"Terkadang, dalam diam, cinta berbicara lebih lantang."°°°°Pagi ini, 1 Februari, dimulai dengan sinar matahari lembut yang menyelinap masuk melalui celah tirai, memberikan sentuhan keemasan pada ruangan. Namun, di rumahku, suasananya terasa biasa, seperti hari-hari lainnya. Aku bangun tanpa harapan, tanpa antusiasme, karena hari ini selalu berlalu tanpa perayaan.Saat aku meresapi kenyataan pagi ini, Aline tiba-tiba muncul dengan semangat yang tak terhingga. "Selamat pagi, Alsha!" teriaknya dengan nada ceria yang hampir membuatku terlonjak dari tempat tidur. "Buruan bangun, Al!"Aku meliriknya dengan bingung. "Aline, Ini masih pagi, ngapain heboh banget sih?"Dia langsung menarik selimutku dengan penuh tenaga, dan saat aku akhirnya keluar dari kamar, mataku terbelalak melihat pemandangan di ruang tamu. Ruangan itu dipenuhi balon-balon warna-warni yang berkilauan, pita-pita yang tergantung dengan anggun, dan meja yang penuh dengan kue-kue cantik yang menggugah selera. Semua ini teras
Keenan menatap ke jendela sekali lagi, wajahnya dipenuhi ekspresi campur aduk, antara kesedihan dan harapan. Tak lama kemudian, dia membalikkan tubuh dan melangkah pergi dengan langkah yang tampak berat dan lambat. Kepergiannya terasa seperti satu babak penutup yang belum selesai.Hati ini berdegup kencang saat aku akhirnya keluar dari tempat persembunyianku. Melangkah perlahan menuju gerbang, aku mengambil bunga tulip yang masih tergeletak di tanah, bersama dengan surat kecil yang tergantung di sana. Kupegang bunga itu dengan lembut, merasakan kehangatannya yang masih menyimpan rasa perhatian dan pengertian.Aku membuka surat itu dengan tangan yang bergetar. Di dalamnya, tertulis:"Aku tau, kamu masih marah sama aku, but I wanted you to know how special today is for me. Hari ini, gadis paling istimewa lahir.Semoga harimu selalu bahagia ya, cantik. Maaf kalau aku belum bisa memberikan lebih dari ini. Have a great one, Sheena..Aku kangen kamu, boleh?"Air mata mulai mengalir di pipik
Aku mendengus kesal. "Kamu bilang apa barusan?" tanyaku.Arshaka terkejut, kemudian sebuah senyum tipis muncul di wajahnya. "Lo cantik kalau pakai kacamata, Sha."Mendengar pujian yang tidak terduga itu, marahku tiba-tiba memudar. Aku merasa bingung dengan perasaanku sendiri, heran dengan reaksi yang ditimbulkan oleh kata-katanya.Arshaka tersenyum lagi, kali ini dengan kehangatan yang lebih jelas. "Jangan terlalu banyak mikir, Sha. Biar nggak lupaan.""Eh? Iyakah?" tanyaku, sedikit bingung.Arshaka tertawa melihat ekspresi bingungku, dan untuk pertama kalinya, aku melihat tawa itu. Tawa yang memunculkan kedua lesung pipit di wajahnya, menambah pesona yang jarang kulihat. "Udah, buruan makan," perintahnya sambil menunjuk kotak nasi yang sudah kubuka sejak tadi.Di tengah keheningan yang nyaman, aku mulai makan, sementara Arshaka duduk di sampingku, memastikan aku menyelesaikan makananku. Perhatian sederhana yang ditunjukkannya memberi warna baru pada hari ini, membuatku merasa lebih
Aku berdiri cepat, dan Aline mengikuti langkahku menuju jendela. Dari sana, kami bisa melihat kerumunan yang sedang berkumpul di taman belakang, di tengah-tengahnya terlihat Keenan dan seorang siswa lainnya yang saling berhadapan.Aline menatapku, "Kita harus kesana, Al!"Aku mengangguk, dengan cepat meninggalkan bangku dan menuju pintu kelas bersama Aline. Di dalam hati, aku merasa cemas dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Hanya satu yang pasti-aku harus memastikan semuanya baik-baik saja, dan jika perlu, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.Ketika aku dan Aline sampai di taman belakang, suasana sudah riuh. Kerumunan siswa mengelilingi dua sosok yang bertarung. Aku dan Aline berusaha menembus kerumunan yang semakin memanas. Kami melihat Kafka, Abhi, dan Nevan berlari ke arah pertarungan, mencoba melerai Keenan dan Arshaka."Keenan! Udah! Kontrol emosi lo, ini sekolah!" teriak Kafka, mencoba menahan Keenan.Tapi, amarah Keenan semakin memuncak. Tanpa memperhatikan siapa yang
"Dalam dunia yang penuh pilihan dan perasaan, setiap langkah adalah puisi yang ditulis di atas kanvas hidup yang tak ternilai."°°°°Aku duduk di bangku di depan kelasku, tenggelam dalam dunia yang diciptakan oleh buku yang sedang kubaca. Angin sepoi-sepoi meniup lembut kerudungku, memberikan rasa nyaman di tengah panasnya siang. Pandanganku sesekali beralih dari halaman buku ke sekeliling, mengamati suasana sekolah yang mulai sepi karena sebagian besar siswa memilih untuk bermain di lapangan atau menghabiskan uangnya di kantin, termasuk Aline. Dia sejak tadi memaksaku untuk ke kantin, tapi aku menolaknya, aku ingin menghabiskan bacaanku dulu.Saat itulah mataku menangkap sosok yang familiar. Arshaka dan Rey berjalan bersama menuju kelas mereka. Mereka tampak bercakap-cakap, tampaknya begitu asyik hingga tak menyadari kehadiranku yang duduk di sana. Aku menatap mereka, terutama Arshaka. Aku merasa lega melihat luka di wajah Arshaka yang sudah mulai memudar. Kejadian perkelahian itu te
---Saat aku terbaring di rumah sakit, aku sempat berpikir bahwa kesempatan untuk menjadi kandidat OSIS akan hilang begitu saja. Anehnya, aku tidak merasa sedih atau kecewa dengan kemungkinan itu. Sebaliknya, ada rasa lega yang aneh di dalam diriku. Aku tidak benar-benar ingin menjadi kandidat OSIS.Keesokan harinya, Pak Iwan menghubungiku. Suaranya terdengar tenang dan penuh perhatian."Alsha, bagaimana keadaanmu?" tanyanya.Aku menjawab pelan, "Sedikit lebih baik, Pak. Tapi, saya khawatir tentang pemilihan OSIS. Saya tidak yakin bisa berpartisipasi."Pak Iwan menghela napas, lalu berkata, "Kami memutuskan untuk menunda pemilu sampai kamu benar-benar pulih."Aku terkejut mendengar itu. "Benarkah, Pak?""Ya, kami ingin memastikan bahwa semua kandidat memiliki kesempatan yang adil. Dan yang terpenting, kami ingin kamu fokus pada pemulihanmu dulu. Jadi, istirahatlah dan sembuhkan dirimu. Kami akan menunggu," kata Pak Iwan dengan suara hangat saat itu.---Pemilu OSIS di SMAN Cendana sel
"Menurut gue, Alsha juga layak dipertimbangkan. Dia punya kemampuan yang sama dan juga bisa diandelin." Rey mencoba meyakinkan Arshaka, sedangkan aku hanya bisa menelan ludah, 'kenapa Rey bisa seyakin itu ke aku?'Arshaka menatap Rey dengan frustrasi. "Tapi kita butuh seseorang yang bener-bener siap setiap saat. Clara sudah terbukti kompeten dalam hal ini."Rey mengangkat alis, mencoba bersikap ringan. "Oh, jadi Clara udah dipastiin tanpa pertimbangan lain?"Arshaka mendengus. "Dan lo mau bilang kalau lo lebih tau dari gue tentang siapa yang cocok untuk posisi ini?"'Eh? Kenapa mereka malah berdebat?' Semua orang yang di ruangan hanya bisa diam, melihat kedua laki-laki itu berbicara.Rey, dengan nada penuh percaya diri, menanggapi, "Gue nggak bilang gitu. Gue cuma mau bilang kalau Alsha juga punya catatan bagus. Kalau lo terus-menerus pilih Clara, kita nggak bakal dapet pandangan objektif."Arshaka mengerutkan kening, tampak marah. "Gue udah banyak pertimbangkan semua faktor, Rey. Dan
Aku terkejut dan merasa terhentak dari pikiranku. Dengan suara lembut dan penuh keraguan, aku menjawab, "Sebenernya, aku nggak yakin kalau aku nanti jadi sekretaris OSIS. Aku khawatir aku nggak bisa memenuhi harapan dan tanggung jawab yang ada."Arshaka, yang mendengar pernyataan ini, langsung menatap Rey dengan nada tajam. "Lo denger sendiri kan? Yang lo pilih aja nggak yakin sama dirinya sendiri. Kenapa lo bisa segitu yakinnya milih dia?"Rey, yang tampak marah, langsung membalas, "Shaka! Lo kenapa sih! Kok lo gini ke Alsha! Dia baru aja bilang kalau dia nggak yakin, tapi itu bukan berarti dia nggak bisa melakukannya. Kenapa lo harus membela Clara dengan cara kayak gini?"Arshaka, yang merasa terpojok, menjawab dengan nada tinggi, "Lo yang kenapa, Sampai segitunya ke Alsha! Kenapa lo begitu keras membela dia, padahal gue udah banyak pertimbangan!"Melihat pertengkaran yang semakin memanas, aku merasa hatiku berat. Mendengar Arshaka dan Rey saling berdebat, terutama ketika Arshaka me
“E-eh, Kak, itu mau dipasang di mading sama Yara...” protes si siswi, namun Aline tak peduli, tangannya gemetar ketika ia mulai membaca, matanya bergerak cepat melintasi kalimat-kalimat di selebaran itu. Aku berdiri di sampingnya, dan perlahan-lahan judul berita di koran itu terlihat jelas di mataku, seolah-olah huruf-huruf itu melompat keluar dari halaman dan menghantam dadaku dengan keras. ~"Tragedi di Laut Mediterania: Pesawat XYZ345 Jatuh, 7 Siswa Indonesia Jadi Korban"Penerbangan internasional XYZ345 dari Indonesia menuju Spanyol yang membawa total 162 penumpang mengalami kecelakaan tragis di perairan dekat Laut Mediterania. Pesawat tersebut membawa 7 siswa Indonesia yang terpilih untuk mengikuti lomba tingkat Internasional ke Spanyol, bersama dengan penumpang umum dan kru pesawat. Berdasarkan laporan sementara, sebagian besar korban telah ditemukan dalam kondisi meninggal dunia. Namun, terdapat satu jasad siswa Indonesia yang hingga saat ini belum ditemukan. Berikut adalah da
Tiba-tiba Aline menepuk lenganku, memutuskan lamunan yang mulai merasuk. "Hey, Al! Kok malah ngelamun? Udah sana, lanjutin belajarnya. Aku mau tidur," katanya dengan ringan sebelum berbalik dan menuju tempat tidurnya.Aku sedikit terkejut, lalu tersadar dan mengangguk. "Iya, iya," jawabku sambil kembali menatap layar laptop, mencoba fokus lagi pada tugas yang harus kuselesaikan. Aku menggulir pelan halaman pada laptopku, membaca artikel tentang ketentraman jiwa manusia. Di tengah keheningan malam, pikiranku melayang pada nasihat lembut seorang ustadz di pengajian kecil. Suaranya penuh keyakinan, wajahnya teduh di bawah sorotan lampu masjid, saat ia berbicara tentang hati dan perasaan perempuan."Perempuan," katanya lembut, "jika tidak disibukkan dengan ilmu dan agamanya, dia akan gila karena perasaannya."Kalimat itu seperti sayatan tajam, menggugah kesadaran yang dalam. Aku memejamkan mata, mencoba merenungkan kata-katanya. Mungkin ini jawabannya—aku perlu mengalihkan perasaanku ke
Jemariku gemetar sedikit saat menemukannya, dan aku membuka halaman demi halaman, hingga kutemukan kutipan yang selalu berulang dalam buku itu. Bibirku membaca pelan kata-kata yang pernah memberiku kekuatan."Dalam perpaduan bulan dan bintang, langit malam mengungkap keindahan, menghapus segala beban hidup yang memandang."Aku mengulangi kalimat itu, berbisik, "Bulan dan bintang... langit malam... keindahan... menghapus beban hidup yang memandang."Mataku tak lepas dari langit di luar jendela. Bulan bersinar dengan tenang, bintang-bintang di sekelilingnya berkelip, seolah menyapa. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang hampir kupegang. Aku merasakan denyut ide yang perlahan mulai terbangun di kepalaku."Keindahan... langit malam..." gumamku lagi, lebih dalam, mencoba merangkai makna di antara kata-kata itu. Aku menutup mataku sejenak, membiarkan bayangan langit malam menari-nari di dalam pikiranku, berharap bisa memunculkan sesuatu yang nyata. Dan tiba-tiba.. seperti kilatan cahaya, 'aku t
Aku berbalik dan memandangnya dengan lelah. "Sebentar lagi, Lin," jawabku singkat, suaraku nyaris tenggelam."Aku mau ngaji dulu, sambil nunggu adzan isya'," tambahku, berharap Aline tak lagi mendesakku.Namun, dia tetap mendekat, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. "Al, minum obat dulu, ya? Jangan ditunda-tunda," katanya sambil meraih kotak obat yang sudah kusiapkan di kamar untuk keadaan darurat. Dia menyodorkan obat itu kepadaku, seakan tak ingin memberi ruang bagi penolakan.Aku menatap pil-pil di tangannya, lalu mengangguk lemah. Perlahan, aku mengambil obat tersebut dan segera menelannya. Perasaan sedikit tenang menyelimuti, meski tidak sepenuhnya menghapus rasa sakit yang ada di dalam dada."Nah, gitu dong. Kalau gini kan aku bisa lebih tenang. Kamu lupa ya? Tadi Kafka nitip kamu ke aku," ucap Aline, mencoba mencairkan suasana.Kafka. Nama itu membuatku terdiam sejenak. Masih ada banyak hal yang harus kupertanyakan padanya, namun, malam ini, aku terl
Aline mengangguk pelan, "Iya," jawabnya lembut, tak pernah sekalipun melepaskan rangkulannya di pundakku.Abhi yang biasanya ceria terlihat lebih serius. "Cepet sembuh ya, neng Alsha," ucapnya dengan nada tulus, meskipun ada sedikit kebingungan di matanya.Nevan menambahkan, "Iya, cepet sembuh, Al, biar Keenan nanti nggak kepikiran pas tanding." Kalimat terakhir itu terasa seperti belati yang menusuk langsung ke hatiku. Air mataku yang sedari tadi kutahan semakin deras mengalir, namun aku tetap diam. Mereka tidak tahu. Tidak tahu bahwa sakit yang kurasakan bukan hanya karena pusing, tetapi karena pengkhianatan yang baru saja kulihat. Keenan. Orang yang mereka banggakan, orang yang mereka kira akan peduli padaku, ternyata sudah bersama orang lain. Gadis lain. Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, aku memohon agar mobil berhenti. "Mampir ke masjid dulu... sholat Maghrib," pintaku dengan suara pelan, hampir tak terdengar.Aline mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut, dan su
Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki yang semakin mendekat membawaku kembali ke kenyataan. Aline tiba lebih dulu, diikuti oleh Kafka, Nevan, dan Abhi. Wajah mereka penuh kecemasan saat mereka menghampiriku. Aline duduk di sampingku, tanpa ragu langsung merangkulku dengan erat. Pelukan hangatnya seolah mencoba menarikku keluar dari keterpurukan yang tengah melingkupiku."Al, tiba-tiba banget sakitnya?" tanyanya lembut, suaranya bergetar samar dengan kekhawatiran.Aku hanya mengangguk pelan, masih menutupi wajah dengan kedua tanganku. Air mata yang membasahi pipiku tidak bisa kutahan lagi, dan aku tidak ingin mereka melihat betapa hancurnya aku saat ini."Bentar, gue telfon supir gue dulu biar cepet kesini," Kafka berkata, suaranya terdengar seperti dari kejauhan, bergema di antara pikiranku yang kacau. Aku bisa mendengar langkah kakinya menjauh sedikit, mungkin untuk mendapatkan sinyal yang lebih baik, tapi fokusku tak bisa sepenuhnya tertuju padanya.Aline menghela napas dalam
"Ketika rasa tak lagi mampu berlabuh di bumi, aku melangitkannya—membiarkannya terbang tinggi, menuju Tuhan, di mana segala harapan menemukan tempatnya yang abadi." -Alshameyzea Afsheena •••Di bawah langit senja yang memancarkan warna merah jingga lembut, bandara sore itu tampak bagaikan palet cat yang dipenuhi dengan warna-warna ceria dan energi yang tak tertahan. Namun, kontras antara suasana yang riuh dan keadaan batinku yang terpuruk tak pernah lebih jelas daripada saat ini. Setiap langkahku terasa seperti usaha sia-sia untuk menghapus bayangan yang baru saja menghantamku dengan keras, seakan dunia yang kukenal runtuh dalam sekejap. Napasku terasa semakin berat, masing-masing seperti beban yang menambah kekosongan yang menggelayuti hatiku. Tanpa rencana atau tujuan yang jelas, kakiku menarikku ke arah kamar mandi, mencari ketenangan di tempat yang sederhana. Mungkin, air wudhu' yang dingin dan menyegarkan bisa menjadi penawar sementara, menyelamatkanku dari kegundahan yang men
Aku terus memperhatikannya, merasa janggal dan penasaran. Gerakannya tenang, tapi matanya tampak sibuk mencari. Lalu, tak lama kemudian, muncul beberapa sosok yang sangat familiar-Rey, dokter Athala, dan bundanya. Mereka bergabung dengan Arshaka, tampak berbicara dengan penuh keseriusan.Ada perasaan aneh yang tiba-tiba muncul di dadaku, semacam kekacauan emosional yang sulit kutafsirkan. Namun sebelum aku bisa mencerna lebih jauh, suara Aline memecah keheningan."Al, lagi liatin apa sih?" tanyanya dengan nada penasaran, membuyarkan lamunanku.Aku tersentak, refleks menggeleng pelan. Tapi saat aku kembali menoleh ke arah Shaka dan keluarganya, mereka sudah menghilang dalam keramaian bandara. Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri dari rasa tak menentu yang tiba-tiba melanda.Kami berhenti di area parkir. Aline segera membuka pintu dan keluar dengan cepat, sementara aku masih mencoba menenangkan pikiran. Beberapa detik kemudian, mobil Nevan dan Abhi tiba, disusul oleh mob
"Itu. Lanjutannya," jawabku sambil menatapnya lebih dalam, ingin melihat reaksinya.Keenan menarik napas dalam, tatapannya tak pernah lepas dari wajahku. "Masih," ucapnya mantap, tanpa ragu.Keheningan langsung menyelimuti kami. Meski di sekitar kami kelas dipenuhi dengan suara obrolan teman-teman yang riuh, rasanya seperti ada dinding tak terlihat yang memisahkan kami dari hiruk pikuk itu. Hanya ada aku dan Keenan, duduk berhadapan dengan suasana yang kini terasa jauh lebih dalam dan rumit."Kamu mau ya, nganterin aku nanti?" tanyanya tiba-tiba, suaranya kini lebih lembut, penuh harap. "Bareng Kafka juga. Nanti ajak Aline."Aku menatapnya, kini wajahnya penuh dengan permohonan yang begitu tulus. Untuk sesaat, aku terdiam. Lalu, dengan senyum tipis, aku mengangguk pelan, tanda bahwa aku bersedia.---KRING! KRING! KRING!Bel sekolah berbunyi, menandakan akhir dari jam pelajaran hari itu. "Jam pelajaran telah selesai, seluruh siswa diperbolehkan untuk pulang ke rumah masing-masing,"