"Jadi kamu Naya, adik iparnya Bayu ya?" tanya pemilik toko ramah.Siang ini, aku pergi ke toko bahan kue sesuai dengan alamat yang diberikan oleh Mas Bayu. Ternyata, pemilik toko bahan kue yang baru kutahu bernama Pak Tyo ini masih muda, mungkin masih seumuran dengan Mas Bayu."Iya, Pak, saya Naya," jawabku."Sebelumnya, apa kamu punya pengalaman kerja di toko?""Ada, Pak. Kebetulan saya punya ... punya pengalaman kerja di toko, Pak," jawabku sedikit gugup."Baiklah, kamu saya terima kerja disini. Kamu nanti bisa bantu-bantu karyawan yang lainnya. Kamu bisa tanyakan langsung dengan mereka, apa saja kerjaan kamu disini," jelas Pak Tyo."Baik, Pak. Terima kasih," ucapku tersenyum.Aku sangat bersyukur, akhirnya aku bisa diterima bekerja. Meskipun hanya bekerja di toko, setidaknya, aku memiliki kesibukan agar aku bisa melupakan sejenak tentang masalah rumah tanggaku bersama Mas Kenzie.Toko milik Pak Tyo lumayan besar, hampir sama dengan toko grosir yang aku miliki dulu. Pak Tyo juga mem
Hembusan angin laut menerpa wajahku lembut, dan menimbulkan sensasi dingin di wajahku yang tadinya sempat memanas setelah pertemuanku dengan Mas Kenzie Dan Ibunya tadi. Cuaca hari ini cukup redup, seredup hatiku yang masih belum bisa melupakan Mas Kenzie sepenuhnya. Setelah pertemuanku dengan Ibu dan juga Mas Kenzie di persidangan tadi, hati ini kembali sakit. Dengan susah payah aku melupakan semuanya, tapi jika bertemu kembali dengan mereka, rasa sesak di dada masih saja selalu hadir.Setelah sidang pertama perceraianku dengan Mas Kenzie berakhir, aku mengajak Siska untuk singgah sejenak di tepi pantai yang memang letaknya tak jauh dari Pengadilan Agama. Kata-kata Ibu saat beliau memintaku untuk kembali bersama Mas Kenzie, masih teringat jelas di benakku."Nduk, selama ini, Ibu dan Kenzie selalu menyayangi kamu sepenuh hati. Hanya saja, keadaan yang memaksa hingga menjadi seperti ini. Ini memang salah Ibu, Nduk, yang begitu mengharapkan kehadiran cucu di tengah-tengah keluarga kami.
"Sepertinya, aku gak perlu dengar jawaban dari kamu, Mas. Aku yakin, kamu gak akan sanggup untuk menjalani hukuman seperti yang aku bilang tadi 'kan?""Sayang, maafkan aku ... " lirih Mas Kenzie."Kata maaf itu mudah, Mas. Kamu gak ingat seberapa besar luka yang kamu torehkan di hati aku? Selama ini, kamu dan keluargamu bersekongkol untuk membohongi aku. Yang lebih sakitnya, hasil kerja kerasku selama ini menemaani kamu dari nol, justru kamu gunakan untuk menafkahi gundikmu itu! Dan yang lebih parahnya, kamu juga menggunakan uangku untuk berzina dengan perempuan-perempuan murahan di luar sana! Seumur hidup, aku gak akan pernah ikhlas, Mas!" kataku menggebu-gebu. Akhirnya, tumpah sudah emosi yang sedari tadi berusaha aku tahan."Aku memang salah, Sayang. Aku meyesal ... ampuni aku," lirih Mas Kenzie."Kamu gak perlu minta ampun sama aku, Mas. Mintalah pengampunan pada Tuhan, aku cuma manusia biasa. Gak mudah buatku memaafkan kesalahan kamu," kataku."Sayang, aku yakin pasti masih ada
"Nay, bagaimana dengan pekerjaanmu di toko?" tanya Ayah.Sore ini, aku dan Ayah sedang duduk menikmati secangkir teh hangat di teras belakang rumah Kak Keyla. Kami hanya berdua, karena Kak Keyla sedang sibuk memandikan Zaidan, sedangkan Mas Bayu belum pulang dari bekerja."Alhamdulillah, lancar, Yah. Kebetulan bosnya baik, karyawannya juga baik-baik, Yah. Aku betah kerja disana, meskipun gajinya gak besar," jawabku tersenyum."Baguslah, Ayah senang dengarnya. Gaji kecil gak masalah, Nay, yang penting kamu nyaman kerja disana.""Iya, Yah.""Oh, ya, gimana sidang perceraian kamu sama Kenzie tadi? Apa berjalan dengan lancar?""Lancar sih, Yah. Cuma ya gitu, Mas Kenzie masih kekeh gak mau cerai dari aku. Jadi ya, sidangnya harus ditunda lagi," jawabku.Aku menceritakan pada Ayah tentang kejadian saat Mas Kenzie dan Ibunya memintaku untuk kembali pada Mas Kenzie di pengadilan agama tadi. Juga menceritakan tentang Ibu yang dengan mudahnya memintaku untuk menerima Anggun sebagai maduku.Ayah
"Nay, hari ini, bisa ikut saya sebentar?" tanya Pak Tyo saat aku sedang membersihkan lantai toko."Kemana ya, Pak?" tanyaku."Gimana, ya? Hmm ... saya mau beli kado buat mama saya, kebetulan hari ini beliau ulang tahun. Saya bingung mau milihnya. Kamu kan perempuan, mungkin kamu tahu selera ibu-ibu. Saya minta tolong bantuan kamu buat memilih kado yang bagus buat mama saya. Kalau kamu keberatan juga gak papa kok," jelas Pak Tyo seolah tak enak padaku."Boleh, Pak. Tapi, gimana dengan toko ini?""Kan ada Eka sama Yuni, biar mereka aja yang jaga. Cuma sebentar saja kok, Nay, nanti aku antar lagi kesini," kata Pak Tyo."Iya, Nay. Biar kami aja yang jaga toko, lagian tokonya udah sepi ini. Iya kan, Ka?" kata Mbak Yuni. Mbak Yuni melirik Eka dan langsung dijawab anggukan cepat dari Eka."Baik, Pak, kalau gitu. Saya ambil tas dulu," kataku.Setelah siap, aku dan Pak Tyo masuk ke dalam mobil kijang Inova milik Pak Tyo. Ada sedikit rasa canggung, karena selama ini, kami jarang berkomunikasi.
Aku masih bingung, harus melakukan tindakan apa saat ini. Jika aku maju, aku harus menyiapkan mental ku untuk menghadapi Anggun dan juga Mas Kenzie di depan sana. Bukan aku takut, tapi saat ini aku hanya berdua dengan Pak Tyo. Aku tak ingin mereka berpikir macam-macam padaku. Apalagi, aku dan Mas Kenzie belum resmi bercerai secara hukum.Tapi jika aku pergi, pasti mereka akan merasa menang karena melihat kesedihanku, atau mungkin malah mereka akan menertawakan kekalahanku. Susah payah aku berusaha menata hidupku kembali, sia-sia jika aku harus takut menghadapi Mas Kenzie dan juga Anggun bukan? Aku tak ingin mereka melihatku kalah, aku harus tetap tenang dan menunjukkan pada mereka bahwa diriku mampu untuk berdiri sendiri meskipun harus berpisah dari Mas Kenzie.Aku berjingkrak kaget, saat sebuah tangan tiba-tiba menepuk bahuku pelan. "Astagfirullah ..." ucapku terkejut."Lo ngapain disini, Nay? Gak kerja?" Siska bertanya sambil menaikan sebelah alisnya.Aku yang masih memegang dada un
"Pokoknya, gue gak ada urusan sama Lo! Minggir!" Bentak Mas Kenzie sengit."Gak, gue gak bakal minggir sebelum Lo pergi dari sini!" ujar Siska semakin berani."Sayang, ayo pulang," ujar Mas Kenzie lalu menarik tanganku secara tiba-tiba. Refleks, aku melepaskan tarikan tangannya dengan kasar. Jijik rasanya, dipegang oleh orang yang tak tahu malu seperti Mas Kenzie.Bisa-bisanya Mas Kenzie masih membuat ulah di depan umum. Padahal saat ini, ia juga sedang bersama Anggun dan juga anak-anaknya. Untuk berbicara pun, rasanya aku sudah malas."Mas," Suara lembut Anggun memanggil Mas Kenzie."Sudahlah, Mas. Apa lagi sih yang kamu harapkan dari Naya? Kamu sudah punya aku dan anak-anak kita, apa masih belum cukup, Mas?" Anggun berkata dengan lembut, tapi sukses membuat hati ini nyeri.Hati ini terasa nyeri bukan karena aku cemburu melihat kebersamaan Mas Kenzie dengan Anggun. Tapi karena Anggun, menyebut kata 'anak-anak'. Yang seolah-olah sedang menyindirku yang tak bisa memberikan seorang anak
Aku menghela nafas panjang dan menghembuskan secara perlahan saat baru turun dari mobil dan menginjakkan kaki di depan gedung pengadilan agama. Ada rasa lega dalam hati karena hari ini adalah hari yang sudah sangat aku nanti-nantikan. Karena hari ini adalah hari putusan sidang perceraianku dengan Mas Kenzie.Setelah beberapa bulan menjalani beberapa kali proses sidang yang cukup panjang dan melelahkan, hari yang aku nanti-nantikan akhirnya tiba juga. Aku mengulas senyum, aku berjanji pada diriku sendiri tak akan ada lagi air mata yang keluar dari mataku hanya untuk menangisi perpisahanku dengan Mas Kenzie. "Lo udah siap, Nay?" tanya Siska yang kini sudah berdiri di sampingku."Udah, Sis," jawabku tersenyum."Baguslah, yok kita masuk," ajak Siska.Aku dan Siska mulai berjalan masuk ke dalam gedung untuk menunggu antrian jadwal persidangan perceraianku dengan Mas kenzie. Karena menurut jadwal, sidang akan di gelar sekitar setengah jam lagi. Aku sengaja minta ditemani Siska lagi, karena