##BAB 69 Mencerna BuktiKami melewati perjalanan dengan hening, hanya ditemani alunan lagu yang terputar dari tape mobil milik Gladys. Kami hanya berbicara seperlunya, seperti ketika Gladys menanyakan arah jalan untuk menuju ke rumahku dan aku hanya menjawab dengan singkat. Hingga kami telah sampai di pekarangan rumahku.“Oh, ya. Boleh aku minta nomor WhatsApp nggak, Mbak? Untuk kusave, siapa tahu butuh atau perlu next time,” kata Gladys ketika aku sedang melepaskan set belt yang mengikat tubuhku.Aku mengangguk, “Tentu saja.”Aku pun menyebutkan sebaris angka dan Gladys bergegas mengetikkan ke dalam ponselnya.“Oke, sudah aku chat. Save, ya!” katanya dengan senyum sumringah.“Oke!” Aku pun turun dari mobil dan tak lupa mengucapkan rasa terima kasih padanya.“Makasih banyak, ya. Mau turun mampir dulu? Mungkin mau ngincip air di rumahku?” tawarku tentu saja hanya basa-basi.“Nggak usah, deh, Mbak. Aku mau ke rumah Reno. Next time aja kali, ya,” kata Gladys seraya melirikku sekilas.“O
##BAB 70 Misteri PonselKembali aku tajamkan pendengaranku, benar itu Gilang sedang berbincang dengan Mas Frengky. Tapi, semakin ke sini suara Gilang semakin tak terdengar jelas. Hanya suaranya yang mengatakan antara iya, tidak dan mungkin, itu saja yang terdengar jelas dalam rekaman. Hal ini tentu saja membuatku semakin penasaran. Tak menunggu waktu lama, aku bergegas memutar rekaman suara yang terakhir, hanya berdurasi tak sampai lima menit.Entah kenapa, perasaanku menjadi tak karuan. Tanganku sedikit gemetar ketika menekan tombol play untuk rekaman suara yang terakhir.Terdengar suara Mas Frengky bersama Rosa. Yang sanggup membuat jantungku terasa berkali lipat lebih cepat dari biasanya.“Bagaimana? Sudah kamu masukkan kan obatnya ke dalam mie instan Cahaya?” Suara itu pertama kali dibuka oleh suara Rosa. “Tenang saja, aman. Malah aku berikan dua kali dari biasanya,” sahut suara Mas Frengky tanpa beban.Keparat! Bagaimana bisa seorang Ayah bertindak seperti itu kepada anak kandun
##BAB 71 Tentang VanoSetelah tertidur beberapa waktu, aku pun terbangun saat suara ring tone di ponselku terdengar. Rupanya Hendra yang menelepon.“Halo ....”“Halo, Nay ... Assalamualaikum. Maaf, aku ganggu nggak?” tanya Hendra seperti tak enak. Mungkin suara serakku khas bangun tidur bisa dia tangkap dari sana.“Waalaikumsalam. Ehm ... nggak juga. Kenapa?” “Lusa jadi ikut nggak, nih? Tawaranku masih berlaku loh, acara pertunangan Gladys dengan Reno dipercepat jadi lusa. Entah bagaimana ceritanya, Gladys tiba-tiba berubah pikiran. Kamu mau ikut?” tawar Hendra dengan suara khasnya.“Iya, nanti aku kabarin. Karena besok aku masih harus ke tempat Rosa, sih. Khawatir waktunya mepet. Lagian aku mah siapa, bukan keluarga inti juga. Aku malu,” sergahku dengan wajah yang entahlah.“Kenapa harus malu? Aku yang mengajakmu. Kamu teman dekatku. Bukan sebagai tamu di sana nanti, santai aja. Anggap saja kamu nggak pernah merasa kenal dengan mereka. Bukan begitu?” tanya Hendra seraya terkekeh.“I
##BAB 72 Dilamar HendraPagi sekali aku sudah bersiap untuk pergi ke Kantor Polisi, Hendra yang akan menjemputku, aku juga sudah menyuruh Gilang untuk datang, guna memberikan keterangan tambahan di depan petugas kepolisian nanti.Mobil yang kami tumpangi berhenti di pelataran. Aku bergegas turun dan masuk ke dalam. Sedangkan Hendra hanya mengekor di belakangku.Setelah menyampaikan maksud kedatanganku ke sini, seorang petugas yang bertugas mengatasi perihal maksudku langsung menyuruhku duduk, dia sudah siap dengan beberapa file dan laptop. Aku pun menerangkan semuanya, tak lupa juga menyerahkan semua bukti yang sudah berhasil aku temukan. Juga kedua ponsel milik Mas Frengky dan Rosa. Gilang rupanya menyusul dan langsung masuk, dia juga dimintai beberapa keterangan oleh petugas, tampak dari banyaknya pertanyaan yang diulang-ulang, dengan sigap Gilang mampu menjawab dengan tenang. Sebenarnya aku sempat curiga dengan Gilang, entah kenapa aku punya sedikit insting yang tidak beres padanya
##BAB 73 Pesta PertunanganSelepas pergi dengan Hendra hampir seharian, akhirnya aku sampai juga di rumah dan bertemu dengan kasur empuk milikku. Aku merebahkan tubuhku di sana, jantungku semakin tak terkendali sejak tadi. Entahlah, apa yang aku rasakan?Besok Hendra mengajakku bertemu dengan keluarga besarnya. Tentu saja dalam rangka acara pertunangan Gladys dengan Reno. Mengingat Gladys, tiba-tiba saja membuatku teringat sesuatu. Aku bergegas berselancar di ponsel yang ada dalam genggaman, mencari kontak Gladys dan mengirimkan sesuatu padanya.[Hai, Dys. Apa kabar? Semoga besok lancar, ya, acaranya. Aku hanya ingin memberimu satu bukti, seperti yang sudah aku ceritakan waktu lalu. Benar dugaan ku, jika memang Mas Frengky turut andil besar dalam kasus percobaan pembunuhan putri kandungnya sendiri. Aku harap kamu bisa menentukan keputusan, mana yang benar menurutmu. Selamat beristirahat, semoga harimu menyenangkan!]Kukirim beberapa rekaman suara Mas Frengky bersama Rosa yang sudah ak
##BAB 74 Gladys AnehSesampainya di kediaman Hendra, alias orang tuanya. Aku mendecak kagum, rumah itu begitu megah bak istana dengan aksen bangunan Eropa. Pilar begitu tinggi dan kokoh menampilkan kesan kuat. Hendra menggandengku masuk ke dalam, tak begitu banyak yang hadir. Hanya ada beberapa orang berlalu lalang. Mungkin masih bagian keluarga Hendra, dari pihak Mami tirinya. Aku pun diperkenalkan sebagai teman dekat oleh Hendra, Papa Hendra orang yang ramah, begitu juga dengan Mami tirinya alias Ibu kandung Gladys. Wanita dengan tatanan glamor dan berkelas itu tampak cantik di usianya yang tak lagi muda. Dia juga ramah, tak seperti kebanyakan cerita tentang Ibu tiri yang selama ini terngiang.“Nayla ... Saya sering dengar Hendra beberapa kali bercerita tentang kamu. Apa kamu orang yang spesial untuk Hendra?” tanya Papa Hendra tiba-tiba.Wajahku merona, aku tak sanggup memalingkan wajah. Akhirnya aku hanya tersenyum sambil sesekali menunduk.“Ih, enggak. Apaan sih, Pa. Perasaan aku
##BAB 75 Pengakuan GladysSetelah suasana sedikit mereda karena beberapa kerabat pun sudah undur diri. Hendra menggamit lenganku untuk duduk bergabung bersama keluarga lainnya. Ada Papa Hendra, Mami Gladys, Gladys dan juga dua orang perempuan lain setengah baya yang kutahu mungkin saudara Maminya Gladys.“Duduk, sini gabung sama kami,” ajak Papa Hendra dengan senyum manisnya.Aku mengangguk sopan, Vano masih saja anteng dalam pelukan Hendra. Mereka tampak hangat dengan hubungan sedekat itu.Aku mengambil duduk di sebelah Hendra, Gladys masih menunduk, matanya terlihat mengembun. Sepertinya dia sedang bersedih.Cukup lama hening di antara kami, hingga suara Mami Gladys berhasil memecah keheningan. “Kenapa kamu membatalkan acara ini?” tanya Mami Gladys membelai lembut pipi Gladys.Wanita itu mendongak, butiran air mata yang sebening kristal tampak terjatuh, gadis itu terisak. Mami Gladys bergegas merengkuh putri semata wayangnya ke dalam pelukan. “Sudah, tenanglah. Tak apa, semua ini
##BAB 76 Bu Wak kenapa?“Bu Wak kenapa, Bu?” teriakku lebih kencang, aku tak peduli saat Hendra menatapku dengan pandangan khawatir dan bingung.“Mbak Nayla di mana, toh? Cepet pulang, Mbak. Ini Bu Waknya pingsan apa bagaimana, biar saya panggilkan warga dulu, ya!”Tit.Panggilan terputus begitu saja, tanpa aba-aba Bu RT mengakhiri panggilan, membuatku semakin cemas.Begitu kembali ke layar utama, aku bergegas menekan aplikasi penyambung CCTV dari rumah, yang tersambung di dalam ponselku. Segera aku melihat apa yang sebenarnya terjadi. Aku menekan gambar yang menunjukkan kamar Bu Wak alias kamar yang ditempati Rosa dulu.Bu Wak sudah tergeletak di sana, tak berkutik. Aku masih saja melihat video yang merekam kejadian dengan jelas. Tak begitu lama, Bu RT masuk bersama beberapa warga dan menggotong tubuh Bu Wak untuk dinaikkan ke a
EPILOGEnam bulan kemudian ....“Pagi Sayang, have a nice day!” Aku sedikit kaget saat Hendra alias pria yang tengah sah menjadi imam ku memeluk pinggangku dari belakang. Sontak wajahku memerah, dia selalu saja berhasil membuat diriku melayang tinggi hingga menembus langit ketujuh.“Ngagetin aja, pagi juga, Mas!” sahutku seraya melanjutkan aktivitas mengiris daun bawang untuk pelengkap telur dadar sebagai sarapan pagi ini.Ya ... setelah menikah dengan Hendra selama hampir enam bulan ini, aku baru tahu bahwa dia suka sekali dengan telur dadar yang dicampur irisan daun bawang. Seakan tak pernah bosan, hampir setiap hari dia menginginkan masakan itu di setiap pagi untuk memenuhi asupan nutrisinya. Terkadang juga aku heran, bagaimana bisa lelaki dari keluarga berada dan bergelimang harta bisa mempunyai makanan favorit berupa telur ayam sederhana. Kenapa bukan masakan ala western atau mungkin makanan dengan gizi lengkap yang seimbang. “Kok diem? Ngelamun, ya?” tanya Hendra yang kini mend
##BAB 91 Akhir KisahBerkali-kali aku menghubungi Hendra, hingga puluhan panggilanku tak ada satu pun yang dijawab. Sampai pusing aku berjalan mondar-mandir bak setrika. Bu Wak bingung melihat tingkahku yang tak karuan. “Kenapa, toh, Ibu lihat dari tadi maju mundur kayak orang bingung. Ada masalah?” tanya Bu Wak terlihat perhatian, seperti biasa.Aku menggeleng, tentu saja hal seperti ini tak mungkin aku sampaikan kepada Bu Wak. Biarlah ini menjadi urusan pribadiku. Aku beranjak menuju ke kamar, tiba-tiba saja air mataku tumpah tanpa sebab. Aku tak tahu, apa yang aku rasakan hingga tiba-tiba menangis tanpa alasan. Masih dalam genggaman, kulihat layar ponsel yang masih sepi, tak ada tanda-tanda Hendra menghubungi ku kembali. Apa yang dia lakukan sebenarnya di sana?Hingga kecapekan menangis, membuatku ketiduran. Entah sudah berapa jam aku tertidur, ketika bangun ponselku sudah dipenuhi panggilan tak terjawab dari Hendra. Aku tak mendengarnya karena ponselku masih berada dalam mode sil
##BAB 90 Suara Wanita MencurigakanSUARA WANITA MENCURIGAKANANAKKU MENJADI SAKSI MATA PERSELINGKUHAN SUAMIKU (S2)“Kapan kamu siap untuk menikah? Mungkin kamu berkeinginan memilih tanggal yang cantik?” ucap Hendra.“Terserah saja, yang penting jadi menikah. Semua tanggal itu baik, ‘kan?” ujarku sembari tersenyum.“Iya juga, Papa sudah siap memfasilitasi semuanya. Aku hanya perlu menyiapkan mahar beserta mas kawin. Kamu mau apa?” tanya Hendra menatapku intens.Kami bertemu kembali di rumahku, setelah tiga hari dari rumah Ayah kemarin. Hendra pulang ke rumah Papanya untuk mengabarkan keputusanku tempo lalu. Alhamdulillah akhirnya Tante Sofia pun ikut menyetujui walaupun aku tahu mungkin dia terpaksa.“Yakin nih, aku bebas pilih sendiri mas kawinnya?” tanyaku dengan senyum menggoda.“Dengan senang hati!” Hendra menaik-turunkan alisnya memandangku.“Aku hanya bercanda, terserah kamu saja, deh!” ucapku seraya tertawa.“Bagaimana kalau pabrik usahaku saja yang kujadikan mahar?” tawar Hendr
##BAB 89 Keputusan NaylaKeesokan harinya, Hendra benar-benar serius dengan ucapannya. Pagi-pagi sekali dia sudah menjemputku, kami berencana akan pergi ke rumah Ayah. Berdua saja dan kali ini menggunakan mobilku.“Udah siap? Berangkat sekarang, ya?” tanya Hendra yang kini sudah berpakaian rapi, yakni kemeja lengan panjang, celana bahan dan sepatu pantofel. Menurutku dia lebih mirip seperti orang yang akan melakukan interview di perusahaan besar dari pada bertemu calon mertua. Eh ....Ah, membayangkan Hendra akan menjadi menantu Ayahku saja sudah membuatku berdetak hebat tak karuan begini. Aku benar-benar dibuat mabuk kepayang dengan pesonanya.“Yuk!” seruku bersemangat.Kami menempuh perjalanan sekitar dua jam, aku sengaja tak menghubungi Ayah dan Ibu jika ingin ke sana. Biar ini menjadi surprise nantinya. Hendra tampak gusar, beberapa kali mengusap wajahnya dengan handuk kecil berwarna hijau muda. Padahal tak ada peluh yang menetes, tapi ... entahlah apa yang dia bersihkan.“Kamu ke
##BAB 88 Melamar Nayla“Gimana, Nay? Kapan aku bisa menemui orang tuamu?” tanya Hendra membuatku terperangah. Rupanya dia serius dengan niatannya. Aku pun tampak berpikir, tak ada salahnya untuk mencoba. Lagian, bukankah ini memang tujuan awalku untuk memberikan balasan pada Rosa? Aku tersenyum menyeringai.“Kalau kamu serius, bisa temui orang tuaku besok. Di sana aku akan memberimu keputusan,” kataku dengan senyum mengembang. Hendra terlihat antusias, dia melirik ke arah Papanya yang diangguki dengan senyuman merekah. Sorot bahagia sangat terpancar dari netranya.“Oke, besok aku akan menemui kedua orang tuamu untuk meminta restu. Aku serius ini, Nay. Jangan pernah anggap niat baik ku sekedar main-main,” kata Hendra terdengar mengintimidasi. Aku hanya merespon dengan anggukan. Aku juga serius, meskipun niat sampingan juga karena iseng untuk balas dendam kepada Rosa. Setelah mengobrol banyak hal, aku memutuskan untuk mengajak Hendra pulang. Sebelum ke rumah, aku ingin mampir ke butik
##BAB 87 Pernikahan GladysHari ini Hendra akan menjemput ku untuk menghadiri pesta pernikahan Gladys. Sengaja aku tak mengajak Vano dan Bu Wak, tentu saja malas jika harus berhadapan lagi dengan Tante Sofia. Untuk sementara ini, aku akan menghindarinya terlebih dahulu. Aku mengenakan gamis bertajuk glamor mirip yang dipakai salah satu artis membahana. Tak lupa perhiasan dan cincin berlian tersemat manis di jari-jariku. Aku pun memakai hijab yang senada dengan warna gamisku. Tas bermerek dengan harga puluhan juta tak lupa bertengger manis di lenganku. Perfect sekali. Aku sengaja ingin tampil mewah agar tak selalu direndahkan, apalagi di mata Tante Sofia. Sudah cukup dia menghina diriku serta keluarga kecilku.Aku menaiki mobil Hendra dengan hati-hati. Berpakaian mewah seperti ini memang sedikit ribet dan harus tampil dengan elegan. Hendra menatapku takjub hingga tak berkedip. Kami menuju ke arah lokasi dengan ditemani obrolan renyah dan santai. Hendra tampaknya mulai kembali ceria dan
##BAB 86 Persepsi NaylaSaat aku membuka mata, rupanya sudah hampir sampai di rumah. Cukup lama juga aku tertidur, mungkin efek banyak pikiran membuatku susah tidur dari kemarin. Baru sekarang aku bisa tidur nyenyak meskipun sebentar, mungkin karena pikiranku yang plong. Sebelum turun, Hendra sempat mengingatkan untuk mengajak diriku hadir di acara pernikahan Reno dan Gladys yang akan diselenggarakan minggu depan. Aku belum mencari tahu bagaimana informasi perkembangan dari hukuman Mas Frengky. Mungkinkah Gladys tetap pada pendiriannya untuk membebaskan Mas Frengky? Atau berpura-pura tak peduli lagi, entahlah. Yang pasti, menurut pengacaraku bukti yang aku berikan beberapa waktu lalu sudah cukup kuat dan akurat untuk kembali memberikan hukuman tambahan buat Mas Frengky. Aku ingin lelaki durjana itu menerima hukuman yang pantas. Selain kedua kakinya yang tak berfungsi tentunya. Aku belum puas jika hanya kakinya saja yang tak berfungsi. Dia layak mendapatkan hukuman yang lebih parah dar
##BAB 85 Mengobrol dengan Rosa“Nayla ... maafkan aku,” ujar Hendra lirih. Terdengar menyayat di telingaku. Aku benci orang meminta maaf, aku bosan memberikan maaf terus-menerus.“Nggak usah dibahas, fokus sama menyetirmu, agar kita segera sampai!” Aku memalingkan wajahku menghadap ke jendela, tak ingin Hendra melihat bagaimana ada gurat kesedihan di sana.“Iya!” Hendra kembali fokus menyetir.Beberapa menit kemudian, kami telah sampai di kantor polisi, di mana Rosa menghabiskan sisa waktunya. Seorang petugas yang biasa menerimaku, menuntun kami masuk ke dalam ruangan berukuran 3x4 meter. Lima menit menunggu, seorang petugas berjenis kelamin wanita membawa Rosa menghadap padaku dan Hendra. Kami hanya diberi waktu lima belas menit untuk mengobrol. Ada bangku panjang menghadap ke dinding, aku duduk di sana. Sedangkan Hendra duduk berhadapan dengan Rosa yang disekat dengan triplek sebatas dada.“Akhirnya kamu datang juga. Nayla ternyata serius menepati janjinya padaku!” ujar Rosa dengan
##BAB 84 Menemui Rosa“Apa kau ingin bertemu dengan Rosa?” tanyaku dengan wajah sedatar mungkin. Padahal di dalam dada muncul rasa gejolak yang begitu aneh.“Iya, cepat atau lambat, aku harus menemuinya, Nay ... kenapa aku menjadi pria pengecut seperti ini?” Hendra menggeleng sembari menarik rambutnya dengan kedua tangan.“Sudah, jika kamu terus-terusan begini, nggak akan menyelesaikan keadaan. Hidup harus maju ke depan, tak baik hidup terbayang dengan kenangan,” ujarku seraya mengulas senyum.“Terima kasih, Nay ... kamu selalu bisa menjadi penyejuk untukku,” kata Hendra membuatku melayang tinggi. Namun, dengan cepat kutepis semua perasaan itu, aku tak boleh terlarut dalam rayuan Hendra sebelum pria itu memberiku kepastian.“Sama-sama. Kapan pun kamu mau ke sana, kamu bisa hubungi aku. Dengan senang hati aku pasti akan mengantarmu ke sana.” “Baiklah, biarkan aku menenangkan hatiku terlebih dahulu, aku ingin menemuinya dalam keadaan siap. Aku tak ingin menghancurkannya lagi, kasihan d