Angela tersenyum tipis. Ia memandangi pria tampan di depannya dengan perasaan yang entahlah. Kadang ia merasa tidak ingin berurusan dengan pria ini, sekali waktu sangat ingin berlama-lama di dekatnya. "Apa yang sedang Anda pikirkan, Nona? Tentang saya, kah?" tanya Antoni menopang dagunya dengan kedua tangan dengan siku yang diletakkan di pangkuan. Matanya tak berkedip menatap Angela. "Bagaimana kalau pertanyaannya saya balik? Apa jawaban Tuan?" tanya Angela meniru sikap tubuh Antoni. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti saja. "Sudah lama saya mencari tahu tentang Nona. Membuntuti Nona sampai berhenti di lampu merah tepat di sebelah motor Nona. Saya suka melihat wajah Nona dari samping, kadang tanpa ekspresi, lain hari justru merona dan sendu.""Pantas, kadang saya merasa ada yang memperhatikan di lampu merah, tapi seringkali saya abaikan karena di jalanan bisa mata siapa saja tertuju pada saya. Jadi, ya, saya anggap angin lalu saja.""Nona, bagaimana kalau kapan-kapan saya me
Angela terbangun mendengar suara getar ponselnya di atas bantal. Tidurnya cukup pulas walau hanya sekitar dua jam. Terlihat Antoni masih berselimut di atas sofa. Pria itu pasti masih lelah dan mengantuk. Olla ternyata yang menelepon. Tetapi Angela tidak mengangkatnya. Ia memilih untuk mengirim pesan saja. Ia tidak mau Antoni terbangun karena suaranya. Angela sudah menduga Olla akan terkejut dengan kejadian yang menimpa dirinya semalam. Namun, Angela meyakinkan sahabatnya itu bahwa semuanya sudah baik-baik saja. Tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Ia berjanji akan menelepon Olla begitu sampai di rumah. Angela menggeliat, melemaskan otot-ototnya yang kaku. Walau belum sepenuhnya pulih, keadaannya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Ia turun dari tempat tidur, melangkah pelan mendekati Antoni, memandangi wajahnya yang pulas dan mengingati momen mendebarkan yang terjadi semalam. Ia tidak ingin berlama-lama berada di tempat Antoni. Setelah hari ini, ia berjanji untuk menjauhi A
"Maaf, apakah Mbak salah satu kerabat Mbak Elfa?" tanya Angela pada perempuan yang sedang berdiri di samping peti memandangi mendiang Elfa. "Iya, betul. Saya Linda, adik iparnya Mbak Elfa. Anda siapa, ya?" tanyanya ramah. "Saya Angela, yang bertugas merias jenazah di rumah duka ini," terang Angela. "Karena tadi belum ada keluarga yang bisa saya mintai pendapatnya tentang hasil merias mendiang, bagaimana kalau Mbak saja," kata Angela beralasan. Padahal tadi kakak kandung Elfa sudah melihatnya. Terpaksa Angela berbohong. "Saya kira sudah sangat baik. Mbak Elfa terlihat cantik. Terima kasih banyak." "Iya, sama-sama." Angela memutar otak untuk meneruskan pembicaraan. Ia tidak mungkin bertanya langsung tentang keseharian Elfa. Apalagi baru saja mereka bertemu."Maaf, Mbak. Apa saya boleh meminjam charger hape, Mbak? Tadi buru-buru ke sini, belum sempat men-charger. Saya mau menghubungi keluarga saya.""Boleh, Mbak. Mari ikut saya." Angela mengajak perempuan itu ke ruang baca. Ia harus
Satu jenazah lagi telah selesai dibersihkan dan dirapikan. Angela bersiap dengan segala peralatannya termasuk masker dan sarung tangan karet. Jenazah yang akan diriasnya telah meninggal dua hari lalu karena serangan jantung. Berdasarkan pengalamannya terdahulu, proses meriasnya akan lebih lama karena kulit biasanya sudah menghitam. Setelah meminta izin dan memperkenalkan diri, Angela mulai melakukan pekerjaannya. Awalnya tidak ada yang aneh, semua terlihat biasa saja. Namun, ketika hampir selesai Angela mendengar derit aneh di lantai. Suaranya seperti rantai besi atau sejenisnya yang diseret seseorang. "Apakah Ibu ingin menyampaikan sesuatu?" tanya Angela meneruskan pekerjaannya. Kemudian suara itu terdengar lagi. Angela tidak mengacuhkan gangguan itu sampai riasannya pada wanita di dalam peti selesai.Angela duduk diam dengan mata dan telinga siaga. Sengaja menunggu suara yang cukup mengganggu tadi terdengar lagi. "Saya sebentar lagi akan pulang. Masih ada kesempatan untuk menun
Angela gegas melangkah. Ia berusaha tidak peduli, walaupun hatinya terus berseru untuk membantu. Please hati besok saja!Sampai di depan rumah Angela dikejutkan dengan kedatangan Kardiman. Motor matic-nya pun sudah terparkir cantik di teras. "Ini kunci dan STNK-nya, Nona." Pak Kardiman menyerahkannya pada Angela. "Kenapa Pak Kardiman yang antar? Kata Tuan Antoni, dia akan menyuruh orang lain untuk mengantarkannya ke sini." Angela menerima kunci dan STNK dari Pak Kardiman. "Tuan ingin saya memastikan bahwa Nona sudah kembali ke rumah dalam keadaan sehat dan selamat," terang Pak Kardiman. "Masuk dulu, Pak. Kita ngobrol-ngobrol dulu. Kopi bikinan saya bikin nagih, loh, Pak," kata Angela, membuka kunci pintu rumah kontrakannya. "Lain kali saja, Nona. Tuan berpesan harus langsung pulang kalau sudah bertemu Nona," tolak Pak Kardiman. "Baiklah, Pak. Sampaikan pada Tuan Antoni rasa terima kasih saya. Juga terima kasih banyak buat Pak Kardiman yang baik banget sama saya." Angela mengulu
Jalan menuju ke rumah Angela ramai oleh orang yang ingin melihat kejadian di malam buta itu. Kobaran api masih terlihat meskipun tidak begitu besar. Angela sedikit kesulitan untuk mendekat. Ia harus berdesakan dengan warga yang sudah lebih dulu memadati lokasi.Rania adalah orang pertama yang ingin ia ketahui kondisinya. Ditemani Kardiman di belakangnya, Angela bertanya pada tetangga mereka. Jawaban mereka sama, tidak ada satu pun yang melihat Rania. Kata mereka mungkin Rania sedang menginap di rumah keluarga suaminya. "Sebaiknya kita pergi sekarang, Nona. Pasti nanti ada yang akan menghubungi. Di sini tidak aman," bisik Pak Kardiman. "Baiklah, Pak. Kita pergi sekarang."Angela berpegangan dengan Pak Kardiman membelah kerumunan warga. Melihat situasi yang ramai seperti itu ia takut bila tiba-tiba ada orang yang memanfaatkan keadaan untuk menculiknya. Hatinya gentar melihat rumahnya terbakar. "Nyonya!" Pak Kardiman menghentikan langkahnya tiba-tiba. Miranda bersandar di mobil sambil
Semakin jauh berjalan Angela merasakan kakinya semakin berat. Napasnya pun semakin sesak, seperti menghirup asap dari kebakaran hutan. Hanya saja aroma pembakaran sama sekali tidak tercium. Mungkin kabut di tempat ini membawa sesuatu yang bisa merusak jiwa orang yang terkurung di sini. Angela memutuskan untuk beristirahat. Bersandar pada pohon kering yang cukup besar. Ia menyebut nama Olla berkali-kali. Berharap kemampuan indigo temannya itu bisa menangkap suara Angela dari tempat antah berantah ini. "Panggil terus temanmu itu, Angela. Dia tidak bisa menemukan jiwamu. Tubuhmu akan membusuk dan jiwamu tidak akan bisa kembali. Selamanya kau sendiri di dalam sana. Aku suka melihatmu tidak berdaya dan kalah seperti itu." Suara perempuan terdengar entah dari arah mana. Suaranya menggelegar memenuhi seisi area. Angela mengingat-ingat pemilik suara tersebut. Tidak asing tetapi siapa?"Kau tidak akan mendapatkan apa-apa. Aku lebih berhak dari siapa pun!"Angela hanya diam. Dia tidak peduli
Antoni sudah selesai bersiap-siap. Ia tampil berbeda dengan celana selutut berwarna coklat muda, kaos hitam dan sepatu kets putih tanpa kaos kaki. Kacamatanya pun terlihat berbeda dari biasanya. Terkesan lebih santai dengan bingkai berwarna perak. Semalam ia sudah merencanakan untuk mengajak Angela berlibur tipis-tipis ke rumah peninggalan Oma Antoni. Letaknya di dataran tinggi yang sejuk. Memang cukup jauh, empat jam perjalanan darat. Pergi menjauh sementara dari Miranda memang diperlukan agar mental tetap berada di posisi stabil. Setidaknya punya stok keberanian untuk bertahan dari teror-teror yang nanti dimunculkan oleh perempuan itu. "Kalau seperti ini, Tuan kelihatan handsome," kata Angela memuji Antoni yang sudah menunggu di dalam mobil. "Artinya selama ini saya tidak handsome, Nona?" Antoni memandang tajam dari balik kacamatanya. Angela tertawa seraya duduk di sebelah Antoni. Ia menutup pintu mobil lalu memasang seat belt agar perjalan tetap aman dan menyenangkan."Tuan se
"Kau di sini saja menemani Angela. Aku akan menelepon Pak Andreas. Semoga ada kabar baik juga dari Gumawang dan Dahlia," kata Olla seraya meninggalkan kamar tidurnya. Olla mondar-mandir di balkon. Matanya sesekali mengarah pada langit yang kelam. Bintang tidak satu pim terlihat menggantung di atap dunia yang gelap itu. Andreas belum juga meneleponnya setelah beberapa kali missed call. Hampir saja ia ketiduran di kursi ketika akhirnya Andreas menelepon. Kabar baik yang diharapkan benar-benar terdengar dari seberang telepon. "Nanti saja cerita panjangnya, Pak. Yang penting sudah pasti bahwa Tuan Antoni selamat. Kalau Angela sudah bangun saya akan membawanya ke rumah sakit," kata Olla. Ia menghela napas lega. Rasanya tidak sabar untuk menyampaikan kabar baik ini pada Angela dan Joana. "Jo, Tuan Antoni selamat. Ia ditemukan di pinggir sumur dengan keadaan lemas. Ajaibnya tidak banyak air masuk ke paru-parunya. Sekarang sudah berada di rumah sakit," ucap Olla pada Joana yang masih tergu
Angela memegangi lehernya sambil mengatur napas. Ia tidak memperhatikan makhluk itu maupun Antoni. Begitu ia mengangkat kepalanya mereka sudah tidak ada. "Kim! Kim!" Angela berteriak sekuat tenaga. Ia menyusul ke bibir sumur. Melihat ke dalam tetapi tanda-tanda keberadaan mereka tidak terlihat. Di sana masih mengambang mayat yang sama seperti yang dilihatnya bersama Antoni. Perasaan Angela hancur, ledakan tangisnya tidak bisa membawa Antoni kembali ke sisinya. Logikanya lenyap seketika. Tanpa berpikir panjang, ia menceburkan dirinya mengikuti Antoni ke dalam sumur. "Angela jangan gila!" Dahlia memegangi kedua pundak Angela lalu menariknya hingga terlempar membentur dinding. "Diam kau di situ! Kau kira kami tidak membantumu. Apa kau tahu, tidak mudah menembus ke ruangan ini." Dahlia berjongkok di depan Angela. "Jadi tolong jangan bertindak bodoh!"Angela menunduk. Air matanya luruh, menetes ke atas jerami yang berserakan. "Maafkan, aku. Aku tidak siap untuk keadaan ini, apalagi haru
"Misalnya?" Angela menggeser duduknya ke depan Antoni. "Hei," bisiknya, menyentuh pundak Angela dan sedikit menggeser tubuhnya semakin dekat. "Apa kau tahu, kau sama sekali tidak lemah. Ketika kau meludahi Steve, aku merasa sangat bangga padamu." Senyumnya merekah ketika ia menangkup pundak Angela. Mereka begitu dekat. Antoni menghirup wangi Angela dan rasanya seperti menenggak afrodisiak. la menggenggam Angela semakin erat. "Dan percayalah pendapatku sebagai laki-laki, kau selalu cantik dalam segala hal," tambahnya.Angela terbuai oleh ketulusan suara Antoni dan tatapannya yang bergairah. Beberapa detik lalu ia tidak berpikir untuk mencium Antoni, tetapi sekarang, mencium pria itu kelihatannya hal paling tepat. Ia ingin menghilangkan perasaan takut yang mengikatnya. Angela mengangkat tangan, menungkup wajah Antoni, tunggul janggutnya menggelenyarkan telapak tangan. Tatapan lelaki itu menjadi berhasrat. Angela berdebar-debar, memejam, dan merasakan bibir Antoni mendarat dengan panas
Mereka digiring masuk ke salah satu kandang kuda. Di dinding bagian belakang kandang tersebut terdapat pintu rahasia yang tersamarkan.Steve dan Alena tersenyum sinis ketika Angela dan Antoni dibawa masuk. Alena bahkan bertepuk tangan sambil mendekati keduanya. "Kau masuk ke dalam jebakanku Antoni Hakim. Aku tidak tahu kau ini terlalu polos atau terlalu bodoh," ejek Alena, dia mendekatkan wajahnya ke depan wajah Antoni. Antoni tidak mengatakan apa pun, ia memalingkan wajahnya menghindari tatapan Alena yang dirasanya tidak penting. "Seharusnya kau cukup duduk manis menikmati semua uangmu tanpa repot-repot ikut campur urusanku," kata Alena menyentuh pipi Antoni dengan ujung jarinya. Steve Menda beranjak dari kursinya. Mendekati istrinya. "Mereka maunya seperti itu, biarkan saja. Berikan kesempatan untuk mereka berduaan sebelum napasnya hilang." "Rencanaku pun begitu. Tapi, apa kau tidak menginginkan perempuan ini?" Alena sedikit menunduk untuk mengintimidasi Angela dengan tatapanny
"Tidak ada apa-apa, kan, Win. Sepertinya kau ini berhalusinasi," kata Erik. Cahaya ponselnya bergerak ke kandang di mana Angela dan Antoni berada. Nasib baik lagi-lagi berpihak pada mereka. Erik hanya menyorot sekilas di bagian dinding saja. "Di sini juga tidak ada apa-apa. Mungkin benar aku hanya berhalusinasi efek tidak jadi minum-minum di bar." Edwin terkekeh. "Nah! Betul itu."Mereka kembali ke tempat semula. Berdiri mengawasi di belakang mobil Alena. "Hampir saja, An." Antoni menyingkirkan jerami yang menutupi tubuhnya."Tuhan menyelamatkan kita lagi dan semoga terus seperti itu," bisik Angela. Ia sangat berhati-hati agar kejadian tadi tidak terulang lagi. Antoni melihat ke layar ponselnya. "Jaringan masih ada walaupun hilang timbul. Aku harus mengirim pesan pada Andreas. Kalau misal terjadi hal buruk pada kita, dia tahu kemana harus mencari.""Kim pernah bilang sendiri, ucapkan yang baik-baik saja.""Berjaga-jaga untuk situasi terburuk juga perlu, An. Kalau kita benar-benar
"Sial! Tuan Steve kenapa mendadak begini mengabari kita. Tidak biasanya dia kesini di jam-jam segini.""Mungkin karena sedang hujan, cakung, Win. Cuaca mendukung." Mereka berdua tertawa. "Setidaknya kita masih bisa menghabiskan rokok di sini sampai hajat Tuan Steve selesai."Dari pembicaraan keduanya, sangat tidak mungkin menyalakan senter untuk penunjuk jalan. Sedikit saja cahaya bergerak dan terlihat oleh mereka sama saja dengan bunuh diri. "Kita harus berjalan dalam gelap, Kim.""Terpaksa harus begitu. Kita pelan-pelan saja. Walaupun tidak bisa melihat dalam gelap, setidaknya kita tahu arahnya.""Sebelum Gumawang pergi tadi, ia sempat memperlihatkan dalam terang keadaan di dalam istal ini. Ia memintaku untuk menghafalkannya.""Kau masih bisa mengingatnya dengan jelas, An?""Tentu. Sekarang giliranku menggandeng tangan, Kim," kata Angela dengan suara pelan. Sejak tadi mereka sangat menjaga volume suara agar tidak terdengar oleh kedua pria yang sedang merokok agak jauh dari posisi m
"Air berhubungan dengan Wuri. Membuang begitu saja di dalam sumur juga mudah. Tidak perlu menggali tanah.""Wuri?" Dahi Antoni berkerut. "Aku belum pernah mendengar namanya. Dia siapa?""Aku pikir kau sudah tahu semuanya tentang Alena dan Delta Kencana, ternyata belum. Wuri adalah makhluk siluman yang menjadi penjaga keberlangsungan perusahaan. Karena itulah mereka selalu mendapatkan mega proyek dengan posisi terkuat. Perkembangan mereka pun pesat. Tapi, di balik itu semua, banyak korban berjatuhan.""Diberikan kepada si Wuri itu?"Angela memejam sesaat. "Tentu iya. Bukan hanya perempuan-perempuan yang bekerja di Delta Kencana saja, bayi hasil aborsi juga sangat disukai makhluk siluman itu. Alena sampai harus membeli secara khusus dari sebuah klinik aborsi yang berkedok klinik bersalin.""Mereka sudah kehilangan akal sehat, An," sebut Antoni sambil menutup pintu lemari. "Diam di situ, Kim." Angela membuat gerakan mendadak, menutup semua akses ke dalam kamar. "Kenapa kau tutup semua?
"Ini bukan jalan menuju ruang rahasia, Kim. Tapi tempat pembuangan mayat," kata Angela melangkah mundur ke tempatnya semula. "Atau mungkin inilah ruang rahasia itu," ujar Antoni seraya memberikan ponsel kepada Angela. "Kau terlihat tidak terganggu dengan bau dari dalam sumur. Padahal aromanya luar biasa busuk.""Gumawang menghilangkan dengung dan kemampuanku membaui untuk sementara waktu. Ponsel ini untuk apa?""Fotokan sumur itu. Usahakan mayat di dalamnya terlihat jelas. Bila perlu buat video biar buktinya semakin kuat." Angela mengangguk lalu berjongkok di bibir sumur yang tidak berpenghalang. Sedikit saja keseimbangannya hilang, bisa dipastikan ia masuk juga ke dalam sana. Beberapa foto dan video sudah Angela buat. Hasilnya ia kirimkan juga melalui surel ke alamat emailnya. Baik yang sudah biasa digunakan maupun yang rahasia. Berjaga-jaga dari kemungkinan buruk agar apa yang sudah dilakukan malam ini tidak sia-sia. Antoni menutup kembali sumur yang berdiameter sekitar satu met
Angela menarik napas kaget ketika ia merasakan sesuatu seperti udara menerpa keras wajahnya hingga perut tiba-tiba terasa tegang. Langkahnya pun terhenti. "Ada apa, An?" Antoni menyorot wajah Angela dengan senter. "Entahlah. Aku tidak bisa melihatnya. Hanya keras seperti tamparan. Sakitnya masih terasa. Tempat ini pasti sangat angker, Kim. Kita saja yang tidak bisa melihat keberadaan makhluk tak kasat mata yang berkeliaran. "Tenanglah! Kita hanya perlu menemukan tempat itu, saja. Mendapatkan bukti lalu pergi." Antoni mencoba memberi semangat dan penguatan. Angela menghela napas berulang sebelum ia melanjutkan langkah bersama Antoni. Cahaya senter Antoni terus bergerak seiring pergerakan keduanya. Di ujung lorong mereka menemukan pintu yang tertutup rapat. Posisinya tepat di belakang deretan kandang kuda. "Kim! Rasanya kepalaku mau pecah!" Angela berteriak sambil meremas kuat tangan Antoni. "Artinya memang di sinilah tempatnya. Please! Bertahanlah, Sayang," Antoni membawa Angela