Aku memilih kursi yang menghadap langsung ke panggung, sementara Arshaka duduk di depanku, membelakangi panggung, seolah tidak tertarik dengan musik yang mengalun lembut."Kamu mau bahas soal apa?" tanyaku, mencoba membuka percakapan.Arshaka mengeluarkan sebuah map yang terlihat agak basah, lalu meletakkannya di atas meja. Aku menatap map itu dengan penuh tanya."Program OSIS?" tebakku.Dia mengerutkan kening, "Kenapa lo bisa mikir gitu?""Ya, kan, biasanya kamu sangat peduli sama masa depan SMAN Cendana," jawabku, sedikit tersenyum.Arshaka menggeleng pelan, "Ini lebih penting dari itu."Aku mengangkat alisku, lalu dengan penasaran mencoba membuka map itu. Namun, tangannya dengan cepat merebutnya kembali, membuatku terkejut."Lo boleh buka map ini, setelah lo udah siap nanti," katanya dengan nada misterius.Aku mendengus kesal, "Kalau aku udah siap sekarang?"Dia melotot padaku, "Please, deh, Sha, nggak usah nyebelin malam ini. Ini malem terakhir gue bisa ketemu lo," ucapnya dengan
"Kadang, jarak hanya memperjelas apa yang sebenarnya tak pernah ingin kita lepaskan—meski malam memisahkan, rindu tetap merangkul dalam setiap hembusan angin yang berbisik di antara kita." -Alshameyzea Afsheena ...Malam itu sudah menunjukkan pukul sembilan ketika kami akhirnya tiba di depan rumahku. Angin malam berhembus dengan lembut, membelai kulit kami."Makasih, Pak," kata Arshaka kepada supir Grab setelah aku turun dari mobil. Aku juga mengucapkan terima kasih sambil tersenyum kepada bapak itu, yang membalas dengan senyuman hangat. Kami kemudian melangkah menuju teras, perlahan, seolah tak ingin waktu ini berakhir.Arshaka menatapku dengan mata yang penuh arti. "Sorry ya, Sha, gue udah ngajak lo keluar malam-malam," ucapnya, ketika kami sudah sampai di teras.Aku tersenyum tipis, mencoba menenangkan hatinya. "Kenapa harus minta maaf? Aku suka kok tempat yang tadi."Dia menggeleng pelan, ada ketegasan dalam suaranya. "Cewek nggak seharusnya keluar malem kalau gak ada kepentin
Jantungku seakan berhenti berdetak sejenak. "Hah? Maksudnya?" Aku mendongak, keningku berkerut, benar-benar tidak paham apa yang dia maksud."Gelang itu," lanjutnya, kali ini pandangannya jatuh pada gelang yang melingkar di pergelangan tanganku.Reflek, aku mengangkat tanganku, memperlihatkan gelang yang kupakai. "Ini yang ketinggalan?" tanyaku dengan polos, mencoba memahami apa yang terjadi.Arshaka menghela napas panjang, suaranya berubah lebih lembut, hampir seperti berbisik. "Maksud gue, lo pakai terus ya, gelangnya."Kebingungan semakin merasuk dalam pikiranku. "Kenapa emangnya dengan gelang ini? Kok kamu bisa tau soal gelang ini? Ini kan gelang dari--" "Gue," potong dia, suaranya mantap.Mataku terbelalak mendengar pernyataannya, seolah dunia berhenti sejenak. Aku hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. "J-jadi ini dari kamu?" tanyaku, dengan suara gemetar.Dia mengangguk pelan, wajahnya serius.'Pantes Rey selalu bingung pas aku bilang makasih ke dia', pikirk
"Kepercayaan tumbuh di tanah kesabaran dan saling menghargai. Tanpa keduanya, ia akan layu dan hilang." -Alshameyzea Afsheena ...Istirahat siang itu, suasana di kelas terasa hangat. Suara riuh teman-teman yang bercanda dan berbincang mengisi udara, sementara aku masih duduk di bangkuku, tenggelam dalam catatan di buku pelajaran. Di sebelahku, Aline sudah bersiap-siap untuk ke kantin, ekspresinya penuh semangat."Al, yuk ke kantin! Aku udah laper banget nih," ajaknya sambil merapikan kerudungnya yang sedikit miring.Aku tersenyum kecil, hendak menutup bukuku ketika tiba-tiba suara speaker sekolah yang familiar terdengar, memenuhi setiap sudut ruang kelas."Panggilan kepada Alshameyzea Afsheena, kelas XII IPA 2, dimohon untuk menemui Bu Sri di kantor guru sekarang juga,"Aku tertegun sejenak, mendengar namaku dipanggil. Aline langsung mengerutkan kening, wajahnya menampakkan sedikit kekecewaan. "Yah, nggak jadi deh kita ke kantin bareng," gumamnya sambil menghela napas pelan, tapi
"Gak usah banyak omong, ikut kita!" bentak Elysia dengan nada tajam."Aku bisa jalan sendiri kok," jawabku berusaha tenang, meski ada ketakutan yang merayap di dalam diriku.Namun, mereka tak menghiraukanku. Pegangan mereka semakin kuat, menyeretku tanpa ampun hingga sampai di aula. Tanpa peringatan, mereka mendorongku, membuat tubuhku terhempas ke lantai dengan keras."Kalian kenapa bawa aku ke sini?" tanyaku, kebingungan membalut kata-kataku saat aku berusaha bangkit.Sebelum aku bisa sepenuhnya berdiri, Elysia menekanku kembali ke lantai. Rasa sakit menjalar ketika lenganku terbentur keras, membuatku meringis."Lo tau nggak kenapa kita bawa lo ke sini?" Clara tiba-tiba berseru, nadanya dipenuhi kemarahan yang memuncak.Aku mendongak, menatap mereka berdua dengan bingung, berusaha memahami apa yang sebenarnya terjadi."Lo udah bikin cinta gue bertepuk sebelah tangan, Alsha!" Clara melanjutkan dengan nada penuh kebencian. "Arshaka, cowok yang udah lama gue suka, malah milih lo!"Kata
Elysia, yang selama ini diam, tiba-tiba menyela dengan senyum puas. "Lo tuh terlalu polos! Lo nggak akan pernah bisa ngelawan Clara. Keenan itu tinggal tunggu waktu aja sebelum dia jadi milik Clara!"Air mata mulai menggenang di mataku, tapi aku berusaha keras untuk menahannya. "Keenan bukan barang yang bisa direbut-rebut," kataku, berusaha menunjukkan kekuatan meskipun hatiku hancur. "Dia punya hak buat milih siapa yang dia mau."Clara menggeleng sambil tertawa kecil, seolah merasa kasihan padaku. "Lo naif banget, ya. Dunia nggak seindah yang lo pikir. Dan percaya sama gue, Keenan bakal milih gue pada akhirnya. Jadi, lo siap-siap aja kehilangan dia."Aku merasa dunia di sekitarku runtuh perlahan. Kata-kata Clara menggema di kepalaku, menambah beban yang sudah terasa terlalu berat untuk kutanggung. Aku hanya bisa berdiri di sana, basah kuyup dan tak berdaya, sementara Clara dan Elysia berjalan meninggalkanku dengan senyum puas terukir di wajah mereka.Tapi, tiba-tiba Clara berbalik ke
"Ketika kamu memilih untuk percaya, kamu memberi harapan; ketika kamu memilih untuk ragu, kamu menciptakan jarak." -Alshameyzea Afsheena•••Kafka duduk di sampingku, seragam basketnya masih menempel erat di tubuhnya, lembab oleh keringat yang belum sempat mengering. Beberapa butir keringat masih terlihat jatuh di pelipisnya, pertanda ia baru saja menyelesaikan latihan. Sinar matahari siang menembus jendela aula, memantulkan kilau di rambutnya yang sedikit basah.Aku meliriknya sekilas. "Ngapain kamu di sini?" tanyaku dengan suara pelan, hampir seperti bisikan yang tersapu angin."Lo yang ngapain di sini, Al?" sahut Kafka tanpa melihatku. Suaranya tetap tenang, seperti biasa, tanpa emosi yang berlebih. Bel sekolah baru saja berbunyi, tapi aku belum bisa memaksa kakiku untuk melangkah. "Lo nggak mau masuk kelas? Ini udah bel," tambahnya, suaranya terdengar lebih lembut daripada biasanya. Namun, aku tetap diam, menatap lurus ke depan. Aku nggak mungkin bilang ke Kafka alasan kenapa a
Aku mengangguk, melangkah keluar dari kamar, sementara ponsel masih terhubung dengan Keenan. Langkahku berat saat aku menuju halaman rumah."Kamu marah sama aku, Sheena?" tanya Keenan dari telepon, suaranya penuh keprihatinan. Aku hanya bisa berjalan dengan langkah pelan menuju gerbang, mulutku terkunci rapat, enggan mengungkapkan apa yang kurasakan. Setiap langkah terasa seperti beban berat."Sheena.." panggil Keenan, meskipun kami sudah dekat, suaranya masih terdengar dari telepon.Ketika aku membuka kunci gerbang, aku menundukkan kepala, tidak berani menatapnya langsung. Keenan berdiri di luar, wajahnya penuh dengan ekspresi yang sulit kubaca.Dengan hati berdebar, aku membuka pintu gerbang, tetap tidak berani menatap Keenan. Aku berusaha menyembunyikan perasaan yang berkecamuk dalam hati, melawan air mata yang hampir jatuh."Keenan, ini udah malem. Ngapain kamu kesini? Mending kamu pulang aja," ucapku pelan dengan suara bergetar."Sheena, kamu diapain sama Clara?" tanyanya, terden
“E-eh, Kak, itu mau dipasang di mading sama Yara...” protes si siswi, namun Aline tak peduli, tangannya gemetar ketika ia mulai membaca, matanya bergerak cepat melintasi kalimat-kalimat di selebaran itu. Aku berdiri di sampingnya, dan perlahan-lahan judul berita di koran itu terlihat jelas di mataku, seolah-olah huruf-huruf itu melompat keluar dari halaman dan menghantam dadaku dengan keras. ~"Tragedi di Laut Mediterania: Pesawat XYZ345 Jatuh, 7 Siswa Indonesia Jadi Korban"Penerbangan internasional XYZ345 dari Indonesia menuju Spanyol yang membawa total 162 penumpang mengalami kecelakaan tragis di perairan dekat Laut Mediterania. Pesawat tersebut membawa 7 siswa Indonesia yang terpilih untuk mengikuti lomba tingkat Internasional ke Spanyol, bersama dengan penumpang umum dan kru pesawat. Berdasarkan laporan sementara, sebagian besar korban telah ditemukan dalam kondisi meninggal dunia. Namun, terdapat satu jasad siswa Indonesia yang hingga saat ini belum ditemukan. Berikut adalah da
Tiba-tiba Aline menepuk lenganku, memutuskan lamunan yang mulai merasuk. "Hey, Al! Kok malah ngelamun? Udah sana, lanjutin belajarnya. Aku mau tidur," katanya dengan ringan sebelum berbalik dan menuju tempat tidurnya.Aku sedikit terkejut, lalu tersadar dan mengangguk. "Iya, iya," jawabku sambil kembali menatap layar laptop, mencoba fokus lagi pada tugas yang harus kuselesaikan. Aku menggulir pelan halaman pada laptopku, membaca artikel tentang ketentraman jiwa manusia. Di tengah keheningan malam, pikiranku melayang pada nasihat lembut seorang ustadz di pengajian kecil. Suaranya penuh keyakinan, wajahnya teduh di bawah sorotan lampu masjid, saat ia berbicara tentang hati dan perasaan perempuan."Perempuan," katanya lembut, "jika tidak disibukkan dengan ilmu dan agamanya, dia akan gila karena perasaannya."Kalimat itu seperti sayatan tajam, menggugah kesadaran yang dalam. Aku memejamkan mata, mencoba merenungkan kata-katanya. Mungkin ini jawabannya—aku perlu mengalihkan perasaanku ke
Jemariku gemetar sedikit saat menemukannya, dan aku membuka halaman demi halaman, hingga kutemukan kutipan yang selalu berulang dalam buku itu. Bibirku membaca pelan kata-kata yang pernah memberiku kekuatan."Dalam perpaduan bulan dan bintang, langit malam mengungkap keindahan, menghapus segala beban hidup yang memandang."Aku mengulangi kalimat itu, berbisik, "Bulan dan bintang... langit malam... keindahan... menghapus beban hidup yang memandang."Mataku tak lepas dari langit di luar jendela. Bulan bersinar dengan tenang, bintang-bintang di sekelilingnya berkelip, seolah menyapa. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang hampir kupegang. Aku merasakan denyut ide yang perlahan mulai terbangun di kepalaku."Keindahan... langit malam..." gumamku lagi, lebih dalam, mencoba merangkai makna di antara kata-kata itu. Aku menutup mataku sejenak, membiarkan bayangan langit malam menari-nari di dalam pikiranku, berharap bisa memunculkan sesuatu yang nyata. Dan tiba-tiba.. seperti kilatan cahaya, 'aku t
Aku berbalik dan memandangnya dengan lelah. "Sebentar lagi, Lin," jawabku singkat, suaraku nyaris tenggelam."Aku mau ngaji dulu, sambil nunggu adzan isya'," tambahku, berharap Aline tak lagi mendesakku.Namun, dia tetap mendekat, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. "Al, minum obat dulu, ya? Jangan ditunda-tunda," katanya sambil meraih kotak obat yang sudah kusiapkan di kamar untuk keadaan darurat. Dia menyodorkan obat itu kepadaku, seakan tak ingin memberi ruang bagi penolakan.Aku menatap pil-pil di tangannya, lalu mengangguk lemah. Perlahan, aku mengambil obat tersebut dan segera menelannya. Perasaan sedikit tenang menyelimuti, meski tidak sepenuhnya menghapus rasa sakit yang ada di dalam dada."Nah, gitu dong. Kalau gini kan aku bisa lebih tenang. Kamu lupa ya? Tadi Kafka nitip kamu ke aku," ucap Aline, mencoba mencairkan suasana.Kafka. Nama itu membuatku terdiam sejenak. Masih ada banyak hal yang harus kupertanyakan padanya, namun, malam ini, aku terl
Aline mengangguk pelan, "Iya," jawabnya lembut, tak pernah sekalipun melepaskan rangkulannya di pundakku.Abhi yang biasanya ceria terlihat lebih serius. "Cepet sembuh ya, neng Alsha," ucapnya dengan nada tulus, meskipun ada sedikit kebingungan di matanya.Nevan menambahkan, "Iya, cepet sembuh, Al, biar Keenan nanti nggak kepikiran pas tanding." Kalimat terakhir itu terasa seperti belati yang menusuk langsung ke hatiku. Air mataku yang sedari tadi kutahan semakin deras mengalir, namun aku tetap diam. Mereka tidak tahu. Tidak tahu bahwa sakit yang kurasakan bukan hanya karena pusing, tetapi karena pengkhianatan yang baru saja kulihat. Keenan. Orang yang mereka banggakan, orang yang mereka kira akan peduli padaku, ternyata sudah bersama orang lain. Gadis lain. Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, aku memohon agar mobil berhenti. "Mampir ke masjid dulu... sholat Maghrib," pintaku dengan suara pelan, hampir tak terdengar.Aline mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut, dan su
Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki yang semakin mendekat membawaku kembali ke kenyataan. Aline tiba lebih dulu, diikuti oleh Kafka, Nevan, dan Abhi. Wajah mereka penuh kecemasan saat mereka menghampiriku. Aline duduk di sampingku, tanpa ragu langsung merangkulku dengan erat. Pelukan hangatnya seolah mencoba menarikku keluar dari keterpurukan yang tengah melingkupiku."Al, tiba-tiba banget sakitnya?" tanyanya lembut, suaranya bergetar samar dengan kekhawatiran.Aku hanya mengangguk pelan, masih menutupi wajah dengan kedua tanganku. Air mata yang membasahi pipiku tidak bisa kutahan lagi, dan aku tidak ingin mereka melihat betapa hancurnya aku saat ini."Bentar, gue telfon supir gue dulu biar cepet kesini," Kafka berkata, suaranya terdengar seperti dari kejauhan, bergema di antara pikiranku yang kacau. Aku bisa mendengar langkah kakinya menjauh sedikit, mungkin untuk mendapatkan sinyal yang lebih baik, tapi fokusku tak bisa sepenuhnya tertuju padanya.Aline menghela napas dalam
"Ketika rasa tak lagi mampu berlabuh di bumi, aku melangitkannya—membiarkannya terbang tinggi, menuju Tuhan, di mana segala harapan menemukan tempatnya yang abadi." -Alshameyzea Afsheena •••Di bawah langit senja yang memancarkan warna merah jingga lembut, bandara sore itu tampak bagaikan palet cat yang dipenuhi dengan warna-warna ceria dan energi yang tak tertahan. Namun, kontras antara suasana yang riuh dan keadaan batinku yang terpuruk tak pernah lebih jelas daripada saat ini. Setiap langkahku terasa seperti usaha sia-sia untuk menghapus bayangan yang baru saja menghantamku dengan keras, seakan dunia yang kukenal runtuh dalam sekejap. Napasku terasa semakin berat, masing-masing seperti beban yang menambah kekosongan yang menggelayuti hatiku. Tanpa rencana atau tujuan yang jelas, kakiku menarikku ke arah kamar mandi, mencari ketenangan di tempat yang sederhana. Mungkin, air wudhu' yang dingin dan menyegarkan bisa menjadi penawar sementara, menyelamatkanku dari kegundahan yang men
Aku terus memperhatikannya, merasa janggal dan penasaran. Gerakannya tenang, tapi matanya tampak sibuk mencari. Lalu, tak lama kemudian, muncul beberapa sosok yang sangat familiar-Rey, dokter Athala, dan bundanya. Mereka bergabung dengan Arshaka, tampak berbicara dengan penuh keseriusan.Ada perasaan aneh yang tiba-tiba muncul di dadaku, semacam kekacauan emosional yang sulit kutafsirkan. Namun sebelum aku bisa mencerna lebih jauh, suara Aline memecah keheningan."Al, lagi liatin apa sih?" tanyanya dengan nada penasaran, membuyarkan lamunanku.Aku tersentak, refleks menggeleng pelan. Tapi saat aku kembali menoleh ke arah Shaka dan keluarganya, mereka sudah menghilang dalam keramaian bandara. Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri dari rasa tak menentu yang tiba-tiba melanda.Kami berhenti di area parkir. Aline segera membuka pintu dan keluar dengan cepat, sementara aku masih mencoba menenangkan pikiran. Beberapa detik kemudian, mobil Nevan dan Abhi tiba, disusul oleh mob
"Itu. Lanjutannya," jawabku sambil menatapnya lebih dalam, ingin melihat reaksinya.Keenan menarik napas dalam, tatapannya tak pernah lepas dari wajahku. "Masih," ucapnya mantap, tanpa ragu.Keheningan langsung menyelimuti kami. Meski di sekitar kami kelas dipenuhi dengan suara obrolan teman-teman yang riuh, rasanya seperti ada dinding tak terlihat yang memisahkan kami dari hiruk pikuk itu. Hanya ada aku dan Keenan, duduk berhadapan dengan suasana yang kini terasa jauh lebih dalam dan rumit."Kamu mau ya, nganterin aku nanti?" tanyanya tiba-tiba, suaranya kini lebih lembut, penuh harap. "Bareng Kafka juga. Nanti ajak Aline."Aku menatapnya, kini wajahnya penuh dengan permohonan yang begitu tulus. Untuk sesaat, aku terdiam. Lalu, dengan senyum tipis, aku mengangguk pelan, tanda bahwa aku bersedia.---KRING! KRING! KRING!Bel sekolah berbunyi, menandakan akhir dari jam pelajaran hari itu. "Jam pelajaran telah selesai, seluruh siswa diperbolehkan untuk pulang ke rumah masing-masing,"