka dulu.""Eh, eh, bentar. Mau ngapain elo? Minta bantuan staf di bawah aja," imbuh Justin memegangi knop pintu. Norman menatap Justin untuk beberapa detik, lalu membuang pandangannya."Rin, kamu tunggu bentar. Aku mau cari staf di bawah," ujar Norman lalu meninggalkan ruang pemotretan.Sikap Norman hari ini cukup membuat Justin terganggu, bukan terganggu karena cemburu, tapi Justin juga takut orang lain melihat sikap Norman pada Karina, hal itu tentunya akan membuat orang berspekulasi bahwa hubungan Karina dan Justin sedang tidak baik-baik saja, atau memang tidak pernah menjalani
Justin yang baru saja mendengar itu, langsung berlari menuju gudang. Alangkah terkejutnya Justin karena melihat Karina terbaring di lantai dengan pelipis yang berdarah, di samping kepalanya ada beberapa perkakas yang tergeletak, dan sepertinya benda itu yang jatuh dari rak atas dan membuat Karina terluka. "Rin!" Justin mengangkat tubuh Karina dan melesat menuju basement, ia tak peduli jika orang-orang di apartemennya memergoki Justin sedang menggunakan kekuatan super cepat miliknya.Justin berangkat menuju rumah sakit dengan kecepatan yang tinggi namun sangat hati-hati. Bahkan ia juga mendahului kendaraan-kendaraan besar yang melaju lambat di jalan raya pusat kota Incheon. Darah tidak berhenti keluar dari pelipis Karina, Justin semakin panik dan menginjak pedal gas mobil dengan kencang.Belum sempat terparkir rapi, Justin sudah berhenti dan menggendong Karina ke dalam UGD. Dan untung saja para dokter langsung menangani Karina dengan cepat tanggap."Norman, elo ke rumah sakit Incheon s
Justin terpaksa harus meminta bantuan Dave untuk keluar dari dimensi hampa. "Dave?" Justin memejamkan matanya, mencoba meraih setitik frekuensi yang ada di galaksinya. Tidak ada jawaban, Justin hampir pasrah."Ada apa, Justin?"Justin menengadah, ia mendapat jawaban dari Dave."Aku terjebak di dimensi hampa, tolong bantu aku," ujar Justin."Kamu bisa keluar dengan sendirinya, kamu hanya tidak tau caranya.""Aku mohon, Dave.""Dimensi yang dibuat oleh The Girl From Hell, bukan begitu?""Benar.""Bagaimana kamu bisa melihat The Girl From Hell membangun dimensi ini?"Justin mencoba mengingat kejadian sebelumnya. Ia mengingat wanita itu mengedipkan mata kirinya, dan dimensi ini kemudian muncul."Jika mata kiri untuk membuka dimensi, maka seharusnya?" Dave bertanya pada Justin, mencoba membuat Justin mengerti. "Mata kanan untuk menutup?" sambung Justin. "Benar, kamu harus memiliki niat baik saat mencoba menghapus dimensi itu," balas Dave.Kemudian hening, sepertinya Dave sudah memutus frek
Karina membulatkan matanya sempurna, pria di hadapannya sedang menyatakan cinta padanya sekarang. "Rin?""Karina?""Rin!"Karina tersentak di kasur."Cuma mimpi?!" Karina merengek sembari mengacak-acak kasurnya hingga bantalnya jatuh."Rin!" suara Justin dari luar membuat Karina terkejut, ternyata Justin yang memanggil-manggil sampai Karina bangun dari mimpinya."Kenapa?" Karina membuka pintu."Tolong, masakin sesuatu.""Aku..., lagi gak enak badan. Kak Justin pesen online aja.""Kamu boong, Rin. Kamu marah kan sama aku?""Nggak, Kak. Kenapa marah? Aku gak ada hak buat marah ke Kak Justin.""Ya kalau gitu masakin aku," Justin menggoyang-goyangkan tangannya sendiri seperti anak kecil.Karina menghela nafasnya, "ramyeon instan aja."Karina menerobos Justin dan menuju dapur. Justin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, seenggaknya dia akan mengisi perutnya meskipun dengan ramyeon instan."Habis ngatain, minta masakin," gerutu Karina mengambil ramyeon dari lemari kayu di atasnya."Aku ga
Setelah Justin menyuruh Karina menutup matanya, ia menggunakan kekuatan Chronostasis untuk menghentikan waktu dan seketika semuanya berhenti, kecuali dirinya dan rubah ekor sembilan itu. Justin kembali melihat ke bawah, rubah itu sudah menghilang dari tempatnya.Jujur saja rupa rubah ekor sembilan itu memang sudah berubah, seluruh tubuhnya memiliki bulu hitam dengan guratan-guratan merah menyala.Besar kemungkinan rubah itu sengaja menghilang setelah Justin menyadari kehadirannya, tujuan utamanya yang memancing Justin dari keramaian sepertinya gagal. Karena Justin sadar, ia tidak mungkin meninggalkan Karina sendirian di atas seperti ini.Makhluk itu licik, jika Justin mengejarnya dan meninggalkan Karina sendirian, rubah itu pasti akan berbalik arah dan langsung mengincar Karina, Justin tahu itu."Sialan," umpatnya, seraya mengembalikan waktu semula, menghapus mantra Chrosnostasis. Dengan tiba-tiba, bianglala itu kembali bergerak normal. Sepertinya wahana itu juga berhenti karena ulah
"Rin, kamu mau ngapain?" Justin memundurkan tubuhnya. Karina tetap mendekatkan wajahnya."Rin!" Justin menghalangi wajahnya dengan wajah Karina."Ya, Kak? Cium sekaliii aja, sedikiiit banget," Karina mendekatkan jari telunjuk dan jempolnya."Gak, Rin," Justin bangkit dari sofa dan meninggalkan Karina yang mengerucutkan bibir.Di kamar, Justin melepas kaos hitamnya dan mengganti dengan kaos putih polos, ada tulisan kecil di dada kanannya, yang bertuliskan 'NEW YORK' dan menggunakan boxer."Kayaknya itu rubah emang ngajakin main-main," monolog Justin ketika mengingat rubah itu iseng mematikan mesin wahana yang mereka naiki.Justin kemudian lelap dalam tidurnya, lenyap dalam dunia fantasi di alam bawah sadar. Baru saja ia lelap, ada suara ketukan dari jendelanya, Justin menggerutu."Tapi, unit aku kan di lantai lima belas, siapa yang bisa manjat ke lantai lima belas? Apalagi jendela kamar gak ada pagar atau apapun yang bisa bikin orang dateng dan ngetuk jendela kamar," gumamnya mendekati
Karina terbangun dari tidurnya, ia merasa bahwa tubuhnya sakit semua. Kemudian matanya melirik ke pergelangan tangan, memar itu sudah sepenuhnya hilang. Sejenak Karina tersenyum, lantas senyum itu berubah menjadi wajah kesal karena ia masih mengingat Justin membentaknya.Ia keluar dari kamarnya, dan melihat pintu kamar Justin sedikit terbuka."Tumben," Karina mendekati kamar justin, dan mengintipnya."Ternyata rapih banget," Karina kembali menutup pintu itu."Eh, tapi kok Kak Justin gak ada?" Karina kembali membukanya, dan Justin memang tidak ada di kamar, kamar mandinya juga sedang terbuka yang berarti Justin tidak sedang mandi.Di sisi lain Justin masih mengejar dan mencari keberadaan Ji Hwa dan wanita yang mirip dengan Sin Rose. Justin melihat keduanya berhenti di salah satu resto udang terdekat, dan Justin menyusulnya."Sin Rose!" panggil Justin, wanita yang ia maksud sebagai Sin Rose itu menoleh, dan memiringkan kepalanya."Anda memanggil siapa?" tanyanya kemudian."Anda lagi," J