##BAB 75 Pengakuan GladysSetelah suasana sedikit mereda karena beberapa kerabat pun sudah undur diri. Hendra menggamit lenganku untuk duduk bergabung bersama keluarga lainnya. Ada Papa Hendra, Mami Gladys, Gladys dan juga dua orang perempuan lain setengah baya yang kutahu mungkin saudara Maminya Gladys.“Duduk, sini gabung sama kami,” ajak Papa Hendra dengan senyum manisnya.Aku mengangguk sopan, Vano masih saja anteng dalam pelukan Hendra. Mereka tampak hangat dengan hubungan sedekat itu.Aku mengambil duduk di sebelah Hendra, Gladys masih menunduk, matanya terlihat mengembun. Sepertinya dia sedang bersedih.Cukup lama hening di antara kami, hingga suara Mami Gladys berhasil memecah keheningan. “Kenapa kamu membatalkan acara ini?” tanya Mami Gladys membelai lembut pipi Gladys.Wanita itu mendongak, butiran air mata yang sebening kristal tampak terjatuh, gadis itu terisak. Mami Gladys bergegas merengkuh putri semata wayangnya ke dalam pelukan. “Sudah, tenanglah. Tak apa, semua ini
##BAB 76 Bu Wak kenapa?“Bu Wak kenapa, Bu?” teriakku lebih kencang, aku tak peduli saat Hendra menatapku dengan pandangan khawatir dan bingung.“Mbak Nayla di mana, toh? Cepet pulang, Mbak. Ini Bu Waknya pingsan apa bagaimana, biar saya panggilkan warga dulu, ya!”Tit.Panggilan terputus begitu saja, tanpa aba-aba Bu RT mengakhiri panggilan, membuatku semakin cemas.Begitu kembali ke layar utama, aku bergegas menekan aplikasi penyambung CCTV dari rumah, yang tersambung di dalam ponselku. Segera aku melihat apa yang sebenarnya terjadi. Aku menekan gambar yang menunjukkan kamar Bu Wak alias kamar yang ditempati Rosa dulu.Bu Wak sudah tergeletak di sana, tak berkutik. Aku masih saja melihat video yang merekam kejadian dengan jelas. Tak begitu lama, Bu RT masuk bersama beberapa warga dan menggotong tubuh Bu Wak untuk dinaikkan ke a
##BAB 77 Misteri KematianSetelah berduka selama beberapa hari karena meninggalnya Bu Wak, kini aku sudah merasa lebih baik. Aku tetap mencoba untuk ikhlas, atas kehilangan orang-orang terdekatku dalam kurun waktu belakangan ini. Meskipun sulit untuk bangkit, terpaksa aku harus tegar menjalani takdir yang sudah digariskan untukku.Aku memutuskan mendatangi Rosa, di hari ke tujuh kematian Bu Wak. Tak peduli wanita itu akan bagaimana menyikapi, aku wajib memberitahunya. Dengan ditemani Hendra, aku pergi ke tempat Rosa. Wanita itu terlihat lebih kurus dari terakhir kali aku menjumpainya waktu lalu.Rosa menatapku dengan mata yang berbinar, mungkin dia mengira bahwa aku akan memberinya kabar baik sesuai permintaannya. Aku melempar senyum ke arahnya, dia duduk di seberangku dengan tak sabar. Berkali-kali Rosa membetulkan letak duduknya, mencari kenyamanan.“Akhirnya ... kamu datang juga. Setelah sem
##BAB 78 Kisah Kelam“Vano, kenapa ada di sini?” Mataku mengerjap saat Vano berdiri di depan pintu kamarku. Balita itu menggeleng, lalu menunjuk pintu kamarnya yang juga ditempati oleh Bu Wak. Kening ku berkerut, apa maksud dari Vano yang tiba-tiba mengetuk pintu kamarku dan menunjuk ke arah kamarnya?Aku bergegas menggendong Vano dan menuju ke kamarnya. Ruangan dengan cat berwarna pelangi itu tampak lengang. Terlihat selimut dan bantal yang sedikit berantakan di atas kasur. Tak ada Bu Wak di sana, ke mana dia pergi? Aku menatap Vano yang kembali tertidur di pundakku. Rupanya dia masih mengantuk, mungkin bocah ini terbangun dan mendapati Bu Wak tak ada, sehingga mengetuk pintu kamarku untuk mencari teman. Dengan lembut aku merebahkan Vano ke atas tempat tidur. Kuusap perlahan rambutnya dan kucium keningnya. Berharap dia akan tidur nyenyak di waktu yang hampir pagi seperti ini.Setelah memastikan Vano pulas, a
##BAB 79 Anak PerempuanKeesokan harinya ....Pagi sekali Bu Wak sudah menyiapkan nasi goreng dengan telur mata sapi dan timun sebagai pelengkap. Mungkin seusai ngobrol denganku dia tak lanjut tidur. Berbeda denganku yang langsung terpejam bahkan tak sempat terjaga untuk menunaikan salat subuh. Suara alat masak saling beradu, aroma harus khas rempah menguar hingga ke ruang tengah. Aku baru saja bangun dari tidur yang tak lebih dari 4 jam. Aku berniat mandi sebelum melanjutkan untuk sarapan. Setelah mandi dan berpakaian khas menghadiri pesta, aku duduk di ruang makan sembari menunggu Bu Wak yang sedang memandikan Vano.Hingga beberapa menit kemudian, kami sudah duduk melingkar menikmati nasi goreng buatan Bu Wak. Vano tampak segar dan wangi karena habis mandi. Bu Wak tak banyak bicara setelah peristiwa curhat kemarin. Mungkin masih memerlukan waktu untuk kembali menata hatinya dari kenangan masa lalu.&
##BAB 80 Di Luar Ekspetasi“Ehm ....”“Gimana?” tanya Bu Wak lirih.“Jangan dulu,” ujarku setengah berbisik.“Kenapa?” Bu Wak menatapku dengan lekat.“Kalian ngapain bisik-bisik gitu? Berasa diintai sama agen, deh,” kata Hendra mengagetkan kami berdua.Aku tersenyum masam lalu menggeleng ke arah Bu Wak, sepertinya Bu Wak paham. Dia langsung mengangguk lalu diam seribu bahasa.“Biasa lah, urusan wanita,” sahutku tersenyum simpul.“Gitu, ya? Wanita memang ribet,” kata Hendra seraya terkekeh.Aku menggenggam tangan Bu Wak yang terasa dingin. Entah karena suhu AC dari mobil atau memang karena menahan rasa gugup. Aku tak tahu.“Nay, bisa kamu pindah ke depan? Atau mungkin Vano yang
##BAB 81 Pertunangan Berujung Murka“Stop it, Mami!” ulang wanita cantik itu yang ternyata Gladys. Dengan wajah memerah dia melangkah tergesa-gesa menghampiri kami. Tante Sofia hanya memalingkan wajah dari tatapan menusuk putrinya. “Apa yang Mami perbuat? Malu!” ketus Gladys tak suka.“Kamu ngapain, sih, pakai ikut ke sini? Udah sana, cepet! Acara mau dimulai,” kata Tante Sofia dengan nada memerintah.“Gladys nggak suka Mami semena-mena kayak gitu!” ujar Gladys memperingatkan.“Euh!” sahut Tante Sofia tak peduli.Hendra menarik lenganku untuk menjauh dari Mama tirinya. Aku merangkul Bu Wak mengikuti langkah Hendra. Untung saja hanya beberapa petugas katering yang berlalu-lalang menyaksikan kejadian tadi. Belum ada tamu undangan yang hadir, atau mungkin memang tak mengundang tamu luar, sepertinya begitu. Di sini hanya ada kerabat Tante Sofia beserta keponakan, ada juga kerabat dari Papanya Hendra. Semua hanya diam dan sibuk berkutat dengan aktivitas masing-masing. Mungkin mereka sudah
##BAB 82 Pengakuan?“Mm—Maksudnya bagaimana, toh? Besan ini ternyata humoris juga orangnya,” kata Bu Romlah seraya tersenyum. Namun, wajahnya tak bisa menyembunyikan rasa takutnya.“Kamu kira saya bercanda? Apanya juga yang lucu?” tanya Tante Sofia terlihat sewot. Rasanya aku ingin tertawa melihat mantan ibu mertuaku bergidik ngeri.“Ya sudah, toh, tak usah dibesar-besarkan. Yang penting Gladys jadi menikah dengan Reno, itu kuncinya. Masak anak punya niat baik mau menjalankan ibadah, kita larang. Bener nggak, San?” kata Bu Romlah seraya mengerjap.“Bener itu, Tante!” imbuh Reni yang sedari tadi diam kini ikut menyahut.“Saya nggak suka, ya, dipanggil SanSan! Dan saya juga bukan Tante kamu!” tunjuk Tante Sofia ke wajah Reni.“Ih, Mami! Please save your attitude, yes!” ucap Gladys mengingatkan Tante Sofia.Setelahnya, mereka hanya diam dilanjut dengan kepergian Tante Sofia yang beranjak dari sana. Terdengar suara Bu Romlah menenangkan Gladys. Ah ... aku sudah hafal, pasti keluarga benal