BIM! BIM!Tiba-tiba, sebuah mobil berhenti mendadak di depan kami, memaksa sopir Grab melakukan rem mendadak yang membuatku terhuyung ke depan."Mbak? Gak papa kan? Aduh maaf mba, ini lagian siapa sih yang tiba-tiba berhenti dadakan gini. Kebiasaan deh, kayak jalan nenek moyangnya aja." omel sopir Grab itu dengan kesal.BIM! BIM!Sopir membunyikan klakson, mencoba memberi isyarat agar mobil di depan kami bergerak. Tapi nihil, tidak ada respon sama sekali. Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, seseorang muncul dari balik mobil itu."KELUAR!" teriaknya, mengacungkan senjata tajam ke arah kami. Wajahnya penuh amarah, membuat sopir Grab ketakutan, begitu juga aku.Aduh, ini siapa? Copet? Maling? Perampok? Begal? Jantungku semakin gak karuan, aku benar-benar panik saat ini. Seseorang, tolonglah aku."KELUAR ATAU GUE PECAHIN KACA MOBILNYA!" "Tenang mbak tenang, saya lagi telvon polisi, mbak jangan panik ya." ucap sopir grab ituPak? Gimana caranya tenang kalau gini, please!
'Hah? Dia beneran Keenan? Keenan Aksara?' Aku masih tidak bisa memproses semuanya. Dalam suasana yang penuh ketegangan ini, kenyataan bahwa pria misterius yang melawan penjahat itu adalah Keenan semakin membuatku terkejut dan bingung. Tiba-tiba, sebuah mobil datang dengan cepat dan berhenti tepat di belakang mobil Grab. Dari mobil tersebut, keluar Kafka, Nevan, dan Abhi, bergegas menuju ke arahku. "All, lo gak papa?" tanya Kafka dengan suara penuh kekhawatiran. Aku hanya bisa mengangguk, masih terpengaruh oleh ketegangan yang menyelimuti suasana ini. "Lo yang tenang, ada kita di sini," ucap Kafka, berusaha menenangkan. "Kita gak bakal biarin lo kenapa-kenapa," tambah Nevan dengan suara tegas. "Iya, neng Alsha, mendingan di dalam mobil aja. Lebih aman," saran Abhi, menunjukkan rasa pedulinya. Kafka mengangguk, "Bener kata Abhi, lo masuk mobil dulu—" "Tapi Keenan lagi berantem, gimana aku bisa tenang!" potongku dengan panik, melihat Keenan yang masih berada dalam situasi
Suasana pagi di SMAN Cendana terhampar dengan keanggunan yang mempesona. Sinar matahari pagi menyapu lembut bangunan-bangunan bersejarah sekolah, sedangkan angin pagi membawa aroma segar dari tanaman-tanaman yang baru mekar, menciptakan kedamaian yang hanya terputus oleh langkah gemulai siswa-siswa yang menuju kelas mereka.Saat aku melangkah hendak memasuki area sekolah, tiba-tiba aku melihat seorang siswa laki-laki berdiri di hadapanku. Ia mengenakan seragam dengan bagian atasnya yang dikeluarkan, menunjukkan kesan santai namun tetap berwibawa. Jaket jeans hitam yang ia kenakan seolah menyatu dengan tubuhnya yang kekar, menambah kesan keren pada penampilannya. Rambutnya tersisir rapi, memberikan kesan klimis yang menghiasi wajah tampannya, wajah yang begitu mudah dikenali."Kee-"Belum sempat aku menyebutkan namanya, Keenan sudah memegang tanganku dengan erat. Saat aku hendak melangkah, tiba-tiba segerombolan siswa laki-laki menghampiri kami."Loh?" mereka bertiga serempak, tampak k
"Hai, Al," sapa Rey sambil tersenyum. Dia duduk di depanku di meja kantin dengan langkah yang tenang dan penuh percaya diri. Rey tampak sangat rapi, dengan seragam sekolahnya yang tersetrika dengan baik. Rambutnya tersisir rapi ke belakang, memberikan kesan terawat pada wajahnya yang ramah. Senyumannya, lembut dan manis, menghiasi wajahnya yang berseri-seri, memberi kesan bahwa dia benar-benar nyaman dan senang berada di sini. Matanya yang cerah memancarkan kebaikan, membuatku merasa seolah-olah dia benar-benar peduli dengan keberadaanku. Ketika dia duduk di depanku, aura positifnya langsung terasa, membuat suasana menjadi lebih hangat dan menyenangkan."Halo, Rey," jawabku sambil membalas senyumnya."Boleh aku temenin?" tanya Rey, matanya bersinar ceria."Boleh banget," jawabku, merasa gembira atas kehadiran Rey yang selalu membuat suasana lebih ceria.Rey melihatku dengan perhatian saat aku makan. "Kayaknya pelajaran hari ini bikin pusing banget ya," ucapnya sambil memperhatikan ak
Aku mengeluarkan buku biologi dari tas, mempersiapkan diri untuk jam pelajaran terakhir.Coba kasih tau gue, Sheena, gimana caranya mengungkapkan rasa cemburu dengan baik." "Gue udah nyoba nyembunyiin perasaan cemburu gue dibalik senyuman, tapi itu semua malah bikin gue ngerasa gak nyaman. Pahit.""Gue gak suka ngeliat lo deket sama cowok lain. Sorry! Kalo gue kelewat lebay di mata lo!"Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tatapanku mencari ke arah bangku Keenan di sudut kelas, namun tempat itu kosong. Tidak ada tanda-tanda Keenan atau teman-temannya. Mereka bolos? Rasa penasaran dan sedikit rasa cemas menggelayuti pikiranku. Suasana kelas biologi di jam terakhir seperti permainan menunggu waktu. Pak Dharma, guru biologi di SMA Cendana, masih semangat menjelaskan tentang sistem pencernaan, sementara beberapa dari kami mulai merasa seperti detik-detik ini adalah penantian yang tak berujung untuk pulang. Mata-mata kami yang mengantuk melirik ke arah jam dinding dengan
Dengan ekspresi serius laki-laki pemilik wajah tegas itu berdiri di depan kami. Melihat Keenan, cowok aneh itu akhirnya melepas genggamannya.Dia udah janji pulang sama gue," ujar Keenan dengan nada penuh penekanan.'Ha? Kapan?' batinku, bingung"Udah dibatalin janjinya," cetus cowok aneh itu, tidak memberi kesempatan untuk klarifikasi."Heh, mau Lo apa sih!" tanya Keenan, wajahnya menunjukkan ketidakpuasan."Gue mau---" Cowok aneh itu mulai menjawab, namun terputus oleh interupsi."Udah-udah, aku sama Rey aja!" Aku memotong perdebatan mereka dan menarik tangan Rey, yang baru saja datang menghampiri kami. Rey tampak kebingungan, dan aku baru menyadari bahwa aku mungkin melakukan kesalahan.Tanpa aku sadari, aku melakukan satu kesalahan."Eh, Al?-" Rey mencoba memanggilku, bingung."Rey, kamu mau kan nganterin aku?" tanyaku, cepat-cepat membawa Rey menjauh dari dua cowok yang sedang berdebat.Setelah kami sampai di parkiran, aku melepas tangannya."Mau, tapi A-aku-" Rey mulai berbicara
Di dalam mobil yang melaju di tengah hujan deras, suasana terasa hangat dan nyaman. Jendela-jendela berkabut oleh embun, sedikit mengaburkan pemandangan luar. Cahaya lampu jalan yang terpecah oleh tetesan air menciptakan kilauan lembut, menambah kesan damai dalam perjalanan ini. Suara hujan yang menghantam atap mobil terdengar seperti irama yang menenangkan, membaur dengan suara mesin yang stabil. Di dalam kabin, udara terasa nyaman, memberi kontras yang menyenangkan dengan udara dingin di luar. Kami duduk berdampingan di dalam mobil, suasana di dalam kabin terasa tenang. Aku sesekali melirik keluar jendela, menatap lampu-lampu jalan yang memburam di balik hujan. Refleksi cahaya di kaca depan terlihat bergerak cepat, membuat dunia luar terasa jauh dan samar. Hanya ada suara wiper yang bersenandung lembut, menjaga ritme dari kebisingan hujan di luar. Dalam keheningan yang nyaman ini, suasana terasa santai meskipun beberapa menit lalu dia membuatku mendengus kesal.Aku menoleh ke arahn
"Kamu kan udah nungguin aku lama banget di sini," jawabku, mencoba tersenyum. "Tadi hujan deras, pasti kedinginan, kan?"Keenan menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis. "Aku kesini cuma mastiin kamu baik-baik aja."Aku menatapnya, merasa terharu dengan perhatiannya. "Aku udah baik-baik aja, Keenan. Tapi kamu juga gak boleh nolak buatanku ini. Kamu harus coba!" desakku dengan nada manja yang sedikit kesal.Keenan tertawa, suaranya rendah dan menenangkan. "Okay, darl, gonna sip your warm tea," jawabnya sambil menerima cangkir teh itu. Ia menyeruput perlahan, dan aku menunggu reaksinya dengan cemas.Setelah beberapa detik, dia mengerutkan kening, membuatku khawatir. Teh buatanku gak enak? Aku menatapnya penuh tanya."Terlalu manis sih ini," katanya akhirnya, membuatku terkejut."Eh? Serius? Aku—" aku mencoba merespons, tapi Keenan memotong kalimatku."Maksudnya yang bikin terlalu manis," tambahnya dengan senyum nakal, kemudian tertawa. Aku melotot ke arahnya, merasa kesal tapi juga t
“E-eh, Kak, itu mau dipasang di mading sama Yara...” protes si siswi, namun Aline tak peduli, tangannya gemetar ketika ia mulai membaca, matanya bergerak cepat melintasi kalimat-kalimat di selebaran itu. Aku berdiri di sampingnya, dan perlahan-lahan judul berita di koran itu terlihat jelas di mataku, seolah-olah huruf-huruf itu melompat keluar dari halaman dan menghantam dadaku dengan keras. ~"Tragedi di Laut Mediterania: Pesawat XYZ345 Jatuh, 7 Siswa Indonesia Jadi Korban"Penerbangan internasional XYZ345 dari Indonesia menuju Spanyol yang membawa total 162 penumpang mengalami kecelakaan tragis di perairan dekat Laut Mediterania. Pesawat tersebut membawa 7 siswa Indonesia yang terpilih untuk mengikuti lomba tingkat Internasional ke Spanyol, bersama dengan penumpang umum dan kru pesawat. Berdasarkan laporan sementara, sebagian besar korban telah ditemukan dalam kondisi meninggal dunia. Namun, terdapat satu jasad siswa Indonesia yang hingga saat ini belum ditemukan. Berikut adalah da
Tiba-tiba Aline menepuk lenganku, memutuskan lamunan yang mulai merasuk. "Hey, Al! Kok malah ngelamun? Udah sana, lanjutin belajarnya. Aku mau tidur," katanya dengan ringan sebelum berbalik dan menuju tempat tidurnya.Aku sedikit terkejut, lalu tersadar dan mengangguk. "Iya, iya," jawabku sambil kembali menatap layar laptop, mencoba fokus lagi pada tugas yang harus kuselesaikan. Aku menggulir pelan halaman pada laptopku, membaca artikel tentang ketentraman jiwa manusia. Di tengah keheningan malam, pikiranku melayang pada nasihat lembut seorang ustadz di pengajian kecil. Suaranya penuh keyakinan, wajahnya teduh di bawah sorotan lampu masjid, saat ia berbicara tentang hati dan perasaan perempuan."Perempuan," katanya lembut, "jika tidak disibukkan dengan ilmu dan agamanya, dia akan gila karena perasaannya."Kalimat itu seperti sayatan tajam, menggugah kesadaran yang dalam. Aku memejamkan mata, mencoba merenungkan kata-katanya. Mungkin ini jawabannya—aku perlu mengalihkan perasaanku ke
Jemariku gemetar sedikit saat menemukannya, dan aku membuka halaman demi halaman, hingga kutemukan kutipan yang selalu berulang dalam buku itu. Bibirku membaca pelan kata-kata yang pernah memberiku kekuatan."Dalam perpaduan bulan dan bintang, langit malam mengungkap keindahan, menghapus segala beban hidup yang memandang."Aku mengulangi kalimat itu, berbisik, "Bulan dan bintang... langit malam... keindahan... menghapus beban hidup yang memandang."Mataku tak lepas dari langit di luar jendela. Bulan bersinar dengan tenang, bintang-bintang di sekelilingnya berkelip, seolah menyapa. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang hampir kupegang. Aku merasakan denyut ide yang perlahan mulai terbangun di kepalaku."Keindahan... langit malam..." gumamku lagi, lebih dalam, mencoba merangkai makna di antara kata-kata itu. Aku menutup mataku sejenak, membiarkan bayangan langit malam menari-nari di dalam pikiranku, berharap bisa memunculkan sesuatu yang nyata. Dan tiba-tiba.. seperti kilatan cahaya, 'aku t
Aku berbalik dan memandangnya dengan lelah. "Sebentar lagi, Lin," jawabku singkat, suaraku nyaris tenggelam."Aku mau ngaji dulu, sambil nunggu adzan isya'," tambahku, berharap Aline tak lagi mendesakku.Namun, dia tetap mendekat, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. "Al, minum obat dulu, ya? Jangan ditunda-tunda," katanya sambil meraih kotak obat yang sudah kusiapkan di kamar untuk keadaan darurat. Dia menyodorkan obat itu kepadaku, seakan tak ingin memberi ruang bagi penolakan.Aku menatap pil-pil di tangannya, lalu mengangguk lemah. Perlahan, aku mengambil obat tersebut dan segera menelannya. Perasaan sedikit tenang menyelimuti, meski tidak sepenuhnya menghapus rasa sakit yang ada di dalam dada."Nah, gitu dong. Kalau gini kan aku bisa lebih tenang. Kamu lupa ya? Tadi Kafka nitip kamu ke aku," ucap Aline, mencoba mencairkan suasana.Kafka. Nama itu membuatku terdiam sejenak. Masih ada banyak hal yang harus kupertanyakan padanya, namun, malam ini, aku terl
Aline mengangguk pelan, "Iya," jawabnya lembut, tak pernah sekalipun melepaskan rangkulannya di pundakku.Abhi yang biasanya ceria terlihat lebih serius. "Cepet sembuh ya, neng Alsha," ucapnya dengan nada tulus, meskipun ada sedikit kebingungan di matanya.Nevan menambahkan, "Iya, cepet sembuh, Al, biar Keenan nanti nggak kepikiran pas tanding." Kalimat terakhir itu terasa seperti belati yang menusuk langsung ke hatiku. Air mataku yang sedari tadi kutahan semakin deras mengalir, namun aku tetap diam. Mereka tidak tahu. Tidak tahu bahwa sakit yang kurasakan bukan hanya karena pusing, tetapi karena pengkhianatan yang baru saja kulihat. Keenan. Orang yang mereka banggakan, orang yang mereka kira akan peduli padaku, ternyata sudah bersama orang lain. Gadis lain. Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, aku memohon agar mobil berhenti. "Mampir ke masjid dulu... sholat Maghrib," pintaku dengan suara pelan, hampir tak terdengar.Aline mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut, dan su
Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki yang semakin mendekat membawaku kembali ke kenyataan. Aline tiba lebih dulu, diikuti oleh Kafka, Nevan, dan Abhi. Wajah mereka penuh kecemasan saat mereka menghampiriku. Aline duduk di sampingku, tanpa ragu langsung merangkulku dengan erat. Pelukan hangatnya seolah mencoba menarikku keluar dari keterpurukan yang tengah melingkupiku."Al, tiba-tiba banget sakitnya?" tanyanya lembut, suaranya bergetar samar dengan kekhawatiran.Aku hanya mengangguk pelan, masih menutupi wajah dengan kedua tanganku. Air mata yang membasahi pipiku tidak bisa kutahan lagi, dan aku tidak ingin mereka melihat betapa hancurnya aku saat ini."Bentar, gue telfon supir gue dulu biar cepet kesini," Kafka berkata, suaranya terdengar seperti dari kejauhan, bergema di antara pikiranku yang kacau. Aku bisa mendengar langkah kakinya menjauh sedikit, mungkin untuk mendapatkan sinyal yang lebih baik, tapi fokusku tak bisa sepenuhnya tertuju padanya.Aline menghela napas dalam
"Ketika rasa tak lagi mampu berlabuh di bumi, aku melangitkannya—membiarkannya terbang tinggi, menuju Tuhan, di mana segala harapan menemukan tempatnya yang abadi." -Alshameyzea Afsheena •••Di bawah langit senja yang memancarkan warna merah jingga lembut, bandara sore itu tampak bagaikan palet cat yang dipenuhi dengan warna-warna ceria dan energi yang tak tertahan. Namun, kontras antara suasana yang riuh dan keadaan batinku yang terpuruk tak pernah lebih jelas daripada saat ini. Setiap langkahku terasa seperti usaha sia-sia untuk menghapus bayangan yang baru saja menghantamku dengan keras, seakan dunia yang kukenal runtuh dalam sekejap. Napasku terasa semakin berat, masing-masing seperti beban yang menambah kekosongan yang menggelayuti hatiku. Tanpa rencana atau tujuan yang jelas, kakiku menarikku ke arah kamar mandi, mencari ketenangan di tempat yang sederhana. Mungkin, air wudhu' yang dingin dan menyegarkan bisa menjadi penawar sementara, menyelamatkanku dari kegundahan yang men
Aku terus memperhatikannya, merasa janggal dan penasaran. Gerakannya tenang, tapi matanya tampak sibuk mencari. Lalu, tak lama kemudian, muncul beberapa sosok yang sangat familiar-Rey, dokter Athala, dan bundanya. Mereka bergabung dengan Arshaka, tampak berbicara dengan penuh keseriusan.Ada perasaan aneh yang tiba-tiba muncul di dadaku, semacam kekacauan emosional yang sulit kutafsirkan. Namun sebelum aku bisa mencerna lebih jauh, suara Aline memecah keheningan."Al, lagi liatin apa sih?" tanyanya dengan nada penasaran, membuyarkan lamunanku.Aku tersentak, refleks menggeleng pelan. Tapi saat aku kembali menoleh ke arah Shaka dan keluarganya, mereka sudah menghilang dalam keramaian bandara. Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri dari rasa tak menentu yang tiba-tiba melanda.Kami berhenti di area parkir. Aline segera membuka pintu dan keluar dengan cepat, sementara aku masih mencoba menenangkan pikiran. Beberapa detik kemudian, mobil Nevan dan Abhi tiba, disusul oleh mob
"Itu. Lanjutannya," jawabku sambil menatapnya lebih dalam, ingin melihat reaksinya.Keenan menarik napas dalam, tatapannya tak pernah lepas dari wajahku. "Masih," ucapnya mantap, tanpa ragu.Keheningan langsung menyelimuti kami. Meski di sekitar kami kelas dipenuhi dengan suara obrolan teman-teman yang riuh, rasanya seperti ada dinding tak terlihat yang memisahkan kami dari hiruk pikuk itu. Hanya ada aku dan Keenan, duduk berhadapan dengan suasana yang kini terasa jauh lebih dalam dan rumit."Kamu mau ya, nganterin aku nanti?" tanyanya tiba-tiba, suaranya kini lebih lembut, penuh harap. "Bareng Kafka juga. Nanti ajak Aline."Aku menatapnya, kini wajahnya penuh dengan permohonan yang begitu tulus. Untuk sesaat, aku terdiam. Lalu, dengan senyum tipis, aku mengangguk pelan, tanda bahwa aku bersedia.---KRING! KRING! KRING!Bel sekolah berbunyi, menandakan akhir dari jam pelajaran hari itu. "Jam pelajaran telah selesai, seluruh siswa diperbolehkan untuk pulang ke rumah masing-masing,"