Widia tersenyum dan menjawab, "Itu dulu, saat kita belum saling kenal, sehingga kamu bisa menganggap dirimu bukan siapa-siapa. Tapi sekarang, kamu adalah sahabatku. Semua orang yang hormat padaku, juga harus memberikan rasa hormatnya pada sahabatku."
'Jika aku beri tau mereka, kau adalah wanita yang paling dicintai Kakakku, bukan hanya rasa hormat yang akan kau dapatkan tapi mereka akan tunduk dan melakukan apapun yang kau perintahkan!' tambah Widia berpikir dalam hati.
Sebelum Anisa menanggapi perkataan Widia, Dinda tiba-tiba berbalik dan menyela, "Kau... Kau pikir kau siapa? Berani sekali kau mengusir anak buahku! Aku akan memberimu pelajaran! Akulah yang akan memberimu pelajaran!"
Dinda berlari, dia benar-benar siap untuk menyerang Widia. Namun serangannya terhenti, saat Tegar menangkap tangannya dan menariknya ke belakang. "Dinda, cukup!"
Menoleh ke belakang, dia menatap Tegar
Tegar pun segera jongkok untuk membantu Dinda, "Dinda, bagaimana keadaanmu? Apa kau tidak apa-apa?"Sementara itu, Widia tertawa, "Ha ha ha... Dasar lemah! Ayo bangun, lawan aku lagi!"Mendengar dirinya kembali diremehkan, Dinda berontak dari pegangan Tegar, "Lepaskan aku!"Dia lalu berdiri dengan susah payah, dan kembali bersiap untuk menyerang Widia. Namun begitu melihat tatapan tajam Widia, tanpa sadar Dinda mundur satu langkah. 'Apa ini? Apa yang terjadi padaku? Ke - kenapa? Apakah aku takut pada wanita ini?' pikirnya.Karena Dinda diam, Widia kembali memprovokasi dia, "Hei pelakor, kenapa diam saja? Ayo, maju serang aku!"Mendengar kata "pelakor" disebutkan, Dinda kembali tersulut emosinya. Hingga dia langsung menyerang Widia dengan marah. Hanya saja masih sama seperti tadi, sebelum dia dapat menyentuh Widia, Widia dengan cepat menghindar dan langsung mengunci ta
Setelah kepeninggalan Tegar dan Dinda, Anisa tiba-tiba tertawa, "Ha ha ha ha ha... Kau sangat hebat, dokter Widia. Seandainya kau lihat dirimu tadi, gerakanmu sangat cepat seperti seorang ahli di film-film aksi, kau benar-benar hebat. Pantas saja Justin dan orang-orangnya takut padamu, ternyata kau benar-benar hebat. Huh, aku senang sekali punya teman sepertimu.""He he... Kak Nisa bisa aja mujinya. Oh iya, kalau Kakak mau, aku bisa juga ajarin Kakak beberapa gerakan. Ya untuk menjaga diri, sekaligus untuk membalas perbuatan orang-orang seperti mereka," ujar Widia.Anisa menghembuskan nafas dan berkata, "Kurasa tidak perlu. Aku kan sudah punya teman yang hebat seperti kamu. Lagi pula, besok aku sudah harus mulai bekerja - tidak akan sempat untuk hal yang lainnya. Aku juga harus membagi waktuku dengan Jihan. Sekarang, Jihan adalah segalanya untukku. Jadi selain bekerja, aku hanya ingin menghabiskan waktu bersamanya."
Widia mengangguk santai, "Tentu saja... Bukankah waktu itu aku sudah ceritakan, kalau aku mengenal salah satu petinggi di perusahaan Tifana Group? Apakah Kakak lupa?" Widia lalu tersenyum dan menambahkan, "Sudahlah, ayo masuk! Aku antar Kak Nisa sampai depan perusahaan."Meskipun masih kebingungan, namun Anisa hanya mengangguk. "Baiklah."Dia membuka pintu belakang dan masuk ke dalam mobil. Di dalam, seperti melihat ibu kandungnya, bayi Jihan langsung terseny cerah dan usil. Seperti minta di gendong olehnya.Anisa yang peka, juga langsung mengambil Jihan dari tangan pengasuh dan memeluknya dengan lembut. "Halo, sayang. Apa kamu merindukan Ibu? Ibu sangat merindukanmu."Jihan hanya tertawa kecil dan mengacak-acak rambut Anisa dengan gembira. Melihat interaksi hangat antara Anisa dan Jihan, Widia tersenyum senang melihatnya.Mereka pun kemudian berangkat menuju tempat kerja A
Rio terkekeh dan menjawab, "Semua karyawan di perusahaan ini diperlakukan sama. Tidak ada yang diperlakukan sangat baik. Kamu saja yang menganggapnya seperti itu. Baiklah, saya masih ada pekerjaan lain, jadi saya pergi dulu. Semangatlah, jika ada yang tidak kau mengerti bisa ditanyakan ke rekanmu yang lain. Jika masih tidak mengerti, bisa hubungi aku."Anisa mengangguk, "Baik, Pak. Terimakasih."Rio mengangguk sebagai jawaban, sebelum dia berbalik dan keluar dari ruangan tempat kerja Anisa. Sementara Anisa langsung duduk di tempat kerjanya dan membuka laptop yang sudah disediakan di sana.Meskipun dari luar kelihatan biasa saja, namun tetap saja ada beberapa orang yang merasa iri pada Anisa, karena diperlakukan begitu istimewa. Sehingga mereka membicarakannya di belakang."Siapa sih wanita ini? Bukan hanya diperbolehkan membawa bayi saat bekerja, bahkan dia membawa pengasuh juga untuk ana
Anisa menelan saliva dan mengangguk, "Saya sangat mengerti, Bu Rianti. Saya tidak akan memanfaatkan situasi untuk bersikap sombong dan merendahkan orang lain. Saya tidak akan mengecewakan Anda, dan orang yang telah merekomendasikan saya.""Baguslah, jika kau paham!" ujar Rianti, sebelum mengambil sebuah map dari meja dan menyerahkannya pada Anisa, "Antarkan ini ke kantor Presiden di lantai paling atas gedung ini! Aku beri tau padamu, Presiden bukanlah orang yang bisa di ajak bercanda. Jadi, Berhati-hatilah saat bicara dengannya, atau kau akan kehilangan pekerjaan ini. Meskipun aku tidak tau siapa yang merekomendasikanmu ke perusahaan ini. Tapi ketahuilah, jika kau sampai membuat Presiden tidak senang, kau pasti akan selesai!"Anisa menerima map tersebut dari tangan Rianti sebelum mengangguk, "Baik, terimakasih telah mengingatkan. Kalau gitu, saya permisi dulu."Setelah itu, dia membungkuk sedikit dan berbalik
Anisa langsung mengangguk, karena memang ada banyak yang ingin dia tanyakan ke Safak. Mereka lalu keluar dari ruangan kantor Presiden dan duduk di kursi koridor yang sepi. Safak agak gugup, namun mencoba untuk tetap terlihat tenang.Dia tersenyum dan berkata, "Nisa, senang sekali bisa bertemu denganmu lagi. Bagaimana kabarmu?"Safak memang sudah tahu semua kabar tentang Anisa. Namun untuk basa-basi, tidak ada salahnya juga bertanya seperti itu. Setidaknya, begitulah yang dia pikirkan sekarang."Aku cukup baik. Kamu sendiri bagaimana?" balas Anisa.Safak mengangguk, "He he, yahh... aku juga cukup baik."Karena sudah lama tidak mengobrol seperti ini, keduanya benar-benar menjadi canggung.Anisa menghela nafas dan menatap Safak, "Kamu juga kerja di sini?"Safak ingin menjawabnya, namun Anisa menyela saat d
Safak langsung tersadar dari kegirangannya dan menarik tubuhnya kembali. "Maaf, maaf! Aku... Aku barusan lupa diri karena terlalu senang."Anisa hanya menghela nafas, sebelum berkata, "Sudahlah, jangan terlalu berlebihan. Aku memang sudah memaafkan kamu, tapi bukan berarti semua akan kembali seperti dulu. Kita tetap bisa bersikap berteman, namun harus menjaga sikap profesional dan batas-batas yang sesuai di tempat kerja."Safak mengangguk, "Ya, betul. Aku setuju. Baiklah, maaf atas tindakanku yang tadi. Aku berjanji tidak akan mengulanginya. Dan sekali lagi, terima kasih karena kau telah memaafkanku."Setelah jeda beberapa saat, Anisa bertanya lagi, "Emm... Safak. Kalau boleh tau, sebenarnya kamu bekerja di bagian apa? Kenapa tadi bisa ada di ruangan Presiden?"Sebenarnya Safak tidak ingin membohongi Anisa, namun karena takut wanita ini akan pergi jika dia berterus terang, ya akhirnya dia berbo
Anisa yang merasa panik dan tegang, tidak bisa berbuat banyak selain menunggu dengan gelisah. Dia merasa sangat menyesal atas kesalahannya yang tidak disengaja. Namun dia tetap berharap agar Presiden atau Pak Hermawan memberinya kesempatan untuk membuktikan bahwa dia bisa belajar dari kesalahan tersebut.Panggilan telepon dari Rianti langsung diangkat oleh Hermawan. "Ya, ada apa, Rianti?""Pak, maaf mengganggu waktu Anda, tapi ada yang ingin saya laporkan. Ini bukan tentang pekerjaan, melainkan tentang kelalaian saya mengatur bawahan. Sebelumnya saya minta maaf Pak, saya benar-benar minta maaf. Tadi saya belum sempat memberitahu seorang karyawan baru bernama Anisa. Hingga membuatnya salah masuk dan naik lift khusus Presiden Direktur. Saya salah karena lalai, dan Anisa juga salah karena tidak bertanya lebih dulu. Jadi bagaimana baiknya kita menyelesaikan masalah ini?" jelas Rianti."Saya merasa sangat khawatir, keja
Minah menjawab, "Sudah sebulan yang lalu. Ya, aku lupa mau memberitahu kamu. Kamunya juga sangat sibuk, jadi mana sempat aku bicara ke kamu. Lagian, aku tidak pernah berpikir semuanya akan jadi seperti ini. Aku tidak pernah berpikir kalau wanita itu akan seberani itu menuntut harta gono-gini padamu. Aku juga tidak mengira, kalau wanita itu akan bisa membayar seseorang pengacara besar seperti Pak Erickson. Melihat kondisinya, untuk membayar pengacara biasa saja sepertinya mustahil. Tapi bagaimana bisa dia tiba-tiba punya uang untuk membayar pengacara besar seperti Pak Erickson?"Hana yang dari tadi diam, tiba-tiba angkat bicara, "Eh Kak Tegar, benarkah yang Kakak katakan? Si jalang itu membayar Pak Erickson sebesar 30 miliar hanya untuk menyelesaikan kasus perceraian ini? Lalu apa Kak Tegar percaya begitu saja?"Tegar menatap Hana, "Apa maksudmu?"Hana menghela nafas dan mulai menjelaskan, "Ya, secara... Seperti yang Ibu bilang barusan. Kita semua di sini tau kon
Anisa dan Safak mengangkat kepalanya bersamaan dan menatap Dilla. "Ya, ada apa?" tanya Anisa."Barusan Nona Widia sudah mengirim pesan, beliau menunggu saya di luar, jadi saya mau pamit pulang dulu sama Jihan," ujar Dilla.Anisa cukup terkejut mendengar yang dikatakan Dilla, "Apa? Widia sudah di luar?" Dia berdiri, "Di mana dia sekarang? Aku mau ketemu dia sebentar."Sementara itu, Safak hanya berpikir, 'Ohh, jadi anak itu sudah di luar? Ha ha... Dasar, tau juga kalau Kakaknya lagi pengen berduaan, jadi dia gak datang buat ganggu!'"Em, Nona Widia bilang, beliau tidak mau mengganggu pekerjaan anda, makanya beliau tidak masuk. Beliau juga meminta pada saya untuk menyampaikan pesan," jelas Dilla."Pesan? Pesan apa itu?" tanya Anisa."Beliau berpesan agar anda tetap melanjutkan pekerjaan Anda saja. Nona Widia tidak mau mengganggu pekerjaan Anda
Dengan perlahan, Anisa menatap Safak, matanya penuh dengan keraguan. Hingga akhirnya, dia memutuskan untuk mengambil sepotong makanan dan mencicipinya. Rasa makanan yang lezat langsung menyapa lidahnya, membuat Anisa tidak bisa mengangkat kedua alisnya, "Ini... Ini... Ini enak sekali! Bagaimana ada makanan seenak ini?"Safak merasa sangat puas dengan reaksi Anisa, dan dia tersenyum. "Lihat kan? Sudah kubilang, makanan ini sangar enak. Aku tidak mungkin ajak kamu makan di tempat yang asal. Aku pasti mencarikan yang terbaik buatmu."Menghembuskan nafasnya, Anisa membalas, "Hemm, mulai... mulai... dengar ya Safak, aku memaafkanmu hanya demi teman-temanku. Karena sebenarnya aku belum benar-benar memaafkan kamu. Jadi, jangan gombal-gombal gitu. Gak bakal ngaruh buat aku."Safak tersenyum kecut, "Iya deh iya. Terserah kamu, mau itu demi teman kamu atau demi siapapun. Yang penting sekarang, kita makan dulu. Kamu harus mengisi k
Anisa terdiam sejenak, matanya menatap Safak dengan penuh pertimbangan. Akhirnya, setelah beberapa saat berpikir, dia tersenyum kecut dan menghela nafas panjang. "Baiklah, aku maafkan kamu, Safak. Kita bisa makan siang bersama."Safak tersenyum lega, "Terimakasih, Nisa. Ayo, mari kita makan bersama-sama."Semua orang bersorak, "Yeay!"Safak lalu memberikan kode lewat kepalanya pada para pelayan, untuk meletakkan satu persatu makanan di tangan mereka ke meja kargembira. Dan para pelayan segera melakukan seperti yang diperintahkan. Dan mereka juga segera pergi begitu makanan sudah diletakkan di meja."Kita akan menikmati makanan yang seumur hidup tidak mungkin bisa kita nikmati!" ucap salah satu staff bernada sangat gembira.Staff lain menyahut, "Kita harus berterimakasih pada Anisa. Bagaimanapun ini berkat dia. Jika dia tidak mengenal Pak Safak dengan baik, huh kita ti
Orang itu menjawab, "Ya, siapa tau kan? Siapa tau...""Cukup! Tidak ada siapa tau siapa tau. Lebih baik kau diam, jika masih ingin bertahan bekerja di sini!" potong rekan kerjanya yang sebelumnya sambil melotot.Sementara itu, Safak dan semua orang yang dibawanya masih dengan sabar menunggu Anisa di luar ruangan tempat Anisa, Dilla, dan Jihan berada. Cukup lama untuk orang-orang itu menunggu, sebelum akhirnya Anisa keluar sendirian dari sana. Dan dia benar-benar terkejut saat melihat deretan pelayan yang membawa makanan di tangan mereka."Apa ini? Mereka... Mereka benar-benar mengantar semua makanannya?" tanya Anisa, sebelum menatap Safak.Safak tersenyum, "Tentu saja, mereka harus mengantarnya. Jika tidak, kita tidak akan bisa menikmati makan siang bersama yang sempat tertunda tadi.""Haaaa? Lupakan itu, aku tidak mau makan siang berdua denganmu lagi. Aku masih
Rianti langsung mengangguk, "Baik Pak, saya paham. Saya akan mencoba yang terbaik untuk menyembunyikan identitas Anda." Setelah mengatakan itu, dia teringat sesuatu dan menambahkan, "Oh iya, lalu bagaimana dengan karyawan yang lain? Semua orang di sini sudah mengenal Anda, dan mengetahui kalau Anda adalah pemilik perusahaan. Bagaimana jika Nona Anisa sampai tau tentang identitas Anda dari mereka?""Nah, itu yang akan menjadi pekerjaanmu," ujar Safak.Rianti yang belum paham berkata, "Menjadi pekerjaan saya? Maksud Anda bagaimana ya? Saya tidak mengerti."Safak menghela nafa san berkata, "Kau ini, sudah menjadi Manager Operasional, tapi tidak paham juga masalah semudah ini. Ya kaulah yang akan memberitahu semua karyawan di sini, tentang mereka semua yang tidak boleh membocorkan identitasku pada Anisa. Aku beri tau kau, Anisa hanya tau, aku adalah orang kepercayaan Presiden. Jadi beri tau semua orang, kalau mulai sek
Meskipun masih tidak yakin, namun Anisa hanya berkata, "Jadi begitu? Ya sudah." Anisa yang teringat sesuatu langsung menambahkan, "Eh sebentar, Bu Rianti sebenarnya baru saja saya ingin menemui Ibu di kantor, karena ada yang ingin saya bicarakan dengan Ibu. Tapi karena kita sudah ketemu di sini, bisakah kita bicara di sini saja?"Melihat ke arah Safak sebentar, Rianti tersenyum dan menjawab, "Bisa, apa yang ingin kamu bicarakan?""Sebenarnya begini, Bu Rianti. Barusan anak saya rewel dan menangis terus, mungkin karena saya telat menyusuinya. Jadi saya mau minta ijin untuk beberapa saat menenangkan anak saya sambil menyusuinya. Bolehkan, Bu?" jelas Anisa.Sebenarnya, hal seperti ini belum pernah dilakukan perusahaan sebelumnya. Namun yang meminta ijin adalah Anisa, yang saat ini telah disadari Rianti kalau wanita ini ternyata punya hubungan dekat dengan pemilik perusahaan, jadi bagaimana mungkin dia tidak memberikan
Mendapatkan perintah dari pemimpinnya, semua pelayan itu langsung bergerak dan bergegas untuk mengantarkan hidangan khas Prancis ke perusahaan Tifana Group. Dengan langkah cepat, mereka segera bergegas menuju kendaraan untuk mengantar makanan tersebut.Sementara itu, Safak dan Anisa sudah sampai di depan perusahaan Tifana Group. Keduanya segera keluar dari mobil, begitu melihat Dilla ada di sana dan sedang mencoba menenangkan Jihan."Nyonya, akhirnya Anda kembali. Jihan rewel terus, sepertinya dia sudah laper," ujar Dilla."Aku mengerti, berikan padaku!" Anisa langsung mengambil Jihan dari tangan Dilla.Setelah Jihan ada di tangannya, Anisa juga langsung bersiap untuk menyusuinya. Hanya saja dihentikan oleh Safak, "Nisa, tunggu! Ayo kita ke atas, kita cari tempat tertutup untuk kalian. Lagian di sini kurang nyaman untuk menyusui bayi."Menghembuskan nafasnya, da
Safak pun terkekeh sebelum mencoba membujuk Anisa, "Hei, ayolah. Bukankah aku sudah minta maaf? Jangan ngambek gini ah. Mending kamu duduk dulu, lalu pesan makanan yang paling kamu suka."Safak kemudian memegang kedua bahu Anisa dari belakang. Dan dengan sedikit paksaan, dia mendudukkannya di kursi. Meskipun masih cuek dan cemberut, namun Anisa juga tidak menolak saat Safak melakukan itu."Ayo, kamu mau makan apa?" tanya Safak sambil menyerahkan menu pada Anisa.Tidak menjawab, Anisa kembali memalingkan wajahnya ke arah lain.Safak yang melihatnya kembali terkekeh sebelum menghela nafas lalu berkata, "Baiklah, jika kamu tidak mau pesan sendiri. Biar aku saja yang pesan buat kamu." Safak menoleh ke arah resepsionis wanita, yang sedari tadi masih berdiri di sana, "Eh kamu, aku mau pesan semua hidangan khas yang ada di restoran ini. Pokoknya sajikan dengan cara yang paling spesia