##BAB 2 Merasa Aneh Dengan Perubahan Pembantu Seksi
Rasanya sudah terlalu lama aku terlelap. Entah kenapa aku tidur seperti orang yang tak sadarkan diri, tapi badanku rasanya pegal, seperti orang kesemutan.
“Hmmm ... jam berapa ini, ya?” lirihku sembari meraba nakas yang berada di samping tempat tidurku. Aku mencari benda elektronik berbentuk pipih untuk melihat waktu.
Memang sengaja di kamar tak ada jam dinding yang menggantung. Aku lebih suka tidur dan beristirahat tanpa dikejar waktu, mungkin sifat itulah yang membuat Bu Romlah, mertuaku, menyebut aku tukang molor. Setelah mendapatkan ponselku, aku bergegas melihat barisan empat angka yang tertera di layar ponsel.
“Pukul 08.30 WIB. Wah, selama itukah aku bergelut dengan alam bawah sadar hingga bangun kesiangan seperti ini?” kataku berbicara pada diri sendiri.
“Mas Frengky pasti sudah berangkat ke Restoran. Kenapa aku tak sadar sama sekali, bahkan kepulangan Mas Frengky kemarin tak sedikitpun membuatku sadar dan terbangun.”
Aku mencoba bangun dari tidurku, duduk di tepi ranjang dengan hati-hati. Perutku masih sedikit perih, sudah mendingan lah tapi dari pada kemarin. Aku beranjak dari tempat tidur berukuran king size ber sprei motif abstrak milikku. Berjalan ke luar kamar.
Hendak memutar knop pintu, kertas kecil yang tertempel di balik pintu membuatku mengernyitkan kening. Sebuah memo singkat dari Mas Frengky membuatku penasaran, spontan aku membacanya dalam hati.
[Kamu pasti kecapekan, ya, Bun. Sampai pules banget tidurnya. Dari aku pulang sampai berangkat lagi Bunda tak sedikitpun membuka mata, aku jadi tak tega yang mau membangunkan. Oh, ya, tadi aku udah minta tolong ke Rosa untuk buatkan kamu sayur bening, pepes ikan kutuk, tak lupa 5 biji putih telur ayam rebus. Dimakan semua, ya! Wajib dihabiskan, Cahaya bilang jahitanmu kambuh. Cepat sembuh istriku, surgaku, ibu dari anak-anakku. Salam dari Ayah yang sayang sama Bunda banyak-banyak😘🥰!]
Senyumku mengembang setelah membaca isi memo tersebut. Mas Frengky memang ada-ada saja. Seharusnya lewat pesan di ponsel saja bisa, tak perlu lagi repot-repot menulis begitu. Ah ... suamiku itu memang penuh dengan kasih sayang.
Eh ... hampir saja aku lupa. Bukankah kemarin aku berencana akan memantau tentang hubungan Mas Frengky dan Rosa? Seketika senyum indah di bibirku berganti dengan umpatan.
Kuremas kertas berisi pesan sok manis itu, lalu membuangnya ke tempat sampah yang berada tak jauh dari tempatku berdiri. Setelah itu, aku bergegas ke luar kamar. Tenggorokanku rasanya kering, aku butuh air putih dan sedikit buah untuk menyegarkan. Kuseret kakiku menuju lemari es yang berada di dapur.
Di sana sudah ada Rosa yang sedang sibuk memotong sayuran sambil sesekali membuka tutup panci berisi rebusan ikan kutuk. Tangannya begitu terampil dan cekatan. Memang aku akui, sebagai seorang wanita yang normal terkadang terbersit rasa isi muncul dari dalam diriku. Melihat Rosa yang mempunyai tubuh langsing, tinggi semampai, rambut lurus asli tanpa sentuhan obat salon. Belum lagi wajahnya yang ayu, hidung bangir dan mata belo serta bibirnya yang ranum menambah aura kecantikannya. Tanpa polesan makeup, Rosa sudah terlihat cantik. Apalagi sekarang, alisnya disulam seperti selebgram kekinian, bulu matanya pun dieyelash. Semakin menampilkan kesan dewasanya, sedikit demi sedikit aura polosnya mulai sirna.
Rosa bersenandung kecil sembari memasukkan potongan sayur ke dalam air yang mendidih. Ia masih belum sadar bahwa aku telah memperhatikannya sedari tadi. Coba tebak, pakaian yang ia kenakan sekarang?
Kaus tipis berdada rendah, hampir menampilkan setengah dari payudaranya. Hotpant dengan panjang hanya sekitar lima senti dari pangkal paha. Bahkan saat ia jongkok pun, mungkin gundukan bagian belakang tubuhnya akan dengan mudah terlihat.
‘Astaghfirullahaladzim ... begini kah pakaian yang dikenakannya sehari-hari? Kenapa aku baru menyadarinya sekarang? Bukankah dulu awal-awal datang pakaiannya tak jauh dari kaus gombrong kebesaran dengan celana kain selutut atau bahkan lebih panjang, kenapa sekarang seperti ini?’ batinku dalam hati.
“Loh, eh ... Mbak Nayla, sini, Mbak. Ayo makan, ini bentar lagi makanannya mateng. Rosa siapin, ya!” Perkataan Rosa barusan membuatku tersadar dari lamunan.
Aku hanya tersenyum menanggapinya, ia tampak salah tingkah. Kuseret kursi yang ada di meja makan, sengaja aku ingin memperhatikannya lebih dekat lagi.
“Kamu perawatan, Ros? Kelihatannya kok makin glowing?” tanyaku sembari menatap wajahnya dengan lekat.
Memang benar, saat kutamatkan dari dekat, wajahnya terlihat bersih dan mulus, bahkan jika ada lalat yang tak sengaja hinggap, bisa saja terpeleset jatuh karena saking licinnya tuh muka.
“Ah, iya, Mbak. Lagi coba cream wajah yang ada di i*******m itu, loh, Mbak. Cuma cream biasa,” sahutnya tampak salah tingkah.
“Masak? Apa mereknya?” tanyaku menyelidik.
“Ehm ... apa, ya? Aku lupa, nanti deh aku lihat, Mbak. Pokoknya murah kok harganya, Mbak,” jawabnya tergagap.
“Hati-hati, loh, Ros! Skincare sekarang makin marak, jangan sampai salah pilih, apa lagi pakai yang abal-abal. Sayang ‘kan kalau kulit wajah jadi rusak gara-gara pakai cream murahan yang belum jelas pasti bersertifikat halal dan lolos uji BPOM,” kataku panjang kali lebar.
Biar saja, aku ingin tahu reaksinya nanti.
“Iya, Mbak,” sahutnya cuek.
Dih, dibilangin malah gitu. Ah, sudahlah, untuk apa aku mau repot-repot mengurusi asisten yang satu ini. Lebih baik aku fokus untuk pembukaan butikku nantinya, lumayan ‘kan buat perkembangan bisnis, bisa mempergendut saldo di tabungan.
“Oh, ya. Cahaya apa sudah makan?” tanyaku mengalihkan perhatian, aku tahu dia mungkin tak nyaman karena penyelidikan yang kulakukan.
“Sudah, Mbak. Tadi minta bikin indomie rasa kare ayam. Lahap banget makannya, nasi sepiring juga habis!” jawabnya dengan mata berbinar.
“Apa? Indomie lagi? Aku ‘kan sudah berulang kali mengingatkan, Ros. Jangan beri Cahaya makanan instan terlalu sering. Coba untuk bujuklah dia agar mau makan masakan rumahan!” sahutku ketus.
Bagaimana tidak emosi? Aku sudah berusaha memberikan suplemen dan vitamin dengan harga yang cukup merogoh kocek untuk pertumbuhan putriku satu-satunya saat ini. Tapi dengan entengnya asisten yang satu ini malah memberinya makanan instan.
“Tapi dengan mie instan Cahaya lahap, Mbak. Udahlah biarkan dia menentukan seleranya, Mbak. Yang penting makan!” tandas wanita di depanku ini dengan enteng.
Apa dia mulai ngelunjak? Sejak kapan dia berani membantah dan berbicara dengan nada tinggi seperti itu di depanku?
“Kamu nggak usah ikut campur soal selera Cahaya, dia putriku dan aku yang berhak menentukan nutrisi harian yang masuk ke dalam tubuhnya. Kalau suatu hari nanti ada hal yang tidak diinginkan gara-gara ulahmu ini yang sering memberikannya makanan instan, apa kamu mau tanggung jawab? Sekali lagi aku tegaskan, aku ibunya dan dia anakku. Jadi aku lebih berhak akan sesuatu yang bersangkutan dengan Cahaya!” bentakku kasar.
Aku sudah tak mampu menahan emosi rasanya, apa lagi jika sudah menyangkut putriku, aku sudah cukup trauma akan kehilangan Pelangi beberapa waktu lalu dan aku tidak mau mengulangi kesalahanku, aku tidak mau kehilangan putriku, sekali lagi.
“Iya, Mbak, iya. Soal mie instan aja kok Mbak Nayla sampai segitunya, sih? Lagian juga, emangnya terjadi hal yang tidak diinginkan itu yang bagaimana? Mbak trauma akan Pelangi? Aku belum pernah denger tuh, Mbak, anak kecil mati gara-gara mie instan. Tapi kalo menurut Mbak Nayla aku yang salah, ya sudah aku minta maaf, Mbak!” ujarnya dengan sedikit terpaksa.
Sungguh, aku dibuat terkejut akan sikap dan gaya bicara Rosa hari ini. Tak biasanya wanita yang selama ini kukenal polos dan lugu bisa bersikap seperti ini.
“Kok kamu ngelunjak?” tanyaku dengan senyum sinis.
“Loh, ngelunjak gimana, Mbak? Maaf, mungkin Mbak Nayla lagi PMS, aku minta maaf banget, deh, udah ngerusak mood Mbak Nayla,” ujarnya dengan senyum yang tulus, atau entahlah, mungkin berpura-pura tulus lebih tepatnya.
“Udah, ah. Aku mau ke butik, bisa pecah kepala lama-lama kalau dengerin kamu ngoceh!” ujarku seraya beranjak dari kursi, aku bergegas pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Barangkali dengan guyuran air dingin bisa sedikit menghapus rasa kesalku.
“Loh, Mbak nggak makan dulu? Ini udah aku siapin spesial, loh, buat Mbak Nayla, seriusan!” kata Rosa yang tak lagi kutanggapi. Aku sudah malas beradu argumen dengannya.
Setelah mandi, aku mengenakan atasan lengan panjang berwarna hitam yang kupadu dengan outer bermotif floral dan kulot berwarna putih, tak lupa memakai wedges dengan tinggi lima sentimeter. Kusapu wajahku dengan polesan makeup yang natural, terakhir kubalut rambutku dengan pashmina berwarna peach, tampak matching penampilanku kali ini. Aku mematut diri di depan cermin, ingin memastikan sekali lagi penampilanku.
Setelah kurasa cukup, aku menghampiri kamar tidur Cahaya, putriku yang sedang terlelap dalam balutan selimut membuatku tak tega membangunkannya untuk sekedar pamitan. Setelah mengecup dahi dan membelai rambutnya sekilas, aku beranjak pergi memacu honda jazz berwarna kuning hasil keringatku, membelah jalan raya untuk menuju ke rumah keduaku alias butik pencapaianku setelah bermandikan keringat selama ini.
Ya ... memang benar, aku membangun butik itu dengan susah payah, mengorbankan keringat dan tenaga sepenuh hati, hingga bercucuran darah. Eh, nggak deng, bercanda hehe.
Sesampainya di butik, semua karyawan menyapaku sambil tersenyum. Aku bergegas naik ke lantai tiga, di mana tempat singgahku berada.
Setelah mengecek laporan keuangan dari staf yang kupercaya, aku berniat bersantai sejenak. Menikmati secangkir kopi susu yang telah disediakan office girl di sini.
Memang butikku cukup besar, bangunan dengan 3 lantai yang dipijak oleh puluhan karyawan inilah sumber penghasilanku saat ini. Rasanya ada kebahagiaan tersendiri bisa menikmati semuanya di usiaku saat ini. Memiliki karir yang bagus, suami yang pengertian dan anak yang lucu. Bukankah itu yang diidam-idamkan para hawa di muka bumi ini?
Jangan sampai berkata tidak, munafik jika kau mengatakannya.
***
##BAB 3 Minta UangSetelah menyelesaikan beberapa pekerjaan yang sempat tertunda kemarin, aku berpamitan pada karyawan untuk pulang.Aku mempercayakan butik pada Keysa, gadis berusia dua tahun dibawahku ini sudah menjadi kanan tanganku semenjak beberapa tahun yang lalu. Karena reward yang sering ia dapatkan setiap bulan dengan notabene karyawan teladan, serta sikap loyalnya pada butik yang aku pimpin, membuatku tak segan menjadikannya orang kepercayaan.Keysa sudah berumah tangga, namun hingga sekarang belum dikarunia momongan. Suaminya yang seorang abdi negara, sering bertugas dan jarang pulang ke rumah, kadang untuk menikmati liburan cuti pun hanya beberapa hari sebelum akhirnya kembali lagi untuk bertugas. Hal itulah yang membuatnya bekerja di butik ini sebagai staf administrasi. Awalnya hanya iseng untuk mengisi waktu luang. Namun lama kelamaan ia merasa betah dan nyaman di butik, sehingga menempati bukti sebagai rumah keduanya. Sikap setia kawannya patut diacungi jempol, bekerja
##BAB 4 Merasa Terlena“Iya, kemarin memang untuk modal. Resto akhir-akhir sangat sepi, Bun. Sering kali bahan masakan sisa karena nggak laku, jadi uang terpakai untuk modal. Muter gitu terus, puncaknya, sih, minggu ini, Bun. Gara-gara ekonomi yang semakin krisis, orang-orang jadi berhemat dan jarang makan di Resto,” ujar Mas Frengky dengan tatapan yang sulit kuartikan benar atau tidaknya. Tapi, memang ada gurat kesedihan di wajah tampannya.Ah ... lagi-lagi aku jadi tak tega.“Oke, nanti aku transfer. Tapi janji, ya, dibalikin? Nyicil sejuta-sejuta juga nggak papa, asal ada pemasukan untuk kembali,” cengirku.“Siap, Bundaku Sayang!” kata Mas Frengky sembari menarikku dalam pelukannya.“Eh, udah ah. Nanti kelamaan batal berangkat, deh,” sahutku sembari berlanjut memoleskan bedak.Kali ini pilihanku jatuh pada gamis berwarna gading dengan hijab pashmina serut. Karena malam hari dan kami akan dinner di tempat elite, maka aku membubuhkan makeup yang sedikit tebal agar kentara. Setelah si
##BAB 5 Wanita dan Bocah AsingApa tak ada kata selain sabar yang bisa sedikit saja menenangkan pikiranku saat ini.“Sekarang gini, boleh aja kamu usir Rosa, tapi apa kamu udah menemukan pengganti Rosa yang sekiranya cocok dengan Cahaya? Tolong, Bun. Pikirkan anak kita, anak satu-satunya yang kita miliki saat ini.” Mas Frengky seakan-akan menekankan kata satu-satunya, membuatku teringat lagi akan Pelangi.“Gampang, asal Rosa pergi dulu dari sini. Aku nggak mau, Mas, Cahaya jadi anak yang rusak!” ketusku.“Rusak bagaimana, sih, Bun? Jangan berlebihan, bukankah selama ini kamu juga cocok dengan Rosa, malah berulang kali aku dengar kamu membangga-banggakannya, kenapa sekarang nggak lagi?” tanya Mas Frengky tajam.“Sekarang udah beda, semenjak dia meracuni pikiran Cahaya, aku udah nggak sudi melihatnya!” sahutku tak kalah tajam.“Oke, aku ada satu ide. Hal ini harus dilakukan demi kenyamanan bersama, kalau memang kamu bersikeras ingin mengusir Rosa dari sini,” kata Mas Frengky.“Apa? Aku
BAB 6 Sekotak MartabakSesampainya di rumah aku bergegas masuk ke dalam, dari ruang tamu Cahaya sudah menyambutku dengan senyum mengembang.Matanya berbinar saat melihat sekotak martabak di tangan kananku.“Wah, Bunda bawa martabak, ya?” tanyanya riang.“Iya, dong kesukaan Cahaya,” jawabku sembari merengkuhnya dalam dekapan.Mataku menyapu sekeliling, “Ayah mana, Nak?”Cahaya seperti bingung akan menjelaskan sesuatu. Bibirnya digigit dengan kuat, aku paham betul jika Cahaya melakukan itu, tandanya ada sesuatu yang takut untuk dikatakan.“Aya, denger Bunda ‘kan, Nak? Ayah di mana?” aku mengulang pertanyaanku.“Di atas lagi siram bunga, Bunda. Yuk, Bunda main sama Aya, ya. Kan tadi sudah janji!” kata Cahaya sembari menarik tanganku menuju ke ruang keluarga.Ada yang tak beres, kenapa aku tak melihat juga keberadaan Rosa? Apa dia sedang bersama suamiku?Ah ... seandainya saja aku tak harus mendengar celotehan Cahaya tempo lalu, tentu pikiranku tak akan menerka hal buruk seperti sekarang.
BAB 7 Obrolan bersama GilangSetelah puas berbincang dengan Gilang, aku menyusul Mas Frengky dan Cahaya di saung belakang, dekat dengan kolam ikan. Mereka tampak seru memberi makan ikan, ada binar bahagia yang tercetak dengan jelas dari mata Cahaya.Kuhampiri mereka, untuk menikmati makanan yang sudah disiapkan oleh beberapa karyawan, menu khusus alias spesial yang biasa kami pesan.“Yuk, makan dulu, mumpung masih hangat!” seruku mengajak mereka untuk segera melahap makanan dan bergegas pulang.Sesampainya di rumah, aku terlebih dahulu membersihkan diri, sebelum bergabung bersama ibu mertua dan kedua adik iparku yang sedang berkumpul di ruang keluarga.Aku memakai baby doll santai lengan panjang dengan motif teddy bear, tak lupa memakai jilbab instan.Setelah kurasa tampilan cukup fresh, aku ikut bergabung bersama mereka yang sedang menikmati siaran televisi.Rosa tampaknya sudah lebih dulu bergabung, ia terlihat dekat dengan ibu mertua, terbukti dengan keakraban mereka, bahkan Rosa t
BAB 8 PerjanjianIbu mertua dan kedua adik ipar bergegas pulang setelah usahanya tak membuahkan hasil.Aku pun tak peduli, jika mau perhitungan, sudah banyak yang aku berikan untuk mereka.Mulai dari merenovasi rumah peninggalan bapak mertua yang luasnya dua kali lipat dari rumah yang ku tempati, mobil alphard yang mereka bangga-banggakan, serta biaya hidup keseharian juga aku yang menanggung, namun tentu saja dengan dalih pemberian dari hasil usaha Resto Mas Frengky. Sudah kubilang bukan aku tak mau menyombongkan diri di depan mereka atas pencapaian ku selama ini.Akhirnya aku bisa bernapas lega, setelah semua benalu itu pulang.Aku merebahkan tubuhku ke tempat tidur, meregangkan sedikit otot-otot yang mulai kaku karena tegang.Ceklek!Suara pintu terbuka dari luar, rupanya Mas Frengky dengan senyuman lebar menghampiriku.Ia mendesah pelan, berkali-kali menghembuskan napas kasar.“Bun ...,” panggilnya sambil memijat telapak kakiku.Aku hanya berdehem sambil memainkan ponsel.Ia terus
BAB 9 Suara AnehAku bergegas mengambil kunci cadangan yang tersimpan rapi dalam laci. Dengan mudah pintu kamar Rosa terbuka.Kriet ....Aku melongokkan kepala ke dalam kamar, tampak remang dan minim cahaya karena lampu kamar yang dimatikan.Dengan penglihatan yang minim bantuan cahaya dari luar, kupencet saklar lampu yang berhasil kutemukan dengan cara meraba. Hingga kamar menjadi terang benderang.Ada seseorang yang bersembunyi di balik selimut.Setelah kuamati ternyata Rosa sedang meringkuk di dalam selimut.Aku menatapnya dengan heran, kuhampiri dia yang sedang mendesis.“Kamu kenapa, Ros?” tanyaku sembari membuka selimutnya.Wajah Rosa tampak pucat, ia menatapku sambil menggeleng.“Kamu sakit?” tanyaku memastikan.Dia hanya menggeleng lemah.Aku mengambil tempat untuk duduk di samping ranjang, kupegang dahi Rosa, aku takut dia demam.“Nggak panas kok,” ujarku setelah memastikan kening Rosa tak masalah.“Sedikit pusing, Mbak. Aku boleh minta tolong belikan obat sakit kepala?” kata
##BAB 10 DuitSaat azan subuh berkumandang, aku bergegas membangunkan Mas Frengky yang sedang terlelap membelakangiku.Sudah tepukan kesepuluh, ia tetap tak kunjung bangun.Ya sudahlah, toh aku juga sudah berusaha. Kalau dia masih mau bergelut dengan mimpinya ya sudah. Aku tak mau ambil pusing lagi.Segera aku beranjak dari tempat tidur. Mengguyur tubuhku dengan air dan bergegas mengambil wudhu untuk melaksanakan kewajiban dua rakaat.Hingga aku selesai salat pun, Mas Frengky masih saja bergeming. Rupanya tidurnya sungguh pulas kali ini.Aku melipat mukena dan sajadah, meletakkannya di laci samping tempat tidur.Saat aku hendak melangkah, benda pipih berukuran 6 inci milik Mas Frengky yang berada di atas laci tersebut bergetar, layarnya menyala kedap-kedip.Aku bisa melihat ada panggilan suara masuk dari salah satu aplikasi chat berlogo telefon.Siapa yang menghubungi suamiku di pagi buta begini?Tanpa pikir panjang, aku bergegas mengambil ponselnya dan melihat nama yang tertera.Nama
EPILOGEnam bulan kemudian ....“Pagi Sayang, have a nice day!” Aku sedikit kaget saat Hendra alias pria yang tengah sah menjadi imam ku memeluk pinggangku dari belakang. Sontak wajahku memerah, dia selalu saja berhasil membuat diriku melayang tinggi hingga menembus langit ketujuh.“Ngagetin aja, pagi juga, Mas!” sahutku seraya melanjutkan aktivitas mengiris daun bawang untuk pelengkap telur dadar sebagai sarapan pagi ini.Ya ... setelah menikah dengan Hendra selama hampir enam bulan ini, aku baru tahu bahwa dia suka sekali dengan telur dadar yang dicampur irisan daun bawang. Seakan tak pernah bosan, hampir setiap hari dia menginginkan masakan itu di setiap pagi untuk memenuhi asupan nutrisinya. Terkadang juga aku heran, bagaimana bisa lelaki dari keluarga berada dan bergelimang harta bisa mempunyai makanan favorit berupa telur ayam sederhana. Kenapa bukan masakan ala western atau mungkin makanan dengan gizi lengkap yang seimbang. “Kok diem? Ngelamun, ya?” tanya Hendra yang kini mend
##BAB 91 Akhir KisahBerkali-kali aku menghubungi Hendra, hingga puluhan panggilanku tak ada satu pun yang dijawab. Sampai pusing aku berjalan mondar-mandir bak setrika. Bu Wak bingung melihat tingkahku yang tak karuan. “Kenapa, toh, Ibu lihat dari tadi maju mundur kayak orang bingung. Ada masalah?” tanya Bu Wak terlihat perhatian, seperti biasa.Aku menggeleng, tentu saja hal seperti ini tak mungkin aku sampaikan kepada Bu Wak. Biarlah ini menjadi urusan pribadiku. Aku beranjak menuju ke kamar, tiba-tiba saja air mataku tumpah tanpa sebab. Aku tak tahu, apa yang aku rasakan hingga tiba-tiba menangis tanpa alasan. Masih dalam genggaman, kulihat layar ponsel yang masih sepi, tak ada tanda-tanda Hendra menghubungi ku kembali. Apa yang dia lakukan sebenarnya di sana?Hingga kecapekan menangis, membuatku ketiduran. Entah sudah berapa jam aku tertidur, ketika bangun ponselku sudah dipenuhi panggilan tak terjawab dari Hendra. Aku tak mendengarnya karena ponselku masih berada dalam mode sil
##BAB 90 Suara Wanita MencurigakanSUARA WANITA MENCURIGAKANANAKKU MENJADI SAKSI MATA PERSELINGKUHAN SUAMIKU (S2)“Kapan kamu siap untuk menikah? Mungkin kamu berkeinginan memilih tanggal yang cantik?” ucap Hendra.“Terserah saja, yang penting jadi menikah. Semua tanggal itu baik, ‘kan?” ujarku sembari tersenyum.“Iya juga, Papa sudah siap memfasilitasi semuanya. Aku hanya perlu menyiapkan mahar beserta mas kawin. Kamu mau apa?” tanya Hendra menatapku intens.Kami bertemu kembali di rumahku, setelah tiga hari dari rumah Ayah kemarin. Hendra pulang ke rumah Papanya untuk mengabarkan keputusanku tempo lalu. Alhamdulillah akhirnya Tante Sofia pun ikut menyetujui walaupun aku tahu mungkin dia terpaksa.“Yakin nih, aku bebas pilih sendiri mas kawinnya?” tanyaku dengan senyum menggoda.“Dengan senang hati!” Hendra menaik-turunkan alisnya memandangku.“Aku hanya bercanda, terserah kamu saja, deh!” ucapku seraya tertawa.“Bagaimana kalau pabrik usahaku saja yang kujadikan mahar?” tawar Hendr
##BAB 89 Keputusan NaylaKeesokan harinya, Hendra benar-benar serius dengan ucapannya. Pagi-pagi sekali dia sudah menjemputku, kami berencana akan pergi ke rumah Ayah. Berdua saja dan kali ini menggunakan mobilku.“Udah siap? Berangkat sekarang, ya?” tanya Hendra yang kini sudah berpakaian rapi, yakni kemeja lengan panjang, celana bahan dan sepatu pantofel. Menurutku dia lebih mirip seperti orang yang akan melakukan interview di perusahaan besar dari pada bertemu calon mertua. Eh ....Ah, membayangkan Hendra akan menjadi menantu Ayahku saja sudah membuatku berdetak hebat tak karuan begini. Aku benar-benar dibuat mabuk kepayang dengan pesonanya.“Yuk!” seruku bersemangat.Kami menempuh perjalanan sekitar dua jam, aku sengaja tak menghubungi Ayah dan Ibu jika ingin ke sana. Biar ini menjadi surprise nantinya. Hendra tampak gusar, beberapa kali mengusap wajahnya dengan handuk kecil berwarna hijau muda. Padahal tak ada peluh yang menetes, tapi ... entahlah apa yang dia bersihkan.“Kamu ke
##BAB 88 Melamar Nayla“Gimana, Nay? Kapan aku bisa menemui orang tuamu?” tanya Hendra membuatku terperangah. Rupanya dia serius dengan niatannya. Aku pun tampak berpikir, tak ada salahnya untuk mencoba. Lagian, bukankah ini memang tujuan awalku untuk memberikan balasan pada Rosa? Aku tersenyum menyeringai.“Kalau kamu serius, bisa temui orang tuaku besok. Di sana aku akan memberimu keputusan,” kataku dengan senyum mengembang. Hendra terlihat antusias, dia melirik ke arah Papanya yang diangguki dengan senyuman merekah. Sorot bahagia sangat terpancar dari netranya.“Oke, besok aku akan menemui kedua orang tuamu untuk meminta restu. Aku serius ini, Nay. Jangan pernah anggap niat baik ku sekedar main-main,” kata Hendra terdengar mengintimidasi. Aku hanya merespon dengan anggukan. Aku juga serius, meskipun niat sampingan juga karena iseng untuk balas dendam kepada Rosa. Setelah mengobrol banyak hal, aku memutuskan untuk mengajak Hendra pulang. Sebelum ke rumah, aku ingin mampir ke butik
##BAB 87 Pernikahan GladysHari ini Hendra akan menjemput ku untuk menghadiri pesta pernikahan Gladys. Sengaja aku tak mengajak Vano dan Bu Wak, tentu saja malas jika harus berhadapan lagi dengan Tante Sofia. Untuk sementara ini, aku akan menghindarinya terlebih dahulu. Aku mengenakan gamis bertajuk glamor mirip yang dipakai salah satu artis membahana. Tak lupa perhiasan dan cincin berlian tersemat manis di jari-jariku. Aku pun memakai hijab yang senada dengan warna gamisku. Tas bermerek dengan harga puluhan juta tak lupa bertengger manis di lenganku. Perfect sekali. Aku sengaja ingin tampil mewah agar tak selalu direndahkan, apalagi di mata Tante Sofia. Sudah cukup dia menghina diriku serta keluarga kecilku.Aku menaiki mobil Hendra dengan hati-hati. Berpakaian mewah seperti ini memang sedikit ribet dan harus tampil dengan elegan. Hendra menatapku takjub hingga tak berkedip. Kami menuju ke arah lokasi dengan ditemani obrolan renyah dan santai. Hendra tampaknya mulai kembali ceria dan
##BAB 86 Persepsi NaylaSaat aku membuka mata, rupanya sudah hampir sampai di rumah. Cukup lama juga aku tertidur, mungkin efek banyak pikiran membuatku susah tidur dari kemarin. Baru sekarang aku bisa tidur nyenyak meskipun sebentar, mungkin karena pikiranku yang plong. Sebelum turun, Hendra sempat mengingatkan untuk mengajak diriku hadir di acara pernikahan Reno dan Gladys yang akan diselenggarakan minggu depan. Aku belum mencari tahu bagaimana informasi perkembangan dari hukuman Mas Frengky. Mungkinkah Gladys tetap pada pendiriannya untuk membebaskan Mas Frengky? Atau berpura-pura tak peduli lagi, entahlah. Yang pasti, menurut pengacaraku bukti yang aku berikan beberapa waktu lalu sudah cukup kuat dan akurat untuk kembali memberikan hukuman tambahan buat Mas Frengky. Aku ingin lelaki durjana itu menerima hukuman yang pantas. Selain kedua kakinya yang tak berfungsi tentunya. Aku belum puas jika hanya kakinya saja yang tak berfungsi. Dia layak mendapatkan hukuman yang lebih parah dar
##BAB 85 Mengobrol dengan Rosa“Nayla ... maafkan aku,” ujar Hendra lirih. Terdengar menyayat di telingaku. Aku benci orang meminta maaf, aku bosan memberikan maaf terus-menerus.“Nggak usah dibahas, fokus sama menyetirmu, agar kita segera sampai!” Aku memalingkan wajahku menghadap ke jendela, tak ingin Hendra melihat bagaimana ada gurat kesedihan di sana.“Iya!” Hendra kembali fokus menyetir.Beberapa menit kemudian, kami telah sampai di kantor polisi, di mana Rosa menghabiskan sisa waktunya. Seorang petugas yang biasa menerimaku, menuntun kami masuk ke dalam ruangan berukuran 3x4 meter. Lima menit menunggu, seorang petugas berjenis kelamin wanita membawa Rosa menghadap padaku dan Hendra. Kami hanya diberi waktu lima belas menit untuk mengobrol. Ada bangku panjang menghadap ke dinding, aku duduk di sana. Sedangkan Hendra duduk berhadapan dengan Rosa yang disekat dengan triplek sebatas dada.“Akhirnya kamu datang juga. Nayla ternyata serius menepati janjinya padaku!” ujar Rosa dengan
##BAB 84 Menemui Rosa“Apa kau ingin bertemu dengan Rosa?” tanyaku dengan wajah sedatar mungkin. Padahal di dalam dada muncul rasa gejolak yang begitu aneh.“Iya, cepat atau lambat, aku harus menemuinya, Nay ... kenapa aku menjadi pria pengecut seperti ini?” Hendra menggeleng sembari menarik rambutnya dengan kedua tangan.“Sudah, jika kamu terus-terusan begini, nggak akan menyelesaikan keadaan. Hidup harus maju ke depan, tak baik hidup terbayang dengan kenangan,” ujarku seraya mengulas senyum.“Terima kasih, Nay ... kamu selalu bisa menjadi penyejuk untukku,” kata Hendra membuatku melayang tinggi. Namun, dengan cepat kutepis semua perasaan itu, aku tak boleh terlarut dalam rayuan Hendra sebelum pria itu memberiku kepastian.“Sama-sama. Kapan pun kamu mau ke sana, kamu bisa hubungi aku. Dengan senang hati aku pasti akan mengantarmu ke sana.” “Baiklah, biarkan aku menenangkan hatiku terlebih dahulu, aku ingin menemuinya dalam keadaan siap. Aku tak ingin menghancurkannya lagi, kasihan d