Antoni sudah selesai bersiap-siap. Ia tampil berbeda dengan celana selutut berwarna coklat muda, kaos hitam dan sepatu kets putih tanpa kaos kaki. Kacamatanya pun terlihat berbeda dari biasanya. Terkesan lebih santai dengan bingkai berwarna perak. Semalam ia sudah merencanakan untuk mengajak Angela berlibur tipis-tipis ke rumah peninggalan Oma Antoni. Letaknya di dataran tinggi yang sejuk. Memang cukup jauh, empat jam perjalanan darat. Pergi menjauh sementara dari Miranda memang diperlukan agar mental tetap berada di posisi stabil. Setidaknya punya stok keberanian untuk bertahan dari teror-teror yang nanti dimunculkan oleh perempuan itu. "Kalau seperti ini, Tuan kelihatan handsome," kata Angela memuji Antoni yang sudah menunggu di dalam mobil. "Artinya selama ini saya tidak handsome, Nona?" Antoni memandang tajam dari balik kacamatanya. Angela tertawa seraya duduk di sebelah Antoni. Ia menutup pintu mobil lalu memasang seat belt agar perjalan tetap aman dan menyenangkan."Tuan se
Sesuai janji, Antoni mengajak Angela ke perkebunan kopi menggunakan sepeda motor bebek yang usianya sudah senja. Namun, performanya masih cukup baik untuk melewati jalan yang naik turun. Beberapa orang yang berpapasan di jalan mengenali Antoni. Bahkan ada teman sepermainannya dulu. Mereka mengira Angela adalah istrinya. Karena kata mereka baru pertama kali melihat Antoni membawa perempuan ke kampung halamannya. "Iya, ini istriku. Cantik, kan?" Antoni malah mengiyakan sangkaan mereka. "Tentulah, Ton. Tidak sia-sia kau bertapa sampai puluhan tahun pulang-pulang bawa bidadari," jawab teman Antoni berseloroh. Merka tertawa menggoda pasangan yang memang tampak serasi. Angela merasa tersanjung, Miranda yang sudah menjadi istrinya bertahun-tahun pun belum pernah diajak Antoni ke tempat ini. Ia sudah diperlihatkan kepada dunia, setidaknya dunia masa kecilnya. Perkebunan kopi tidak kalah luas dengan perkebunan lainnya yang lebih dominan di kawasan itu. Pohon kopi yang ditanam adalah jenis
"Tuan!" Antoni meletakkan jarinya di depan bibir sambil.menggelang pelan. Ia memberikan isyarat agar Angela ikut bersamanya. Angela dibawa ke dalam kamar Antoni. Tidak terlihat kegelisahan di wajah pria itu. Ia seperti sudah tahu bahwa Pak Kardiman melakukan sesuatu di belakangnya. "Anggap saja Nona tidak melihat apa yang baru saja Nona lihat," kata Antoni tenang. Ia kemudian menggeser kursi dan meminta Angela duduk. "Saya sudah tahu semuanya. Langsung dari Pak Kardiman sendiri.""Maksud Tuan? Saya belum mengerti," tanya Angela bingung. "Begini…." Antoni duduk di pinggir ranjang tepat di hadapan Angela. "Pak Kardiman memang informan Miranda tetapi dia juga memberitahukan semua yang akan dilakukan Miranda pada saya. Pak Kardiman diperintahkan untuk melenyapkan Anda, Nona. Skenarionya nanti Nona benar-benar lenyap. Tidak ikut kami kembali ke kota," ungkap Antoni. "Apa saya tidak salah dengar, Tuan? Itu rencana tidak masuk di akal saya," tanya Angela heran."Tidak, Nona. Nanti saya
Angela memeriksa lemari kecil di dekat kompor. Ada beras yang masih bagus di dalam ember penyimpanan. Bisa dan cukup untuk dimasak. Magic com tersedia juga, jadi mudah Angela untuk menyiapkan sarapan. "Nyonya rumah sedang masak apa ini?" tanya Antoni ketika masuk ke dapur. Ia menghampiri Angela yang sedang memasak tumisan telur orak-arik dicampur dengan kubis dan wortel. "Nyonya rumah?" Angela mendelik. "Nona Angela maksud saya." Antoni semakin mendekat. Ia terlihat menghirup wanginya aroma tumisan telur yang menguar. "Nah, begitu dong!" Angela mematikan kompor. "Cuma ini yang ada Tuan. Lumayanlah untuk mengisi perut.""Nona tidak usah repot, paling sebentar lagi Suheri membawakan kita sarapan," kata Antoni membuka pintu dapur lalu menggeliat. Terdengar tarikan napasnya menghirup sejuknya udara pagi. "Biar saya makan sendiri saja masakan ini. Telur orak-arik ini tidak enak kalau sudah dingin," kata Angela menghibur dirinya. Kalau tahu Suheri akan membawakan sarapan ia tidak perlu
Angela terus berjalan di antara rapatnya pohon teh yang pucuk mudanya belum dipanen. Dilihat dari cahaya alam yang hampir meredup, waktu di alam bunian ini sudah hampir mendekati senja. Namun, ia belum tahu harus menuju ke arah mana. Hanya diam di tempat Angela rasa bukan pilihan tepat. Ia memilih terus berjalan hingga sampai di depan sebuah gubuk beratap rumbia yang sudah tua. Di samping gubuk tersebut ada sepetak tanah berisi air yang sangat jernih. Namun, tidak terlihat ikan atau tumbuhan air di dalamnya. Angela hanya melihat. Ia menahan diri untuk tidak menyentuh benda-benda yang menjadi sumber kehidupan. Konon orang yang makan, minum atau membasuh tangan dengan air di alam bunian akan selamanya terkurung. Sebisa mungkin Angela tetap tersadar untuk menghindari pantangan tersebut. Karena hari semakin gelap, Angela naik ke lantai gubuk beralaskan kayu tipis yang disusun memanjang. Ada bercak-bercak lumpur kering membekas di permukaan lantai. Tampak seperti jejak kaki hewan beruku
"Mereka masih jauh di bawah sana. Sedang berkumpul dan merundingkan cara agar di hari ketiga pencarian Nyonya bisa ditemukan." Suara lelaki semalam terdengar dari belakang Angela. "Bisakah tidak memanggil saya, Nyonya?" Saya belum menikah. Pemilik perkebunan juga bukan suami saya," kata Angela menghela napas. "Aura Nona sudah menyerupai Nyonya pemilik tanah perkebunan di sana.""Entah itu akan terjadi atau tidak.""Kalian cenderung memiliki persamaan sikap dan sifat. Hanya saja dia lebih tenang dan penuh pertimbangan. Berbeda dengan Nona yang justru sering gegabah. Seperti ketika Nona masuk ke tempat ini. Terlalu mengikutkan keinginan." Dalam sekejap lelaki itu telah berpindah ke depan Angela. "Ini ambilah!" Ia menyodorkan sehelai daun kering berbentuk aneh. Bergerigi dan bentuknya tidak simetris."Untuk apa daun ini, Tuan?" tanya Angela. Ia tidak ingin menerima pemberian tersebut sebelum tahu alasannya. "Sebagai hadiah dari saya. Suatu saat akan berguna."Angela mengambilnya dari
Tidur satu jam dirasa cukup oleh Angela. Bantuan infus membuat tubuhnya terasa lebih kuat. Namun, rasa lapar tidak bisa dihilangkan. Olla yang memang menunggui Angela, sudah memanaskan martabak manis sesuai permintaan sahabatnya itu. Tanpa mengeluh apalagi protes, Angela memakan dengan lahap tiap gigitan salah satu makanan kesukaannya itu. Antoni hanya memandanginya dari ambang pintu. Tidak hanya ada martabak manis di meja, istri Suheri juga membuatkan sup iga sapi untuk memulihkan tenaga. Harum sup yang menguar mengundang selera untuk menikmatinya di udara dingin dataran tinggi seperti sekarang ini. "Tuan Antoni sekalian saja makan dengan Angela. Saya masih kenyang," kata Olla menoleh pada pria itu. "Nona Olla teman yang sangat pengertian." Wajah Antoni berubah semringah. Sepertinya sejak tadi ia ingin menggantikan posisi Olla menemani Angela.Angela mencubit lengan Olla yang dibalas dengan senyuman meringis oleh sahabatnya tersebut seraya melangkah santai ke luar kamar. Antoni
Karena itulah ketika Angela pulang, Pak Topan buru-buru mendatanginya. Menanyakan bagaimana perkembangan masalah yang dihadapi Angela.Beliau terkejut tatkala Angela menyampaikan kabar tentang kematian Miranda. "Kasihan anak itu. Semoga Tuhan memaafkannya," ujar Pak Topan menatap nanar ke luar pintu. Mungkin beliau teringat peristiwa lalu yang melibatkan anaknya. Sampai detik ini pun beliau belum bercerita tentang Adam pada Angela.Setelah berbincang sekadarnya, Pak Topan mohon diri. Pria itu sekali lagi berpesan agar Angela tetap berhati-hati walaupun Miranda sudah mati. "Saya pasti akan berhati-hati, Pak. Terima kasih karena Bapak sudah sangat peduli pada saya," ucap Angela seraya melangkah, mengantarkan Pak Topan sampai ke ambang pintu. Setelah Pak Topan pulang, Angela segera bersiap-siap untuk pergi ke rumah Miranda. Olla dengan cekatan menyiapkan makan malam yang tadi dibeli. Ia juga membuatkan teh manis hangat untuk Angela supaya staminanya lebih cepat pulih kembali. Baru sa