##BAB 44 Operasi CahayaHari ini jadwal operasi Cahaya akan dilaksanakan, semoga saja hasilnya baik dan tak ada kendala serius. Aamiin, ya, Rabb.Ayah dan Gilang belum juga kembali dari kemarin, mereka juga tak memberi kabar apa pun. Aku jadi was-was memikirkan kondisi mereka.“Sarapan dulu, Mbak!” ujar Carissa membawa tiga bubur ayam di dalam sterefoam. Mungkin dia membelinya di kantin belakang.“Iya, Dek!” ujarku seraya beranjak dari kursi, menghampiri Carissa yang sedang asyik menikmati semangkuk bubur ayam di sofa.“Eh, Gilang belum kasih kabar?” tanyaku sambil membuka bubur ayam.Aroma khas membuat perutku keroncongan, nikmat sekali jika dilihat dari tampilannya yang begitu menggoda.“Belum, tuh. Terakhir kemarin kita chat, sih. Dia Cuma ngirimin ini, bentar,” kata Carissa seraya mengusap layar ponselnya dan mencari sesuatu.Dia menunjukkan ponselnya padaku, terpampang dengan jelas dua orang yang menjadi musuh bebuyutanku saat ini. Mas Frengky dan Rosa, tampak menunduk dan ketaku
##BAB 45 Nayla Terpuruk“Bagaimana kondisi putri saya, Dok?” tanyaku kepada Dokter.“Operasi sudah dilakukan, kami berhasil mengeluarkan darah yang membeku di kepalanya. Tapi, mohon maaf ....” Raut wajah Dokter terlihat tak lesu.“Kenapa, Dok? Anak saya baik-baik saja, kan?” tanyaku dengan panik.“Cahaya mengalami komplikasi, sebagian syarafnya sudah parah dan tidak bisa berfungsi sehingga menyebabkan lumpuh sebagian pada beberapa anggota tubuhnya. Kondisinya saat ini sedang kritis, kami harus melakukan perawatan secara intensif di ruang ICU. Tidak mungkin memindahkan Cahaya ke ruang kamar inap jika kondisinya belum sadar seperti ini. Ibu yang sabar, ya, banyak berdoa. Semoga ada mukjizat dari Allah untuk kesembuhan Cahaya.” Dokter menepuk pundak ku pelan, berusaha memberikan dorongan semangat kepadaku.“Apa tidak ada tindakan lain yang perlu dilakukan, Dok? Agar putriku bisa segera sadar dan kembali pulih seperti semula?” tanyaku dengan suara serak.“Mohon maaf, Bu. Bukannya kami ing
##BAB 46 Sidang PengadilanSetelah menghadiri undangan di Pengadilan untuk menerima akta cerai, aku pun bergegas menyusul Ayah ke kantor polisi. Biar saja Carissa fokus memantau kondisi Cahaya di Rumah sakit dengan ditemani Gilang. Aku yakin, adik perempuanku itu pasti kuat dan baik-baik saja. Apalagi ditambah dengan hadirnya tambatan hati, si Gilang. Anggap saja waktu pendekatan untuk mereka agar saling mengenal lebih jauh.Ibu tidak mau ikut, dia kekeh mau di rumah saja karena ingin merawat tanamanku di taman lantai atas, karena semenjak masalah ini datang dan Rosa pergi, taman menjadi tak terurus dan terbengkalai. Ibu memang suka sekali berkebun atau sekedar merawat tanaman hias, mungkin hobiku itu lah salah satu turunan darinya. Ya sudah, mau bagaimana lagi, jika Ibu ingin seperti itu. Akhirnya aku pergi sendiri dengan mengendarai mobil jazz kesayanganku.Sesampainya di Kantor Polisi, aku celingukan mencari keberadaan Ayah, hingga salah satu petugas berhasil membantuku. Aku dipers
##BAB 47 Pembelaan Frengky“Karena kamu terlalu sibuk dengan duniamu. Aku lelaki normal, Nay. Aku juga butuh perhatian dan kasih sayang darimu. Tapi kamu nggak bisa menuhin semua itu, hingga Rosa datang dan perlahan masuk ke dalam hubungan kita. Aku minta maaf, aku memang salah, tapi kamu juga harusnya mikir. Aku seperti ini juga karena ulahmu! Kamu pikir selama waktu empat bulan sedikit untuk melayani diri sendiri? Aku seorang suami, ingin istriku melayani seluruh keperluanku. Apa bedanya aku dengan lajang jika sudah mempunyai istri pun masih harus menghadapi semuanya sendiri. Kepergian Pelangi tak bisa kamu jadikan alasan, Nay. Bukan hanya kamu yang terpukul, aku juga. Bukan hanya kamu yang sedih dan terpuruk, aku juga merasakan, bahkan lebih dari yang kamu rasakan. Apa kamu nggak mikir? Bagaimana rasanya jadi aku? Setelah kepergian putriku, istriku pun seakan ikut pergi menyusul putriku. Raganya ada, tapi jiwanya seakan melayang turut serta terbawa sukma Pelangi. Aku hancur, Nay, a
##BAB 48 Pengakuan Rosa“Apa sekarang kamu mengingatnya?” tanya Rosa dengan wajah mengejek.“Apa maksud kamu? Hendra siapa?” kataku balik bertanya.Aku berusaha tenang, padahal ada rasa cemas bercampur dengan emosi yang meletup di dalam dada.“Cih ... tak usah lagi kamu berpura-pura. Apa kamu tak merasa bersalah karena sudah membuat masa depannya hancur?” Rosa memandangku dengan tatapan menyudutkan.“Aku tak paham dengan perkataanmu, sepertinya kamu sedang mengigau,” ujarku masih berusaha bersikap datar, seakan tak terjadi apa-apa.“Syailendra Wiratama, lelaki yang dengan tulus mencintai dan menyayangimu. Tapi, dengan angkuhnya kamu campakkan karena lebih memilih lelaki kaya pemilik Restoran di kota ini? Bukan begitu Nyonya Nayla yang sombong?” kata Rosa sembari berdecih. Matanya sinis menatapku dengan kilat amarah.“Tahu dari mana kamu tentang Hendra? Semua yang kamu omongkan hanyalah bullshit! Nggak usah ikut campur dalam hal pribadi orang lain yang sama sekali bukan ranahmu!” ujark
##BAB 49 Dendam Rosa“Saat aku merasakan sakitnya melahirkan dan bertaruh nyawa. Aku kembali ingat wajah Syailendra yang tengah tega membiarkanku menjalani ini semua sendirian. Hatiku seperti dihujam dengan belati tajam saat Vano lahir dan tumbuh tanpa kehadiran seorang Ayah. Apalagi setelahnya, Bapak menjadi penyakitan, tubuhnya semakin ringkih dan kurus karena memikirkan beban berat yang dia pikul. Bapak meninggal karena terlalu banyak mikir dan itu adalah kesalahanku. Dari situ aku berjanji, akan membalaskan semua dendam ini demi Bapak dan juga anakku, Vano. Aku ingin keadilan, agar semua yang terlibat denganku turut merasakan sakit yang aku rasa. Aku ingin semua yang telah menyakitiku, mendapatkan balasan yang lebih parah dari apa yang telah aku alami. Setelah kepergian Bapak, tekadku untuk menghancurkan mu semakin dalam. Aku rela bekerja serabutan mengambil cucian dari rumah ke rumah demi mengumpulkan uang untuk berangkat merantau kembali ke kota ini. Aku rela meninggalkan Ibu, A
##BAB 50 BuktiAku turun dari taxi dengan langkah terburu-buru, hingga lupa membayar argo yang tertera di dalam layar.Untung saja Ayah memaklumi dan mau mengerti. Aku sungguh tak peduli dengan sekitar. Yang ada dalam pikiranku saat ini hanya kondisi Cahaya.Dengan mengambil langkah lebar aku memasuki lorong rumah sakit, menuju lift yang akan membawaku ke lantai atas, di mana ruang ICU berada.Carissa tampak khawatir, wajahnya berurai air mata. Di sebelahnya ada Gilang yang turut menenangkan.“Bagaimana kondisi Cahaya? Dia baik-baik saja ‘kan?” tanyaku sembari memeluk Carissa.“Dokter masih menganalisa di dalam, Mbak. Ayo, kita saling berdoa! Cahaya pasti dalam keadaan yang Baik.” Carissa menuntunku untuk duduk di depan ruang.Ayah turut bersedih, aura wajahnya yang sendu terpancar dengan sangat jelas. “Apa aku boleh masuk?” tanyaku sembari menengok ke dalam pintu ruang ICU yang tertutup rapat.Tak seperti yang dikisahkan dalam sinetron biasanya, ruang ICU tembus pandang yang bisa di
##BAB 51 Keputusan DokterKembali lututku dibuat lemas oleh pernyataan Dokter mengenai kondisi Cahaya. Haruskah aku membawanya ke Singapura? Tapi tak mungkin, aku belum siap untuk semua, selain itu juga kemungkinan berhasil hanya sekitar 50%. Aku bingung, apa yang harus aku lakukan?Aku akan segera memberi tahu hal ini kepada Mas Frengky, lelaki biadab itu harus tahu, bagaimana fatalnya kesalahan yang sudah dia buat.Iya ... aku harus segera ke sana. Tapi, sebaiknya aku menunggu kedatangan Ayah dan Ibu saja dulu. Aku tak tega jika harus meninggalkan Carissa sendirian di sini. Carissa sama terpukulnya sepertiku. Bukan hanya kami, pasti semua orang yang mendengar kisah pilu Cahaya akan berlaku simpati. Kenapa takdir Cahaya harus serumit ini?Aku terduduk dengan lemas, hingga satu suara dari notifikasi ponsel mengagetkanku.Gilang memanggil ....Ada apa, ya?Tak menunggu lama, segera aku geser lambang hijau ke kanan. Menempelkan daun telingaku ke arah ponsel.“Ya ... Waalaikumsalam, ada
EPILOGEnam bulan kemudian ....“Pagi Sayang, have a nice day!” Aku sedikit kaget saat Hendra alias pria yang tengah sah menjadi imam ku memeluk pinggangku dari belakang. Sontak wajahku memerah, dia selalu saja berhasil membuat diriku melayang tinggi hingga menembus langit ketujuh.“Ngagetin aja, pagi juga, Mas!” sahutku seraya melanjutkan aktivitas mengiris daun bawang untuk pelengkap telur dadar sebagai sarapan pagi ini.Ya ... setelah menikah dengan Hendra selama hampir enam bulan ini, aku baru tahu bahwa dia suka sekali dengan telur dadar yang dicampur irisan daun bawang. Seakan tak pernah bosan, hampir setiap hari dia menginginkan masakan itu di setiap pagi untuk memenuhi asupan nutrisinya. Terkadang juga aku heran, bagaimana bisa lelaki dari keluarga berada dan bergelimang harta bisa mempunyai makanan favorit berupa telur ayam sederhana. Kenapa bukan masakan ala western atau mungkin makanan dengan gizi lengkap yang seimbang. “Kok diem? Ngelamun, ya?” tanya Hendra yang kini mend
##BAB 91 Akhir KisahBerkali-kali aku menghubungi Hendra, hingga puluhan panggilanku tak ada satu pun yang dijawab. Sampai pusing aku berjalan mondar-mandir bak setrika. Bu Wak bingung melihat tingkahku yang tak karuan. “Kenapa, toh, Ibu lihat dari tadi maju mundur kayak orang bingung. Ada masalah?” tanya Bu Wak terlihat perhatian, seperti biasa.Aku menggeleng, tentu saja hal seperti ini tak mungkin aku sampaikan kepada Bu Wak. Biarlah ini menjadi urusan pribadiku. Aku beranjak menuju ke kamar, tiba-tiba saja air mataku tumpah tanpa sebab. Aku tak tahu, apa yang aku rasakan hingga tiba-tiba menangis tanpa alasan. Masih dalam genggaman, kulihat layar ponsel yang masih sepi, tak ada tanda-tanda Hendra menghubungi ku kembali. Apa yang dia lakukan sebenarnya di sana?Hingga kecapekan menangis, membuatku ketiduran. Entah sudah berapa jam aku tertidur, ketika bangun ponselku sudah dipenuhi panggilan tak terjawab dari Hendra. Aku tak mendengarnya karena ponselku masih berada dalam mode sil
##BAB 90 Suara Wanita MencurigakanSUARA WANITA MENCURIGAKANANAKKU MENJADI SAKSI MATA PERSELINGKUHAN SUAMIKU (S2)“Kapan kamu siap untuk menikah? Mungkin kamu berkeinginan memilih tanggal yang cantik?” ucap Hendra.“Terserah saja, yang penting jadi menikah. Semua tanggal itu baik, ‘kan?” ujarku sembari tersenyum.“Iya juga, Papa sudah siap memfasilitasi semuanya. Aku hanya perlu menyiapkan mahar beserta mas kawin. Kamu mau apa?” tanya Hendra menatapku intens.Kami bertemu kembali di rumahku, setelah tiga hari dari rumah Ayah kemarin. Hendra pulang ke rumah Papanya untuk mengabarkan keputusanku tempo lalu. Alhamdulillah akhirnya Tante Sofia pun ikut menyetujui walaupun aku tahu mungkin dia terpaksa.“Yakin nih, aku bebas pilih sendiri mas kawinnya?” tanyaku dengan senyum menggoda.“Dengan senang hati!” Hendra menaik-turunkan alisnya memandangku.“Aku hanya bercanda, terserah kamu saja, deh!” ucapku seraya tertawa.“Bagaimana kalau pabrik usahaku saja yang kujadikan mahar?” tawar Hendr
##BAB 89 Keputusan NaylaKeesokan harinya, Hendra benar-benar serius dengan ucapannya. Pagi-pagi sekali dia sudah menjemputku, kami berencana akan pergi ke rumah Ayah. Berdua saja dan kali ini menggunakan mobilku.“Udah siap? Berangkat sekarang, ya?” tanya Hendra yang kini sudah berpakaian rapi, yakni kemeja lengan panjang, celana bahan dan sepatu pantofel. Menurutku dia lebih mirip seperti orang yang akan melakukan interview di perusahaan besar dari pada bertemu calon mertua. Eh ....Ah, membayangkan Hendra akan menjadi menantu Ayahku saja sudah membuatku berdetak hebat tak karuan begini. Aku benar-benar dibuat mabuk kepayang dengan pesonanya.“Yuk!” seruku bersemangat.Kami menempuh perjalanan sekitar dua jam, aku sengaja tak menghubungi Ayah dan Ibu jika ingin ke sana. Biar ini menjadi surprise nantinya. Hendra tampak gusar, beberapa kali mengusap wajahnya dengan handuk kecil berwarna hijau muda. Padahal tak ada peluh yang menetes, tapi ... entahlah apa yang dia bersihkan.“Kamu ke
##BAB 88 Melamar Nayla“Gimana, Nay? Kapan aku bisa menemui orang tuamu?” tanya Hendra membuatku terperangah. Rupanya dia serius dengan niatannya. Aku pun tampak berpikir, tak ada salahnya untuk mencoba. Lagian, bukankah ini memang tujuan awalku untuk memberikan balasan pada Rosa? Aku tersenyum menyeringai.“Kalau kamu serius, bisa temui orang tuaku besok. Di sana aku akan memberimu keputusan,” kataku dengan senyum mengembang. Hendra terlihat antusias, dia melirik ke arah Papanya yang diangguki dengan senyuman merekah. Sorot bahagia sangat terpancar dari netranya.“Oke, besok aku akan menemui kedua orang tuamu untuk meminta restu. Aku serius ini, Nay. Jangan pernah anggap niat baik ku sekedar main-main,” kata Hendra terdengar mengintimidasi. Aku hanya merespon dengan anggukan. Aku juga serius, meskipun niat sampingan juga karena iseng untuk balas dendam kepada Rosa. Setelah mengobrol banyak hal, aku memutuskan untuk mengajak Hendra pulang. Sebelum ke rumah, aku ingin mampir ke butik
##BAB 87 Pernikahan GladysHari ini Hendra akan menjemput ku untuk menghadiri pesta pernikahan Gladys. Sengaja aku tak mengajak Vano dan Bu Wak, tentu saja malas jika harus berhadapan lagi dengan Tante Sofia. Untuk sementara ini, aku akan menghindarinya terlebih dahulu. Aku mengenakan gamis bertajuk glamor mirip yang dipakai salah satu artis membahana. Tak lupa perhiasan dan cincin berlian tersemat manis di jari-jariku. Aku pun memakai hijab yang senada dengan warna gamisku. Tas bermerek dengan harga puluhan juta tak lupa bertengger manis di lenganku. Perfect sekali. Aku sengaja ingin tampil mewah agar tak selalu direndahkan, apalagi di mata Tante Sofia. Sudah cukup dia menghina diriku serta keluarga kecilku.Aku menaiki mobil Hendra dengan hati-hati. Berpakaian mewah seperti ini memang sedikit ribet dan harus tampil dengan elegan. Hendra menatapku takjub hingga tak berkedip. Kami menuju ke arah lokasi dengan ditemani obrolan renyah dan santai. Hendra tampaknya mulai kembali ceria dan
##BAB 86 Persepsi NaylaSaat aku membuka mata, rupanya sudah hampir sampai di rumah. Cukup lama juga aku tertidur, mungkin efek banyak pikiran membuatku susah tidur dari kemarin. Baru sekarang aku bisa tidur nyenyak meskipun sebentar, mungkin karena pikiranku yang plong. Sebelum turun, Hendra sempat mengingatkan untuk mengajak diriku hadir di acara pernikahan Reno dan Gladys yang akan diselenggarakan minggu depan. Aku belum mencari tahu bagaimana informasi perkembangan dari hukuman Mas Frengky. Mungkinkah Gladys tetap pada pendiriannya untuk membebaskan Mas Frengky? Atau berpura-pura tak peduli lagi, entahlah. Yang pasti, menurut pengacaraku bukti yang aku berikan beberapa waktu lalu sudah cukup kuat dan akurat untuk kembali memberikan hukuman tambahan buat Mas Frengky. Aku ingin lelaki durjana itu menerima hukuman yang pantas. Selain kedua kakinya yang tak berfungsi tentunya. Aku belum puas jika hanya kakinya saja yang tak berfungsi. Dia layak mendapatkan hukuman yang lebih parah dar
##BAB 85 Mengobrol dengan Rosa“Nayla ... maafkan aku,” ujar Hendra lirih. Terdengar menyayat di telingaku. Aku benci orang meminta maaf, aku bosan memberikan maaf terus-menerus.“Nggak usah dibahas, fokus sama menyetirmu, agar kita segera sampai!” Aku memalingkan wajahku menghadap ke jendela, tak ingin Hendra melihat bagaimana ada gurat kesedihan di sana.“Iya!” Hendra kembali fokus menyetir.Beberapa menit kemudian, kami telah sampai di kantor polisi, di mana Rosa menghabiskan sisa waktunya. Seorang petugas yang biasa menerimaku, menuntun kami masuk ke dalam ruangan berukuran 3x4 meter. Lima menit menunggu, seorang petugas berjenis kelamin wanita membawa Rosa menghadap padaku dan Hendra. Kami hanya diberi waktu lima belas menit untuk mengobrol. Ada bangku panjang menghadap ke dinding, aku duduk di sana. Sedangkan Hendra duduk berhadapan dengan Rosa yang disekat dengan triplek sebatas dada.“Akhirnya kamu datang juga. Nayla ternyata serius menepati janjinya padaku!” ujar Rosa dengan
##BAB 84 Menemui Rosa“Apa kau ingin bertemu dengan Rosa?” tanyaku dengan wajah sedatar mungkin. Padahal di dalam dada muncul rasa gejolak yang begitu aneh.“Iya, cepat atau lambat, aku harus menemuinya, Nay ... kenapa aku menjadi pria pengecut seperti ini?” Hendra menggeleng sembari menarik rambutnya dengan kedua tangan.“Sudah, jika kamu terus-terusan begini, nggak akan menyelesaikan keadaan. Hidup harus maju ke depan, tak baik hidup terbayang dengan kenangan,” ujarku seraya mengulas senyum.“Terima kasih, Nay ... kamu selalu bisa menjadi penyejuk untukku,” kata Hendra membuatku melayang tinggi. Namun, dengan cepat kutepis semua perasaan itu, aku tak boleh terlarut dalam rayuan Hendra sebelum pria itu memberiku kepastian.“Sama-sama. Kapan pun kamu mau ke sana, kamu bisa hubungi aku. Dengan senang hati aku pasti akan mengantarmu ke sana.” “Baiklah, biarkan aku menenangkan hatiku terlebih dahulu, aku ingin menemuinya dalam keadaan siap. Aku tak ingin menghancurkannya lagi, kasihan d