"Eh, Pak, Maaf, saya sudah membuat Bapak menunggu." Ujar Ridwan merasa tidak enak hati."Nggak apa-apa, Mas, saya paham ... sepertinya Mas lagi ada masalah keluarga, makanya saya menunggu tadi di depan." Ucap driver ojol itu. "Terima kasih, Pak." Ujar Ridwan."Sama-sama, Mas." Driver ojol itu menjawab dengan senyuman ramahnya.Ridwan akhirnya berangkat menuju tempat dimana ia akan di interview bersama ojol tersebut. Jalanan kota cukup macet, sehingga untuk sampai ke tempat tujuan memakan waktu kurang lebih hampir satu jam. Tepat pukul 09.50 menit Ridwan akhirnya sampai di kantor tersebut. Setelah membayar ongkos dan mengucapkan terimakasih, Ridwan masuk ke dalam untuk menemui bos perusahaan. Terlihat dari luar bangunan gedung kantor yang cukup megah dari luar. Ridwan membawa langkahnya masuk ke dalam. Baru sampai di depan pintu masuk, Ridwan sudah di sambut oleh resepsionis kantor dan menyapa ridwan dengan ramah. "Selamat pagi, Pak, ada yang bisa kita bantu?" tanya perempuan itu
"Bagaimana, Pak Ridwan? Saya sebenarnya Sudah banyak yang saya minta untuk saya interview, memang kebanyakan dari mereka menolak. Di tempat ini Bapak tidak tinggal di kota. Melainkan di Desa. Di mana pabrik itu berdiri di tengah-tengah perkebunan masyarakat desa setempat yang mayoritas kehidupan mereka dari perkebunan sawit." Tutur Alvino lagi. "Kalau saya boleh tau, saya akan di tempatkan di mana jika saya menerima pekerjaan ini, Pak?" tanya Ridwan ragu."Bapak akan saya tempatkan di Sumatra, Pak, tepatnya di jambi." Kata Alvino."Jambi?!" dengan banyak pertimbangan, Ridwan pun akhirnya menerima pekerjaan itu. Setelah selesai bertanya banyak hal untuk pekerjaan itu. Akhirnya Ridwan pamit keluar dan pulang. "Baik, pak Ridwan. Senang bekerja dengan anda. Semoga Bapak betah, ya, nanti di sumatra." Ucap Alvino."Alhamdulillah, akhirnya dapt kerjaan juga." Gumam Ridwan senang. Waktu sudah menunjukkan hampit tengah hari, Ridwan kembali pulang menggunakan ojol, namun sebelumnya Ridwan in
Assalamu'alaikum," sapa ridwan saat samapi di rumah."Waalaikumsalam, Nak." sahut Rista dari belakang.Ridwan tak melihat ada Eca di luar. "Mana Eca, Ma? Mama gimana kabarnya?" "Istrimu di kamar nggak keluar-keluar dari tadi. Makan juga belum itu istrimu." Ujar Rista memberi tahu kan pada Ridwan.Ridwan lalu menuju kamarnya untuk melihat keadaan Eca di dalam. Baru sampai di pintu kamar, Ridwan mendengar suara cekikikan seperti Eca sedang tertawa. "Eca kenapa? Kok ketawa sendiri?" Pikir Ridwan.Ridwan membuka pintu kamarnya, tapi pintunya di kunci dari dalam. "Lho, kok di kuncinya?" Ridwan mengambil kunci cadangan yang selalu ada di dalam dompetnya. Ridwan lalu membuka pintu itu perlahan, yang pertama kali yang Ridwan lihat adalah box bayi tempat Kelvin tidur. Di sana langsung tampak Kelvin tengah terlelap tidur. "Tidurnya nyenyak sekali, Nak?" Gumam Ridwan, namun saat menoleh ke tempat tidur, betapa Ridwan terkejut melihat pemandangan itu. Eca yang masih tidak menyadari ada Ridwan d
Iya! Aku masih muda Mas! Aku nggak mau menghabiskan waktu ku untuk hidup susah denganmu. Kalau kamu nggak sanggup memenuhi kebutuhanku untuk apa aku menyia-nyiakan hidupku mengabdi pada laki-laki kere seperti kamu yang nggak punya apa-apa."Seperti di hantam ribuan duri yang tajam di dada Ridwan menerima kata demi kata dari Eca. Sungguh, bukan jawaban ini yang Ridwan harapkan. Ridwan sudah sangat salah menilai Eca. Padahal Ridwan ingin memberi kabar baik bahwa dia di terima kerjaan dengan gaji yang cukup lumayan besar dan juga sebagai posisi yang bagus di perusahaan itu. Tapi sepertinya Ridwan tidak lagi berniat memberi tahu kan Eca. Biarlah dia pergi jika itu maunya. "Baik. Jika kamu maunya seperti itu. Silahkan kamu cari laki-laki yang jauh lebih baik dariku. Silahkan kamu cari laki-laki mapan diluar sana untuk memenuhi kebutuhanmu. Aku harap kamu tidak menyesali kata-kata yang sudah kamu ucapkan barusan." Ujar Ridwan tenang. Tak lagi ada emosi. Habis sudah tenaga Ridwan selama in
"Wan, baby sitter itu mahal, Wan, gajinya. Paling murah dua atau tiga jutaan, Wan. Emangnya kamu punya gaji berapa buat bayar baby sitter? Kamu itu kenapa lagi sih Ca. Suami udah dapat kerjaan juga bukanya bersyukur kok malah mau pergi begini. Nggak kasian sama anak kamu, Ca?" "Mama nggak usah khawatir, Ma. Aku sanggup untuk bayar Baby sitter dan gaji jauh lebih cukup." Eca sejenak memberhentikan aktivitasnya, mendengar penuturan Ridwan barusan rasa ingin tau Eca menggebu-debu. Di Terima sebagai apa Ridwan di sana, dan berapa gaji yang Ridwan Terima sampai Ridwan sanggup membayar baby sitter. Eca menghilangkan rasa malunya demi ingin tahu Ridwan bekerja sebagai apa dan di gaji berapa. Eca merutuki dirinya sendiri tadi kenapa tidak menanyakan terlebih dahulu tetang lamaran kerjaan Ridwan hari ini. "Palingan juga kamu kerja sebagai karyawan bawahan, Mas. Nggak usah sok ingin memanasiku, Mas, pakai ingin nyewa baby sitter segala. Kamu pikir biar aku bertahan di sini begitu? Aku ngg
"Jadi istri itu yang bener! urus anak yang bener! urus suami yang bener! Jangan cuma mau enaknya saja, dulu kau tergila-gila sama anakku karena dia punya segalanya, kan? sekarang kau berulah karena dia sudah tidak punya apa-apa! Jangan lagi kau bersikap seprti itu, ingat itu! Jadi lah istri yang mau menerima keadaan pasangan itu dalam susah dan senang. Yang mau menemani dalam setiap keadaan. Bukan hanya mau pas di saat ada, lalu disaat sudah tak punya apa-apa kau mau pergi meninggalkan suamimu? Itu namanya perempuan kurang ajar! Kalau ada masalah itu di omongin baik-baik. Bukan malah dikit-dikit kabur dan pergi dari rumah. Istri durhaka kamu." Rista berkata panjang lebar dengan intonasi yang cukup tinggi, sebab dari kemarin dia sudah sangat emosi melihat tingkah Eca yang tak menghargai Ridwan sama sekali. "Gimana aku mau bicara baik-baik kalau Mas Ridwan aja nggak pernah ngajak bicarain baik-baik!" imbuh Eca mencari pembelaan. "Itu karena kau bikin ulah! Dari awal melahirkan aja kau
Wajahnya Eca terlihat berpikir, dalam hatinya begumam. "Apa? tinggal di desa? dan di kebun. Aduh! mana mungkin aku betah di sana. Apa sih kerjanya, dari tadi juga bukanya di jawab!" "Hmm, emangnya kamu kerjanya apa sih, Mas. Kok sampai harus keluar kota?""Mas di terima sebagai kepala staf di salah satu pabrik cabang yang ada di Sumatra. Pabrik yang bergerak di bidang pengolahan minyak kelapa sawit. Tepatnya di jambi. Alhamdulillah juga, Mas di gaji cukup besar di sana, lebih kurang hampir 10 juta per bulan, itu belum termasuk tunjangan, bonus akhir tahun dan THR. Apa kamu siap tinggal di sana menemani Mas, kita mulai dari nol lagi? Kamu siap?" tanya Ridwan lagi. Wajah Eca tak bisa di tebak oleh Ridwan. Ridwan masih menatap wajah istrinya menunggu jawaban apakah Eca mau apa tida ikut bersamanya di sana. "Ya ikutlah, Ca. Di mana-mana juga istri itu ikut kemana suaminya kerja. Kalo kamu nggak ikut, siapa yang ngurusi ridwan nanti di sana?" cerocos Rista mengingatkan Eca agar mau ikut
Ridwan masih terus menatap wajah istrinya. "Boleh apa?" tanya Ridwan penasaran.Eca memutar-mutarkan ujung bajunya dengan jari telunjuk dan ibu jari. Eca juga menggigit bibir bawahnya, menandakan bahwa dia benar-benar gugup saat ini untuk menyampaikan maksud dan tujuannya."Hmm... Apa boleh aku tinggal di rumah Ibu saja, Mas? ucap Eca sambil tertunduk.Ridwan mengerutkan keningnya, mendengar permintaan istrinya, selama ini justru dia tidak pernah ingin tinggal di rumah orang tuanya, alasannya adalah di kampung dan rumah orangtuanya kecil. Tapi sekarang mengapa Eca justru minta tinggal di sana."Kenapa lagi kamu, Ca? Kenapa tiba-tiba ingin tinggal di rumah Ibu? Kemarin aja kamu masih terus menolak untuk tinggal di sana.""Biar aku ada yang bantuin jaga Kelvin, Mas. Begitu saja. Nggak ada apa-apa." Kilah Eca."Kan di sini ada Mama yang bisa bantuin kamu, kenapa harus ke rumah Ibu? Jika kamu ingin main dan menjenguk Ibu tidak masalah. Tapi untuk tinggal kamu hanya boleh di sini. Apalag
Ke esokan harinya, Rara dan Hanum pergi ketempat Ridwan berada. "Kak, Kakak mau nyekar ke makam, Oma Dulu apa ke rumah Papa, Dulu?""Kita nyekar dulu, Bun. habis itu baru ke rumah, Papa.""Baik, Kak." Rara melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang agar segera sampai di sana. "Eh, tapi, Bun. nggak usah nyekar dulu, Bun. kita kerumah, Papa dulu. Baru nanti habis itu kita nyekar ke makam, Oma." Rara menuruti semua apa maunya Hamum saja. yang terpenting bagi Rara saat ini Hamum jauh lebih bahagia dan sudah bisa legowo dengan keadaan apapun. Mobil yang membawa mereka sudah masuk ke gang rumah kontrakan Ridwan. Dari jauh tanpak orang-orang ramai di depan kontrakan itu. tak berselang lama dengan arah berlawan Muncul lah mobil Dimana tunangam Vina. di susul juga dengan kedatangan mobil Anton. "Itu kenapa rame-rame begitu, Kak ya? itu ada mobil Om anton sama Mobil Om Dimas juga." "Ada acara kali, Bun.""Kak. tapi itu ada bendera kuning juga di depan kontrakan, Kak,""Ayok kita turun,
Kalau memang masih ada rasa, kenapa tidak kembali lagi, Bun? biar kita menjadi keluarga yang utuh kembali." cicit Hamum lagi. deg! dada Rara berdebar hebat, hatiny mulai tidak karuan."Kak, tidak semudah itu untuk sebuah kata kembali, Kak.""Tapi seandainya, Papa meminta apa, Bunda akan menolak?""Kak, Kakak kenapa? kenapa dari tadi menanyakan masalah pernikahan melulu.""Jujur saja dari, Kakak, Bun. Kakak ingin Bunda bersatu kembali sama, Papa. kita jadi satu keluarga utuh lagi. Kakak sayang bangat sama kalian berdua, Bun.""Kakak ngaco kalo ngomong. Sudah lah, Kak. Bunda mau mandi dulu.""Tapi bunda masih ada rasakan sama, Papa." Rara hanya menoleh sesaat lalu kembali masuk ke dalam. sambil mandi Rara terus kepikiran dengan ucapa Hanum anaknya. Rara sendiri menanyakan itu pada pantulan bayangannya di kaca kamar mandi. "Apa benar aku masih mencintai, Mas Ridwan? apa benar selama ini aku seperti mati rassa pada lawan jenisku? tapi kenapa? kenapa disaat dekat dengannya seperti
Hamum memeluk Rara penuh dengan kegirangan dan kebahagiaan. pasalnya, hari ini dia sudah pakai toga tanda kelulusan. "Bunda, Kakak senang banget, Bun. Alhamdulillah, Kakak sudah lulus.""Iya, Kak. Bunda turut senang, selamat ya untuk anak, Bunda. Alhamdulillah, Bunda bangga sekali sama, Kakak karena Kakak sudah lulus melewati ujian ini." Tutur Rara seraya kembali memeluk hamum.Wajah Hanum yang tadinya bahagia, Sesaat kemudia berubah sendu. Hamum melihat ke kiri dan ke kanan, dan mengedar pandangan kesemua arah. Hanum beraharap akan ada kejutan di hari yang spesial ini. tapi nyatanya tidak. Rara juga tengah menunggu orang yang sama yang dicari Hanum. "Mas, kamu bilang mau datang, mana? Andai kamu melihat, Hanum tenngah menunggumu di sini." Rara membatin.melihat orang-orang berfoto bersama dengan ayah, membuat hati Hanum berkedut nyeri. "Pa, andai Papa datang? andai Papa ada di sini. "meskipun, Hamum belum secara langsung menghubungi Ridwan, tetap hati Hamum sudah memaafkan, Ridwan
Ridwan dan Rara sama-sama menoleh dan netra mereka bertemu. "Mas,""Ra," mereka kompak saling menyapa. Rara tersenyum begitu juga dengan Ridwan."Ini kejutan bagi, Mas, Ra. Mas nggak nyangka kamu akan datang.""Vina anak baik, Mas. dia datang ke rumah bersama calonnya mengundang secara langsung. Rasanya tidak pantas jika aku tidak datang. itu artinya aku masih dianggap keluarga oleh,Vina." Tutur Rara pelan. karena jarak mereka berdekatan. "Iya, Ra, kita masih keluarga, dan kamu hari ini cantik sekali… kamu sangat cantik." tentu itu hanya Ridwan ucapkan dalam hatinya. "Dua minggu lagi, Kakak wisuda, Mas.""Iya, Mas tau. Insya Allah, Mas akan usahakan datang." "ugh!" Ridwan meringis kesakitan. Perutnya tiba-tiba perih. Ridwan mencoba untuk tetap menahannya agar tidak ada yang tau kalau Dia tengah merasakan sakit yang luar biasa. "Mas, kamu kenapa?" Rara yang mendapati ridwan meringis menahan sakit. "Hm… nggak apa-apa, Ra.""Kamu pucat, Mas. Apa kamu sakit?""Nggak, Ra. Mas baik-ba
"Siapa yang datang kemari? apa ada uang mau bikin baju, lagi?"Dimas dan Vina keluar dari dalam mobil, Rara terkejut. "Vina?" ucap Rara tidak percaya. Rara segera keluar dari ruang meetingnya untuk menyambut kedatangan Vina. terlebih dahulu Rara menunda meeting itu setelah nanti Vina pulang. Rara rasanya bahagia sekali melihat perubahan Vina. Vina benar-benar membuktikan apa yang dia janjikan. "Assalamualaikum," Sapa Vina. "Waalaikumsalam." Rara menjawab salam Vina seraya keluar dari ruang meeting nya. "Mbak, apa kabar?" Vina bersalaman dengan Rara dan cipika cipiki. Entahlah semua seperti kebetulan atau memang sudah diatur oleh yang diatas. hari ini Rara memakai jilbab hadiah dari Vina. Wajah Vina sumringah bahagia mendapati pemberiannya dipakai oleh Rara. "Ada angin apa ini sampai datang kemari? ini siapa?" tanya Rara sambil menaruh minuman kemasan di atas meja. Vina menatap Dimas seraya tersenyum. "Aku kesini ingin silaturahmi aja, Mbak. sekalian aku mau ngasih, Mbak ini."
"Dim, Maaf kita belum saling mengenal, Dim. kamu belum tahu aku, pun sebaliknya aku juga belum tau kamu. Aku belum bisa jika kamu minta aku menjawab sekarang. Tapi jika kami ingin kita dekat, aku siap untuk kita saling mengenal terlebih dahulu.""Baik, Vin. Aku tau ini terlalu mendadak. Aku paham kok. Aku siap nunggu kamu kapanpun kamu bersedia." Tutur Dimas lembut. "Terima kasih, Dim.""Aku yang berterima kasih, Vin. karena kamu sudah mau memberi kesempatan untuk kita saling mengenal terlebih dahulu."Vina benar-benar takut dengan keseriusan Dimas. Hal yang ditakuti vina selama ini akhirnya terjadi juga. bagaimana nanti jika Dia tau bahwa Vina sudah tidak lagi suci. Apa Dimas masih bisa menerima, Vina dalam keadaan kotor. namun untuk jujur pun Vina tak berani. malu? iya jelas Vina sangat malu. "Apa sebaiknya aku beranikan diri untuk jujur? jika Dimas benar mencintaiku, pasti dia akan tetap menerima aku." Vina berbicara dengan diri sendiri. ******"Kamu mau pesan apa?" tanya Dim
Ridwan membuka matanya, kepalanya terasa sangat berat dan sakit. matanya menelusuri sekitar ruangan, bau obat-obatan memenuhi indra penciuman Ridwan. Ridwan menyadari tangannya terpasang infus. "Ya Allah apa yang terjadi padamu?" Ridwan tiba-tiba panik sekaligus penasaran apa yang terjadi padanya. "Selamat siang, Pak Ridwan. Bapak sudah sadar? gimana keadaannya. Apa yang, Bapak rasakan sekarang?""Dok, saya kenapa? apa yang terjadi pada saya?" bukan menjawab, Ridwan justru bertanya balik. "Menurut hasil pemeriksaan, Pak Ridwan, terkena asam lambung dan maag kronis, Pak." "Apa, Dok? kronis? apa saya bisa sembuh, Dok?""Insya Allah ya, Pak. Kita usahakan pengobatan terbaik untuk, Bapak. Untuk hasilnya, kita serahkan sama Allah ya, Pak. Kalau boleh saya tau, apa bapak tidak menjaga pola makan dengan, baik di rumah?""Iya, Dok. Saya makan yang teratur kok dirumah." ucap Ridwan berbohong. Dokter itu tersenyum ramah pada Ridwan. dokter perempuan muda. Yang sedang koas di rumah sak
Selama ini Epri mengamati, Rara dari jauh, Epri benar-benar tidak menyangka kehidupan Rara jauh lebih baik darinya. Epri yang notabene-nya dari keluarga yang berkecukupan dan kaya justru jauh di bawah Rara saat ini. Bahkan wanita yang dia pilih untuk dijadikan istri oleh Epri pun jauh di bawah Rara. Rara bahkan tidak terlihat ada kerutan di wajahnya. dia seperti menolak tua, membuat Epri yang semakin ingin mendekati Rara kembali. tapi sepertinya akan selalu gagal. "Apa aku harus berusaha lebih untuk ini? aku tidak boleh menyerah, aku harus mendapatkan kembali hati, Rara." Gumam Epri. Seminggu setelah kejadian itu, Rara kembali menerima paket. kali ini paket itu datang langsung ke kantor Rara. Iwan yang baru pulang dari antar paket menera itu dari kurir di depan kantor. "Bun, ini ada paket untuk Bunda. " Ridwan memberikan itu seraya paket buket bunga dari luar. "Bunga? dari siapa, Wan?" tanya Rara"Nggak tau, Bun. Aku nggak lihat nama pengirimnya." "Oh ya, sini, Bunda lihat. Ter
"Bun, di luar ada tamu." Windi datang memberitahukan, Rara. "Siapa? suruh masuk saja, Win." Titah Rara masih fokus dengan laptopnya. "Baik, Bun.""Assalamualaikum," Suara yang yang tidak asing itu terdengar mengusik konsentrasi Rara. Rara menatap sepatu pria itu hingga beralih sampai ke atas. Mata Rara melotot sempurna melihat siapa yang datang. "ya Allah, dia ternyata tidak main-main ingin menemuiku." Gumam Rara. "Waalaikumsalam," Sahut Rara dengan wajah syoknya. "Apa aku boleh masuk?""Tentu… silahkan duduk."Rara mencoba kembali ke mode tenang dan santai. Rara mencoba untuk rileks seolah dia tengah baik-baik saja. Rara ingin menunjukkan pada pria yang ada di hadapannya saat ini bahwa Rara jauh lebih baik dan lebih bahagia. setelah mempersilahkan duduk, Rara hanya diam dan tidak berbicara. itu berhasil membuat Epri menjadi salah tingkah. Epri duduk di sofa tepat di depan meja kerja Rara. Epri sempat terkagum melihat Rara yang sekarang. Rara tidak terlihat tua sama sekali,