##BAB 1 Awal Mula Celoteh Cahaya“Bunda kenapa?” tanya putri sulungku, Cahaya, dengan tatapan nanar. Tangan mungilnya mengusap pipiku lembut. Hati ini terenyuh seketika.“Bunda Cuma sakit perut, Nak. Nanti juga sembuh,” jawabku sembari mengulas senyum tipis untuknya.Sudah hampir tiga jam aku merintih kesakitan, nyeri di area bekas jahitan operasi sesar enam bulan lalu karena melahirkan Pelangi membuatku terbaring lemah hari ini. Hingga aku tak sempat pergi ke butik untuk merencanakan launching produk baru yang akan diselenggarakan bulan depan.“Sakit banget, ya, Bunda?” Mata bening kecokelatan bocah berusia 6 tahun itu masih menatapku sendu.Aku mengusap lembut kepala Cahaya, merengkuhnya ke dalam pelukan.“Bunda baik-baik aja, Sayang.”Cahaya tersenyum tipis dan mencium pipiku sekilas.“Coba aja Bunda bilang ke Ayah, pasti Ayah bisa ngobatin Bunda. Kayak Tante Rosa gitu, perutnya sering sakit. Tapi Ayah hebat, bisa sembuhin, loh, Bunda!” kata Cahaya dengan mata berapi-api.Dahiku me
##BAB 2 Merasa Aneh Dengan Perubahan Pembantu SeksiRasanya sudah terlalu lama aku terlelap. Entah kenapa aku tidur seperti orang yang tak sadarkan diri, tapi badanku rasanya pegal, seperti orang kesemutan.“Hmmm ... jam berapa ini, ya?” lirihku sembari meraba nakas yang berada di samping tempat tidurku. Aku mencari benda elektronik berbentuk pipih untuk melihat waktu.Memang sengaja di kamar tak ada jam dinding yang menggantung. Aku lebih suka tidur dan beristirahat tanpa dikejar waktu, mungkin sifat itulah yang membuat Bu Romlah, mertuaku, menyebut aku tukang molor. Setelah mendapatkan ponselku, aku bergegas melihat barisan empat angka yang tertera di layar ponsel.“Pukul 08.30 WIB. Wah, selama itukah aku bergelut dengan alam bawah sadar hingga bangun kesiangan seperti ini?” kataku berbicara pada diri sendiri.“Mas Frengky pasti sudah berangkat ke Restoran. Kenapa aku tak sadar sama sekali, bahkan kepulangan Mas Frengky kemarin tak sedikitpun membuatku sadar dan terbangun.”Aku menc
##BAB 3 Minta UangSetelah menyelesaikan beberapa pekerjaan yang sempat tertunda kemarin, aku berpamitan pada karyawan untuk pulang.Aku mempercayakan butik pada Keysa, gadis berusia dua tahun dibawahku ini sudah menjadi kanan tanganku semenjak beberapa tahun yang lalu. Karena reward yang sering ia dapatkan setiap bulan dengan notabene karyawan teladan, serta sikap loyalnya pada butik yang aku pimpin, membuatku tak segan menjadikannya orang kepercayaan.Keysa sudah berumah tangga, namun hingga sekarang belum dikarunia momongan. Suaminya yang seorang abdi negara, sering bertugas dan jarang pulang ke rumah, kadang untuk menikmati liburan cuti pun hanya beberapa hari sebelum akhirnya kembali lagi untuk bertugas. Hal itulah yang membuatnya bekerja di butik ini sebagai staf administrasi. Awalnya hanya iseng untuk mengisi waktu luang. Namun lama kelamaan ia merasa betah dan nyaman di butik, sehingga menempati bukti sebagai rumah keduanya. Sikap setia kawannya patut diacungi jempol, bekerja
##BAB 4 Merasa Terlena“Iya, kemarin memang untuk modal. Resto akhir-akhir sangat sepi, Bun. Sering kali bahan masakan sisa karena nggak laku, jadi uang terpakai untuk modal. Muter gitu terus, puncaknya, sih, minggu ini, Bun. Gara-gara ekonomi yang semakin krisis, orang-orang jadi berhemat dan jarang makan di Resto,” ujar Mas Frengky dengan tatapan yang sulit kuartikan benar atau tidaknya. Tapi, memang ada gurat kesedihan di wajah tampannya.Ah ... lagi-lagi aku jadi tak tega.“Oke, nanti aku transfer. Tapi janji, ya, dibalikin? Nyicil sejuta-sejuta juga nggak papa, asal ada pemasukan untuk kembali,” cengirku.“Siap, Bundaku Sayang!” kata Mas Frengky sembari menarikku dalam pelukannya.“Eh, udah ah. Nanti kelamaan batal berangkat, deh,” sahutku sembari berlanjut memoleskan bedak.Kali ini pilihanku jatuh pada gamis berwarna gading dengan hijab pashmina serut. Karena malam hari dan kami akan dinner di tempat elite, maka aku membubuhkan makeup yang sedikit tebal agar kentara. Setelah si
##BAB 5 Wanita dan Bocah AsingApa tak ada kata selain sabar yang bisa sedikit saja menenangkan pikiranku saat ini.“Sekarang gini, boleh aja kamu usir Rosa, tapi apa kamu udah menemukan pengganti Rosa yang sekiranya cocok dengan Cahaya? Tolong, Bun. Pikirkan anak kita, anak satu-satunya yang kita miliki saat ini.” Mas Frengky seakan-akan menekankan kata satu-satunya, membuatku teringat lagi akan Pelangi.“Gampang, asal Rosa pergi dulu dari sini. Aku nggak mau, Mas, Cahaya jadi anak yang rusak!” ketusku.“Rusak bagaimana, sih, Bun? Jangan berlebihan, bukankah selama ini kamu juga cocok dengan Rosa, malah berulang kali aku dengar kamu membangga-banggakannya, kenapa sekarang nggak lagi?” tanya Mas Frengky tajam.“Sekarang udah beda, semenjak dia meracuni pikiran Cahaya, aku udah nggak sudi melihatnya!” sahutku tak kalah tajam.“Oke, aku ada satu ide. Hal ini harus dilakukan demi kenyamanan bersama, kalau memang kamu bersikeras ingin mengusir Rosa dari sini,” kata Mas Frengky.“Apa? Aku
BAB 6 Sekotak MartabakSesampainya di rumah aku bergegas masuk ke dalam, dari ruang tamu Cahaya sudah menyambutku dengan senyum mengembang.Matanya berbinar saat melihat sekotak martabak di tangan kananku.“Wah, Bunda bawa martabak, ya?” tanyanya riang.“Iya, dong kesukaan Cahaya,” jawabku sembari merengkuhnya dalam dekapan.Mataku menyapu sekeliling, “Ayah mana, Nak?”Cahaya seperti bingung akan menjelaskan sesuatu. Bibirnya digigit dengan kuat, aku paham betul jika Cahaya melakukan itu, tandanya ada sesuatu yang takut untuk dikatakan.“Aya, denger Bunda ‘kan, Nak? Ayah di mana?” aku mengulang pertanyaanku.“Di atas lagi siram bunga, Bunda. Yuk, Bunda main sama Aya, ya. Kan tadi sudah janji!” kata Cahaya sembari menarik tanganku menuju ke ruang keluarga.Ada yang tak beres, kenapa aku tak melihat juga keberadaan Rosa? Apa dia sedang bersama suamiku?Ah ... seandainya saja aku tak harus mendengar celotehan Cahaya tempo lalu, tentu pikiranku tak akan menerka hal buruk seperti sekarang.
BAB 7 Obrolan bersama GilangSetelah puas berbincang dengan Gilang, aku menyusul Mas Frengky dan Cahaya di saung belakang, dekat dengan kolam ikan. Mereka tampak seru memberi makan ikan, ada binar bahagia yang tercetak dengan jelas dari mata Cahaya.Kuhampiri mereka, untuk menikmati makanan yang sudah disiapkan oleh beberapa karyawan, menu khusus alias spesial yang biasa kami pesan.“Yuk, makan dulu, mumpung masih hangat!” seruku mengajak mereka untuk segera melahap makanan dan bergegas pulang.Sesampainya di rumah, aku terlebih dahulu membersihkan diri, sebelum bergabung bersama ibu mertua dan kedua adik iparku yang sedang berkumpul di ruang keluarga.Aku memakai baby doll santai lengan panjang dengan motif teddy bear, tak lupa memakai jilbab instan.Setelah kurasa tampilan cukup fresh, aku ikut bergabung bersama mereka yang sedang menikmati siaran televisi.Rosa tampaknya sudah lebih dulu bergabung, ia terlihat dekat dengan ibu mertua, terbukti dengan keakraban mereka, bahkan Rosa t
BAB 8 PerjanjianIbu mertua dan kedua adik ipar bergegas pulang setelah usahanya tak membuahkan hasil.Aku pun tak peduli, jika mau perhitungan, sudah banyak yang aku berikan untuk mereka.Mulai dari merenovasi rumah peninggalan bapak mertua yang luasnya dua kali lipat dari rumah yang ku tempati, mobil alphard yang mereka bangga-banggakan, serta biaya hidup keseharian juga aku yang menanggung, namun tentu saja dengan dalih pemberian dari hasil usaha Resto Mas Frengky. Sudah kubilang bukan aku tak mau menyombongkan diri di depan mereka atas pencapaian ku selama ini.Akhirnya aku bisa bernapas lega, setelah semua benalu itu pulang.Aku merebahkan tubuhku ke tempat tidur, meregangkan sedikit otot-otot yang mulai kaku karena tegang.Ceklek!Suara pintu terbuka dari luar, rupanya Mas Frengky dengan senyuman lebar menghampiriku.Ia mendesah pelan, berkali-kali menghembuskan napas kasar.“Bun ...,” panggilnya sambil memijat telapak kakiku.Aku hanya berdehem sambil memainkan ponsel.Ia terus
EPILOGEnam bulan kemudian ....“Pagi Sayang, have a nice day!” Aku sedikit kaget saat Hendra alias pria yang tengah sah menjadi imam ku memeluk pinggangku dari belakang. Sontak wajahku memerah, dia selalu saja berhasil membuat diriku melayang tinggi hingga menembus langit ketujuh.“Ngagetin aja, pagi juga, Mas!” sahutku seraya melanjutkan aktivitas mengiris daun bawang untuk pelengkap telur dadar sebagai sarapan pagi ini.Ya ... setelah menikah dengan Hendra selama hampir enam bulan ini, aku baru tahu bahwa dia suka sekali dengan telur dadar yang dicampur irisan daun bawang. Seakan tak pernah bosan, hampir setiap hari dia menginginkan masakan itu di setiap pagi untuk memenuhi asupan nutrisinya. Terkadang juga aku heran, bagaimana bisa lelaki dari keluarga berada dan bergelimang harta bisa mempunyai makanan favorit berupa telur ayam sederhana. Kenapa bukan masakan ala western atau mungkin makanan dengan gizi lengkap yang seimbang. “Kok diem? Ngelamun, ya?” tanya Hendra yang kini mend
##BAB 91 Akhir KisahBerkali-kali aku menghubungi Hendra, hingga puluhan panggilanku tak ada satu pun yang dijawab. Sampai pusing aku berjalan mondar-mandir bak setrika. Bu Wak bingung melihat tingkahku yang tak karuan. “Kenapa, toh, Ibu lihat dari tadi maju mundur kayak orang bingung. Ada masalah?” tanya Bu Wak terlihat perhatian, seperti biasa.Aku menggeleng, tentu saja hal seperti ini tak mungkin aku sampaikan kepada Bu Wak. Biarlah ini menjadi urusan pribadiku. Aku beranjak menuju ke kamar, tiba-tiba saja air mataku tumpah tanpa sebab. Aku tak tahu, apa yang aku rasakan hingga tiba-tiba menangis tanpa alasan. Masih dalam genggaman, kulihat layar ponsel yang masih sepi, tak ada tanda-tanda Hendra menghubungi ku kembali. Apa yang dia lakukan sebenarnya di sana?Hingga kecapekan menangis, membuatku ketiduran. Entah sudah berapa jam aku tertidur, ketika bangun ponselku sudah dipenuhi panggilan tak terjawab dari Hendra. Aku tak mendengarnya karena ponselku masih berada dalam mode sil
##BAB 90 Suara Wanita MencurigakanSUARA WANITA MENCURIGAKANANAKKU MENJADI SAKSI MATA PERSELINGKUHAN SUAMIKU (S2)“Kapan kamu siap untuk menikah? Mungkin kamu berkeinginan memilih tanggal yang cantik?” ucap Hendra.“Terserah saja, yang penting jadi menikah. Semua tanggal itu baik, ‘kan?” ujarku sembari tersenyum.“Iya juga, Papa sudah siap memfasilitasi semuanya. Aku hanya perlu menyiapkan mahar beserta mas kawin. Kamu mau apa?” tanya Hendra menatapku intens.Kami bertemu kembali di rumahku, setelah tiga hari dari rumah Ayah kemarin. Hendra pulang ke rumah Papanya untuk mengabarkan keputusanku tempo lalu. Alhamdulillah akhirnya Tante Sofia pun ikut menyetujui walaupun aku tahu mungkin dia terpaksa.“Yakin nih, aku bebas pilih sendiri mas kawinnya?” tanyaku dengan senyum menggoda.“Dengan senang hati!” Hendra menaik-turunkan alisnya memandangku.“Aku hanya bercanda, terserah kamu saja, deh!” ucapku seraya tertawa.“Bagaimana kalau pabrik usahaku saja yang kujadikan mahar?” tawar Hendr
##BAB 89 Keputusan NaylaKeesokan harinya, Hendra benar-benar serius dengan ucapannya. Pagi-pagi sekali dia sudah menjemputku, kami berencana akan pergi ke rumah Ayah. Berdua saja dan kali ini menggunakan mobilku.“Udah siap? Berangkat sekarang, ya?” tanya Hendra yang kini sudah berpakaian rapi, yakni kemeja lengan panjang, celana bahan dan sepatu pantofel. Menurutku dia lebih mirip seperti orang yang akan melakukan interview di perusahaan besar dari pada bertemu calon mertua. Eh ....Ah, membayangkan Hendra akan menjadi menantu Ayahku saja sudah membuatku berdetak hebat tak karuan begini. Aku benar-benar dibuat mabuk kepayang dengan pesonanya.“Yuk!” seruku bersemangat.Kami menempuh perjalanan sekitar dua jam, aku sengaja tak menghubungi Ayah dan Ibu jika ingin ke sana. Biar ini menjadi surprise nantinya. Hendra tampak gusar, beberapa kali mengusap wajahnya dengan handuk kecil berwarna hijau muda. Padahal tak ada peluh yang menetes, tapi ... entahlah apa yang dia bersihkan.“Kamu ke
##BAB 88 Melamar Nayla“Gimana, Nay? Kapan aku bisa menemui orang tuamu?” tanya Hendra membuatku terperangah. Rupanya dia serius dengan niatannya. Aku pun tampak berpikir, tak ada salahnya untuk mencoba. Lagian, bukankah ini memang tujuan awalku untuk memberikan balasan pada Rosa? Aku tersenyum menyeringai.“Kalau kamu serius, bisa temui orang tuaku besok. Di sana aku akan memberimu keputusan,” kataku dengan senyum mengembang. Hendra terlihat antusias, dia melirik ke arah Papanya yang diangguki dengan senyuman merekah. Sorot bahagia sangat terpancar dari netranya.“Oke, besok aku akan menemui kedua orang tuamu untuk meminta restu. Aku serius ini, Nay. Jangan pernah anggap niat baik ku sekedar main-main,” kata Hendra terdengar mengintimidasi. Aku hanya merespon dengan anggukan. Aku juga serius, meskipun niat sampingan juga karena iseng untuk balas dendam kepada Rosa. Setelah mengobrol banyak hal, aku memutuskan untuk mengajak Hendra pulang. Sebelum ke rumah, aku ingin mampir ke butik
##BAB 87 Pernikahan GladysHari ini Hendra akan menjemput ku untuk menghadiri pesta pernikahan Gladys. Sengaja aku tak mengajak Vano dan Bu Wak, tentu saja malas jika harus berhadapan lagi dengan Tante Sofia. Untuk sementara ini, aku akan menghindarinya terlebih dahulu. Aku mengenakan gamis bertajuk glamor mirip yang dipakai salah satu artis membahana. Tak lupa perhiasan dan cincin berlian tersemat manis di jari-jariku. Aku pun memakai hijab yang senada dengan warna gamisku. Tas bermerek dengan harga puluhan juta tak lupa bertengger manis di lenganku. Perfect sekali. Aku sengaja ingin tampil mewah agar tak selalu direndahkan, apalagi di mata Tante Sofia. Sudah cukup dia menghina diriku serta keluarga kecilku.Aku menaiki mobil Hendra dengan hati-hati. Berpakaian mewah seperti ini memang sedikit ribet dan harus tampil dengan elegan. Hendra menatapku takjub hingga tak berkedip. Kami menuju ke arah lokasi dengan ditemani obrolan renyah dan santai. Hendra tampaknya mulai kembali ceria dan
##BAB 86 Persepsi NaylaSaat aku membuka mata, rupanya sudah hampir sampai di rumah. Cukup lama juga aku tertidur, mungkin efek banyak pikiran membuatku susah tidur dari kemarin. Baru sekarang aku bisa tidur nyenyak meskipun sebentar, mungkin karena pikiranku yang plong. Sebelum turun, Hendra sempat mengingatkan untuk mengajak diriku hadir di acara pernikahan Reno dan Gladys yang akan diselenggarakan minggu depan. Aku belum mencari tahu bagaimana informasi perkembangan dari hukuman Mas Frengky. Mungkinkah Gladys tetap pada pendiriannya untuk membebaskan Mas Frengky? Atau berpura-pura tak peduli lagi, entahlah. Yang pasti, menurut pengacaraku bukti yang aku berikan beberapa waktu lalu sudah cukup kuat dan akurat untuk kembali memberikan hukuman tambahan buat Mas Frengky. Aku ingin lelaki durjana itu menerima hukuman yang pantas. Selain kedua kakinya yang tak berfungsi tentunya. Aku belum puas jika hanya kakinya saja yang tak berfungsi. Dia layak mendapatkan hukuman yang lebih parah dar
##BAB 85 Mengobrol dengan Rosa“Nayla ... maafkan aku,” ujar Hendra lirih. Terdengar menyayat di telingaku. Aku benci orang meminta maaf, aku bosan memberikan maaf terus-menerus.“Nggak usah dibahas, fokus sama menyetirmu, agar kita segera sampai!” Aku memalingkan wajahku menghadap ke jendela, tak ingin Hendra melihat bagaimana ada gurat kesedihan di sana.“Iya!” Hendra kembali fokus menyetir.Beberapa menit kemudian, kami telah sampai di kantor polisi, di mana Rosa menghabiskan sisa waktunya. Seorang petugas yang biasa menerimaku, menuntun kami masuk ke dalam ruangan berukuran 3x4 meter. Lima menit menunggu, seorang petugas berjenis kelamin wanita membawa Rosa menghadap padaku dan Hendra. Kami hanya diberi waktu lima belas menit untuk mengobrol. Ada bangku panjang menghadap ke dinding, aku duduk di sana. Sedangkan Hendra duduk berhadapan dengan Rosa yang disekat dengan triplek sebatas dada.“Akhirnya kamu datang juga. Nayla ternyata serius menepati janjinya padaku!” ujar Rosa dengan
##BAB 84 Menemui Rosa“Apa kau ingin bertemu dengan Rosa?” tanyaku dengan wajah sedatar mungkin. Padahal di dalam dada muncul rasa gejolak yang begitu aneh.“Iya, cepat atau lambat, aku harus menemuinya, Nay ... kenapa aku menjadi pria pengecut seperti ini?” Hendra menggeleng sembari menarik rambutnya dengan kedua tangan.“Sudah, jika kamu terus-terusan begini, nggak akan menyelesaikan keadaan. Hidup harus maju ke depan, tak baik hidup terbayang dengan kenangan,” ujarku seraya mengulas senyum.“Terima kasih, Nay ... kamu selalu bisa menjadi penyejuk untukku,” kata Hendra membuatku melayang tinggi. Namun, dengan cepat kutepis semua perasaan itu, aku tak boleh terlarut dalam rayuan Hendra sebelum pria itu memberiku kepastian.“Sama-sama. Kapan pun kamu mau ke sana, kamu bisa hubungi aku. Dengan senang hati aku pasti akan mengantarmu ke sana.” “Baiklah, biarkan aku menenangkan hatiku terlebih dahulu, aku ingin menemuinya dalam keadaan siap. Aku tak ingin menghancurkannya lagi, kasihan d