##BAB 78 Kisah Kelam
“Vano, kenapa ada di sini?” Mataku mengerjap saat Vano berdiri di depan pintu kamarku. Balita itu menggeleng, lalu menunjuk pintu kamarnya yang juga ditempati oleh Bu Wak. Kening ku berkerut, apa maksud dari Vano yang tiba-tiba mengetuk pintu kamarku dan menunjuk ke arah kamarnya?
Aku bergegas menggendong Vano dan menuju ke kamarnya. Ruangan dengan cat berwarna pelangi itu tampak lengang. Terlihat selimut dan bantal yang sedikit berantakan di atas kasur. Tak ada Bu Wak di sana, ke mana dia pergi? Aku menatap Vano yang kembali tertidur di pundakku. Rupanya dia masih mengantuk, mungkin bocah ini terbangun dan mendapati Bu Wak tak ada, sehingga mengetuk pintu kamarku untuk mencari teman. Dengan lembut aku merebahkan Vano ke atas tempat tidur. Kuusap perlahan rambutnya dan kucium keningnya. Berharap dia akan tidur nyenyak di waktu yang hampir pagi seperti ini.
Setelah memastikan Vano pulas, a
##BAB 79 Anak PerempuanKeesokan harinya ....Pagi sekali Bu Wak sudah menyiapkan nasi goreng dengan telur mata sapi dan timun sebagai pelengkap. Mungkin seusai ngobrol denganku dia tak lanjut tidur. Berbeda denganku yang langsung terpejam bahkan tak sempat terjaga untuk menunaikan salat subuh. Suara alat masak saling beradu, aroma harus khas rempah menguar hingga ke ruang tengah. Aku baru saja bangun dari tidur yang tak lebih dari 4 jam. Aku berniat mandi sebelum melanjutkan untuk sarapan. Setelah mandi dan berpakaian khas menghadiri pesta, aku duduk di ruang makan sembari menunggu Bu Wak yang sedang memandikan Vano.Hingga beberapa menit kemudian, kami sudah duduk melingkar menikmati nasi goreng buatan Bu Wak. Vano tampak segar dan wangi karena habis mandi. Bu Wak tak banyak bicara setelah peristiwa curhat kemarin. Mungkin masih memerlukan waktu untuk kembali menata hatinya dari kenangan masa lalu.&
##BAB 80 Di Luar Ekspetasi“Ehm ....”“Gimana?” tanya Bu Wak lirih.“Jangan dulu,” ujarku setengah berbisik.“Kenapa?” Bu Wak menatapku dengan lekat.“Kalian ngapain bisik-bisik gitu? Berasa diintai sama agen, deh,” kata Hendra mengagetkan kami berdua.Aku tersenyum masam lalu menggeleng ke arah Bu Wak, sepertinya Bu Wak paham. Dia langsung mengangguk lalu diam seribu bahasa.“Biasa lah, urusan wanita,” sahutku tersenyum simpul.“Gitu, ya? Wanita memang ribet,” kata Hendra seraya terkekeh.Aku menggenggam tangan Bu Wak yang terasa dingin. Entah karena suhu AC dari mobil atau memang karena menahan rasa gugup. Aku tak tahu.“Nay, bisa kamu pindah ke depan? Atau mungkin Vano yang
##BAB 81 Pertunangan Berujung Murka“Stop it, Mami!” ulang wanita cantik itu yang ternyata Gladys. Dengan wajah memerah dia melangkah tergesa-gesa menghampiri kami. Tante Sofia hanya memalingkan wajah dari tatapan menusuk putrinya. “Apa yang Mami perbuat? Malu!” ketus Gladys tak suka.“Kamu ngapain, sih, pakai ikut ke sini? Udah sana, cepet! Acara mau dimulai,” kata Tante Sofia dengan nada memerintah.“Gladys nggak suka Mami semena-mena kayak gitu!” ujar Gladys memperingatkan.“Euh!” sahut Tante Sofia tak peduli.Hendra menarik lenganku untuk menjauh dari Mama tirinya. Aku merangkul Bu Wak mengikuti langkah Hendra. Untung saja hanya beberapa petugas katering yang berlalu-lalang menyaksikan kejadian tadi. Belum ada tamu undangan yang hadir, atau mungkin memang tak mengundang tamu luar, sepertinya begitu. Di sini hanya ada kerabat Tante Sofia beserta keponakan, ada juga kerabat dari Papanya Hendra. Semua hanya diam dan sibuk berkutat dengan aktivitas masing-masing. Mungkin mereka sudah
##BAB 82 Pengakuan?“Mm—Maksudnya bagaimana, toh? Besan ini ternyata humoris juga orangnya,” kata Bu Romlah seraya tersenyum. Namun, wajahnya tak bisa menyembunyikan rasa takutnya.“Kamu kira saya bercanda? Apanya juga yang lucu?” tanya Tante Sofia terlihat sewot. Rasanya aku ingin tertawa melihat mantan ibu mertuaku bergidik ngeri.“Ya sudah, toh, tak usah dibesar-besarkan. Yang penting Gladys jadi menikah dengan Reno, itu kuncinya. Masak anak punya niat baik mau menjalankan ibadah, kita larang. Bener nggak, San?” kata Bu Romlah seraya mengerjap.“Bener itu, Tante!” imbuh Reni yang sedari tadi diam kini ikut menyahut.“Saya nggak suka, ya, dipanggil SanSan! Dan saya juga bukan Tante kamu!” tunjuk Tante Sofia ke wajah Reni.“Ih, Mami! Please save your attitude, yes!” ucap Gladys mengingatkan Tante Sofia.Setelahnya, mereka hanya diam dilanjut dengan kepergian Tante Sofia yang beranjak dari sana. Terdengar suara Bu Romlah menenangkan Gladys. Ah ... aku sudah hafal, pasti keluarga benal
##BAB 83 Akhirnya MengakuAku yang menyadari atmosfer panas bergegas mengalihkan pembicaraan. “Ya sudah kangen-kangenan nya dilanjut nanti, ya. Biar Bu Wak makan dulu, okay?” “Baik, Bu. Maaf, ya, Intan suka lupa waktu kalau udah ngobrol. Intan juga harus kembali bekerja. Baik, Intan ke belakang dulu. Nanti kalau Intan libur, boleh kita ketemu lagi ya, Mak? Intan masih pengen ngobrol sama Emak. Bu Nayla, permisi, ya ... maaf sekali lagi sudah mengganggu waktunya,” pamit Intan seraya tersenyum lalu meraih punggung tangan Bu Wak untuk dicium. Aku hanya mengangguk singkat, berharap gadis lugu itu segera pergi.Ceklek!Akhirnya aku bisa sedikit lega saat Intan benar-benar meninggalkan kami. Aku mencoba menenangkan degup jantungku yang tak beraturan semenjak tadi. Berusaha bersikap biasa dan melupakan kejadian barusan.“Ayo, Wak, makan yang banyak. Mau lauk apa?” tanyaku kembali mencairkan suasana yang sempat tegang.“Capjay aja, Nduk. Jangan banyak-banyak!” jawab Bu Wak seraya menyerahkan
##BAB 84 Menemui Rosa“Apa kau ingin bertemu dengan Rosa?” tanyaku dengan wajah sedatar mungkin. Padahal di dalam dada muncul rasa gejolak yang begitu aneh.“Iya, cepat atau lambat, aku harus menemuinya, Nay ... kenapa aku menjadi pria pengecut seperti ini?” Hendra menggeleng sembari menarik rambutnya dengan kedua tangan.“Sudah, jika kamu terus-terusan begini, nggak akan menyelesaikan keadaan. Hidup harus maju ke depan, tak baik hidup terbayang dengan kenangan,” ujarku seraya mengulas senyum.“Terima kasih, Nay ... kamu selalu bisa menjadi penyejuk untukku,” kata Hendra membuatku melayang tinggi. Namun, dengan cepat kutepis semua perasaan itu, aku tak boleh terlarut dalam rayuan Hendra sebelum pria itu memberiku kepastian.“Sama-sama. Kapan pun kamu mau ke sana, kamu bisa hubungi aku. Dengan senang hati aku pasti akan mengantarmu ke sana.” “Baiklah, biarkan aku menenangkan hatiku terlebih dahulu, aku ingin menemuinya dalam keadaan siap. Aku tak ingin menghancurkannya lagi, kasihan d
##BAB 85 Mengobrol dengan Rosa“Nayla ... maafkan aku,” ujar Hendra lirih. Terdengar menyayat di telingaku. Aku benci orang meminta maaf, aku bosan memberikan maaf terus-menerus.“Nggak usah dibahas, fokus sama menyetirmu, agar kita segera sampai!” Aku memalingkan wajahku menghadap ke jendela, tak ingin Hendra melihat bagaimana ada gurat kesedihan di sana.“Iya!” Hendra kembali fokus menyetir.Beberapa menit kemudian, kami telah sampai di kantor polisi, di mana Rosa menghabiskan sisa waktunya. Seorang petugas yang biasa menerimaku, menuntun kami masuk ke dalam ruangan berukuran 3x4 meter. Lima menit menunggu, seorang petugas berjenis kelamin wanita membawa Rosa menghadap padaku dan Hendra. Kami hanya diberi waktu lima belas menit untuk mengobrol. Ada bangku panjang menghadap ke dinding, aku duduk di sana. Sedangkan Hendra duduk berhadapan dengan Rosa yang disekat dengan triplek sebatas dada.“Akhirnya kamu datang juga. Nayla ternyata serius menepati janjinya padaku!” ujar Rosa dengan
##BAB 86 Persepsi NaylaSaat aku membuka mata, rupanya sudah hampir sampai di rumah. Cukup lama juga aku tertidur, mungkin efek banyak pikiran membuatku susah tidur dari kemarin. Baru sekarang aku bisa tidur nyenyak meskipun sebentar, mungkin karena pikiranku yang plong. Sebelum turun, Hendra sempat mengingatkan untuk mengajak diriku hadir di acara pernikahan Reno dan Gladys yang akan diselenggarakan minggu depan. Aku belum mencari tahu bagaimana informasi perkembangan dari hukuman Mas Frengky. Mungkinkah Gladys tetap pada pendiriannya untuk membebaskan Mas Frengky? Atau berpura-pura tak peduli lagi, entahlah. Yang pasti, menurut pengacaraku bukti yang aku berikan beberapa waktu lalu sudah cukup kuat dan akurat untuk kembali memberikan hukuman tambahan buat Mas Frengky. Aku ingin lelaki durjana itu menerima hukuman yang pantas. Selain kedua kakinya yang tak berfungsi tentunya. Aku belum puas jika hanya kakinya saja yang tak berfungsi. Dia layak mendapatkan hukuman yang lebih parah dar