"Enggak, Ken. Ibu gak mau Bapak kamu tinggal di sini. Kami sudah bukan suami istri lagi, gak pantas jika harus tinggal dalam satu atap. Apa kata orang nanti," ucap Ibu menolak."Lagipula, kalian kan adik-adik kesayangannya, kenapa begitu tega menelantarkan Kakak kalian sendiri? Kalian gak ingat, bagaimana dulu Kakak kalian itu begitu memanjakan kalian. Kalian jangan sok suci, seolah-olah kesalahan kalian lemparkan pada Kenzie. Sebelum bicara, harusnya kalian berkaca dulu. Diri kalian sudah benar apa belum? Kalian suruh kami untuk membuka hati nurani kami. Tapi kalian sendiri lupa, dimana hati nurani kalian sebagai adik?!" ujar Ibu yang terlihat emosi dan mulai kehilangan kesabaran.Memang benar yang diucapkan Ibu. Karena setahuku, dulu Bapak begitu menyayangi ketiga adiknya itu. Disaat mereka kesusahan, Bapaklah yang selalu membantu mereka. Tapi disaat Bapak jatuh seperti ini, mereka begitu tega membuang Bapak. Dan seolah sengaja melemparkan Bapak pada kami.Lek Par, Lek Narto dan jug
☘️"Ken, Ibu mau bicara dari hati ke hati sama kamu," ucap Ibu memecah keheningan diantara kami bertiga.Sebab saat ini, aku, Ibu dan Dini sedang sarapan pagi bersama. Sejak kejadian kemarin, kami tak bertegur sapa. Kami sama-sama saling mendiamkan. Jika Ibu bisa mendiamkan aku, kenapa aku tidak? Aku ingin tahu, seberapa tahan Ibu bisa mendiamkan aku. Dan akhirnya, Ibu mau memulai menegurku lebih dulu."Bicara apa, Bu?" tanyaku datar.Sejujurnya, aku benar-benar masih kesal pada Ibu. Untuk berbicara dengan Ibu saja, aku sudah malas. Aku tahu, Ibu tidak akan mungkin bisa berubah pikiran secara cepat. Dan aku yakin, Ibu masih mau membahas tentang Anggun."Tolong, Ken, Ibu mohon sama kamu, sekali ini saja, turuti kemauan Ibu. Ibu janji, ini permintaan Ibu yang terakhir. Untuk kedepannya, Ibu gak akan pernah memaksa kamu lagi," jawab Ibu."Permintaan mana yang harus aku turuti, Bu? Menikahi Anggun maksud Ibu?" tanyaku mulai kesal. Selera makanku tiba-tiba menghilang sudah."Iya, Ken. Kamu
"Kamu kenapa, Mas? Kok kelihatan kusut banget?" tanya Maryam, saat kami istirahat makan siang bersama."Gak papa, Mar. Pagi tadi, aku habis ribut sama Ibu," jawabku.Biarlah, aku jujur saja pada Maryam. Sebab tak ingin ada sesuatu yang aku sembunyikan dari Maryam. Karena dalam hitungan hari, kami akan segera menikah. Aku berharap, tak akan ada rahasia apapun diantara kami. Aku ingin Maryam kuat mental dan tak kaget, jika suatu saat, Ibu berucap yang menyakitkan hati Maryam. Jangankan Maryam, aku yang anaknya sendiri saja, sakit hati dengan ucapan Ibu."Kamu yang sabar ya, Mas. Maaf, gara-gara mau menikah sama aku, kamu jadi sasaran kemarahan Ibu kamu," ucap Maryam."Berapa kali aku harus bilang, Mar. Ini semua bukan sepenuhnya kesalahan kamu. Seandainya aku gak mau nikah sama kamu sekalipun, masalah ini tetap ada. Aku memang benar-benar gak mau rujuk sama Anggun," jelasku."Memangnya, apa yang membuat Ibu kamu begitu kekeh nyuruh kamu balik sama mantan istri kamu itu, Mas?" tanya Mary
"Kok muka kamu tegang gitu, Mar? Kamu takut?" tanyaku pada Maryam.Saat ini, kami sedang berada di angkutan umum untuk pulang menuju ke rumahku. Seperti pesan Ibu siang tadi, yang menyuruh aku membawa Maryam untuk bertemu dengan Ibu. Wajah Maryam yang terlihat tegang menyiratkan ada ketakutan di wajah Maryam."Gak papa, Mas. Cuma gugup aja, ini pertama kalinya aku mau ketemu Ibu kamu. Takut kalau Ibu kamu gak suka sama aku, Mas," jawab Maryam."Kamu gak perlu takut, Mar. Kan ada aku, apapun yang terjadi nanti, aku akan selalu menjaga dan melindungi kamu," kataku berusaha menenangkan Maryam."Iya, Mas. Aku tahu kok, aku cuma ... ngerasa gimana gitu. Apalagi, sudah jelas Ibu kamu gak suka sama aku.""Ya, aku ngerti, Mar. Meskipun Ibu bilang mau menerima kamu, aku gak bisa percaya sepenuhnya dengan omongan Ibu. Makanya, kita harus siapkan mental dengan segala kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi nanti. Apa kamu siap?""Siap gak siap sih, Mas. Karena mau nikah sama kamu, ya harus siap.
"Memangnya, kamu lulusan apa? Gak kuliah?""Saya cuma tamatan SMA, Bu.""Terus, orang tua kamu kerja apa?" Kali ini Ibu bertanya dengan datar, tak ada lagi senyuman di bibir Ibu."Orang tua saya buruh tani, Bu.""Oh pantas saja, nama kamu terlihat kampungan," ujar Ibu lirih. "Kenapa gak cari laki-laki di kampung saja? Kenapa malah milih Kenzie?""Bu!" ucapku memberi peringatan pada Ibu. Aku tak suka jika Ibu bertanya yang bisa melukai hati Maryam. Sedari tadi, aku sudah berusaha bersabar mendengar pertanyaan Ibu yang seolah menyudutkan Maryam. Tapi Maryam justru menyenggol lenganku, seolah memberi kode bahwa ia tak keberatan dengan pertanyaan dari Ibu."Ibu cuma bertanya, Ken. Memang salah?""Maaf, Bu. Kalau jodoh saya ada di sini, kenapa harus cari di kampung? Mas Kenzie bisa menerima kekurangan saya, begitupun sebaliknya. Saya merasa nyaman dengan Mas Kenzie," jawab Maryam tersenyum. Maryam masih terlihat biasa saja dan terlihat santai. Sama sekali tak terpancing emosi dengan pertan
☘️POV Anggun"Tidak! Tidak! Jangan pergi, Mas!""Akh!" Aku terbangun dengan nafas tersengal-sengal. Keringat membanjiri sekujur tubuhku hingga membuat piyama tidurku menjadi basah.Aku terduduk sambil memeluk kedua lututku. Mimpi buruk itu kembali datang setiap tengah malam setiap aku tertidur. Tak pernah satu hari pun terlewatkan tanpa mimpi buruk. Aku membenamkan wajah kedalam lutut. Lalu mulai menangis terisak sendirian.Aku selalu memendam mimpi buruk ini sendirian. Tanpa pernah sekalipun aku bercerita pada siapapun, termasuk Mama. Percuma aku bercerita juga, Mama tak pernah mengerti dengan perasaanku. Sebenarnya, aku sangat butuh teman. Teman untuk berbagi cerita yang bisa aku ajak bicara untuk mencurahkan segala beban di hatiku. Sayangnya, aku tak memiliki satu orangpun teman yang dekat denganku.Penyesalan yang begitu dalam selalu menghantui hidupku. Terutama rasa sesal karena tak bisa mengulang waktu untuk bisa kembali seperti dulu. Ya, seperti dulu, saat aku masih hidup bers
Dan akhirnya, pernikahanku dan Rian pun terjadi. Pernikahan kami berlangsung sangat sederhana dan hanya dihadiri oleh keluarga terdekat kami. Namun, Rian menceraikan aku meskipun pernikahan kami belum genap satu bulan. Rian beralasan tak sanggup hidup denganku karena kondisiku yang masih tetap sama. Tak ada perubahan yang berarti. Memang begitu kenyataannya, perhatian apapun yang diberikan oleh Rian padaku, sama sekali tak menggetarkan hatiku. Aku masih suka menyendiri dan melamun."Anggun, mau sampai kapan kamu seperti ini terus, Nak?" tanya Mama dengan berlinang air mata."Mama mau kamu sembuh seperti dulu, Nak. Kasian kedua anak kamu, gak bisa merasakan kasih sayang kedua orang tuanya. Tolong, Nak, jangan buat Mama sedih. Jalani hidup kamu seperti wanita normal pada umumnya, menikah dan hidup bahagia. Bukan terus-menerus melamun dan diam. Katakan sama Mama, apa yang kamu mau? Pasti Mama turuti. Tapi tolong ... sembuhlah, Nak," racau Mama sambil menangis terisak di hadapanku.Aku bi
Ingatan tentang masa lalu seolah berputar dalam pikiranku. Aku langsung teringat, bagaimana bahagianya kehidupanku saat menjadi istri Mas Kenzie dulu. Kami terlihat seperti keluarga yang sempurna. Memiliki dua anak yang lucu dan menggemaskan.Kami sering jalan berempat untuk menghabiskan waktu diluar. Memanjakan anak-anak kami, dan mengurus anak kami berdua dengan baik. Mas Kenzie sosok suami yang sempurna, yang selalu siap siaga menjaga anak-anak kami. Tak pernah merasa jijik ataupun terlihat lelah, saat mengurus kedua anak balita kami. Sayangnya, aku baru menyadari itu semua. Dan menyisakan sesal yang teramat dalam.Dulu, aku selalu meremehkan dan merendahkan Mas Kenzie setelah ia bercerai dari Naya. Karena setelah bercerai dari Naya, Mas Kenzie tak memiliki apapun lagi. Bahkan, pekerjaan pun ia tak punya. Dan yang lebih membuatku kesal, Mas Kenzie justru bekerja menjadi seorang cleaning servis. Yang memang pekerjaan yang aku anggap rendah saat itu. Tapi kini, aku sangat menyesal.A