Aku hanya membalas dengan senyum kecil, mengangguk pelan, dan kembali memusatkan perhatian pada catatanku. Rey, yang duduk di seberang meja, tampak berbeda dari biasanya. Tatapannya tidak bercanda seperti biasanya, kali ini dia serius, memperhatikan dengan perhatian yang dalam. Sesekali, dia mengarahkan senyuman hangat ke arahku, menambah rasa nyaman di tengah ketegangan rapat.Arshaka melirik ke arah kami sekilas, ekspresi wajahnya tetap datar namun matanya menunjukkan konsentrasi penuh. “Alsha, pastikan semua agenda dicatat dengan detail. Rey, nanti lo bantu koordinasi dengan ketua divisi.”Rey mengangguk mantap, suaranya penuh kepastian. “Siap.”Sementara itu, Clara duduk di sebelah Arshaka, tidak bisa menutupi tatapan yang penuh kekaguman terhadapnya. “Arshaka, kalau ada acara nanti, aku bisa bantu urus dana. Aku punya beberapa kontak sponsor yang bisa kita manfaatkan,” ucapnya dengan nada manis sambil memainkan rambutnya, matanya berbinar dengan harapan.Elysia, yang duduk di
“Bentar lagi kalau udah sampai kantin,” jawab Ghisel, sengaja menggantungkan rasa penasaran.Aku mengangkat alis, menyaksikan kehebohan kecil di depan mata. Dengan sedikit kekaguman, aku menggeleng pelan melihat tingkah mereka. Kami melanjutkan langkah hingga sampai di kantin, menemukan meja kosong di sudut dekat jendela.Kami memesan makanan dan minuman sebelum duduk. Suasana kantin yang ramai mulai terasa menyenangkan.“Ngomong-ngomong, rapatnya gimana? Seru atau bosenin?” Aline langsung membuka percakapan dengan penuh antusias.“Seru lah, mana ada bosenin. Apalagi ketos-nya ganteng,” kata Ghisel, menggoda dengan nada nakal.“Heh! Si ganteng itu milik gue, awas aja macem-macem!” Aline membalas, nada suaranya mengancam tapi penuh canda.Ghisel tertawa, sementara aku hanya bisa menghela napas panjang. 'Mulai.'“Tapi serius deh, Lin, bener kata lo waktu itu, Arshaka emang ganteng banget, cuy. Bukan cuma itu, dia juga pinter kalau disuruh ngasih ide-ide tentang program OSIS. Pantes aja
"Dalam setiap tatapan dan setiap ucapan, ada dunia yang mungkin tidak kita pahami sepenuhnya, tetapi tetap menyentuh jiwa kita."°°°°Seusai pelajaran terakhir, Keenan memaksaku pulang bersamanya. Dia bersikeras hanya ingin menemaniku berjalan kaki, namun aku menolak dengan halus. "Ada urusan OSIS mendadak," kataku, mencoba menjelaskan agar dia tidak merasa diabaikan.Beda dari biasanya, Keenan tidak marah. Dia malah tersenyum, menerima alasanku tanpa protes. Perubahan sikapnya sejak kejadian seminggu lalu sungguh nyata. Keenan yang dulu mudah tersulut emosi dan memaksaku menuruti kehendaknya kini tampak lebih dewasa. Meskipun sedikit terkejut dengan perubahannya, tapi aku senang.Kini, aku duduk sendirian di depan ruang OSIS. Napasku terasa berat saat kuperiksa jam tangan untuk kesekian kalinya. Hampir satu jam berlalu, dan bayangannya belum juga terlihat. Aku sudah menunggu di depan kelasku tadi, berharap dia muncul, tapi ternyata tidak. Akhirnya, aku memutuskan untuk menunggu di
"Berkasnya lo yang nyimpen. Besok bawa," ucap Arshaka lagi, kali ini tanpa menoleh. Nada suaranya tegas, seolah tak memberi ruang untuk argumen.Aku hanya mengangguk pelan, meskipun dia tak melihatnya. Dengan tangan sedikit gemetar, aku meraih map kertas itu dan memasukkannya ke dalam ransel. Kertas-kertas di dalamnya terasa dingin di tanganku, sama dinginnya dengan suasana di antara kami. Gerakanku cepat dan tanpa suara, seolah-olah aku takut mengganggu ketenangan ruangan yang kini dikuasai oleh Arshaka.Ransel itu kini tergantung di bahuku, beratnya seperti menambah beban di dalam pikiranku. Aku berbalik, siap melangkah keluar tanpa menoleh lagi, namun tiba-tiba, suara Arshaka memecah keheningan, menghentikan langkahku seketika."Lo udah sholat Ashar?" Suaranya terdengar tenang, tanpa ada tanda-tanda emosi. Dia bahkan tidak mengangkat kepalanya, tangannya masih sibuk mengetik sesuatu di laptopnya."Udah," jawabku cepat, mencoba menjaga suaraku tetap stabil.Aku menunggu sejenak,
Di sana, di penyeberangan yang sepi itu, aku pernah tergeletak tak berdaya, tenggelam dalam kegelapan selama dua hari yang terasa seperti kekekalan. Ingatan itu menghentikan langkahku, dan tampaknya, bukan hanya aku yang merasakannya. Arshaka pun berhenti, seolah merasakan beban yang sama menghantam dadanya.Aku ingat betul, pada hari kejadian itu, kami pulang bersama. Ada sedikit cekcok di antara kami—hal yang biasa terjadi. Tapi sekarang, aku tak lagi punya keberanian untuk meninggikan suaraku di depannya. Ketakutan itu muncul, membekukan seluruh keberanianku. Mungkin karena sikap dinginnya selama seminggu terakhir, atau karena perdebatan sengit saat pemilihan struktur inti OSIS. Entah mengapa, hatiku seperti terkunci rapat setiap kali aku melihatnya.Lamunanku terhenti oleh suara tepuk tangan Arshaka yang tiba-tiba membahana, memecah keheningan. Aku menoleh, melihat dia tengah menghentikan sebuah angkot. Tak butuh waktu lama, angkot itu segera berhenti di depan kami."Masuk," p
"Kadang, untuk memahami masa depan, kita harus menyelami kedalaman kenangan yang terlupakan."⋆.⋆☾⋆.⋆☾⋆.⋆☾⋆.⋆Aku melangkahkan kaki menuju rumah, namun pikiranku penuh dengan berbagai hal yang mengganggu. Bayangan sikap Arshaka yang dingin tapi masih peduli terus mengiang, lalu kekhawatiran tentang program OSIS yang dia ajukan, entah apakah akan diterima oleh kepala sekolah atau tidak, serta momen ketika dia dengan tenang mengangkat telepon dari Clara, memberikan perhatian yang membuat hatiku terasa sesak."Al! Kalau jalan jangan sambil ngelamun!" Teriakan Aline memecah lamunanku, membuatku tersentak.Aku tersadar, hampir saja aku menabrak tiang di depan rumah. 'Aku kenapa sih?' Dengan langkah pelan, aku mendekati Aline yang ternyata sudah berdiri di depan pintu, menungguku."Dari mana aja? Baru pulang jam segini," omel Aline, nada suaranya seperti seorang ibu yang sedang memarahi anaknya yang pulang terlambat karena terlalu asyik bermain.Aku menarik napas panjang sebelum menjawab,
"Aline, kamu naruh gelang ke dalam tasku?" tanyaku heran.Aline yang baru selesai memasukkan buku ke dalam ranselnya, menoleh ke arahku dan menggeleng."Terus? Ini gelang siapa?" tanyaku lagi sambil menunjukkan gelang tersebut. Aline menghampiriku, mengambil gelang itu dari tanganku dan memperhatikannya dengan seksama."Entah." jawab Aline sambil mengangkat kedua bahunya."Eh, Al, cantik loh gelangnya. Kok bisa sih, nyasar di tas kamu. Aneh banget." tambah Aline, matanya tak lepas dari gelang itu.Aku mencoba mengingat-ingat, wajah-wajah yang mungkin memberikan gelang ini. Tapi semua terasa samar. 'Keenan? Atau..'"Al, bandulnya mirip banget sama kalung kamu yang hilang itu, bulan dan bintang," ucap Aline, membuat hatiku bergetar hebat.Aku segera menoleh, perasaan sesak menghimpit dadaku. Kalung itu... yang sudah lama hilang, tak pernah kembali. Kalung yang tak tergantikan, penuh kenangan dari masa lalu."Btw, kalung kamu belum ketemu?" tanya Aline, suaranya sarat dengan simpati.Ak
Kamar kedua orang tuaku yang telah lama kosong itu terasa hampa dan sunyi, dinding-dindingnya seakan menyimpan kesedihan yang tak pernah terucapkan. Cahaya lampu temaram memantulkan bayang-bayang samar di permukaan perabotan, memberikan kesan bahwa ruangan ini telah lama ditinggalkan. Meskipun aku rutin membersihkan setiap sudutnya, debu tetap saja menempel di setiap permukaan, seolah-olah tidak ada upaya yang bisa benar-benar mengusir rasa sepi yang mengendap di tempat ini.Tidak ada kenangan hangat yang melekat di kamar ini. Semua memori yang kupunya adalah tentang nenek—bukan kedua orang tuaku. Kamar ini lebih seperti persinggahan singkat, tempat mereka singgah sebentar sebelum kembali bergegas ke kehidupan mereka yang jauh di luar negeri. Aku masih ingat dengan jelas hari itu, ketika aku hanya bisa menatap nanar kepergian mereka setelah sehari sebelumnya mereka membawaku dari rumah nenek. Malam itu, aku menangis sejadi-jadinya di balik jendela kamarku, memandangi bulan dan bintang
“E-eh, Kak, itu mau dipasang di mading sama Yara...” protes si siswi, namun Aline tak peduli, tangannya gemetar ketika ia mulai membaca, matanya bergerak cepat melintasi kalimat-kalimat di selebaran itu. Aku berdiri di sampingnya, dan perlahan-lahan judul berita di koran itu terlihat jelas di mataku, seolah-olah huruf-huruf itu melompat keluar dari halaman dan menghantam dadaku dengan keras. ~"Tragedi di Laut Mediterania: Pesawat XYZ345 Jatuh, 7 Siswa Indonesia Jadi Korban"Penerbangan internasional XYZ345 dari Indonesia menuju Spanyol yang membawa total 162 penumpang mengalami kecelakaan tragis di perairan dekat Laut Mediterania. Pesawat tersebut membawa 7 siswa Indonesia yang terpilih untuk mengikuti lomba tingkat Internasional ke Spanyol, bersama dengan penumpang umum dan kru pesawat. Berdasarkan laporan sementara, sebagian besar korban telah ditemukan dalam kondisi meninggal dunia. Namun, terdapat satu jasad siswa Indonesia yang hingga saat ini belum ditemukan. Berikut adalah da
Tiba-tiba Aline menepuk lenganku, memutuskan lamunan yang mulai merasuk. "Hey, Al! Kok malah ngelamun? Udah sana, lanjutin belajarnya. Aku mau tidur," katanya dengan ringan sebelum berbalik dan menuju tempat tidurnya.Aku sedikit terkejut, lalu tersadar dan mengangguk. "Iya, iya," jawabku sambil kembali menatap layar laptop, mencoba fokus lagi pada tugas yang harus kuselesaikan. Aku menggulir pelan halaman pada laptopku, membaca artikel tentang ketentraman jiwa manusia. Di tengah keheningan malam, pikiranku melayang pada nasihat lembut seorang ustadz di pengajian kecil. Suaranya penuh keyakinan, wajahnya teduh di bawah sorotan lampu masjid, saat ia berbicara tentang hati dan perasaan perempuan."Perempuan," katanya lembut, "jika tidak disibukkan dengan ilmu dan agamanya, dia akan gila karena perasaannya."Kalimat itu seperti sayatan tajam, menggugah kesadaran yang dalam. Aku memejamkan mata, mencoba merenungkan kata-katanya. Mungkin ini jawabannya—aku perlu mengalihkan perasaanku ke
Jemariku gemetar sedikit saat menemukannya, dan aku membuka halaman demi halaman, hingga kutemukan kutipan yang selalu berulang dalam buku itu. Bibirku membaca pelan kata-kata yang pernah memberiku kekuatan."Dalam perpaduan bulan dan bintang, langit malam mengungkap keindahan, menghapus segala beban hidup yang memandang."Aku mengulangi kalimat itu, berbisik, "Bulan dan bintang... langit malam... keindahan... menghapus beban hidup yang memandang."Mataku tak lepas dari langit di luar jendela. Bulan bersinar dengan tenang, bintang-bintang di sekelilingnya berkelip, seolah menyapa. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang hampir kupegang. Aku merasakan denyut ide yang perlahan mulai terbangun di kepalaku."Keindahan... langit malam..." gumamku lagi, lebih dalam, mencoba merangkai makna di antara kata-kata itu. Aku menutup mataku sejenak, membiarkan bayangan langit malam menari-nari di dalam pikiranku, berharap bisa memunculkan sesuatu yang nyata. Dan tiba-tiba.. seperti kilatan cahaya, 'aku t
Aku berbalik dan memandangnya dengan lelah. "Sebentar lagi, Lin," jawabku singkat, suaraku nyaris tenggelam."Aku mau ngaji dulu, sambil nunggu adzan isya'," tambahku, berharap Aline tak lagi mendesakku.Namun, dia tetap mendekat, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. "Al, minum obat dulu, ya? Jangan ditunda-tunda," katanya sambil meraih kotak obat yang sudah kusiapkan di kamar untuk keadaan darurat. Dia menyodorkan obat itu kepadaku, seakan tak ingin memberi ruang bagi penolakan.Aku menatap pil-pil di tangannya, lalu mengangguk lemah. Perlahan, aku mengambil obat tersebut dan segera menelannya. Perasaan sedikit tenang menyelimuti, meski tidak sepenuhnya menghapus rasa sakit yang ada di dalam dada."Nah, gitu dong. Kalau gini kan aku bisa lebih tenang. Kamu lupa ya? Tadi Kafka nitip kamu ke aku," ucap Aline, mencoba mencairkan suasana.Kafka. Nama itu membuatku terdiam sejenak. Masih ada banyak hal yang harus kupertanyakan padanya, namun, malam ini, aku terl
Aline mengangguk pelan, "Iya," jawabnya lembut, tak pernah sekalipun melepaskan rangkulannya di pundakku.Abhi yang biasanya ceria terlihat lebih serius. "Cepet sembuh ya, neng Alsha," ucapnya dengan nada tulus, meskipun ada sedikit kebingungan di matanya.Nevan menambahkan, "Iya, cepet sembuh, Al, biar Keenan nanti nggak kepikiran pas tanding." Kalimat terakhir itu terasa seperti belati yang menusuk langsung ke hatiku. Air mataku yang sedari tadi kutahan semakin deras mengalir, namun aku tetap diam. Mereka tidak tahu. Tidak tahu bahwa sakit yang kurasakan bukan hanya karena pusing, tetapi karena pengkhianatan yang baru saja kulihat. Keenan. Orang yang mereka banggakan, orang yang mereka kira akan peduli padaku, ternyata sudah bersama orang lain. Gadis lain. Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, aku memohon agar mobil berhenti. "Mampir ke masjid dulu... sholat Maghrib," pintaku dengan suara pelan, hampir tak terdengar.Aline mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut, dan su
Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki yang semakin mendekat membawaku kembali ke kenyataan. Aline tiba lebih dulu, diikuti oleh Kafka, Nevan, dan Abhi. Wajah mereka penuh kecemasan saat mereka menghampiriku. Aline duduk di sampingku, tanpa ragu langsung merangkulku dengan erat. Pelukan hangatnya seolah mencoba menarikku keluar dari keterpurukan yang tengah melingkupiku."Al, tiba-tiba banget sakitnya?" tanyanya lembut, suaranya bergetar samar dengan kekhawatiran.Aku hanya mengangguk pelan, masih menutupi wajah dengan kedua tanganku. Air mata yang membasahi pipiku tidak bisa kutahan lagi, dan aku tidak ingin mereka melihat betapa hancurnya aku saat ini."Bentar, gue telfon supir gue dulu biar cepet kesini," Kafka berkata, suaranya terdengar seperti dari kejauhan, bergema di antara pikiranku yang kacau. Aku bisa mendengar langkah kakinya menjauh sedikit, mungkin untuk mendapatkan sinyal yang lebih baik, tapi fokusku tak bisa sepenuhnya tertuju padanya.Aline menghela napas dalam
"Ketika rasa tak lagi mampu berlabuh di bumi, aku melangitkannya—membiarkannya terbang tinggi, menuju Tuhan, di mana segala harapan menemukan tempatnya yang abadi." -Alshameyzea Afsheena •••Di bawah langit senja yang memancarkan warna merah jingga lembut, bandara sore itu tampak bagaikan palet cat yang dipenuhi dengan warna-warna ceria dan energi yang tak tertahan. Namun, kontras antara suasana yang riuh dan keadaan batinku yang terpuruk tak pernah lebih jelas daripada saat ini. Setiap langkahku terasa seperti usaha sia-sia untuk menghapus bayangan yang baru saja menghantamku dengan keras, seakan dunia yang kukenal runtuh dalam sekejap. Napasku terasa semakin berat, masing-masing seperti beban yang menambah kekosongan yang menggelayuti hatiku. Tanpa rencana atau tujuan yang jelas, kakiku menarikku ke arah kamar mandi, mencari ketenangan di tempat yang sederhana. Mungkin, air wudhu' yang dingin dan menyegarkan bisa menjadi penawar sementara, menyelamatkanku dari kegundahan yang men
Aku terus memperhatikannya, merasa janggal dan penasaran. Gerakannya tenang, tapi matanya tampak sibuk mencari. Lalu, tak lama kemudian, muncul beberapa sosok yang sangat familiar-Rey, dokter Athala, dan bundanya. Mereka bergabung dengan Arshaka, tampak berbicara dengan penuh keseriusan.Ada perasaan aneh yang tiba-tiba muncul di dadaku, semacam kekacauan emosional yang sulit kutafsirkan. Namun sebelum aku bisa mencerna lebih jauh, suara Aline memecah keheningan."Al, lagi liatin apa sih?" tanyanya dengan nada penasaran, membuyarkan lamunanku.Aku tersentak, refleks menggeleng pelan. Tapi saat aku kembali menoleh ke arah Shaka dan keluarganya, mereka sudah menghilang dalam keramaian bandara. Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri dari rasa tak menentu yang tiba-tiba melanda.Kami berhenti di area parkir. Aline segera membuka pintu dan keluar dengan cepat, sementara aku masih mencoba menenangkan pikiran. Beberapa detik kemudian, mobil Nevan dan Abhi tiba, disusul oleh mob
"Itu. Lanjutannya," jawabku sambil menatapnya lebih dalam, ingin melihat reaksinya.Keenan menarik napas dalam, tatapannya tak pernah lepas dari wajahku. "Masih," ucapnya mantap, tanpa ragu.Keheningan langsung menyelimuti kami. Meski di sekitar kami kelas dipenuhi dengan suara obrolan teman-teman yang riuh, rasanya seperti ada dinding tak terlihat yang memisahkan kami dari hiruk pikuk itu. Hanya ada aku dan Keenan, duduk berhadapan dengan suasana yang kini terasa jauh lebih dalam dan rumit."Kamu mau ya, nganterin aku nanti?" tanyanya tiba-tiba, suaranya kini lebih lembut, penuh harap. "Bareng Kafka juga. Nanti ajak Aline."Aku menatapnya, kini wajahnya penuh dengan permohonan yang begitu tulus. Untuk sesaat, aku terdiam. Lalu, dengan senyum tipis, aku mengangguk pelan, tanda bahwa aku bersedia.---KRING! KRING! KRING!Bel sekolah berbunyi, menandakan akhir dari jam pelajaran hari itu. "Jam pelajaran telah selesai, seluruh siswa diperbolehkan untuk pulang ke rumah masing-masing,"