Vian menatap Bella sembari tersenyum. Akhir-akhir ini memperhatikan Bella menjadi kesukaannya. Bella merupakan gadis cantik yang mampu menarik perhatiannya.
"Kedip dong," ujar Regan.Vian tidak peduli."Gue gak pernah percaya sama cinta pada pandangan pertama, tapi ternyata benar-benar ada, ya," kata Beno sambil geleng-geleng."Mana terjadi sama teman kita lagi," timpal Regan.Vian mengalihkan pandangannya pada Regan dan Beno. "Gue mau minta pendapat lo berdua.""Apa?" Kompak keduanya."Gimana cara deketin cewek?"Keduanya tertawa membuat Vian menatap tajam mereka. "Jawab!"Mereka langsung berhenti tertawa."Em, gue mau mastiin. Lo beneran mau pacarin Bella atau cuma penasaran aja?" Beno bertanya."Dan kayak yang kita bilang sebelumnya Bella susah dideketin. Anaknya dingin. Lo yakin?" Regan menimpali.Vian mengangguk. "Yakin. Makanya lo berdua harus bantuin gue.""Kenapa kita harus bantuin lo?""Kan lo berdua yang pengalaman deketin cewek.""Iya, tapi kan kita gak pernah deketin cewek kayak Bella.""Gue gak mau tahu pokoknya lo berdua harus bantuin gue."*****"Hai." Bella cukup terkejut melihat Vian yang tiba-tiba sudah berada di hadapannya."Sendirian aja? Gak sama teman lo?" tanya Vian.Bella kembali sibuk membaca buku tanpa menjawab pertanyaan Vian.Saat ini Bella sedang berada di perpustakaan. Karena jam kosong di kelas dan suasana yang cukup berisik membuat Bella melarikan diri ke sini. Sudah merupakan kebiasaan Bella. Waktu di sekolah yang lama pun Bella pasti akan melakukan hal yang sama.Tadi Sita ingin mengikutinya, tapi setelah tahu kalau Bella ingin ke perpustakaan, Sita mengurungkan niatnya untuk ikut. Karena katanya Sita tidak terlalu suka suasana perpustakaan. Alasannya karena dia tidak bisa banyak bicara di sini. Maklum, apalagi suara Sita cukup besar."Lo suka baca buku, ya?" Vian kembali mengajukan pertanyaan. Namun, Bella masih tidak menjawab."Buku itu gue pernah baca, tapi baru satu halaman gue langsung berhenti. Gak kuat gue bacaan berat kayak gitu," ujar Vian melihat buku bacaan Bella.Walaupun Vian malas belajar, tapi cowok itu pernah sesekali membaca buku. Meskipun, tidak pernah membacanya hingga selesai. Karena sudah keburu bosan. Begitulah Vian. Tidak akan betah melakukan hal yang menurutnya membosankan.Sedangkan Bella sebaliknya. Bella sangat suka membaca buku. Buku apapun Bella pasti akan membacanya. Sekalipun bukan buku yang tidak Bella suka, pasti Bella akan membacanya hingga selesai."Lo baca buku?" Bella yang sedari tadi diam akhirnya bertanya membuat Vian tersenyum."Akhirnya lo ngomong juga. Iya, gue baca juga, tapi jarang. Soalnya bosan."Bella mendengar jawaban Vian, tapi pandangannya masih terfokus pada buku."Salut gue sama lo. Bisa baca buku setebal itu. Jaman sekarang udah jarang orang yang mau baca buku tebal-tebal."Meskipun di perpustakaan masih ada beberapa murid yang senang membaca, tapi tidak banyak. Bisa dihitung dengan jari. Yang pasti dirinya tidak termasuk dalam beberapa murid tersebut.Bella bangkit berdiri membuat Vian juga ikut berdiri.Bella berjalan menuju petugas perpustakaan. Bermaksud ingin meminjam buku yang tadi dibacanya.Setelah selesai, Bella pun keluar dari perpustakaan.Bella menghentikan langkahnya ketika Vian berjalan mengikutinya. Bella lalu beralih menatap Vian."Bisa gak usah ikutin gue?""Hah? Gue gak ikutin lo. Gue mau ke kelas. Kelas kita kan searah."Bella merutuki dirinya karena sudah salah paham pada Vian."Jaket lo besok gue balikin," ujar Bella."Iya. Mau dibalikin kapan aja juga gak papa."Bella lalu pergi. Ia mempercepat langkahnya.Vian memperhatikan Bella yang semakin jauh lalu mengulum senyumnya. "Lucu."*****"Udah balik lo, Bell? Kok cepat baliknya?" Sita bertanya saat Bella sudah kembali ke kelas.Bella mengangguk. "Ada pengganggu.""Pengganggu? Siapa?"Belum sempat Bella menjawab, Sita sudah kembali bersuara. "Biar gue tebak. Yang gangguin lo Rina cs, ya?""Kayaknya bukan. Gak mungkin Rina cs ke perpus. Itu langka banget. Atau jangan-jangan Vian, ya?" Sita kembali bertanya.Bella hanya mengangguk."Nah, benar kan. Vian kan sering banget tidur di perpus. Tapi harusnya lo senang diajak ngobrol sama Vian. Kapan lagi dia mau ngajak cewek ngobrol. Langka banget, loh.""Gak peduli," kata Bella cuek."Jangan terlalu cuek, lah, Bell sama cowok."Bella hanya diam. Memilih sibuk membaca buku yang tadi dipinjamnya."Lo gak asyik banget. Diajak ngobrol malah baca buku."Bella tidak merespons. Bukannya tidak menghargai Sita. Hanya saja Bella sangat malas kalau sudah berbicara mengenai cowok. Bella akan merespons apapun kecuali satu, yaitu pembahasan mengenai cowok. Apalagi sampai dijodoh-jodohkan. Sungguh Bella tidak suka. Karena Bella benar-benar sudah menutup pintu hatinya untuk setiap cowok. Tidak akan Bella biarkan hatinya kembali terluka hanya karena seorang cowok.*****"Bell, udah pulang lo."Bella hanya mengangguk.Bella lalu menatap jaket yang dipakai Baron."Itu jaket lo dapat darimana?" Bella bertanya karena jaket yang dipakai Baron sangat mirip dengan jaket Vian yang cowok itu pinjamkan padanya saat insiden kemarin.Harusnya Bella mengembalikannya hari ini, tapi Bella lupa. Karena buru-buru.Baron ikut menatap jaket yang ia pakai."Dari kamar lo. Hadiah buat gue, kan? Thanks, ya hadiahnya. Tahu aja lo kalau gue lagi pengin jaket ini.""Lepas jaketnya.""Loh, kenapa?""Buruan!"Baron menurut. Baron melepas jaket tersebut lalu mengembalikannya pada Bella."Itu jaket cowok. Gue pikir lo beliin buat gue. Kalau bukan buat gue terus buat siapa?" tanya Baron.Tidak mungkin Bella membeli jaket itu untuk Bella pakai. Apalagi itu jaket cowok."Ini jaket orang."Baron seketika menatap Bella bingung. "Jaket orang? Maksudnya gimana?""Udah sana pergi. Lo mau jalan, kan?" Bella tidak akan mau menjawab pertanyaan Baron. Bisa-bisa Baron malah menggodanya karena dipinjamkan jaket oleh Vian."Iya, tapi boleh gak gue pinjam jaketnya?""Buat apa?" Bella bertanya."Buat dipamerin ke teman-teman gue. Apalagi jaketnya keliatan mahal.""Gak! Kalau mau beli aja sendiri. Jangan gaya pakai barang punya orang.""Dasar pelit!"*****"Bell, udah pulang?""Ah, iya, ma." Bella mencium tangan Lani."Loh, ini kan jaket yang tadi dipakai Baron. Kok malah ada di kamu?" Lani bertanya melihat jaket yang dipegang Aulia.Bella terdiam. Tidak tahu harus menjawab apa."Bell?""Iya, ma. Ini emang jaket yang dipakai Kak Baron. Cuma ini jaket teman aku. Kemarin dia pinjamin ke Bella karena baju Bella basah ketumpahan minuman." Bella menjelaskan secara jujur. Bella tidak mau membohongi sang mama.Lani manggut-manggut. "Harusnya Baron tanya dulu ke kamu. Eh, dianya malah langsung pakai. Untung kamu liat.""Iya ma.""Ngomong-ngomong teman cowok siapa yang pinjamin kamu jaket? Baik banget, ya dia. Baru beberapa hari kamu pindah udah dapat teman cowok.""Em, ada teman aku. Kalau gitu aku ke kamar dulu, ya, ma.""Iya. Habis ganti pakaian jangan lupa makan. Mama udah siapin.""Iya ma."Lani tersenyum ketika Bella sudah pergi ke kamar. Lani berharap putrinya bisa kembali menjadi Bella yang dulu. Yang tidak menutup diri pada orang lain.******************************Bella berjalan menuju kelas Vian. Bella ingin mengembalikan jaket cowok itu. Semalam, Bella sudah menaruhnya di dalam tas agar tidak lupa.“Eh, ini anak baru yang ditaksir Vian, ya? Cantik sih, tapi gak cantik-cantik amat. Cantikan juga gue.”“Iyalah. Cantikan lo kemana-mana kali. Kayaknya Vian dipelet deh sama dia.”Bella mendengar omongan mereka, tapi Bella mengabaikannya. Bella merasa tidak penting mengurus hal sepele seperti itu. Lagipula Bella sudah biasa mendapat omongan seperti itu. Baginya itu hanyalah hal biasa.“Pagi Bella. Tumben ke kelas kita. Mau cari Vian, ya?” ucap Regan sembari tersenyum.Bella hanya mengangguk.“Vian belum datang. Kayaknya dia datang telat.”“Boleh minta tolong?” pinta Bella.“Boleh-boleh. Mau minta tolong apa?”Bella memberikan jaket Vian. “Tolong kasih ke Vian.”Regan pun menerimanya. “Oke Bell.”Regan menoleh pada kedua cewek yang tadi menjelek-jelekan Bella. Sampai sekarang pun keduanya masih membicarakan Bella.“Lo berdua gak ada kerjaan, ya? Pag
“Bentar, ini gue gak salah denger, kan? Lo dapat bekal dari Bella?” Sita bertanya memastikan. Pasalnya, tadi Bella mengaku padanya kalau Bella lupa membawa bekal. Lalu bagaimana bisa Bella memberikan bekal pada Vian?Vian mengangguk. “Iya, gue dapat dari Bella.”“Sit.” Mereka berempat menoleh.“Duduk Bell.” Regan menyuruh Bella duduk.Bella mengangguk, lalu duduk di samping Sita.“Bell, kotak bekal yang dipegang Vian beneran dari lo?” Beno bertanya.Bella menatap kotak bekalnya yang dipegang Vian. Lalu Bella terdiam sejenak. Sudah Bella duga pasti ini akan terjadi. Harusnya tadi dia tidak usah ke kantin. Bella tidak bisa berbohong. Yang ada Sita malah makin marah padanya.“Iya, gue yang kasih.”“Kenapa lo bohong sama gue? Bukannya tadi lo bilang kalau lo lupa bawa?” Sita bertanya.“Sorry, Sit. Gue kasih ke Vian karena dia udah nolongin gue kemarin.”Sita kemudian tersenyum. “Iya, gak papa. Harusnya lo jujur aja kalau bekalnya lo kasih ke Vian. Kenapa harus bohong segala?”Bella ikut t
“Bell.” Baron menghampiri Bella yang sedang duduk di tepi kolam renang. Kedua kaki Bella dia masukkan ke dalam kolam. Bella menoleh sejenak pada Baron, lalu kembali menatap ke depan.Baron mengambil duduk di samping Bella. “Cowok yang tadi beneran temen lo?” tanya Baron.Bella tidak menjawab. Bukannya tidak mau menjawab, hanya saja Baron sudah berulang kali menanyakan pertanyaan yang sama. Dan Bella juga memberikan jawaban yang sama, tapi sepertinya Baron tidak percaya dengan jawaban Bella. Bella jadi capek sendiri menjawab Baron.“Bell, jawab dong. Jangan diam aja.”“Gue udah jawab sebelumnya dan jawaban gue tetap sama. Kalau lo gak percaya lo bisa langsung tanya ke orangnya.”Baron mengambil alih camilan yang sedang dimakan Bella membuat Bella menatap Baron tajam. Tapi Baron tidak peduli. Baron memakan camilan tersebut tanpa rasa bersalah.“Gue nanya buat mastiin aja. Soalnya gue ngerasa gak asing. Kayak pernah liat dia, tapi gak tahu di mana.”“Mungkin mukanya pasaran.”“Sembarang
Bella turun dari motor Baron ketika sampai di sekolahnya. Sebenarnya Bella akan berangkat dengan ojek online, tapi Baron malah memaksa agar mau mengantarnya. Bella tahu Baron sengaja mengantarnya karena ingin melihat cewek-cewek di sekolahnya. Bella sangat tahu isi pikiran kakaknya.“Woi!” teriak Bella membuat Baron yang sedang menatap cewek-cewek langsung terkejut.“Apaan sih lo! Gak usah teriak-teriak bisa gak?” kesal Baron.“Nih, helmnya.” Bella memberikan helm pada Baron.Baron menerimanya. “Pulang sekolah gue jemput, ya.”“Gak usah.” Bella menolak.“Loh, kenapa? Gue kan mau jemput lo. Daripada lo naik ojek online. Mumpung gue lagi baik, nih.”“Gue bisa pulang sendiri dan gue gak butuh niat baik lo.”“Kenapa?” tanya Baron lagi. Tidak puas dengan jawaban Bella.“Gue tahu lo gak benar-benar mau jemput gue. Buktinya sekarang lo aja fokus liatin cewek-cewek.”Baron tersenyum. “Karena lo udah tahu, gimana kalau gue jemput lo nanti?”“Gak!” Bella langsung masuk ke sekolah.*****“Tadi d
“Lo dijemput sama kakak lo yang tadi pagi ya, Bell?” tanya Sita sembari tersenyum.Bella hanya mengangguk.“Ya udah, gue tungguin lo aja deh sampai kakak lo datang.”“Gak usah.” Bella menolak.“Gak papa kok. Lagian kakak lo juga bentar lagi nyampe, kan?”“Tapi jemputan lo udah datang.” Supir pribadi Sita baru saja tiba, tapi Sita malah mau menemani Bella menunggu Baron. “Aman, gue udah suruh nunggu kok.”“Terserah lo aja deh.”Ketika sedang menunggu, Vian menghentikan motornya di depan mereka. Dia membuka kaca helmnya menatap Bella.“Pulang naik apa? Mau bareng?” tawar Vian.“Bella dijemput kakaknya.” Bukan Bella yang menjawab, melainkan Sita.“Oh ya udah, gue duluan, ya.” Vian pun pergi.Sita tersenyum menatap Bella. “Kalau kakak lo gak jemput lo bakal nerima tawaran Vian buat pulang bareng dia gak?” tanya Sita.“Enggak.” Bella menjawab tanpa ragu.“Kenapa?”“Gue bisa pulang sendiri.”Sita menghela napas mendengar jawaban Bella. “Gak asik banget lo.”“Ketemu lagi, nih.” Bella langs
Pagi ini Bella berangkat sekolah dengan ojek online. Tadinya Baron ingin mengantar Bella, tapi dia menolak. Bahkan, sejak semalam Bella sama sekali tidak mau berbicara dengan Baron. Bella masih kesal dengan kakaknya itu karena masalah kemarin. Walaupun Baron sudah meminta maaf, tetap saja Bella masih mendiamkannya.“Pagi Bella.” Beno menyapa Bella.Bella menoleh sekilas dan mengangguk, lalu melanjutkan langkahnya menuju kelas.“Bell, kita temenan, yuk. Gue orangnya baik kok. Gak aneh-aneh.” Beno menjulurkan tangannya ingin berjabat tangan, tapi Bella tidak merespons. Beno jadi malu sendiri lalu menarik tangannya.“Gue tahu mungkin gue, Regan, sama Vian keliatannya murid bandel yang sering ngelanggar aturan sekolah, tapi kita baik kok. Beneran deh,” ucap Beno mencoba meyakinkan Bella agar mau berteman dengannya.“Lo ngapain?” tanya Bella ketika Beno ikut masuk ke dalam kelasnya.Beno yang tersadar langsung tersenyum meringis. “Sorry, gak nyadar. Gue pergi dulu, ya.”Bella hanya geleng
“Bella!”Vian menghampiri Bella yang baru saja keluar dari kelas. Sita mengulum senyum lalu berpamitan pada Bella.Bella hanya bisa menahan napas ketika Sita pergi begitu saja.“Kenapa?” tanya Bella datar.Vian tersenyum. “Gue cuma mau bilang makasih udah khawatirin gue.”Bella mengernyitkan keningnya. “Maksudnya?”“Lo tadi suruh Sita buat tanya kondisi gue, kan? Ternyata lo care juga.”Sekarang Bella tahu kenapa Sita tadi buru-buru pergi ketika melihat Vian. Ternyata karena hal ini.“Gue gak ....” Ucapan Bella terhenti ketika ponselnya berdering. Langsung saja Bella menjawab.“Halo.”“Oh sudah di depan, ya. Saya ke sana sekarang.” “Lo mau ngomong apa tadi?” tanya Vian.“Gue duluan.” Bella tidak menjawab. Dia malah langsung pergi.“Suka banget bikin gue penasaran. Kalau aja bukan Bella udah gue tahan sampai dia selesaiin omongannya,” gumam Vian.***“Bell, mau sampai kapan lo diamin gue? Gue udah minta maaf masa lo gak mau maafin, sih?” kata Baron.Bella yang sedang membaca novel han
“Vian minum dulu. Lo pasti haus, kan?” Seorang cewek memberikan sebotol air mineral pada Vian. Karena Vian baru saja dihukum lari di lapangan sebanyak sepuluh putaran. Dia dihukum karena datang terlambat. “Gak usah San, makasih.” Vian menolak pemberian cewek bernama Sani tersebut. Sani merupakan teman Vian dari TK dan dia sudah cukup lama menyukai Vian. Namun, sayang Vian selalu mengabaikannya. Karena sangat menyukai Vian, dia rela melakukan apapun. Bahkan, ketika Vian dihukum mengerjakan dua ratus soal Matematika. Sania menawarkan diri untuk membantu Vian. Vian sendiri tidak menolak, karena dia juga malas ditambah dia paling tidak suka dengan pelajaran Matematika.“Kenapa sih lo nolak pemberian gue terus? Sekali-kali terima kenapa?”Karena tidak ingin terus diganggu oleh Sani, Vian pun menerimanya.“Yan, nih minumnya.” Beno hendak memberikan air mineral pada Vian, tapi dia menolaknya.“Buat lo aja.”“Loh, gimana sih? Tadi lo suruh gue beli minum, sekarang malah lo gak mau. Tahu gitu
"Yan, daftar peringkat nilai UAS udah keluar. Lo gak mau liat?" tanya Regan."Nanti aja." "Loh? Kenapa? Bukannya lo nunggu dari kemarin?""Emang, tapi gue gak siap. Gue takut gak sesuai sama harapan gue. Gue takut ngecewain Bella.""Lo kan udah usaha, Yan. Bella juga pasti ngerti kok."Vian menggeleng. "Syarat gue baikan sama dia kan peringkat gue harus bagus. Gue gak yakin kalau gue bisa masuk sepuluh besar.""Mungkin Bella ngomong kayak gitu biar lo lebih rajin belajar. Percaya sama gue Bella pasti bakal bangga sama lo apalagi ngeliat usaha lo yang belajar mati-matian.""Gan! Regan!" "Apasih Ben? Teriak-teriak emang gue budek.""Lo udah liat peringkat lo belum? Gila, lo di peringkat sebelas, bro! Gak nyangka gue. Keren juga lo," ucap Beno yang begitu antusias.Regan tersenyum bangga. "Iya lah, emang lo peringkat lima puluh."Beno menatap Regan sinis. "Sombong amat!" Beno beralih menatap Vian. "Lo gak mau ngecek peringkat lo? Tadinya mau gue foto, tapi keburu rame jadinya gak sempa
"Kenapa?"Terdengar helaan napas lega dari seberang sana ketika Bella menjawab telepon masuk. 'Akhirnya lo angkat juga. Gue telfon daritadi hp lo gak aktif.'"Sengaja gue matiin biar fokus belajar."'Masih belajar gak? Takutnya gue ganggu.'"Kenapa?" Bella kembali bertanya karena belum mendapatkan jawaban.'Gue cuma mau bilang kalau lo jangan salah paham ya soal yang lo liat tadi. Gue tadi cuma berusaha buat nenangin Sani.'"Oke." Setelahnya Bella langsung memutuskan sambungan panggilan begitu saja. Bella kembali mematikan ponselnya karena dia tahu Vian pasti akan kembali menghubunginya dan dia sedang tidak ingin diganggu.Bella mengerti kalau Vian memang mencoba untuk menenangkan Sani. Hanya saja sebagai pacar Vian tentu Bella merasa cemburu, tapi tidak mungkin dia memperpanjang masalah karena Bella malas ribut di hari-hari yang penting ini. Yang ada malah membuat dia tidak fokus belajar dan akan mempengaruhi nilai ujiannya. Lagipula Vian juga sudah berusaha untuk menjelaskan padanya
"Gue dengar-dengar Sani tadi pingsan waktu ujian Kimia," ujar Sita lalu menikmati gorengan yang dia beli."Pingsan? Terus sekarang dia di mana? Udah siuman belum?" tanya Bella khawatir.Sita mengendikan bahunya. "Gak tahu. Gue cuma dengar sepintas dari anak-anak kelasnya.""Pasti gara-gara kebanyakan belajar terus gak istirahat. Biasa kan dia gitu," sahut Alan."Gue jadi ngebayangin waktu olimpiade lalu dia belajar kayak apa.""Ya, lebih parah. Makanya dia masuk rumah sakit, kan. Dia ngelakuin itu karena bokapnya. Dia gak mau bikin bokapnya kecewa.""Sekesel-keselnya gue sama Sani, masih lebih kesel gue sama bokapnya. Kek emang jaman sekarang masih ada ya orangtua yang suka maksa kehendak gitu? Kayak apa-apa anak harus ikutin semua kemauan orangtuanya tanpa peduli perasaan anaknya kayak gimana. Egois gak sih?" Sita meluapkan kekesalannya membuat Alan hanya bisa tersenyum."Kenapa lo senyam-senyum?"Alan menggeleng. "Gue cuma takjub aja lo sekesel itu sama bokap Sani. Jadi sekarang lo
"Kenapa muka lo keliatan tegang gitu? Lo takut gak bisa kerjain soal?" Beno bertanya menyadari ekspresi Vian yang begitu tegang. Ya, akhirnya hari ini mereka melaksanakan ujian akhir semester yang mana biasanya tidak pernah ditakuti oleh Vian. Namun, hari ini dia tampak begitu tegang. Vian seperti itu bukan tanpa alasan, melainkan karena dia takut kalau nilainya tidak tuntas. Vian sudah berjanji pada Bella akan meraih nilai yang bagus agar Bella tidak marah lagi padanya. "Udah santai aja, Yan. Biasanya juga lo gak pernah tegang gini." Regan menimpali.Vian menggeleng. "Masalahnya gue udah janji sama Bella. Kalau nilai UAS gue bagus baru dia mau maafin gue."Regan menepuk-nepuk pundak Vian. "Semangat Yan. Gue yakin lo pasti bisa.""Waktu uts aja lo bisa masa uas lo gak bisa. Apalagi kan lo udah belajar sama Bella. Tutor terbaik lo."Vian mengangguk percaya diri. "Gue bisa. Demi Bella."***"Huft. Baru hari pertama aja udah susah apalagi kalau Matematika, Fisika sama Kimia. Bisa mati
"Hai San."Sani yang sedang duduk di teras rumah sembari membaca buku mendongak. "Ngapain ke sini, Yan? Tumben gak bilang-bilang.""Boleh duduk dulu gak?""Duduk aja."Vian lalu mendudukan bokongnya di kursi kayu. "Sebenarnya gue ke sini mau minta maaf sama lo soal kemarin. Gara-gara berantem sama Bella malah lo yang kena imbasnya. Padahal lo gak salah apa-apa.""Gue tahu kok. Selama ini gue selalu ngerepotin lo. Gue lupa kalau lo udah punya Bella dan sekarang dia prioritas lo. Gak seharusnya gue ngandelin lo terus-terusan. Kalau gue jadi Bella juga mungkin gue bakal sama kayak dia. Gak ada yang mau cowoknya perhatian ke cewek lain walaupun itu sahabatnya sendiri.""Lo masih mau temenan sama gue, kan?"Sani tersenyum. "Masihlah emang lo gak mau?"Vian menggeleng. "Gue bakal jadi teman lo terus."***"Vian!" Vian yang ketiduran tersentak bangun lalu mengucek-ucek matanya untuk memperjelas penglihatannya."Eh, bang. Gue kirain Bella.""Bella? Emang dia ke mana?""Kata tante lagi pergi s
Vian tersenyum menatap Bella yang sedang menyiram tanaman. "Bella."Bella menoleh menatap Vian dengan wajah datar. "Gue bantuin, ya.""Gak perlu." Bella langsung menolak. Vian memilih duduk di teras rumah sambil terus menatap Bella yang masih melakukan kegiatan menyiramnya.Setelah selesai Bella hendak masuk ke dalam rumah, namun Vian menahannya."Lo ingat gak kita hari ini ada jadwal belajar bareng?""Gue gak ingat. Lagian hari ini gue sibuk," jawab Bella dingin."Sibuk? Emang mau ngapain?""Harus banget lo tahu kegiatan gue?""Harus. Kan lo pacar gue."Bella hanya memutar bola matanya malas."Bella!" Keduanya menoleh Bella kemudian tersenyum. Sedangkan Vian menatapnya kesal."Jadi alasan lo gak bisa belajar bareng gue karena dia?" tanya Vian."Lan, ayo masuk."Vian menatap Bella tidak percaya. Bella tidak menjawab pertanyaannya dan malah menyuruh Alan untuk masuk ke dalam rumah. Sedangkan Vian yang sedaritadi di teras sama sekali tidak ditawar untuk masuk. Ini benar-benar tidak a
"Lo sama Vian berantem karena Sani, kan?" tebak Alan yang tentu saja benar.Bella hanya diam lalu meneguk minumannya."Gue bakal ngomong sama Sani."Bella seketika membulatkan matanya. "Ngapain? Gak usah.""Tapi Bell, kalau kayak gini terus lo sama Vian bisa putus. Emang lo mau kayak gitu. Gue bukannya mau ikut campur. Gue cuma gak mau waktu gue pergi lo malah patah hati dan gak ada gue buat hibur lo.""Gue gak papa, Lan. Waktu lo selingkuhin aja gue aman kok."Alan seketika menundukkan kepalanya merasa bersalah. "Sorry Bell, gue ...."Bella kemudian tertawa melihat raut wajah Alan yang berubah. "Bercanda Lan. Gak usah dimasukin ke hati.""Tapi lo serius gak mau gue bantuin buat ngomong sama Sani. Biar dia ngerti.""Gue rasa Sani cukup pintar buat ngerti tanpa perlu dikasih tahu."***"Udah, telfon aja," celetuk Beno ketika melihat Vian sedang menatap layar ponselnya yang mana tertera kontak Bella. "Gue takut.""Takut kenapa? Pacar sendiri kok takut.""Lo juga ngerti maksud gue apa."
“Bell, sorry banget gue tadi gak bilang sama lo kalau gue nganterin Sani ke rumah sakit. Gue telfon lo daritadi, tapi gak diangkat. Gue ke rumah kata nyokap lo gak ada. Feeling gue lo pasti ke sini makan siomay. Ternyata gue benar.”Bella sama sekali tidak menanggapi Vian. Dia tetap sibuk menikmati siomay yang dia beli.“Kok diam? Marah ya? Gue benar-benar minta maaf.”Bella yang sudah selesai makan pun bangkit berdiri kemudian pergi. Vian segera menyusul.“Bell, maafin dong.” Vian masih tidak menyerah.Bella menghentikan langkahnya lalu menatap Vian. “Lo tahu kan gue gak suka sama orang yang ingkar janji.”“Gue tahu gue salah. Tadi itu gue udah mau samperin lo ke kelas, tapi tiba-tiba Sani dapat telfon dari rumah sakit kalau nyokapnya pingsan. Makanya gue buru-buru anterin Sani dan gak sempat bilang sama lo.”“Harus banget lo yang anterin? Gak bisa Beno atau Regan gitu? Kenapa setiap Sani kesusahan harus lo yang selalu ada buat dia? Emang gak ada orang lain selain lo?” Bella sudah ti
"Kenapa lo berdua? Kok diam-diaman? Berantem?" tanya Beno ketika menyadari Vian dan Sani sedaritadi hanya diam. Enggan untuk mengobrol, tidak seperti biasanya."Bilang sama teman lo jadi orang jangan suka ingkar janji. Kalau gak bisa ya ngomong jangan bikin orang nunggu.""Gue kan udah jelasin sama lo, San. Masa lo gak percaya sih? Apa perlu gue suruh Bella yang jelasin?"Beno menatap keduanya bingung. "Bentar-bentar. Sebenarnya masalah kalian apa sih?""Tanya langsung sama teman lo." Setelahnya Sani langsung pergi ke kelas."Kenapa Yan?"Vian pun menceritakan kejadian kemarin dimana dia yang ketiduran di rumah Bella hingga lupa akan janjinya dengan Sani."Mungkin dia butuh waktu dulu. Kalau lo desak dia terus yang ada Sani malah makin ngambek sama lo.""Apa gue minta tolong Bella buat jelasin ke Sani? Biar dia gak salah paham lagi.""Kalau menurut gue sih gak perlu, tapi balik lagi ke lo."***"San, boleh ngomong bentar?"Sani yang sedang sibuk dengan ponselnya seketika beralih menat