Aku terkejut mendengar pertanyaannya. "Eh? Kenapa kamu bilang gitu?"Dia mendekat sedikit, suaranya rendah dan penuh perhatian. "Aku ke rumah kamu buat mastiin, kamu aman." Bisikannya menambah rasa penasaran di hatiku. Aku menoleh, bingung dengan maksudnya."Aku nggak mau terjadi apa-apa sama gadisku," tambahnya dengan nada lembut. Aku melotot, terkejut dengan pernyataan yang tiba-tiba itu, tetapi Keenan hanya terkekeh pelan, tampak puas dengan reaksiku. "Baik anak-anak, perhatikan sebentar. Maaf jika kalian sudah menunggu lama," kata Pak Iwan, suaranya yang tegas dan menguasai lapangan berhasil menarik perhatian kami. Perlahan, riuh rendah di antara kami mulai mereda, menunggu apa yang akan diumumkan setelah penantian panjang.Pak Iwan melanjutkan, "Kami ingin mengumumkan beberapa hal penting terkait agenda sekolah kita. Yang pertama, pemilihan umum ketua OSIS akan dilaksanakan Minggu depan, dan sosialisasi program kandidat ketua OSIS dan wakil ketua OSIS akan dimulai lusa."Seketik
Aku melotot, heh! dasar! Akhirnya aku mendekat ke arahnya, tepat disampingnya, jarak kami hanya setengah meter saat ini. Dengan disaksikan oleh seluruh siswa SMAN Cendana. Sebagai siswa berprestasi. Bukan yang lain."Mereka ini berhasil membawa nama baik sekolah ini di ajang OSN (Olimpiade Sains Nasional) dan OMN (Olimpiade Matematika Nasional). Dan sama-sama meraih medali emas dan juara umum tingkat Nasional." Suara Pak Iwan menggema di antara kerumunan, dipenuhi kekaguman dan kebanggaanSorakan dan tepuk tangan memenuhi lapangan sekolah kami, membanjiri udara dengan gelombang semangat dan kebanggaan. Setiap tepuk tangan, setiap teriakan, seolah membangkitkan energi yang membuat momen ini terasa semakin megah. Arshaka dan aku berdiri bersebelahan di depan panggung, merasakan getaran positif dari sorak-sorai teman-teman kami."Selamat ya buat Arshaka dan Alsha, kalian emang luar biasa! Terima kasih juga buat semua yang udah dukung perjalanan sekolah kita sampai sejauh ini." Pak Iwan
Huft! Aku menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri dan melupakan kejadian yang baru saja terjadi. Pandanganku beralih ke bangku kosong di sebelahku. Gak ada Aline, sepi juga.Aku mengerutkan dahi, berusaha mencari cara untuk mengusir rasa sedih yang tiba-tiba melanda. Kenapa harus merasa sedih di saat seperti ini? Hey Alsha! Kamu baru aja dapet medali, kenapa malah sedih sih!Dengan tekad, aku mengeluarkan buku paket IPA dari dalam tas. Kulihat deretan soal-soal latihan di dalamnya, dan aku mulai mengerjakannya dengan penuh konsentrasi. Setiap goresan pensil di atas kertas seolah membantu mengusir kepedihan dari hatiku. Alsha, kamu bisa melaluinya. Ini hanya sementara.Tiba-tiba, aku merasakan kehadiran seseorang di dekatku. Kuangkat kepala, dan melihat Keenan memasuki kelas. Dengan tatapan singkat, dia menatapku sebelum melanjutkan langkahnya. Keningku berkerut saat dia melewatiku tanpa sepatah kata pun.Pandanganku mengikuti langkahnya, melihat bagaimana sosoknya yang tegap
"Yang sabar, All, jangan terlalu dipikirin kata-katanya." Suara lembut itu memecah kesunyian hatiku. Aku menunduk, berusaha keras menahan air mata yang mulai mengalir. Kata-kata yang keluar dari mulutnya seolah mengerti betapa beratnya perasaan yang ku rasakan saat ini."Mungkin, saat ini, mood-nya kurang baik." Tambahnya, mencoba menenangkan dengan nada penuh pengertian. Suaranya memberikan sedikit rasa tenang di tengah kepedihan yang kurasakan."Kalo lo mau cerita, gue siap dengerin. Karena gue yang paling kenal dia di antara yang lain." Dia menawarkan telinga untuk mendengarkan, kata-katanya penuh dengan kepedulian tulus.Aku mendongak perlahan, menatap laki-laki yang dikenal sering memakai hoodie ke sekolah dan selalu dengan earphone yang melekat di telinganya. Kafka—dikenal dengan sikapnya yang tenang dan penuh perhatian.Aku tersenyum tipis, berusaha keras menahan air mata yang masih mengancam untuk jatuh. "Thanks, Kafka," ucapku lembut, merasa sedikit lebih ringan.Kafka hanya
"Ternyata hubungan ini sebatas zona abu-abu di antara 'aku mencintaimu' dan 'kita adalah kita'."°°°°Aku berdiri tegak di depan kaca tebal yang memisahkan kami dari ruang IGD, tatapanku terpaku pada sosok Keenan yang terbaring lemas di ranjang rumah sakit. Wajahnya yang biasanya tegas kini tampak sangat rapuh, dan tak ada tanda-tanda kesadaran di matanya. Dokter sebelumnya telah menjelaskan bahwa benturan keras di kepalanya membuatnya tak sadarkan diri, dan kami harus menunggu beberapa jam untuk mengetahui apakah dia akan pulih.Rasa cemas menyeliputi seluruh diriku, membuatku tidak bisa berpaling dari kaca itu. Hatiku terasa hancur melihat Keenan terbaring tak berdaya. Setiap detik yang berlalu terasa seperti jam, dan kesedihan mendalam menggerogoti setiap bagian dari diriku, menyisakan hanya rasa sakit yang mendalam.Nevan yang duduk di kursi depan ruang IGD mengangkat kepalanya, suara lembutnya menembus kerumitan pikiranku. "Al, lo udah dua jam berdiri di situ."Aku tahu betul ber
Aku melotot, bingung dengan tingkahnya. "Iya, nih, aku makan!" ucapku tiba-tiba, merebut kotak nasi itu dan langsung memasukkan suapan pertama ke mulutku. Sebelumnya, aku sempat melihatnya tersenyum simpul, senyum kedua yang ditujukan padaku."Lo gak mau bilang makasih ke bunda gue?" tanyanya, masih tersenyum, namun dengan nada yang sedikit menuntut."Makasih banyak, salam buat bunda kamu," jawabku sambil mengunyah, berusaha mengalihkan perhatian dari tatapannya.Hening kembali menyelimuti kami. Aku sibuk menghabiskan makanan yang disiapkan dengan penuh kasih, sementara dia hanya diam, memperhatikanku dengan tatapan tajam."Ke gue?" suara barunya memecah keheningan, membuatku menoleh ke arahnya."Harus?" tanyaku, merasa sedikit terpaksa.Laki-laki itu mengerutkan keningnya, dan tatapannya kini berubah menjadi serius. "Buruan selesain makannya, kotak nasinya mau gue bawa pulang!" ucapnya, menambah tekanan dalam nada suaranya.Mode galak on!Tiba-tiba, suara notifikasi WA dari Kafka mem
BIM! BIM!Tiba-tiba, sebuah mobil berhenti mendadak di depan kami, memaksa sopir Grab melakukan rem mendadak yang membuatku terhuyung ke depan."Mbak? Gak papa kan? Aduh maaf mba, ini lagian siapa sih yang tiba-tiba berhenti dadakan gini. Kebiasaan deh, kayak jalan nenek moyangnya aja." omel sopir Grab itu dengan kesal.BIM! BIM!Sopir membunyikan klakson, mencoba memberi isyarat agar mobil di depan kami bergerak. Tapi nihil, tidak ada respon sama sekali. Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, seseorang muncul dari balik mobil itu."KELUAR!" teriaknya, mengacungkan senjata tajam ke arah kami. Wajahnya penuh amarah, membuat sopir Grab ketakutan, begitu juga aku.Aduh, ini siapa? Copet? Maling? Perampok? Begal? Jantungku semakin gak karuan, aku benar-benar panik saat ini. Seseorang, tolonglah aku."KELUAR ATAU GUE PECAHIN KACA MOBILNYA!" "Tenang mbak tenang, saya lagi telvon polisi, mbak jangan panik ya." ucap sopir grab ituPak? Gimana caranya tenang kalau gini, please!
'Hah? Dia beneran Keenan? Keenan Aksara?' Aku masih tidak bisa memproses semuanya. Dalam suasana yang penuh ketegangan ini, kenyataan bahwa pria misterius yang melawan penjahat itu adalah Keenan semakin membuatku terkejut dan bingung. Tiba-tiba, sebuah mobil datang dengan cepat dan berhenti tepat di belakang mobil Grab. Dari mobil tersebut, keluar Kafka, Nevan, dan Abhi, bergegas menuju ke arahku. "All, lo gak papa?" tanya Kafka dengan suara penuh kekhawatiran. Aku hanya bisa mengangguk, masih terpengaruh oleh ketegangan yang menyelimuti suasana ini. "Lo yang tenang, ada kita di sini," ucap Kafka, berusaha menenangkan. "Kita gak bakal biarin lo kenapa-kenapa," tambah Nevan dengan suara tegas. "Iya, neng Alsha, mendingan di dalam mobil aja. Lebih aman," saran Abhi, menunjukkan rasa pedulinya. Kafka mengangguk, "Bener kata Abhi, lo masuk mobil dulu—" "Tapi Keenan lagi berantem, gimana aku bisa tenang!" potongku dengan panik, melihat Keenan yang masih berada dalam situasi
“E-eh, Kak, itu mau dipasang di mading sama Yara...” protes si siswi, namun Aline tak peduli, tangannya gemetar ketika ia mulai membaca, matanya bergerak cepat melintasi kalimat-kalimat di selebaran itu. Aku berdiri di sampingnya, dan perlahan-lahan judul berita di koran itu terlihat jelas di mataku, seolah-olah huruf-huruf itu melompat keluar dari halaman dan menghantam dadaku dengan keras. ~"Tragedi di Laut Mediterania: Pesawat XYZ345 Jatuh, 7 Siswa Indonesia Jadi Korban"Penerbangan internasional XYZ345 dari Indonesia menuju Spanyol yang membawa total 162 penumpang mengalami kecelakaan tragis di perairan dekat Laut Mediterania. Pesawat tersebut membawa 7 siswa Indonesia yang terpilih untuk mengikuti lomba tingkat Internasional ke Spanyol, bersama dengan penumpang umum dan kru pesawat. Berdasarkan laporan sementara, sebagian besar korban telah ditemukan dalam kondisi meninggal dunia. Namun, terdapat satu jasad siswa Indonesia yang hingga saat ini belum ditemukan. Berikut adalah da
Tiba-tiba Aline menepuk lenganku, memutuskan lamunan yang mulai merasuk. "Hey, Al! Kok malah ngelamun? Udah sana, lanjutin belajarnya. Aku mau tidur," katanya dengan ringan sebelum berbalik dan menuju tempat tidurnya.Aku sedikit terkejut, lalu tersadar dan mengangguk. "Iya, iya," jawabku sambil kembali menatap layar laptop, mencoba fokus lagi pada tugas yang harus kuselesaikan. Aku menggulir pelan halaman pada laptopku, membaca artikel tentang ketentraman jiwa manusia. Di tengah keheningan malam, pikiranku melayang pada nasihat lembut seorang ustadz di pengajian kecil. Suaranya penuh keyakinan, wajahnya teduh di bawah sorotan lampu masjid, saat ia berbicara tentang hati dan perasaan perempuan."Perempuan," katanya lembut, "jika tidak disibukkan dengan ilmu dan agamanya, dia akan gila karena perasaannya."Kalimat itu seperti sayatan tajam, menggugah kesadaran yang dalam. Aku memejamkan mata, mencoba merenungkan kata-katanya. Mungkin ini jawabannya—aku perlu mengalihkan perasaanku ke
Jemariku gemetar sedikit saat menemukannya, dan aku membuka halaman demi halaman, hingga kutemukan kutipan yang selalu berulang dalam buku itu. Bibirku membaca pelan kata-kata yang pernah memberiku kekuatan."Dalam perpaduan bulan dan bintang, langit malam mengungkap keindahan, menghapus segala beban hidup yang memandang."Aku mengulangi kalimat itu, berbisik, "Bulan dan bintang... langit malam... keindahan... menghapus beban hidup yang memandang."Mataku tak lepas dari langit di luar jendela. Bulan bersinar dengan tenang, bintang-bintang di sekelilingnya berkelip, seolah menyapa. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang hampir kupegang. Aku merasakan denyut ide yang perlahan mulai terbangun di kepalaku."Keindahan... langit malam..." gumamku lagi, lebih dalam, mencoba merangkai makna di antara kata-kata itu. Aku menutup mataku sejenak, membiarkan bayangan langit malam menari-nari di dalam pikiranku, berharap bisa memunculkan sesuatu yang nyata. Dan tiba-tiba.. seperti kilatan cahaya, 'aku t
Aku berbalik dan memandangnya dengan lelah. "Sebentar lagi, Lin," jawabku singkat, suaraku nyaris tenggelam."Aku mau ngaji dulu, sambil nunggu adzan isya'," tambahku, berharap Aline tak lagi mendesakku.Namun, dia tetap mendekat, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. "Al, minum obat dulu, ya? Jangan ditunda-tunda," katanya sambil meraih kotak obat yang sudah kusiapkan di kamar untuk keadaan darurat. Dia menyodorkan obat itu kepadaku, seakan tak ingin memberi ruang bagi penolakan.Aku menatap pil-pil di tangannya, lalu mengangguk lemah. Perlahan, aku mengambil obat tersebut dan segera menelannya. Perasaan sedikit tenang menyelimuti, meski tidak sepenuhnya menghapus rasa sakit yang ada di dalam dada."Nah, gitu dong. Kalau gini kan aku bisa lebih tenang. Kamu lupa ya? Tadi Kafka nitip kamu ke aku," ucap Aline, mencoba mencairkan suasana.Kafka. Nama itu membuatku terdiam sejenak. Masih ada banyak hal yang harus kupertanyakan padanya, namun, malam ini, aku terl
Aline mengangguk pelan, "Iya," jawabnya lembut, tak pernah sekalipun melepaskan rangkulannya di pundakku.Abhi yang biasanya ceria terlihat lebih serius. "Cepet sembuh ya, neng Alsha," ucapnya dengan nada tulus, meskipun ada sedikit kebingungan di matanya.Nevan menambahkan, "Iya, cepet sembuh, Al, biar Keenan nanti nggak kepikiran pas tanding." Kalimat terakhir itu terasa seperti belati yang menusuk langsung ke hatiku. Air mataku yang sedari tadi kutahan semakin deras mengalir, namun aku tetap diam. Mereka tidak tahu. Tidak tahu bahwa sakit yang kurasakan bukan hanya karena pusing, tetapi karena pengkhianatan yang baru saja kulihat. Keenan. Orang yang mereka banggakan, orang yang mereka kira akan peduli padaku, ternyata sudah bersama orang lain. Gadis lain. Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, aku memohon agar mobil berhenti. "Mampir ke masjid dulu... sholat Maghrib," pintaku dengan suara pelan, hampir tak terdengar.Aline mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut, dan su
Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki yang semakin mendekat membawaku kembali ke kenyataan. Aline tiba lebih dulu, diikuti oleh Kafka, Nevan, dan Abhi. Wajah mereka penuh kecemasan saat mereka menghampiriku. Aline duduk di sampingku, tanpa ragu langsung merangkulku dengan erat. Pelukan hangatnya seolah mencoba menarikku keluar dari keterpurukan yang tengah melingkupiku."Al, tiba-tiba banget sakitnya?" tanyanya lembut, suaranya bergetar samar dengan kekhawatiran.Aku hanya mengangguk pelan, masih menutupi wajah dengan kedua tanganku. Air mata yang membasahi pipiku tidak bisa kutahan lagi, dan aku tidak ingin mereka melihat betapa hancurnya aku saat ini."Bentar, gue telfon supir gue dulu biar cepet kesini," Kafka berkata, suaranya terdengar seperti dari kejauhan, bergema di antara pikiranku yang kacau. Aku bisa mendengar langkah kakinya menjauh sedikit, mungkin untuk mendapatkan sinyal yang lebih baik, tapi fokusku tak bisa sepenuhnya tertuju padanya.Aline menghela napas dalam
"Ketika rasa tak lagi mampu berlabuh di bumi, aku melangitkannya—membiarkannya terbang tinggi, menuju Tuhan, di mana segala harapan menemukan tempatnya yang abadi." -Alshameyzea Afsheena •••Di bawah langit senja yang memancarkan warna merah jingga lembut, bandara sore itu tampak bagaikan palet cat yang dipenuhi dengan warna-warna ceria dan energi yang tak tertahan. Namun, kontras antara suasana yang riuh dan keadaan batinku yang terpuruk tak pernah lebih jelas daripada saat ini. Setiap langkahku terasa seperti usaha sia-sia untuk menghapus bayangan yang baru saja menghantamku dengan keras, seakan dunia yang kukenal runtuh dalam sekejap. Napasku terasa semakin berat, masing-masing seperti beban yang menambah kekosongan yang menggelayuti hatiku. Tanpa rencana atau tujuan yang jelas, kakiku menarikku ke arah kamar mandi, mencari ketenangan di tempat yang sederhana. Mungkin, air wudhu' yang dingin dan menyegarkan bisa menjadi penawar sementara, menyelamatkanku dari kegundahan yang men
Aku terus memperhatikannya, merasa janggal dan penasaran. Gerakannya tenang, tapi matanya tampak sibuk mencari. Lalu, tak lama kemudian, muncul beberapa sosok yang sangat familiar-Rey, dokter Athala, dan bundanya. Mereka bergabung dengan Arshaka, tampak berbicara dengan penuh keseriusan.Ada perasaan aneh yang tiba-tiba muncul di dadaku, semacam kekacauan emosional yang sulit kutafsirkan. Namun sebelum aku bisa mencerna lebih jauh, suara Aline memecah keheningan."Al, lagi liatin apa sih?" tanyanya dengan nada penasaran, membuyarkan lamunanku.Aku tersentak, refleks menggeleng pelan. Tapi saat aku kembali menoleh ke arah Shaka dan keluarganya, mereka sudah menghilang dalam keramaian bandara. Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri dari rasa tak menentu yang tiba-tiba melanda.Kami berhenti di area parkir. Aline segera membuka pintu dan keluar dengan cepat, sementara aku masih mencoba menenangkan pikiran. Beberapa detik kemudian, mobil Nevan dan Abhi tiba, disusul oleh mob
"Itu. Lanjutannya," jawabku sambil menatapnya lebih dalam, ingin melihat reaksinya.Keenan menarik napas dalam, tatapannya tak pernah lepas dari wajahku. "Masih," ucapnya mantap, tanpa ragu.Keheningan langsung menyelimuti kami. Meski di sekitar kami kelas dipenuhi dengan suara obrolan teman-teman yang riuh, rasanya seperti ada dinding tak terlihat yang memisahkan kami dari hiruk pikuk itu. Hanya ada aku dan Keenan, duduk berhadapan dengan suasana yang kini terasa jauh lebih dalam dan rumit."Kamu mau ya, nganterin aku nanti?" tanyanya tiba-tiba, suaranya kini lebih lembut, penuh harap. "Bareng Kafka juga. Nanti ajak Aline."Aku menatapnya, kini wajahnya penuh dengan permohonan yang begitu tulus. Untuk sesaat, aku terdiam. Lalu, dengan senyum tipis, aku mengangguk pelan, tanda bahwa aku bersedia.---KRING! KRING! KRING!Bel sekolah berbunyi, menandakan akhir dari jam pelajaran hari itu. "Jam pelajaran telah selesai, seluruh siswa diperbolehkan untuk pulang ke rumah masing-masing,"