"Sorry bang, gue telat." Vian baru saja tiba di sebuah cafe. Kebetulan Baron meminta Vian untuk bertemu."Gak papa santai aja. Pesan minum dulu."Vian kemudian memanggil waiters untuk memesan minuman."Sorry juga ya bang tadi gak anterin Bella pulang soalnya gue ....""Aman. Lagian Bella juga udah dianterin sama temannya.""Teman?"Baron mengangguk. "Teman cowok. Aneh kan? Padahal dia gak pernah mau dekat sama cowok bahkan cuma ngobrol aja dia gak mau. Tapi sekarang malah dia punya teman cowok. Agak aneh. Lo tahu gak cowok yang anterin Bella?"Vian terdiam sejenak. Jadi Bella pulang bersama Frans. Vian tidak menyangka Bella mau menerima tawaran Frans begitu saja. Berbeda kalau dengan dirinya. "Yan?""Ah, iya. Yang anterin Bella itu Frans.""Frans? Jadi lo kenal dia?"Vian mengangguk. "Satu sekolah gak suka sama dia karena suka bully anak-anak sekolah. Bahkan waktu awal-awal Bella pindah juga sering diganggu sama dia.""Jadi dia pernah bully Bella?""Gue udah peringatin dia dan dia se
"Gue boleh gabung gak?" Vian seketika langsung menatap datar Frans. Baru saja dia senang karena bisa makan dengan Bella di kantin, Frans malah datang dan mengganggu mereka."Meja kosong masih banyak," ujar Vian datar."Boleh." Bella menyahut membuat Vian seketika langsung menoleh tidak terima."Gak boleh.""Ya udah, gue pindah." Bella hendak pergi namun Vian segera menahannya. Dia tidak mau hanya karena Frans, Bella malah pergi."Lo boleh duduk di sini."Frans tersenyum lalu duduk di samping Bella. "Thanks.""Bell, gue boleh minta nomor lo?""Buat?""Em, gue mau nanya lo kalau gue gak bisa kerjain tugas Fisika. Gue dengar lo jago Fisika. Boleh gak?""Boleh." Bella menerima ponsel Frans untuk mengetik nomor ponselnya.Vian hampir tidak percaya mendengar jawaban Bella. Begitu mudahnya Bella memberikan nomornya pada Frans yang baru menjadi temannya selama dua hari. Sedangkan dirinya saja waktu itu tidak dikasih. Sosial media saja diblokir. Benar-benar tidak adil baginya."Bell, kok lo k
"Lo kenapa? Kok lemas gitu? Bukannya kemarin abis jalan sama Bella?" Beno bertanya.Vian menarik napas lalu mengembuskannya. "Iya, tapi Bella keliatan gak senang jalan sama gue. Mungkin karena gue ngajak jalan tiba-tiba. Gak ngomong sama dia dulu.""Mungkin kemarin dia marah, tapi bisa jadi hari ini dia udah gak marah. Lagian kan baru pertama kali. Siapa tahu kalau kalian jalan lagi Bella malah senang. Pelan-pelan aja." Regan menepuk-nepuk pundak Vian mencoba menenangkan pikiran Vian."Benar yang dibilang Regan, Yan. Lo jangan over thinking gitu. Oh iya, hari ini nilai ulangan kita udah dipajang di mading sekolah. Mau liat gak?""Mana?"Beno memberikan ponselnya yang terdapat foto nama-nama murid beserta nilai ulangan."Woi!"Regan dan Beno seketika terkejut karena teriakan Vian."Kenapa? Nilai lo jelek?"***"Bell! Bella!"Bella menatap Sita datar karena panggilannya menggema. Seisi kelas menatap mereka."Kenapa?""Lo udah liat peringkat nilai ulangan belum?""Belum. Emang udah ada?"
"Ini mau ke mana sih?" Bella yang sedari tadi diam akhirnya membuka suara. Karena mereka sudah hampir dua puluh menit perjalanan, tapi belum juga sampai. Vian menatap Bella dari kaca spionnya sembari tersenyum. "Bentar lagi juga sampe kok."Tak lama kemudian Vian berhenti di depan sebuah panti jompo.Kini Bella mengerti kenapa tadi Vian membeli banyak kue ketika dalam perjalanan tadi. Rupanya karena Vian ingin pergi ke panti jompo."Yuk." Vian sudah turun dari motor.Bella mengikuti Vian masuk ke dalam."Selamat siang, Bu.""Eh, siang Vian. Akhirnya ke sini lagi. Ditanyain terus tuh sama nenek Ani."Vian tersenyum. "Maaf Bu, baru bisa datang. Akhir-akhir ini emang Vian lumayan sibuk.""Ini siapa? Pacar, ya?" Ibu pengurus panti jompo bertanya ketika melihat Bella."Teman Vian, Bu. Sengaja ngajakin biar ada yang nemenin.""Bella." Bella memperkenalkan dirinya."Saya Fitri. Pengurus panti ini."Bu Fitri beralih menatap Vian. "Kamu gak salah pilih teman. Cantik."Vian tersenyum, sedangka
“Kenapa San? Galau ya karena peringkat lo turun?” Vian bertanya karena Sani sedari tadi hanya melamun.Meskipun Sani tidak memberitahu Vian, tapi Vian dapat mengetahuinya. Apalagi Vian berteman dengan Sani sudah cukup lama.“Ya gitu deh. Peringkat gue turun dan berujung dimarahin bokap.”“Gak papa, lo kan sudah berusaha juga. Lagian selisih nilainya sama Bella juga gak jauh-jauh amat. Gue yakin lo masih bisa pertahanin peringkat lo kok.”Sani tersenyum. “Thanks ya. Gue pikir lo bakal kayak yang lain.”“Maksudnya?” Vian mengernyitkan keningnya.“Dari kemarin gue selalu dengar mereka pada senang karena peringkat gue turun. Karena mereka bilang gue terlalu ambisius gak pernah mau kalah. Makanya gue gak punya teman.”“Lo gak usah dengarin omongan mereka. Selagi mereka gak berkontribusi dalam hidup lo gak usah peduli. Lagian teman lo kan gue. Regan sama Beno juga. Jadi lo gak usah takut.”“Thanks lagi ya, Yan. Makin ke sini gue makin sadar kalau bukan lo yang butuh gue, tapi sebaliknya.”“
“Masuk,” ujar Bella ketika pintu kamarnya diketuk.Bella menatap datar Baron yang tiba-tiba tersenyum. Bisa ditebak Baron menginginkan sesuatu darinya.“Kenapa?” Bella kembali membaca novel.“Temenin gue ke mall, yuk.” Baron mengajak Bella.“Gak.” Bella menolak.Karena hari ini libur, Bella ingin menghabiskan waktunya di rumah. Bella sedang tidak ingin keluar dan bertemu orang-orang yang akan menghabiskan energinya.“Ayolah temenin gue beli sepatu. Nanti gue traktir lo deh. Lo mau apa? Komik baru? Novel baru? Atau buku soal Fisika?”“Emang lo gak bisa pergi sendiri?”“Gak bisa makanya gue ajak lo. Mau ya?”Baron kalau ada maunya saja berbicara lembut padanya. Kalau tidak pasti sudah menjahilinya dan berujung bertengkar.“Lo keluar. Gue siap-siap dulu.” Bella menutup novelnya lalu beranjak dari tempat tidur.Baron seketika tersenyum lebar. “Makasih ya. Lo emang adek terbaik.”Bella menatap Baron datar. “Jijik gue.”***“Ini mall yang terakhir, ya. Kalau sampe gak ada juga gue pulang.
Vian mengambil duduk di samping Bella.Bella melirik sekilas, lalu kembali membaca buku. Kebetulan mereka sedang berada di perpustakaan. Niatnya ingin menghindar dari kelasnya yang berisik karena jam kosong, tapi malah bertemu dengan Vian."Bell. Gue mau minta maaf soal kemarin karena udah ganggu lo." Vian meminta maaf lagi. Tapi kali ini secara langsung.Bella hanya mengangguk."Lo masih marah sama gue?" tanya Vian."Gak."Vian langsung tersenyum. "Gue janji gue gak bakal kayak gitu lagi. Gue gak akan telfon lo kecuali kalau mendesak.""Udah?""Iya.""Ya udah, jangan ganggu gue.""Tapi nanti kalau gue tanyain tugas Fisika lo mau bantuin gue lagi kan? Lo gak bakal suruh gue tanya ke Sani kan?""Hm.""Bener ya?"Bella berdecak. "Diam gak?""Iya, gue diam."***"Darimana lo?" Regan bertanya."Perpus.""Lah? Tumben lo. Rajin amat." Beno menyahut."Emang gue rajin.""Ah, gak mungkin. Palingan juga cari Bella.""Sotoy lo." Padahal Vian tidak memberitahu mereka, tapi kedua temannya itu sep
Bella menatap Baron dan Vian yang sudah kembali. Keduanya mengobrol sembari sesekali tertawa.“Lo ngapain di teras?” tanya Baron.“Suka-suka gue lah,” jawab Bella ketus.“Santai aja kali.” Baron menatap Vian. “Gue masuk dulu, ya.”Vian mengangguk.Baron masuk ke dalam meninggalkan keduanya.“Buat lo.” Vian memberikan kantung kresek berisi siomay. Kebetulan tadi Vian membelinya ketika bersama Baron di taman.Bella menerimanya. “Makasih.”“Gue boleh duduk?”Bella hanya mengangguk.Vian berdeham. “Gue mau ngomong sesuatu.”Bella masih diam mendengar.“Mungkin lo juga udah tahu sih, tapi gue bakal ngomong. Sebenarnya gue suka sama lo. Dari awal kita ketemu gue udah tertarik sama lo. Gue tahu lo gak suka sama gue, tapi gue memberanikan diri buat bilang ke lo.” Akhirnya Vian mengungkapkan perasaannya. Walaupun dia tahu Bella tidak memiliki perasaan untuknya, tapi Vian memberanikan dirinya agar Bella tahu bagaimana perasaannya terhadap gadis itu.Bella terdiam sejenak. Walaupun sudah tahu ka