Justin keluar dari unitnya, namun kembali masuk. Ia seperti orang yang linglung dan kebingungan."Aku ini ngapain sih?" Justin melempar kunci mobil ke sofa."Gak, gak. Jangan bodoh," imbuhnya, seraya mengusap kasar wajah dengan tangan kanannya.Saat ke kamar, Alice tidak ada, sepertinya Alice sudah kembali ke kamar Karina. Justin duduk di pinggir ranjang, pikirannya semrawut, karena sejujurnya ia tidak tahu, di mana letak kesalahannya sampai Karina marah dan memutuskan akan mengakhiri kontrak sesegera mungkin. Justin tahu kalau wanita itu tergila-gila padanya, tapi kenapa sekarang Karina justru meninggalkan Justin tanpa alasan yang tidak Justin mengerti sama sekali. Otaknya kembali memutar momen saat Karina dan Norman berpelukan, ia merasa dadanya agak sesak dan tidak nyaman.Di apartemen Norman, Karina duduk di sofa tanpa mengatakan apapun, ia membisu sejak tadi. Norman tidak bingung, karena ia memang sedang membiarkan Karina untuk menenangkan diri. Norman hanya duduk di sampingnya,
Karina bertanya-tanya, lantas ke mana istrinya? Karina merasa bahwa ada yang tidak diketahui oleh Justin dan dirinya dari Norman. Karina keluar dari kamar dengan membawa foto itu. Tapi, Karina berhenti, ia tiba-tiba mengingat kalau kamar itu dipenuhi kain putih yang menutupi semua benda di dalamnya. Karina mulai berspekulasi bahwa istri Norman sudah tiada, dan niat Karina yang semula menanyakan hal itu, ia membatalkannya, takut membuat Norman merasa sedih.Ia membersihkan kamar itu, tanpa merubah letak benda yang ada di dalamnya.Beberapa menit kemudian, ia mendengar Norman mengetuk pintu dan memanggil nama Karina."Rin?""Kenapa, Kak?" Karina melihat Norman datang dengan semangkuk makanan. Bisa ditebak kalau Norman akan memberikan itu pada Karina."Ini, makan dulu.""Kak Norman jangan repot begini, aku bisa masak sendiri kok," meski begitu Karina tetap mengambilnya, takut membuat Norman merasa kecewa karena Karina menolaknya."
Saat di apartemen, Justin disambut meriah oleh Alice."Aku gak nyangka kalau kamu bakal nekat lakuin itu," Alice tertawa. Justin menatap wanita di hadapannya."Aku cuma gak mau reputasiku hancur.""Reputasi kamu atau hati kamu?""Alice, mending kamu pulang ke galaksi putih, tugas kamu udah selesai bantuin aku nyingkirin Ruin.""Aku bakal pulang kalau Dave udah manggil.""Ck, keras kepala banget," Justin meninggalkan Alice yang berkacak pinggang.Tak lama kemudian, ada suara ketukan pintu, membatalkan niat Justin yang awalnya akan mandi.Justin menyampirkan handuk di bahu kanannya, lantas keluar dari kamar dan menuju pintu utama. Justin agak terkejut dengan seseorang yang datang, karena tamunya saat ini adalah Norman. Keduanya terdiam, saling menatap, tak lama kemudian Norman melayangkan kepalan tangan ke rahang Justin. Tentu saja Justin tersungkur ke lantai.Mendengar ada keributan, Alice keluar. Ia membelalak ketika men
Alice bukan berhadapan dengan Dewa Halilintar sekarang, namun dengan Vetron, sahabat Alice dan Justin di galaksi putih. Vetron memang pemburu iblis dan monster yang terlahir di Nirvana, akan tetapi mengapa wujudnya sekarang menjadi seperti Dewa Halilintar? Ke mana Dewa Halilintar yang sebenarnya?"Vetron!" Alice masih tidak percaya kalau semua kehancuran ini dibuat oleh Vetron. Namun ketidakpercayaan itu musnah saat Alice melihat seringai licik di bibir Vetron yang terukir sempurna."Di mana Dewa Halilintar?!" tanya Alice."Mungkin sudah benar-benar kembali menjadi debu kosmik," jawabnya enteng, seolah pertanyaan Alice tidak penting sama sekali.Alice mungkin bisa melawan Dewa Halilintar jika benar Dewa Halilintar yang melakukan ini semua. Akan tetapi, kenyataan pahit harus Alice terima, bahwa sahabatnya yang sudah berbuat sejauh ini, menghancurkan portal dimensi hampa yang dibuat oleh Justin dan Alice tempo hari itu. Dengan berat hati Alice harus melawan Vetron.Vetron tersenyum, sed
Wanita itu masih bergeming di hadapan Justin. Sementara Justin sendiri tidak mengerti mengapa wanita ini hanya diam saja. Detik berikutnya Justin kembali bertanya."Ibu mendengar saya?""Iya, kamu pikir saya tuli?" jawabnya ketus, sontak Justin langsung memasang wajah datar."Dari tadi ibu diam saja, ya saya tanya," sahut Justin."Ibu ini udah tua, pikun. Ibu tau siapa yang kamu cari, tapi ibu lupa dia terakhir kali ketemu ibu kapan."Justin menghela nafasnya berat, masih memupuk harapan atas keselamatan Karina."Ohh ibu tadi liat dia di depan apartemen, sama yang punya unit ini," katanya kemudian. Justin yang mendengar itu tentu sangat lega dan matanya berbinar, bibirnya mengukir senyum."Terima kasih, Bu!" Justin berlari menuju lantai bawah dan mencari Karina."Karina, kamu baik-baik aja, kan?" gumamnya berlari di tangga darurat, melewati orang-orang yang sedang kebingungan. Tepat di pintu utama Justin berdiri, kedua netranya menatap dua orang di sebrang jalan, Karina dan Norman.Da
Saat sampai di apartemen, Justin merasa ada yang hilang di apartemennya, Alice."Kalian masuk dulu, aku ada urusan," Justin langsung berlari menuju lift. Karina dan Norman saling lempar pandang.Keduanya masuk, dan Karina langsung ngeloyor ke kamarnya, kamar yang pernah ia tempati. Sementara Norman sedang duduk di sofa."Kak Norman, apa aku harus bener-bener mutusin kontrak itu?" tanya Karina tiba-tiba, Norman menoleh."Sejauh ini, hanya kamu sama Justin yang berhak buat kontrak itu. Kalau kamu mau putusin kontrak itu sepihak, it's okay. Lagian kalau kamu terusin, kamu yang bakal kecewa," balas Norman. Ia tulus mengatakannya pada Karina, lantas Karina hanya membalas dengan sebuah senyuman tanpa berkata apapun."Selamat sore, badai yang menerjang Incheon siang lalu menjadi badai terburuk sepanjang sejarah Korea Selatan. Banyak korban berjatuhan hingga mengakibatkan kerugian yang begitu besar. Harap tetap waspada, kita tidak tahu apakah badai itu akan datang lagi."Televisi Korea saat i
"Kak," Karina melepas bibir Justin lebih dahulu."Kalau kamu begini, aku gak ngerti apa yang harus aku rasain tentang kamu," sambungnya."Maaf," kata Justin.Karina sangat kesal dengan pria di hadapannya ini, Karina hanya ingin dengar apa yang Justin rasakan padanya. Bukan bertindak seenaknya tanpa mengatakan apapun, seolah Karina tahu apa yang dia rasakan. Justin terlalu gengsi untuk mengatakan hal kecil yang bisa menjelaskan segalanya.Karina meninggalkan Justin di dapur. Justin sadar apa yang ia lakukan, tapi ia masih tidak mau mengakui kalau ia mulai nyaman berada di dekat Karina. Ia tidak suka Karina bersama Norman, apalagi Norman membawanya pergi. Justin tidak suka saat Karina jauh darinya. Tapi perlu digaris bawahi, bahwa Justin adalah orang yang gengsi. Hanya tiga puluh persen saja kemungkinan ia akan mengatakan pada orang lain tentang apa yang dirasakannya."Kamu masih gak mau ngaku juga?" Alice tiba-tiba datang dan membuyarkan renungan Justin di depan piring-piring kotor."N
"Kalian ngapain?" tanya Norman yang datang tiba-tiba, melihat Justin dan Karina sedang berpelukan. Tentu saja keduanya langsung buru-buru melepas pelukan dramatis itu. Suasana semakin canggung saat Norman mendekat, dan kembali bertanya."Apa yang kalian lakuin di sini malem-malem?" nada bicara Norman agak tinggi dari biasanya, tergolong tinggi dan aneh, antara marah atau sekedar tidak suka atas kedekatan kedua orang di hadapannya.Sesaat kemudian, Karina berdiri."Aku mau ke kamar," katanya. Bukannya menjawab pertanyaan Norman, Karina seperti menghindari pertanyaan itu dengan dalih ia mengantuk, terlihat dari gerak-geriknya yang berpura-pura menguap dan mengucek matanya.Setelah Karina masuk ke kamar, Norman duduk di sebelah Justin."Gue mau tidur," ujar Justin berdiri, tapi tangan Norman menahannya lebih dulu."Elo belum jawab pertanyaan gue," Norman menatap Justin dengan tatapan menginterogasi."Apa? Apa yang elo tanyain ke gue?" Justin seakan dibuat amnesia untuk kejadian beberapa
Sepuluh tahun kemudian."Papa!"Suara nyaring ini memenuhi rumah hingga Karina menutup telinganya. "Jangan teriak-teriak, Papa lagi keluar," jawabnya dengan menyiapkan sarapan di meja makan. "Kakek! Lihat Mama, Mama marahin aku terus," katanya dengan berlari memeluk sang Kakek."Timothy! Mama gak marahin kamu kok, habisnya kamu teriak-teriak terus dari tadi. Makan dulu," Karina duduk di sebelah papanya, yang sekarang menjadi kakek dari putranya yang berusia sepuluh tahun.Timothy Kim, putra pertama keluarga kecil Justin dan Karina. Ia mewarisi kekuatan Justin yang bahkan lebih kuat dari Justin. Tanpa Timothy ketahui, ia bisa membuka segala dimensi hanya dengan memikirkannya saja. Di usianya yang kesepuluh, Timothy meraih juara lomba lari di sekolahnya. Karena pada dasarnya kecepatan lari itu ia warisi dari sang papa. Timothy belum bisa mengendalikan kekuatan yang ia miliki. Karena Justin juga belum memberi tahu putranya kalau putranya itu memiliki kekuatan, dan papanya bukan manusia.
Pernikahan sudah usai, malam ini bukan malam yang ditunggu, melainkan malam yang menegangkan, pasalnya tepat setelah pesta pernikahan selesai, Justin harus dengan berat hati bertarung dengan iblis. Iblis itu rupanya sejak tadi menunggu Justin dan Karina keluar dari Chapel. Dia mengincar Justin karena keberadaan Justin membahayakan iblis dan monster di muka bumi.Karina mondar-mandir di kamar menunggu Justin kembali, ia masih dalam balutan gaun pengantin yang indah, bahkan riasannya juga belum terhapus.Di sisi lain, Justin menghadapi iblis tingkat biasa, tapi cukup membahayakan manusia. Ia tidak memanggil Pangeran Biru maupun Alice. Ia ingin terbiasa melawan makhluk jahat sendirian. Karena ia juga tidak mungkin terus menerus memanggil Alice dan Pangeran Biru untuk membantunya.Untung saja iblis itu bisa disingkirkan oleh Justin secara mudah. Karena tingkat kekuatannya yang tergolong sebagai iblis biasa. Berbeda dengan Ruin, Sin Rose, Rubah ekor sembilan, ataupun iblis Norman yang ting
Hari ini adalah hari pernikahan tanpa persiapan. Papa Karina membuka acara itu dengan membuka identitas Karina sebagai putrinya di depan semua pegawai kantornya. Hana sangat terkejut mendengar itu, karena ia pernah memarahi Karina saat Karina membuat Justin benjol tempo hari itu. Kalau tahu dia anak dari pemilik perusahaan, tentu saja Hana akan diam saja."Saya akan menjadikan Karina sebagai pemimpin, menggantikan saya di Moon interior ini. Saya menaikkan jabatan bukan karena dia putri saya, tapi karena keberhasilannya dalam bekerja yang luar biasa, peningkatan produk dan penambahan produk itu sangat mampu menarik perhatian dari para pecinta interior classic modern. Dan untuk Park Hana, saya ucapkan terima kasih karena telah membantu perkembangan perusahaan ini. Untuk semuanya, saya berterima kasih karena kalian bekerja dengan baik dan jujur, saya harap akan tetap seperti ini meski pemimpin Moon interior akan berganti. Akan ada beberapa orang yang naik jabatan karena memiliki potensi
Karina dan Papanya saling menatap, tak lama kemudian ada suara ketukan pintu yang membuat keduanya berhenti menatap. "Permisi," ujar seseorang dari luar ruangan. "Masuk," balas Karina. Ternyata itu adalah asisten dari papanya. Saat ia masuk, suasana sangat canggung karena raut wajah papanya sangat aneh."Ada apa?" tanya papanya pada sang asisten."Produksi interior jenis vintage dan classic sedang dalam peningkatan, bagaimana dengan kerja sama dengan perusahaan HS Eksterior? Apa perlu diberhentikan?""Tidak perlu, bahas ini di luar saja," balas papanya berjalan keluar dari ruangan, diikuti asistennya yang membawa sebuah dokumen berisi beberapa produk perusahaan yang akan mengalami peningkatan atau pembaruan.Karina langsung menutup pintu saat mereka pergi, lantas mondar-mandir di depan pintu dengan perasaan takut. Karina ingin menjelaskan semuanya saat nanti makan malam, karena ia tahu, kalau papanya akan marah jika tiba-tiba Justin kembali setelah meninggalkan Karina.***Sore datang
Karina masuk ke mobil, begitu juga dengan Martin. Ia membawa mobilnya ke tepi jalan. Karina masih dalam keadaan yang sama, ia terus menanyakan perihal identitas pria bermarga Kim itu."Rin," Martin menghela nafasnya."Apa?""Maaf aku udah bohongin kamu."Karina merasa dunia seperti sedang berhenti, meski tidak ada yang menghentikannya. Netranya menahan genangan air yang menumpuk di pelupuknya. "Jadi, kamu beneran Kak Justin?" tanya Karina, memastikan kalau apa yang ia dengar dari bibir Martin adalah kebenaran.Beberapa detik selanjutnya, pria itu mengangguk. Karina ingin pingsan sekarang. "Tega kamu Kak, bohongin aku kayak gini. Puas kamu?!" Karina membuka pintu, menutupnya dengan keras hingga mobil itu terguncang.Sosok Martin yang ternyata adalah Justin itu keluar, mengejar Karina, karena Karina berjalan dengan langkah cepat. "Rin!" Justin meneriaki Karina, tapi Karina tidak mau tahu, karena ia sudah merasa sedang dipermainkan.Setelah berlari mengejar Karina cukup jauh, Justin berh
Setelah suara misterius di kamar Karina, sontak Karina menyalakan lampu kamarnya, dan orang yang ada di kamarnya saat ini membuat Karina benar-benar terpaku karena kehadirannya yang sangat tidak mungkin."Kak Justin!!!" Karina tentu saja histeris. Ia melotot sampai matanya hampir terlepas. Bahkan Karina menampar pipinya sendiri.Mata Karina mencoba terbuka, dan Karina sadar, itu hanyalah mimpi. "Jadi, ini cuma mimpi?" Karina menyalakan lampu kamarnya, ia melihat ke arah di mana di dalam mimpi itu ia melihat Justin berdiri di sana.Dengan berat hati, Karina mematikan lagi lampunya, meratapi kenyataan yang benar-benar menyakitkan. Harapannya bertemu Justin dalam mimpi terwujud, tapi itu justru membuat hati Karina semakin terkoyak dan tersayat.Kenyataan macam apa ini? Di ambang keputusasaan yang membuatnya menggila. Sejauh tujuh hari ini, ia sudah bisa perlahan terbiasa, tapi sejak ia bertemu Martin, ia gagal lagi untuk melupakan Justin. Mungkin Karina memang membutuhkan waktu yang lama
Waktu berlalu begitu cepat, dan jam sudah menunjukkan pukul tiga sore. Karina menutup laptopnya dan bersiap pulang untuk beristirahat. Karina melihat ada Martin yang sedang berjalan menuju basement, lantas ia berlari untuk menghampiri Martin."Martin!" teriak Karina, Martin berhenti dan menoleh ke arahnya. Tapi ia langsung kembali pergi setelah tahu yang memanggilnya adalah Karina. Pelipis Martin terlihat sedang diperban, dan itu sepertinya akibat benjolan tadi pagi yang dibuat Karina. Karina berlari dengan kekuatan Naruto untuk mengejar Martin."Stop!" Karina kembali menutup pintu mobil Martin saat Martin baru saja membukanya dan akan masuk. "Martin, boleh saya ngobrol sama kamu?"Martin menghela nafasnya dan mengangguk pasrah. "Mau ngobrol di mana?""Di sana," Karina menunjuk sebuah cafe yang terletak di depan kantor. Martin berjalan mendahului Karina setelah meletakkan tasnya di dalam mobil. Karina mengekori Martin menuju cafe tersebut.Setelah memesan makan dan minum, Karina tidak
Sudah sejak tujuh hari lalu, Justin pergi dari dunia Karina. Kini Karina sudah merasa ia bisa hidup meski tanpa Justin. Karena Justin ada di hatinya, untuk ia kenang sebagai mimpi yang terindah. Kemampuan Karina untuk merasakan adanya kehadiran iblis juga semakin sirna. Tidak lagi seperti saat ia bersama Justin, ia bisa melihat makhluk jahat dan merasakan energinya dengan jelas.Hari ini ia pergi ke kantor, tapi terlambat karena taxi yang biasa ia tumpangi, sekarang tidak lewat di depan jalan rumahnya. Karina terpaksa menunggu taxi lebih lama karena tidak ada kendaraan lain. Meski ia memiliki mobil papanya, Karina tidak mau menggunakan itu, ia ingin suatu saat Karina bisa membeli mobilnya sendiri.Selang beberapa menit, ada taxi yang dari kejauhan mendekat ke arah Karina. Karina menghentikannya. Ia lega karena ada taxi yang lewat, bukan apa-apa, ini hari Minggu, jadi sangat jarang taxi yang lewat."Pak, ke kantor Moon interior, ya?""Baik. Minggu-minggu begini kerja, mbak?""Sebenarny
Karina melepas kedua earphone di telinganya. Ia terdiam untuk sesaat, mencoba mendengarkan lagi suara yang memanggil namanya. Suara itu benar-benar tidak asing, lantas ia tergerak untuk keluar kamar, dan melihat siapa yang datang. Saat membuka pintu, Karina agak terkejut karena suara itu memang suara papanya. "Papa? Papa kenapa? Tumben banget," Karina membuka jalan agar papanya masuk."Rin, papa minta maaf," papa Karina menunduk setelah duduk di sofa, tangannya tergerak menyatukan telapak tangan. "Papa kenapa minta maaf?" Karina mendekat. "Selama ini papa udah jahat sama kamu, papa cuman mikirin uang, uang dan uang. Papa gak mikirin kamu sama sekali. Papa minta maaf," katanya dengan nada tersendat karena menahan tangis. "Pa, jangan minta maaf gitu," Karina meraih tangan papanya, dan memeluk pria itu."Papa menyesal lakuin itu semua, papa minta maaf, Rin.""Papa itu papa Karina, papa gak perlu minta maaf sampai kayak gini.""Kamu gak benci sama papa?""Karina emang pernah benci sama pa