"Kiri kiri! op! Op! Maju lagi, mundur!"Wajah yang sudah terlihat menua. Uban yang sudah mulai tumbuh satu persatu, tubuh yang tak lagi terawat, kerutan yang yang mulai terlihat jelas di sudut mata. Sesekali menyeka keringatnya dengan handuk yang menjuntai di pundaknya.Kini, Ridwan menjadi tukang parkir untuk menyambung hidup keluarganya. Semua telah habis tak tersisa. Duduk di ujung jalan di pinggiran cafe, sambil meratapi nasib yang saat ini sangat memprihatinkan. Tuhan sudah memberinya teguran dan balasan atas apa yang dia perbuat. Hingga sekarang Ridwan malu untuk menemui anak semata wayangnya. Hanum.Hanum sekarang telah menjadi calon dokter. Seorang Wanita yang hebat telah mampu menghidupinya dan mengantarnya menjadi seperti saat ini. Rara kuat, karena Hanum sumber kekuatannya. Hari-hari Rara penuh dengan kebahagian, Bisnis yang di bangun semakin berkembang pesat hingga memiliki beberapa cabang butik.Tidak ada yang membuat Rara bahagia, selain dari pada kebahagiaan Hanum.
"Oh, ibunya pingsan? Ini penghuni kontrakan kalo siang kerja, Mbak. Nggak ada yang di rumah. Kalo boleh tau di mana, Mamanya? Apa boleh saya lihat?" tanya Dimas. "Ada di dalam, Mas. Boleh, Mas, boleh. Mari masuk, Mas." Vina mempersilahkan, Dimas masuk ke dalam. Baru sampai di ambang pintu, Ridwan pun datang. Setelah membayar ongkos Ridwan langsung masuk ke dalam rumah dengan keadaan panik. "Mas, Mama, Mas." Ujar Vina. "Iya, Vin. Mas tau, ayok masuk!" Ridwan meninggalkan Vina dan Dimas di pintu. Vina pun mengikuti, Ridwan dari belakang begitu juga dengan, Dimas. " Ya Allah, Ma! Ma, bangun, Mah!" Ridwan menepuk-nepuk pelan wajah, Rista. Ridwan lalu meraba kaki Rista dan juga tangannya. "Badan, Mama masih panas, Vin. Ayok kita bawa, Mama ke rumah sakit aja!" Ujar Ridwan. Ridwan mengeluarkan hpnya untuk memesan taksi online. Namun, Dimas menawari untuk mengantar dengan mobilnya. "Maaf, Mbak kalo boleh saya bantu ayok antar ke rumah sakit. Biar saya ambil dulu mobilnya." Tawa
Dada ridwan sesak, sangat sesak. Semua seperti mimpi buruk bagi Ridwan saat ini. Musibah demi musibah tak ada henti-hentinya menghampiri keluarganya. Dimas yang dari tadi menyaksikan itu ikut merasa bersalah, jika saja dia cepat menolong, mungkin masih bisa diselamatkan. Begitulah pikir dimas saat itu. Rista di bawa pulang ke rumah duka, yaitu kontrakan tempat mereka tinggal. Rista di bawa pulang menggunakan ambulance rumah sakit. Di perjalanan, Ridwan mengabari Anton bahwa Mamanya sudah pulang. Ridwan meminta Anton untuk segera datang ke kontrakan. Tak berselang lama ambulan sampai di kontrakan, Ridwan. Jenazah Rista diturunkan dan di bawa masuk ke dalam. Belum ada tetangga atau warga yang datang. Meskipun dari mereka ada yang sudah tau, tapi mereka bum mengenal Ridwan dan Vina yang masih terbilang baru tinggal di sana. Dimas yang mengiring dari rumah sakit pun langsung memberi tahu akan pada pak RT setempat bahwa ada yang meninggal. Orang pertama kali yang datang ialah buk RT
Rasa kecewa Hanum pada ridwan masih belum bisa di maafkan. Hanum kecewa atas perlakuan Papa nya. "Maaf, pa, aku masih belum bisa untuk memaafkan kalian semua." batin Hanum berucap, lalu menaruh kembali HP itu ke dalam tasnya."Pak Ridwan, apa masih ada kerabat atau saudara yang mau ditunggu? Maaf, sekiranya sudah tidak ada lagi ada baiknya jenazah segera di kebumikan." Ujar pak RT. Ridwan menatap hpnya, mencoba menghubungi kembali Hanum berharap Hanum mengangkat telponnya, atau sekedar membalas pesan darinya. Namun sayang itu tidak terjadi. Ridwan hanya bisa pasrah dan menarik nafasnya berat. "Bagaimana, Pak?" lagi pak RT bertanya pada, Ridwan. "Sudah tidak ada, Pak. Baiklah mari kita kebumikan jenazah, Mama saya." Kata Ridwan pasrah. Dwi, istri Dika yang juga ikut hadir di rumah duka mengingat Hanum dan Rara. Dwi ingin memberi tahu kan Hanum dan Rara tentang ini. Tapi, Dwi sudah lama Los contek sama Rara dan Hanum. Rasanya tidak pantas jika hal penting seperti ini mereka tidak t
suasana tiba-tiba menjadi sangat dingin, angin yang awalnya pelan berubah menjadi badai. ada petir dan kilat keluar dari langit. tak berselang lama hujan deras pun turun membasahi bumi. Vina berlari ke arah pintu lalu menangis histeris. "Ma! mama pasti kedinginan di sana. kenapa Mama nggak ajak aku, Ma! kenapa?" duar! petir beserta kilat seolah menyambar bumi. Ridwan mendekati Vina lalu membawa Vina masuk. "Di dalam aja Dik. kamu nggak lihat ada petir besar begitu? nanti kena sambar petir." Ujar Ridwan. "Biar saja, Mas. Biar aku menyusul, Mama. Aku udah nggak sanggup, Mas. Aku nggak sanggup! Dunia terlalu kejam untuk aku yang tidak berdaya ini, Mas. Biar aku ikut Mama saja." Racau Vina sambil terus memberontak. "kamu ngomong apa, Vin? kamu nggak boleh lemah begini. Masa depan kamu masih panjang. kamu tidak boleh seperti ini. Ikhlasin, Mama. biar Mama istirahat dengan tenang. Kamu pikir hanya kamu yang kehilangan? Mas juga kehilangan, Vin!""Tapi ini nggak adil untuk aku, Mas. Ke
Ridwan menatap Vina dan Anton bergantian, lalu berkata, "Semua tergantung Vina, Nton. Mas sih terserah aja." "Mas ngga apa-apa sendirian? nanti Mas siapa yang urus kalo aku ikut sama mas Anton?" Vina khawatir dengan keadaan kakak tertuanya. "kamu nggak usah pikirkan, Mas. Mas bisa urus diri Mas sendiri. sana lah ikut Anton. Mas nggak apa-apa." "iya, Dik. kamu nggak usah khawatir. Mas baik-baik saja." Ridwan meyakinkan Vina, agar Vina ikut bersama Anton. "Baiklah kalau begitu, Vina ikut Mas Anton saja, Mas ya." Kata Vina. "Mas baik-baik di sini, ya. nanti Vina sering main ke sini jenguk, Mas." Ujar Vina lagi. Ridwan tersenyum pada Vina. "kamu ini, Vin, udah sepeti mau pergi kemana aja pakai ngomong begitu. nggak usah khawatirkan, Mas. Mas nggak apa-apa. kamu memang lebih baik bersama Anton di sana. di sana ada keponakan dan kak ipar temanmu di rumah." Kata Ridwan. "Iya, Mas. Nanti, Vina juga mau cari kerjaan, Mas. Biar nggak jadi beban Mas Anton nantinya. sekarang kan udah saatn
"Bunda nggak apa-apa?" tanya Windi. Windi khawatir melihat Rara yang seperti terkejut. "Astaghfirullah..." Rara beristighfar. "Semalam, Bunda didatangi mimpi sama Mantan mertua, Bunda, Win." Rara menceritakan mimpinya pada Windi. tak ada yang Rara lewatkan barang sejengkal saja tentang mimpi itu. semua Rara ceritain pada Windi. "jadi itu menurut kamu apa, ya, Win?" tanya Rara. windi sesaat diam saat di mintai tanggapan oleh Rara tentang mimpi itu. "Bun, bisa jadi itu kiasan untuk bunda, Bun. mungkin mantan mertua Bunda merasa bersalah atau apa sama bunda, namun beliau belum sempat minta maaf. bisa jadi juga beliau ngasih tau lewat mimpi itu kalau beliau sudah nggak ada. itu menurut aku ya, Bun. hmm, ada baiknya Bunda kirim doa aja, Bun. atau kalo bunda mau mungkin Bunda bisa nyekar sekalian ke makamnya. mana tau beliau ingin minta maaf sama bunda selama ini namun belum sempat." windi memberikan tanggapannya. "Maaf ya, Bun. itu kalo menurut aku sih, Bun. dan itu lah yang bisa a
"Hmm ... mulai, Kakak ini. Udah ya, Kak, Bunda mau ngasih tau itu aja. Kakak, semangat skripsi, ya!" Sambungan telepon itu terputus, obrolan mereka pun berakhir. Hanum menaruh HP itu kembali di atas meja, sambil bertopang dagu memikirkan kata-kata, bundanya. "Bun, kenapa Bunda baik banget sih, Bun? kenapa Bunda segampang itu memaafkan semuanya?""Eh! kamu lagi ngelamun aja, Num. Hati-hati lho, nanti kesambet kamunya." Kekeh Selin, teman kuliahnya, yang kebetulan sedang menginap di apartemen Hanum. "Siapa yang ngelamun, nggak kok. aku lagi pusing nyusun skripsi aja, Sel.""Sejak kapan kamu pusing mikir skripsi, Han. aku tau kamu, kamu nggak usah bohong, Han."Hanum menoleh, menatap teman sekaligus sahabatnya itu. sahabat yang kenal diawal mereka jadi mahasiswa baru kedokteran beberapa tahun lalu. Hanum tersenyum menanggapi Selin temannya itu. "Kamu ada masalah, Han? kamu nggak mau cerita sama aku?" goda Celin lagi. Kembali hanum tersenyum menanggapi pertanyaan sahabatnya itu. "C
Ke esokan harinya, Rara dan Hanum pergi ketempat Ridwan berada. "Kak, Kakak mau nyekar ke makam, Oma Dulu apa ke rumah Papa, Dulu?""Kita nyekar dulu, Bun. habis itu baru ke rumah, Papa.""Baik, Kak." Rara melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang agar segera sampai di sana. "Eh, tapi, Bun. nggak usah nyekar dulu, Bun. kita kerumah, Papa dulu. Baru nanti habis itu kita nyekar ke makam, Oma." Rara menuruti semua apa maunya Hamum saja. yang terpenting bagi Rara saat ini Hamum jauh lebih bahagia dan sudah bisa legowo dengan keadaan apapun. Mobil yang membawa mereka sudah masuk ke gang rumah kontrakan Ridwan. Dari jauh tanpak orang-orang ramai di depan kontrakan itu. tak berselang lama dengan arah berlawan Muncul lah mobil Dimana tunangam Vina. di susul juga dengan kedatangan mobil Anton. "Itu kenapa rame-rame begitu, Kak ya? itu ada mobil Om anton sama Mobil Om Dimas juga." "Ada acara kali, Bun.""Kak. tapi itu ada bendera kuning juga di depan kontrakan, Kak,""Ayok kita turun,
Kalau memang masih ada rasa, kenapa tidak kembali lagi, Bun? biar kita menjadi keluarga yang utuh kembali." cicit Hamum lagi. deg! dada Rara berdebar hebat, hatiny mulai tidak karuan."Kak, tidak semudah itu untuk sebuah kata kembali, Kak.""Tapi seandainya, Papa meminta apa, Bunda akan menolak?""Kak, Kakak kenapa? kenapa dari tadi menanyakan masalah pernikahan melulu.""Jujur saja dari, Kakak, Bun. Kakak ingin Bunda bersatu kembali sama, Papa. kita jadi satu keluarga utuh lagi. Kakak sayang bangat sama kalian berdua, Bun.""Kakak ngaco kalo ngomong. Sudah lah, Kak. Bunda mau mandi dulu.""Tapi bunda masih ada rasakan sama, Papa." Rara hanya menoleh sesaat lalu kembali masuk ke dalam. sambil mandi Rara terus kepikiran dengan ucapa Hanum anaknya. Rara sendiri menanyakan itu pada pantulan bayangannya di kaca kamar mandi. "Apa benar aku masih mencintai, Mas Ridwan? apa benar selama ini aku seperti mati rassa pada lawan jenisku? tapi kenapa? kenapa disaat dekat dengannya seperti
Hamum memeluk Rara penuh dengan kegirangan dan kebahagiaan. pasalnya, hari ini dia sudah pakai toga tanda kelulusan. "Bunda, Kakak senang banget, Bun. Alhamdulillah, Kakak sudah lulus.""Iya, Kak. Bunda turut senang, selamat ya untuk anak, Bunda. Alhamdulillah, Bunda bangga sekali sama, Kakak karena Kakak sudah lulus melewati ujian ini." Tutur Rara seraya kembali memeluk hamum.Wajah Hanum yang tadinya bahagia, Sesaat kemudia berubah sendu. Hamum melihat ke kiri dan ke kanan, dan mengedar pandangan kesemua arah. Hanum beraharap akan ada kejutan di hari yang spesial ini. tapi nyatanya tidak. Rara juga tengah menunggu orang yang sama yang dicari Hanum. "Mas, kamu bilang mau datang, mana? Andai kamu melihat, Hanum tenngah menunggumu di sini." Rara membatin.melihat orang-orang berfoto bersama dengan ayah, membuat hati Hanum berkedut nyeri. "Pa, andai Papa datang? andai Papa ada di sini. "meskipun, Hamum belum secara langsung menghubungi Ridwan, tetap hati Hamum sudah memaafkan, Ridwan
Ridwan dan Rara sama-sama menoleh dan netra mereka bertemu. "Mas,""Ra," mereka kompak saling menyapa. Rara tersenyum begitu juga dengan Ridwan."Ini kejutan bagi, Mas, Ra. Mas nggak nyangka kamu akan datang.""Vina anak baik, Mas. dia datang ke rumah bersama calonnya mengundang secara langsung. Rasanya tidak pantas jika aku tidak datang. itu artinya aku masih dianggap keluarga oleh,Vina." Tutur Rara pelan. karena jarak mereka berdekatan. "Iya, Ra, kita masih keluarga, dan kamu hari ini cantik sekali… kamu sangat cantik." tentu itu hanya Ridwan ucapkan dalam hatinya. "Dua minggu lagi, Kakak wisuda, Mas.""Iya, Mas tau. Insya Allah, Mas akan usahakan datang." "ugh!" Ridwan meringis kesakitan. Perutnya tiba-tiba perih. Ridwan mencoba untuk tetap menahannya agar tidak ada yang tau kalau Dia tengah merasakan sakit yang luar biasa. "Mas, kamu kenapa?" Rara yang mendapati ridwan meringis menahan sakit. "Hm… nggak apa-apa, Ra.""Kamu pucat, Mas. Apa kamu sakit?""Nggak, Ra. Mas baik-ba
"Siapa yang datang kemari? apa ada uang mau bikin baju, lagi?"Dimas dan Vina keluar dari dalam mobil, Rara terkejut. "Vina?" ucap Rara tidak percaya. Rara segera keluar dari ruang meetingnya untuk menyambut kedatangan Vina. terlebih dahulu Rara menunda meeting itu setelah nanti Vina pulang. Rara rasanya bahagia sekali melihat perubahan Vina. Vina benar-benar membuktikan apa yang dia janjikan. "Assalamualaikum," Sapa Vina. "Waalaikumsalam." Rara menjawab salam Vina seraya keluar dari ruang meeting nya. "Mbak, apa kabar?" Vina bersalaman dengan Rara dan cipika cipiki. Entahlah semua seperti kebetulan atau memang sudah diatur oleh yang diatas. hari ini Rara memakai jilbab hadiah dari Vina. Wajah Vina sumringah bahagia mendapati pemberiannya dipakai oleh Rara. "Ada angin apa ini sampai datang kemari? ini siapa?" tanya Rara sambil menaruh minuman kemasan di atas meja. Vina menatap Dimas seraya tersenyum. "Aku kesini ingin silaturahmi aja, Mbak. sekalian aku mau ngasih, Mbak ini."
"Dim, Maaf kita belum saling mengenal, Dim. kamu belum tahu aku, pun sebaliknya aku juga belum tau kamu. Aku belum bisa jika kamu minta aku menjawab sekarang. Tapi jika kami ingin kita dekat, aku siap untuk kita saling mengenal terlebih dahulu.""Baik, Vin. Aku tau ini terlalu mendadak. Aku paham kok. Aku siap nunggu kamu kapanpun kamu bersedia." Tutur Dimas lembut. "Terima kasih, Dim.""Aku yang berterima kasih, Vin. karena kamu sudah mau memberi kesempatan untuk kita saling mengenal terlebih dahulu."Vina benar-benar takut dengan keseriusan Dimas. Hal yang ditakuti vina selama ini akhirnya terjadi juga. bagaimana nanti jika Dia tau bahwa Vina sudah tidak lagi suci. Apa Dimas masih bisa menerima, Vina dalam keadaan kotor. namun untuk jujur pun Vina tak berani. malu? iya jelas Vina sangat malu. "Apa sebaiknya aku beranikan diri untuk jujur? jika Dimas benar mencintaiku, pasti dia akan tetap menerima aku." Vina berbicara dengan diri sendiri. ******"Kamu mau pesan apa?" tanya Dim
Ridwan membuka matanya, kepalanya terasa sangat berat dan sakit. matanya menelusuri sekitar ruangan, bau obat-obatan memenuhi indra penciuman Ridwan. Ridwan menyadari tangannya terpasang infus. "Ya Allah apa yang terjadi padamu?" Ridwan tiba-tiba panik sekaligus penasaran apa yang terjadi padanya. "Selamat siang, Pak Ridwan. Bapak sudah sadar? gimana keadaannya. Apa yang, Bapak rasakan sekarang?""Dok, saya kenapa? apa yang terjadi pada saya?" bukan menjawab, Ridwan justru bertanya balik. "Menurut hasil pemeriksaan, Pak Ridwan, terkena asam lambung dan maag kronis, Pak." "Apa, Dok? kronis? apa saya bisa sembuh, Dok?""Insya Allah ya, Pak. Kita usahakan pengobatan terbaik untuk, Bapak. Untuk hasilnya, kita serahkan sama Allah ya, Pak. Kalau boleh saya tau, apa bapak tidak menjaga pola makan dengan, baik di rumah?""Iya, Dok. Saya makan yang teratur kok dirumah." ucap Ridwan berbohong. Dokter itu tersenyum ramah pada Ridwan. dokter perempuan muda. Yang sedang koas di rumah sak
Selama ini Epri mengamati, Rara dari jauh, Epri benar-benar tidak menyangka kehidupan Rara jauh lebih baik darinya. Epri yang notabene-nya dari keluarga yang berkecukupan dan kaya justru jauh di bawah Rara saat ini. Bahkan wanita yang dia pilih untuk dijadikan istri oleh Epri pun jauh di bawah Rara. Rara bahkan tidak terlihat ada kerutan di wajahnya. dia seperti menolak tua, membuat Epri yang semakin ingin mendekati Rara kembali. tapi sepertinya akan selalu gagal. "Apa aku harus berusaha lebih untuk ini? aku tidak boleh menyerah, aku harus mendapatkan kembali hati, Rara." Gumam Epri. Seminggu setelah kejadian itu, Rara kembali menerima paket. kali ini paket itu datang langsung ke kantor Rara. Iwan yang baru pulang dari antar paket menera itu dari kurir di depan kantor. "Bun, ini ada paket untuk Bunda. " Ridwan memberikan itu seraya paket buket bunga dari luar. "Bunga? dari siapa, Wan?" tanya Rara"Nggak tau, Bun. Aku nggak lihat nama pengirimnya." "Oh ya, sini, Bunda lihat. Ter
"Bun, di luar ada tamu." Windi datang memberitahukan, Rara. "Siapa? suruh masuk saja, Win." Titah Rara masih fokus dengan laptopnya. "Baik, Bun.""Assalamualaikum," Suara yang yang tidak asing itu terdengar mengusik konsentrasi Rara. Rara menatap sepatu pria itu hingga beralih sampai ke atas. Mata Rara melotot sempurna melihat siapa yang datang. "ya Allah, dia ternyata tidak main-main ingin menemuiku." Gumam Rara. "Waalaikumsalam," Sahut Rara dengan wajah syoknya. "Apa aku boleh masuk?""Tentu… silahkan duduk."Rara mencoba kembali ke mode tenang dan santai. Rara mencoba untuk rileks seolah dia tengah baik-baik saja. Rara ingin menunjukkan pada pria yang ada di hadapannya saat ini bahwa Rara jauh lebih baik dan lebih bahagia. setelah mempersilahkan duduk, Rara hanya diam dan tidak berbicara. itu berhasil membuat Epri menjadi salah tingkah. Epri duduk di sofa tepat di depan meja kerja Rara. Epri sempat terkagum melihat Rara yang sekarang. Rara tidak terlihat tua sama sekali,