Ridwan masih terus menatap wajah istrinya. "Boleh apa?" tanya Ridwan penasaran.Eca memutar-mutarkan ujung bajunya dengan jari telunjuk dan ibu jari. Eca juga menggigit bibir bawahnya, menandakan bahwa dia benar-benar gugup saat ini untuk menyampaikan maksud dan tujuannya."Hmm... Apa boleh aku tinggal di rumah Ibu saja, Mas? ucap Eca sambil tertunduk.Ridwan mengerutkan keningnya, mendengar permintaan istrinya, selama ini justru dia tidak pernah ingin tinggal di rumah orang tuanya, alasannya adalah di kampung dan rumah orangtuanya kecil. Tapi sekarang mengapa Eca justru minta tinggal di sana."Kenapa lagi kamu, Ca? Kenapa tiba-tiba ingin tinggal di rumah Ibu? Kemarin aja kamu masih terus menolak untuk tinggal di sana.""Biar aku ada yang bantuin jaga Kelvin, Mas. Begitu saja. Nggak ada apa-apa." Kilah Eca."Kan di sini ada Mama yang bisa bantuin kamu, kenapa harus ke rumah Ibu? Jika kamu ingin main dan menjenguk Ibu tidak masalah. Tapi untuk tinggal kamu hanya boleh di sini. Apalag
Perasaan Iwan tidak pernah berbuat kesalahan kerja di sini. Apa lagi selama ini Iwan belum pernah masuk di ruangan Rara sebagai atasan. Sudah hampir empat tahun Iwan mengabdi di Hanum collection, baru kali ini dia di minta masuk ke ruang Rara. Iwan benar-benar degdegan rasanya saat ini."Ya nggak tau aku, Wan. Tadi cuma di kasih taunya begitu. Disuruh datang ke sana, cepetan gih!" Neti mendorong tubuh ridwan untuk segeran masuk ke ruangan Rara. Ridwan membawa langkahnya menuju ke ruang di mana dia tadi minta untuk datang. "Soga buka apa-apa," Ridwan berkata dalam hatinya. Tok! Tok! Took!"Assalamu'alaikum, Bunda," suara Iwan di balik pintu menyapa, Rara. "Masuk, Wan." Seru Rara.Iwan masuk ke ruangan itu dengan perasaan gugup. Entah kenapa Iwan merasa ada yang akan di sampai kan Rara tentang masalah yang pernah Rara hadapi, dimana Iwan mengetahui itu."Duduk, Wan." Titah Rara lagi."Iya, Bun." Ridwan lalu menarik kursi yang ada di depan meja kerja Rara.Ridwan hanya duduk, tidak
Ini motor untuk kamu antar paket. Kamu boleh bawa pulang juga. Nanti motor kamu yang itu di rumah aja, kamu pakainya motor yang ini aja mulai sekarang ya.""Ta--ta--tapi, Bun, ini maksudnya gimana ya? Aku nggak ngerti, Bun.""Gak ada maksud apa-apa ini, Wan. Kamu pake aja udah. Ya. Nggak usah sungkan. Motor itu untuk kamu sekarang. Untuk kamu antar paket ke mana-mana. Kamu boleh juga bawa pulang motor itu, ya." Ujar Rara. "Tapi nanti dengan yang lain bagaimana, Buu? Saya takut mereka nanti jadi tidak suka sama saya, Bun. Kok saya dapat motor dari bunda." Tutur Iwan. "Nggak ada yang seperti itu, nanti bilang saja, kalo kamu hanya pake aja. Beres kan? Kalo teman-teman yang lain mau pake juga boleh kalau kamu mau. Udah kan? Nggak ada masalah kak?" "Ini beneran, Bun? Tapi dalam rangka apa aku di kasih motor, Bun?" tanya Iwan lagi memastikannya. "Dari pada motor itu rusak nanti, Wan nggak di pakai, lebih baik kamu yang pakai. Iya kan?" Iwan hanya tersenyum terpaksa, dan mengangguk kec
Entah kenapa Rara belum bisa ikhlas berbagi Hanum untuk ke sana kemari meskipun itu adalah Oma dan papa kandungnya. Apakah Rara egois jika belum bisa menerima kenyataan jika Hanum akan membersamai wanita itu. Bahkan Rara menyebut namanya saja enggan sekali. Apa lagi Rara harus mengijinkan Hanum akan bertemu dengan wanita itu. "Bun," Hanum menyentuh lembut tangan Rara. Rara terkejut dari lamunannya. "Eh, iya, Kak, maaf. Hmm, kenapa mendadak sekali, Kak? Kenapa nggak bilang dari kemarin-kemarin jika Kakak mau ke sana? Kan belum libur sekolah ini?" selidik Rara. Rara penasaran sekali kenapa anaknya tiba-tiba minta ke rumah omanya."Besok, Papa mau pergi, Bun. Jadi, Kakak mau nginap di sana sebelum Papa pergi ke luar kota." Lagi, kening Rara mengkerut kecil. Rasa penasaran Rara kembali membuncah. "Kenapa Mas Ridwan tiba-tiba mau ke luar kota? Apa mereka ingin menghindari dari hutang yang tadi pagi aku tagih? Apa mereka ingin menghilang dari tanggung jawab? Ah! Tidak mungkin seperti i
Perjalan yang di tempuh kurang lebih satu jam tak begitu terasa karena obrolan Papa dan anak di dalam mobil tersebut. Ridwan menanyakan banyak hal pada pada Hanum. Selama ridwan tak lagi bersama, terasa seolah waktu untuk Hanum benar-benar terabaikan dan berkurang. Bahkan sebentar lagi pun Ridwan akan pergi keluar daerah, tentu itu akan membuat Ridwan dan Hanum semakin menjauh. Sekarang mobil sudah memasuki halaman rumah Rista. Rista sudah berada di teras rumahnya untuk menyambut kedatangan Hanum. Begitu juga dengan Eca. Hanum turun lalu memberi salam lalu mencium tangan Rista. "Cucu Oma, ya Allah ... Oma kangen banget sama kamu, Ndok," Rista memeluk Hanum dan mencium pipi kanan dan kiri. Hanum hanya tersenyum. Mendapati perlakuan Omanya. "Nginap lama rumah, Oma, Nduk? Jangan pulang dulu besok, ya?" "Kan, Kakak sekolah, Oma. Jadi belum bisa nginap lama di sini, nantilah kalo kakak libur sekolah ya, Oma, nginapnya." Tutur Hanum. Setelah selesai, Eca pun mengulurkan tangannya pada
"Ayo, Sayang. Katanya mau lihat adiknya, kok malah bengong di sana?" Tanya Ridwan. Hanum membawa langkahnya masuk ke dalam. Tampak di tiap dinding terpajang foto keluarga kecil Ridwan bersama Eca. Hanum menelisik tiap sudut dinding kamar dengan seksama. Masih di ingat oleh Hanum , terakhir menginap di rumah Omanya masih ada foto Hanum, Rara, dan juga papanya dalam satu bingkai yang terpajang di dinding kamar ini. Sekarang semua sudah tergantikan dengan foto Ridwan dan Eca. Bahkan foto Hanum pun sudah gak terlihat. Apakah di buang atau justru disembunyikan? "Apa itu artinya Aku sudah tidak penting lagi untuk, Papa?" gumam Hanum. Ada rasa sakit yang tak bisa Hanum ungkapkan melihat kenyataan ini. Wanita ini adalah orang kepercayaan Bunda nya. Tapi, sekarang justru menjadi orang tua sambung yang tidak pernah Hanum harapkan. Menjadi orang tua sambungnya dari hasil menjadi pelakor. Sehingga membuat rumah tangga orang tuanya menjadi porak poranda. Keluarganya tak lagi utuh. Karena Papan
Eca membawa langkahnya masuk ke dalam dan mendekati Hanum yang tengah berbaring di atas tempat tidur. Eca duduk di sisi ranjang itu, lalu bertanya langsung pada intinya. "Kamu marah, Kak? Apa kamu membenciku?" tanya Eca. Deg! Jantung Hanum berpacu lebih cepat. Hanum tidak ingin membahas masalah ini. Tapi kenapa justru Eca datang menanyakan itu. Bukan kah dia tau seharusnya seperti apa hati Hanum saat ini. "Apa kamu juga tidak ingin bicara denganku, Kak?" tanya Eca lagi dengan lembut. Hanum membetulkan posisinya untuk duduk mensejajarkan Eca.Hanum menatap Eca pekat dan dalam. Lalu berkata. "Seharusnya Mbak tau apa yang aku rasakan. Mengapa, Mbak masih menanyakan itu? Apa mbak pikir aku datang ke sini untuk berdamai? Aku ke sini hanya demi, Papa. Jika bukan Papa, aku nggak akan siap untuk ke sini. Ini masih membekas di hatiku asal mbak tau aja. Nggak gampang buat aku bisa menerima ini." Ujar Hanum jujur. Hanum mengeluarkan apa yang ia rasakan selama ini. Rasa sakit yang kian mendera
Hanum menata wajah Eca, dan menjawab apa yang tadi Eca utarakan. "Sampai kapan pun aku hanya punya dua orang tua. Papa dan Bundaku. Tidak ada yang lain. Seperti apapun Mbak berusaha berbohong dengan keadaan ini agar aku merima keadaan ini. Mbak salah. Aku nggak bisa menerima ini. Nggak akan pernah! Dan satu lagi. Tidak akan ada yang bisa menggantikan posisi bunda di hatiku. Tidak akan pernah ada!" Ucap Hanum datar dan dingin. Eca mengatupkan gigi gerahangnya mendengar jawaban hanum. Eca berharap sekali bahwa Hanum akan menanyakan banyak hal tentang hubungan dia dan Ridwan setelah mengatakan semua kebohongan ini. Ternyata hanum belum terpengaruhi oleh Eca. "Ternyata kamu sama seperti Bundamu, Ya. Keras kepala dan susah untuk diperdaya." Gumam Eca. Eca mencoba lagi mempengaruhi Hanum dengan cara yang lain. Eca berharap sekali bisa memperdaya Hanum agar hubungan Hanum dan Rara hancur. "Baik, Kak. Aku tau ini tidak mudah. Mungkin jika aku di posisi, Kakak, juga pasti akan melakukan hal
Ke esokan harinya, Rara dan Hanum pergi ketempat Ridwan berada. "Kak, Kakak mau nyekar ke makam, Oma Dulu apa ke rumah Papa, Dulu?""Kita nyekar dulu, Bun. habis itu baru ke rumah, Papa.""Baik, Kak." Rara melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang agar segera sampai di sana. "Eh, tapi, Bun. nggak usah nyekar dulu, Bun. kita kerumah, Papa dulu. Baru nanti habis itu kita nyekar ke makam, Oma." Rara menuruti semua apa maunya Hamum saja. yang terpenting bagi Rara saat ini Hamum jauh lebih bahagia dan sudah bisa legowo dengan keadaan apapun. Mobil yang membawa mereka sudah masuk ke gang rumah kontrakan Ridwan. Dari jauh tanpak orang-orang ramai di depan kontrakan itu. tak berselang lama dengan arah berlawan Muncul lah mobil Dimana tunangam Vina. di susul juga dengan kedatangan mobil Anton. "Itu kenapa rame-rame begitu, Kak ya? itu ada mobil Om anton sama Mobil Om Dimas juga." "Ada acara kali, Bun.""Kak. tapi itu ada bendera kuning juga di depan kontrakan, Kak,""Ayok kita turun,
Kalau memang masih ada rasa, kenapa tidak kembali lagi, Bun? biar kita menjadi keluarga yang utuh kembali." cicit Hamum lagi. deg! dada Rara berdebar hebat, hatiny mulai tidak karuan."Kak, tidak semudah itu untuk sebuah kata kembali, Kak.""Tapi seandainya, Papa meminta apa, Bunda akan menolak?""Kak, Kakak kenapa? kenapa dari tadi menanyakan masalah pernikahan melulu.""Jujur saja dari, Kakak, Bun. Kakak ingin Bunda bersatu kembali sama, Papa. kita jadi satu keluarga utuh lagi. Kakak sayang bangat sama kalian berdua, Bun.""Kakak ngaco kalo ngomong. Sudah lah, Kak. Bunda mau mandi dulu.""Tapi bunda masih ada rasakan sama, Papa." Rara hanya menoleh sesaat lalu kembali masuk ke dalam. sambil mandi Rara terus kepikiran dengan ucapa Hanum anaknya. Rara sendiri menanyakan itu pada pantulan bayangannya di kaca kamar mandi. "Apa benar aku masih mencintai, Mas Ridwan? apa benar selama ini aku seperti mati rassa pada lawan jenisku? tapi kenapa? kenapa disaat dekat dengannya seperti
Hamum memeluk Rara penuh dengan kegirangan dan kebahagiaan. pasalnya, hari ini dia sudah pakai toga tanda kelulusan. "Bunda, Kakak senang banget, Bun. Alhamdulillah, Kakak sudah lulus.""Iya, Kak. Bunda turut senang, selamat ya untuk anak, Bunda. Alhamdulillah, Bunda bangga sekali sama, Kakak karena Kakak sudah lulus melewati ujian ini." Tutur Rara seraya kembali memeluk hamum.Wajah Hanum yang tadinya bahagia, Sesaat kemudia berubah sendu. Hamum melihat ke kiri dan ke kanan, dan mengedar pandangan kesemua arah. Hanum beraharap akan ada kejutan di hari yang spesial ini. tapi nyatanya tidak. Rara juga tengah menunggu orang yang sama yang dicari Hanum. "Mas, kamu bilang mau datang, mana? Andai kamu melihat, Hanum tenngah menunggumu di sini." Rara membatin.melihat orang-orang berfoto bersama dengan ayah, membuat hati Hanum berkedut nyeri. "Pa, andai Papa datang? andai Papa ada di sini. "meskipun, Hamum belum secara langsung menghubungi Ridwan, tetap hati Hamum sudah memaafkan, Ridwan
Ridwan dan Rara sama-sama menoleh dan netra mereka bertemu. "Mas,""Ra," mereka kompak saling menyapa. Rara tersenyum begitu juga dengan Ridwan."Ini kejutan bagi, Mas, Ra. Mas nggak nyangka kamu akan datang.""Vina anak baik, Mas. dia datang ke rumah bersama calonnya mengundang secara langsung. Rasanya tidak pantas jika aku tidak datang. itu artinya aku masih dianggap keluarga oleh,Vina." Tutur Rara pelan. karena jarak mereka berdekatan. "Iya, Ra, kita masih keluarga, dan kamu hari ini cantik sekali… kamu sangat cantik." tentu itu hanya Ridwan ucapkan dalam hatinya. "Dua minggu lagi, Kakak wisuda, Mas.""Iya, Mas tau. Insya Allah, Mas akan usahakan datang." "ugh!" Ridwan meringis kesakitan. Perutnya tiba-tiba perih. Ridwan mencoba untuk tetap menahannya agar tidak ada yang tau kalau Dia tengah merasakan sakit yang luar biasa. "Mas, kamu kenapa?" Rara yang mendapati ridwan meringis menahan sakit. "Hm… nggak apa-apa, Ra.""Kamu pucat, Mas. Apa kamu sakit?""Nggak, Ra. Mas baik-ba
"Siapa yang datang kemari? apa ada uang mau bikin baju, lagi?"Dimas dan Vina keluar dari dalam mobil, Rara terkejut. "Vina?" ucap Rara tidak percaya. Rara segera keluar dari ruang meetingnya untuk menyambut kedatangan Vina. terlebih dahulu Rara menunda meeting itu setelah nanti Vina pulang. Rara rasanya bahagia sekali melihat perubahan Vina. Vina benar-benar membuktikan apa yang dia janjikan. "Assalamualaikum," Sapa Vina. "Waalaikumsalam." Rara menjawab salam Vina seraya keluar dari ruang meeting nya. "Mbak, apa kabar?" Vina bersalaman dengan Rara dan cipika cipiki. Entahlah semua seperti kebetulan atau memang sudah diatur oleh yang diatas. hari ini Rara memakai jilbab hadiah dari Vina. Wajah Vina sumringah bahagia mendapati pemberiannya dipakai oleh Rara. "Ada angin apa ini sampai datang kemari? ini siapa?" tanya Rara sambil menaruh minuman kemasan di atas meja. Vina menatap Dimas seraya tersenyum. "Aku kesini ingin silaturahmi aja, Mbak. sekalian aku mau ngasih, Mbak ini."
"Dim, Maaf kita belum saling mengenal, Dim. kamu belum tahu aku, pun sebaliknya aku juga belum tau kamu. Aku belum bisa jika kamu minta aku menjawab sekarang. Tapi jika kami ingin kita dekat, aku siap untuk kita saling mengenal terlebih dahulu.""Baik, Vin. Aku tau ini terlalu mendadak. Aku paham kok. Aku siap nunggu kamu kapanpun kamu bersedia." Tutur Dimas lembut. "Terima kasih, Dim.""Aku yang berterima kasih, Vin. karena kamu sudah mau memberi kesempatan untuk kita saling mengenal terlebih dahulu."Vina benar-benar takut dengan keseriusan Dimas. Hal yang ditakuti vina selama ini akhirnya terjadi juga. bagaimana nanti jika Dia tau bahwa Vina sudah tidak lagi suci. Apa Dimas masih bisa menerima, Vina dalam keadaan kotor. namun untuk jujur pun Vina tak berani. malu? iya jelas Vina sangat malu. "Apa sebaiknya aku beranikan diri untuk jujur? jika Dimas benar mencintaiku, pasti dia akan tetap menerima aku." Vina berbicara dengan diri sendiri. ******"Kamu mau pesan apa?" tanya Dim
Ridwan membuka matanya, kepalanya terasa sangat berat dan sakit. matanya menelusuri sekitar ruangan, bau obat-obatan memenuhi indra penciuman Ridwan. Ridwan menyadari tangannya terpasang infus. "Ya Allah apa yang terjadi padamu?" Ridwan tiba-tiba panik sekaligus penasaran apa yang terjadi padanya. "Selamat siang, Pak Ridwan. Bapak sudah sadar? gimana keadaannya. Apa yang, Bapak rasakan sekarang?""Dok, saya kenapa? apa yang terjadi pada saya?" bukan menjawab, Ridwan justru bertanya balik. "Menurut hasil pemeriksaan, Pak Ridwan, terkena asam lambung dan maag kronis, Pak." "Apa, Dok? kronis? apa saya bisa sembuh, Dok?""Insya Allah ya, Pak. Kita usahakan pengobatan terbaik untuk, Bapak. Untuk hasilnya, kita serahkan sama Allah ya, Pak. Kalau boleh saya tau, apa bapak tidak menjaga pola makan dengan, baik di rumah?""Iya, Dok. Saya makan yang teratur kok dirumah." ucap Ridwan berbohong. Dokter itu tersenyum ramah pada Ridwan. dokter perempuan muda. Yang sedang koas di rumah sak
Selama ini Epri mengamati, Rara dari jauh, Epri benar-benar tidak menyangka kehidupan Rara jauh lebih baik darinya. Epri yang notabene-nya dari keluarga yang berkecukupan dan kaya justru jauh di bawah Rara saat ini. Bahkan wanita yang dia pilih untuk dijadikan istri oleh Epri pun jauh di bawah Rara. Rara bahkan tidak terlihat ada kerutan di wajahnya. dia seperti menolak tua, membuat Epri yang semakin ingin mendekati Rara kembali. tapi sepertinya akan selalu gagal. "Apa aku harus berusaha lebih untuk ini? aku tidak boleh menyerah, aku harus mendapatkan kembali hati, Rara." Gumam Epri. Seminggu setelah kejadian itu, Rara kembali menerima paket. kali ini paket itu datang langsung ke kantor Rara. Iwan yang baru pulang dari antar paket menera itu dari kurir di depan kantor. "Bun, ini ada paket untuk Bunda. " Ridwan memberikan itu seraya paket buket bunga dari luar. "Bunga? dari siapa, Wan?" tanya Rara"Nggak tau, Bun. Aku nggak lihat nama pengirimnya." "Oh ya, sini, Bunda lihat. Ter
"Bun, di luar ada tamu." Windi datang memberitahukan, Rara. "Siapa? suruh masuk saja, Win." Titah Rara masih fokus dengan laptopnya. "Baik, Bun.""Assalamualaikum," Suara yang yang tidak asing itu terdengar mengusik konsentrasi Rara. Rara menatap sepatu pria itu hingga beralih sampai ke atas. Mata Rara melotot sempurna melihat siapa yang datang. "ya Allah, dia ternyata tidak main-main ingin menemuiku." Gumam Rara. "Waalaikumsalam," Sahut Rara dengan wajah syoknya. "Apa aku boleh masuk?""Tentu… silahkan duduk."Rara mencoba kembali ke mode tenang dan santai. Rara mencoba untuk rileks seolah dia tengah baik-baik saja. Rara ingin menunjukkan pada pria yang ada di hadapannya saat ini bahwa Rara jauh lebih baik dan lebih bahagia. setelah mempersilahkan duduk, Rara hanya diam dan tidak berbicara. itu berhasil membuat Epri menjadi salah tingkah. Epri duduk di sofa tepat di depan meja kerja Rara. Epri sempat terkagum melihat Rara yang sekarang. Rara tidak terlihat tua sama sekali,