Terlihat Lula keluar rumah, Miranda pun mengikutinya. Tanpa mengatakan apa pun mereka meninggalkan Angela begitu saja. Begitu Angela beranjak, terdengar pintu dikunci dari luar. Rupanya mereka sudah merencanakan untuk mengurung Angela di rumah ini. Tetapi untuk apa? Ia masih bisa menghubungi seseorang untuk menjemputnya. Angela mengambil buku bersampul tipis berwarna hitam yang ada di atas meja. Buku itu seperti buku tulis biasa yang tidak begitu tebal. Ketika dibuka, halaman tengah buku itu langsung terlihat karena ada foto terselip di situ. Angela mengambilnya lalu membalik sisi bergambar ke arahnya. Perempuan berambut lurus sebahu duduk tersenyum di bangku besi yang dikelilingi tumbuhan mawar yang sedang bermekaran. Masih sangat muda, sepertinya belum sampai menyentuh usia dua puluh. "Ibu …," ucap Angela pelan. "Ada apa ini sebenarnya?" Angela kemudian meletakkan foto tersebut di atas meja. Ia sudah tidak sabar ingin membaca isi buku di tangannya. Angela membaca lembar demi le
Antoni merebahkan Angela di kursi belakang. Kepalanya diletakkan di pangkuan pria tersebut. Tangan Antoni seperti tidak ingin jauh dari Angela. Ia terus menggenggamnya dengan erat. Angela pun tidak ingin melepaskannya. Di saat-saat seperti ini hanya pria inilah tempatnya berlariAngin kencang disertai petir dan hujan yang cukup deras memaksa Kardiman menyetir dengan kecepatan rendah. Mereka tidak membawa Angela ke hotel melainkan ke sebuah rumah rahasia milik keluarga Hakim yang hanya diketahui keberadaannya oleh orang-orang tertentu. Pak Kardiman pun belum pernah tahu tentang rumah itu. Setidaknya begitulah yang didengar Angela selama berada di perjalanan. "Inikah tempat yang Tuan maksud?" tanya Angela. Ia bangkit dari pangkuan Antoni, melihat ke luar melalui kaca jendela mobil. Walaupun hujan deras penerangan di luar rumah itu sangat cukup. Angela pikir rumah yang akan dituju terletak jauh di pinggiran kota ternyata ia salah. Rumah itu berada di kawasan daerah yang cukup padat di
Angela tersenyum tipis. Ia memandangi pria tampan di depannya dengan perasaan yang entahlah. Kadang ia merasa tidak ingin berurusan dengan pria ini, sekali waktu sangat ingin berlama-lama di dekatnya. "Apa yang sedang Anda pikirkan, Nona? Tentang saya, kah?" tanya Antoni menopang dagunya dengan kedua tangan dengan siku yang diletakkan di pangkuan. Matanya tak berkedip menatap Angela. "Bagaimana kalau pertanyaannya saya balik? Apa jawaban Tuan?" tanya Angela meniru sikap tubuh Antoni. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti saja. "Sudah lama saya mencari tahu tentang Nona. Membuntuti Nona sampai berhenti di lampu merah tepat di sebelah motor Nona. Saya suka melihat wajah Nona dari samping, kadang tanpa ekspresi, lain hari justru merona dan sendu.""Pantas, kadang saya merasa ada yang memperhatikan di lampu merah, tapi seringkali saya abaikan karena di jalanan bisa mata siapa saja tertuju pada saya. Jadi, ya, saya anggap angin lalu saja.""Nona, bagaimana kalau kapan-kapan saya me
Angela terbangun mendengar suara getar ponselnya di atas bantal. Tidurnya cukup pulas walau hanya sekitar dua jam. Terlihat Antoni masih berselimut di atas sofa. Pria itu pasti masih lelah dan mengantuk. Olla ternyata yang menelepon. Tetapi Angela tidak mengangkatnya. Ia memilih untuk mengirim pesan saja. Ia tidak mau Antoni terbangun karena suaranya. Angela sudah menduga Olla akan terkejut dengan kejadian yang menimpa dirinya semalam. Namun, Angela meyakinkan sahabatnya itu bahwa semuanya sudah baik-baik saja. Tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Ia berjanji akan menelepon Olla begitu sampai di rumah. Angela menggeliat, melemaskan otot-ototnya yang kaku. Walau belum sepenuhnya pulih, keadaannya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Ia turun dari tempat tidur, melangkah pelan mendekati Antoni, memandangi wajahnya yang pulas dan mengingati momen mendebarkan yang terjadi semalam. Ia tidak ingin berlama-lama berada di tempat Antoni. Setelah hari ini, ia berjanji untuk menjauhi A
"Maaf, apakah Mbak salah satu kerabat Mbak Elfa?" tanya Angela pada perempuan yang sedang berdiri di samping peti memandangi mendiang Elfa. "Iya, betul. Saya Linda, adik iparnya Mbak Elfa. Anda siapa, ya?" tanyanya ramah. "Saya Angela, yang bertugas merias jenazah di rumah duka ini," terang Angela. "Karena tadi belum ada keluarga yang bisa saya mintai pendapatnya tentang hasil merias mendiang, bagaimana kalau Mbak saja," kata Angela beralasan. Padahal tadi kakak kandung Elfa sudah melihatnya. Terpaksa Angela berbohong. "Saya kira sudah sangat baik. Mbak Elfa terlihat cantik. Terima kasih banyak." "Iya, sama-sama." Angela memutar otak untuk meneruskan pembicaraan. Ia tidak mungkin bertanya langsung tentang keseharian Elfa. Apalagi baru saja mereka bertemu."Maaf, Mbak. Apa saya boleh meminjam charger hape, Mbak? Tadi buru-buru ke sini, belum sempat men-charger. Saya mau menghubungi keluarga saya.""Boleh, Mbak. Mari ikut saya." Angela mengajak perempuan itu ke ruang baca. Ia harus
Satu jenazah lagi telah selesai dibersihkan dan dirapikan. Angela bersiap dengan segala peralatannya termasuk masker dan sarung tangan karet. Jenazah yang akan diriasnya telah meninggal dua hari lalu karena serangan jantung. Berdasarkan pengalamannya terdahulu, proses meriasnya akan lebih lama karena kulit biasanya sudah menghitam. Setelah meminta izin dan memperkenalkan diri, Angela mulai melakukan pekerjaannya. Awalnya tidak ada yang aneh, semua terlihat biasa saja. Namun, ketika hampir selesai Angela mendengar derit aneh di lantai. Suaranya seperti rantai besi atau sejenisnya yang diseret seseorang. "Apakah Ibu ingin menyampaikan sesuatu?" tanya Angela meneruskan pekerjaannya. Kemudian suara itu terdengar lagi. Angela tidak mengacuhkan gangguan itu sampai riasannya pada wanita di dalam peti selesai.Angela duduk diam dengan mata dan telinga siaga. Sengaja menunggu suara yang cukup mengganggu tadi terdengar lagi. "Saya sebentar lagi akan pulang. Masih ada kesempatan untuk menun
Angela gegas melangkah. Ia berusaha tidak peduli, walaupun hatinya terus berseru untuk membantu. Please hati besok saja!Sampai di depan rumah Angela dikejutkan dengan kedatangan Kardiman. Motor matic-nya pun sudah terparkir cantik di teras. "Ini kunci dan STNK-nya, Nona." Pak Kardiman menyerahkannya pada Angela. "Kenapa Pak Kardiman yang antar? Kata Tuan Antoni, dia akan menyuruh orang lain untuk mengantarkannya ke sini." Angela menerima kunci dan STNK dari Pak Kardiman. "Tuan ingin saya memastikan bahwa Nona sudah kembali ke rumah dalam keadaan sehat dan selamat," terang Pak Kardiman. "Masuk dulu, Pak. Kita ngobrol-ngobrol dulu. Kopi bikinan saya bikin nagih, loh, Pak," kata Angela, membuka kunci pintu rumah kontrakannya. "Lain kali saja, Nona. Tuan berpesan harus langsung pulang kalau sudah bertemu Nona," tolak Pak Kardiman. "Baiklah, Pak. Sampaikan pada Tuan Antoni rasa terima kasih saya. Juga terima kasih banyak buat Pak Kardiman yang baik banget sama saya." Angela mengulu
Jalan menuju ke rumah Angela ramai oleh orang yang ingin melihat kejadian di malam buta itu. Kobaran api masih terlihat meskipun tidak begitu besar. Angela sedikit kesulitan untuk mendekat. Ia harus berdesakan dengan warga yang sudah lebih dulu memadati lokasi.Rania adalah orang pertama yang ingin ia ketahui kondisinya. Ditemani Kardiman di belakangnya, Angela bertanya pada tetangga mereka. Jawaban mereka sama, tidak ada satu pun yang melihat Rania. Kata mereka mungkin Rania sedang menginap di rumah keluarga suaminya. "Sebaiknya kita pergi sekarang, Nona. Pasti nanti ada yang akan menghubungi. Di sini tidak aman," bisik Pak Kardiman. "Baiklah, Pak. Kita pergi sekarang."Angela berpegangan dengan Pak Kardiman membelah kerumunan warga. Melihat situasi yang ramai seperti itu ia takut bila tiba-tiba ada orang yang memanfaatkan keadaan untuk menculiknya. Hatinya gentar melihat rumahnya terbakar. "Nyonya!" Pak Kardiman menghentikan langkahnya tiba-tiba. Miranda bersandar di mobil sambil