##BAB 50 BuktiAku turun dari taxi dengan langkah terburu-buru, hingga lupa membayar argo yang tertera di dalam layar.Untung saja Ayah memaklumi dan mau mengerti. Aku sungguh tak peduli dengan sekitar. Yang ada dalam pikiranku saat ini hanya kondisi Cahaya.Dengan mengambil langkah lebar aku memasuki lorong rumah sakit, menuju lift yang akan membawaku ke lantai atas, di mana ruang ICU berada.Carissa tampak khawatir, wajahnya berurai air mata. Di sebelahnya ada Gilang yang turut menenangkan.“Bagaimana kondisi Cahaya? Dia baik-baik saja ‘kan?” tanyaku sembari memeluk Carissa.“Dokter masih menganalisa di dalam, Mbak. Ayo, kita saling berdoa! Cahaya pasti dalam keadaan yang Baik.” Carissa menuntunku untuk duduk di depan ruang.Ayah turut bersedih, aura wajahnya yang sendu terpancar dengan sangat jelas. “Apa aku boleh masuk?” tanyaku sembari menengok ke dalam pintu ruang ICU yang tertutup rapat.Tak seperti yang dikisahkan dalam sinetron biasanya, ruang ICU tembus pandang yang bisa di
##BAB 51 Keputusan DokterKembali lututku dibuat lemas oleh pernyataan Dokter mengenai kondisi Cahaya. Haruskah aku membawanya ke Singapura? Tapi tak mungkin, aku belum siap untuk semua, selain itu juga kemungkinan berhasil hanya sekitar 50%. Aku bingung, apa yang harus aku lakukan?Aku akan segera memberi tahu hal ini kepada Mas Frengky, lelaki biadab itu harus tahu, bagaimana fatalnya kesalahan yang sudah dia buat.Iya ... aku harus segera ke sana. Tapi, sebaiknya aku menunggu kedatangan Ayah dan Ibu saja dulu. Aku tak tega jika harus meninggalkan Carissa sendirian di sini. Carissa sama terpukulnya sepertiku. Bukan hanya kami, pasti semua orang yang mendengar kisah pilu Cahaya akan berlaku simpati. Kenapa takdir Cahaya harus serumit ini?Aku terduduk dengan lemas, hingga satu suara dari notifikasi ponsel mengagetkanku.Gilang memanggil ....Ada apa, ya?Tak menunggu lama, segera aku geser lambang hijau ke kanan. Menempelkan daun telingaku ke arah ponsel.“Ya ... Waalaikumsalam, ada
##BAB 52 Mimpi Nayla“Mbak ... Mbak Nayla ... bangun dulu, Mbak,” ujar seseorang yang suaranya samar terdengar di telingaku.“Heh?” Aku menggumam, masih asyik bergelut dengan mimpiku.“Bangun, Mbak!” seru seseorang itu lagi. Kali ini sembari mengguncang-guncang tubuhku sedikit lebih keras.“Ah!” Aku tersentak saat membuka mata kudapati Gilang sedang memandangku dengan wajah aneh.“Loh, kok?” Mataku menatap sekeliling, aku mengucek mataku sekali lagi.Ah ... ternyata hanya mimpi. Syukurlah, ujarku dalam hati.“Kenapa, Mbak?” tanya Gilang penasaran.“Ah ... oh, nggak. Nggak papa,” jawabku sembari bergidik ngeri.Sungguh, serangkaian kejadian yang terputar di dalam mimpiku berasa nyata.“Kamu kok di sini?” tanyaku dengan alis mengkerut.“Maaf, aku lancang, Mbak. Tadi aku gedor Mbak Nayla nggak dengar. Kebetulan pas aku coba buka, pintunya nggak dikunci. Mungkin Mbak Nayla kelupaan. Ini aku bawakan teh hangat sama sandwich, mungkin Mbak belum makan. Ada apa, Mbak? Kamu mimpi buruk?” tanya
##BAB 53 Kemunculan Hendra“Kenapa kamu ada di sini?” tanyaku dengan suara yang lirih. Oh ... hati, ada apa denganmu? Kenapa kamu selalu saja berdesir seperti ini tiap kali ada lelaki yang mendekat.“Aku di sini? Tentu saja untuk menemui mu gadis pujaan ku,” ujar Hendra dengan senyum mengembang.“Aku serius, apa sekarang kamu sudah berubah menjadi ketua preman?” tanyaku dengan senyum tipis.“Tidak berlaku jika ada kamu, aku akan menjadi pangeran berkuda putih yang selalu setia menjaga dan menemanimu ke manapun engkau mau!” kata Hendra membuatku geli.Bahkan beberapa preman lain yang berada di sini, menatap Hendra dengan tatapan bingung. Mereka sepertinya malu, saat mengetahui tiba-tiba bosnya menjadi seperti remaja yang sedang di mabuk cinta.“Hendra, hentikan semua bualan itu. Saat ini aku tak main-main. Ada hubungan apa kamu dengan suamiku? Oh ... maksudku Mas Frengky,” ralatku dengan segera.Wajah Hendra berubah menjadi sendu, dia menatapku teduh.“Jadi, Frengky lah suamimu? Aku m
##BAB 54 Kepergian CahayaSetelah melalui perdebatan yang sedikit alot, akhirnya pihak dari kepolisian mau juga mengijinkan Mas Frengky untuk menjenguk Cahaya di Rumah Sakit. Tentu saja dengan waktu terbatas, serta pengawasan yang ketat.Mas Frengky juga tak diperbolehkan menumpang di mobil pribadi. Ada mobil khusus yang disediakan dari pihak kepolisian ditemani dengan enam orang petugas sebagai pengawasan.Kalau seperti ini aku merasa seperti sedang berjalan dengan artis ibukota yang dijaga ketat oleh beberapa bodyguard. Ya, anggap saja begitu.Aku menuju parkiran, masuk ke dalam mobil yang disopiri oleh Gilang. Sempat kulihat mata Mas Frengky menatap heran saat melihatku begitu dekat dengan Gilang. Biar saja, sesuka hatinya untuk menerka-nerka apa yang terjadi.Sesampainya di Rumah Sakit, para petugas menunggu di ruang tunggu. Dokter hanya mengijinkan aku dan Mas Frengky untuk menjenguk Cahaya di ruang ICU. Setelah memakai pakaian khusus dan masker medis, serta mencuci tangan denga
##BAB 55 Belajar IkhlasDokter melepas alat medis yang terpasang di tubuh Cahaya. Aku masih syok, tak percaya dengan semua ini.“Kenapa kalian semua diam saja? Kenapa kalian malah melepas semua alat itu? Kalian nggak kasian sama putriku, Cahaya? Dia bisa kesakitan hingga lemas jika kalian menghentikan memberinya obat dan cairan. Kenapa malah saling berpandangan? Kalian mau saya laporkan tak becus bekerja sebagai petugas medis? Iya?” Aku masih saja berteriak bak orang kesurupan.Suster memelukku, membawaku keluar dari ruangan.“Bu Nayla yang tenang, ya. Ikhlas, Bu. Jangan seperti ini, kasihan Adik Cahaya nanti nggak tenang perginya. Ibu yang tabah, sabar dan ikhlas.” Suster yang tak kuketahui namanya itu masih saja menenangkan ku.“Mbak, kenapa, Mbak? Kenapa nangis begitu?” tanya Carissa ketika aku berhasil keluar dari ruang ICU.Aku tak menjawab, hanya air mata yang terus mengalir dari kedua netraku.“Suster, ada apa? Semua baik-baik saja, kan?” Carissa memandang Suster dengan wajah h
##BAB 56 Mencari HendraSayup terdengar dengan merdu lantunan ayat suci di telingaku. Semakin lama semakin jelas hingga mampu membuat mataku sedikit terbuka.“Cahaya, di mana kamu, Nak?” tanyaku lirih sembari membuka mata. Di depanku sebelah kanan, sudah ada Carissa dan Ibu yang tampak cemas menatapku. Mataku beralih menatap ke sebelah kiri.Ada Bu Wak ....Wanita setengah baya itu pun turut cemas memandangku. Tatapannya nanar, tangannya perlahan diulurkan mengelus punggung tanganku.“Kamu yang sabar, ya, Nak. Ibu turut berduka cita atas meninggalnya Cahaya. Ibu nggak nyangka, semua ini tak luput dari tangan putri kandung Ibu sendiri. Ibu minta maaf yang sebesar-besarnya. Kiranya Nak Nayla masih punya kesabaran yang tak ada batasnya.” Mata Bu Wak berkaca-kaca, ada semburat kesedihan di sana.Aku tak tega, bagaimana pun ini bukanlah kesalahan Bu Wak. Tak ada hubungannya Bu Wak dengan kelakuan bejad Rosa kepada Cahaya. Bu Wak orang yang baik, dia sepenuh hati merawat ku dan sudah menga
##BAB 57 Bertemu Hendra dan Rosa“Apa, Nay?” sahut Ibu yang sedang menuangkan air panas ke dalam teko, menyiapkan refill kopi untuk para warga yang berkenan membantu.“Ibu lihat gamis kotor Nayla, nggak? Apa Ibu ada nyuci kemarin?” tanyaku tak sabaran.Ibu memandang ku heran sembari mengingat-ingat.“Nggak tuh, katamu mau dilaundry aja, Ibu takut keliru. Tapi udah Ibu masukkan semua baju kamu jadi satu di plastik besar. Ada di keranjang sebelah mesin cuci.” Ibu menunjuk mesin cuci di sebelah pintu belakang. Aku mengangguk, langsung menyeret kakiku pergi ke arah yang ditunjuk Ibu. Ada sekantung plastik pakaian, dengan sigap langsung kubongkar semua. Tak kuhiraukan tatapan Ibu yang terlihat bingung.Hingga pencarian ku berhasil, gamis yang kukenakan waktu itu ketemu. Kurogoh bagian saku bawah. Dan tara ....“Alhamdulillah, ketemu!” lirihku dengan senyum mengembang.Pakaian yang berantakan aku rapikan kembali, ku masuk kan ke dalam kantung plastik. Dengan langkah cepat, aku mengambil po
EPILOGEnam bulan kemudian ....“Pagi Sayang, have a nice day!” Aku sedikit kaget saat Hendra alias pria yang tengah sah menjadi imam ku memeluk pinggangku dari belakang. Sontak wajahku memerah, dia selalu saja berhasil membuat diriku melayang tinggi hingga menembus langit ketujuh.“Ngagetin aja, pagi juga, Mas!” sahutku seraya melanjutkan aktivitas mengiris daun bawang untuk pelengkap telur dadar sebagai sarapan pagi ini.Ya ... setelah menikah dengan Hendra selama hampir enam bulan ini, aku baru tahu bahwa dia suka sekali dengan telur dadar yang dicampur irisan daun bawang. Seakan tak pernah bosan, hampir setiap hari dia menginginkan masakan itu di setiap pagi untuk memenuhi asupan nutrisinya. Terkadang juga aku heran, bagaimana bisa lelaki dari keluarga berada dan bergelimang harta bisa mempunyai makanan favorit berupa telur ayam sederhana. Kenapa bukan masakan ala western atau mungkin makanan dengan gizi lengkap yang seimbang. “Kok diem? Ngelamun, ya?” tanya Hendra yang kini mend
##BAB 91 Akhir KisahBerkali-kali aku menghubungi Hendra, hingga puluhan panggilanku tak ada satu pun yang dijawab. Sampai pusing aku berjalan mondar-mandir bak setrika. Bu Wak bingung melihat tingkahku yang tak karuan. “Kenapa, toh, Ibu lihat dari tadi maju mundur kayak orang bingung. Ada masalah?” tanya Bu Wak terlihat perhatian, seperti biasa.Aku menggeleng, tentu saja hal seperti ini tak mungkin aku sampaikan kepada Bu Wak. Biarlah ini menjadi urusan pribadiku. Aku beranjak menuju ke kamar, tiba-tiba saja air mataku tumpah tanpa sebab. Aku tak tahu, apa yang aku rasakan hingga tiba-tiba menangis tanpa alasan. Masih dalam genggaman, kulihat layar ponsel yang masih sepi, tak ada tanda-tanda Hendra menghubungi ku kembali. Apa yang dia lakukan sebenarnya di sana?Hingga kecapekan menangis, membuatku ketiduran. Entah sudah berapa jam aku tertidur, ketika bangun ponselku sudah dipenuhi panggilan tak terjawab dari Hendra. Aku tak mendengarnya karena ponselku masih berada dalam mode sil
##BAB 90 Suara Wanita MencurigakanSUARA WANITA MENCURIGAKANANAKKU MENJADI SAKSI MATA PERSELINGKUHAN SUAMIKU (S2)“Kapan kamu siap untuk menikah? Mungkin kamu berkeinginan memilih tanggal yang cantik?” ucap Hendra.“Terserah saja, yang penting jadi menikah. Semua tanggal itu baik, ‘kan?” ujarku sembari tersenyum.“Iya juga, Papa sudah siap memfasilitasi semuanya. Aku hanya perlu menyiapkan mahar beserta mas kawin. Kamu mau apa?” tanya Hendra menatapku intens.Kami bertemu kembali di rumahku, setelah tiga hari dari rumah Ayah kemarin. Hendra pulang ke rumah Papanya untuk mengabarkan keputusanku tempo lalu. Alhamdulillah akhirnya Tante Sofia pun ikut menyetujui walaupun aku tahu mungkin dia terpaksa.“Yakin nih, aku bebas pilih sendiri mas kawinnya?” tanyaku dengan senyum menggoda.“Dengan senang hati!” Hendra menaik-turunkan alisnya memandangku.“Aku hanya bercanda, terserah kamu saja, deh!” ucapku seraya tertawa.“Bagaimana kalau pabrik usahaku saja yang kujadikan mahar?” tawar Hendr
##BAB 89 Keputusan NaylaKeesokan harinya, Hendra benar-benar serius dengan ucapannya. Pagi-pagi sekali dia sudah menjemputku, kami berencana akan pergi ke rumah Ayah. Berdua saja dan kali ini menggunakan mobilku.“Udah siap? Berangkat sekarang, ya?” tanya Hendra yang kini sudah berpakaian rapi, yakni kemeja lengan panjang, celana bahan dan sepatu pantofel. Menurutku dia lebih mirip seperti orang yang akan melakukan interview di perusahaan besar dari pada bertemu calon mertua. Eh ....Ah, membayangkan Hendra akan menjadi menantu Ayahku saja sudah membuatku berdetak hebat tak karuan begini. Aku benar-benar dibuat mabuk kepayang dengan pesonanya.“Yuk!” seruku bersemangat.Kami menempuh perjalanan sekitar dua jam, aku sengaja tak menghubungi Ayah dan Ibu jika ingin ke sana. Biar ini menjadi surprise nantinya. Hendra tampak gusar, beberapa kali mengusap wajahnya dengan handuk kecil berwarna hijau muda. Padahal tak ada peluh yang menetes, tapi ... entahlah apa yang dia bersihkan.“Kamu ke
##BAB 88 Melamar Nayla“Gimana, Nay? Kapan aku bisa menemui orang tuamu?” tanya Hendra membuatku terperangah. Rupanya dia serius dengan niatannya. Aku pun tampak berpikir, tak ada salahnya untuk mencoba. Lagian, bukankah ini memang tujuan awalku untuk memberikan balasan pada Rosa? Aku tersenyum menyeringai.“Kalau kamu serius, bisa temui orang tuaku besok. Di sana aku akan memberimu keputusan,” kataku dengan senyum mengembang. Hendra terlihat antusias, dia melirik ke arah Papanya yang diangguki dengan senyuman merekah. Sorot bahagia sangat terpancar dari netranya.“Oke, besok aku akan menemui kedua orang tuamu untuk meminta restu. Aku serius ini, Nay. Jangan pernah anggap niat baik ku sekedar main-main,” kata Hendra terdengar mengintimidasi. Aku hanya merespon dengan anggukan. Aku juga serius, meskipun niat sampingan juga karena iseng untuk balas dendam kepada Rosa. Setelah mengobrol banyak hal, aku memutuskan untuk mengajak Hendra pulang. Sebelum ke rumah, aku ingin mampir ke butik
##BAB 87 Pernikahan GladysHari ini Hendra akan menjemput ku untuk menghadiri pesta pernikahan Gladys. Sengaja aku tak mengajak Vano dan Bu Wak, tentu saja malas jika harus berhadapan lagi dengan Tante Sofia. Untuk sementara ini, aku akan menghindarinya terlebih dahulu. Aku mengenakan gamis bertajuk glamor mirip yang dipakai salah satu artis membahana. Tak lupa perhiasan dan cincin berlian tersemat manis di jari-jariku. Aku pun memakai hijab yang senada dengan warna gamisku. Tas bermerek dengan harga puluhan juta tak lupa bertengger manis di lenganku. Perfect sekali. Aku sengaja ingin tampil mewah agar tak selalu direndahkan, apalagi di mata Tante Sofia. Sudah cukup dia menghina diriku serta keluarga kecilku.Aku menaiki mobil Hendra dengan hati-hati. Berpakaian mewah seperti ini memang sedikit ribet dan harus tampil dengan elegan. Hendra menatapku takjub hingga tak berkedip. Kami menuju ke arah lokasi dengan ditemani obrolan renyah dan santai. Hendra tampaknya mulai kembali ceria dan
##BAB 86 Persepsi NaylaSaat aku membuka mata, rupanya sudah hampir sampai di rumah. Cukup lama juga aku tertidur, mungkin efek banyak pikiran membuatku susah tidur dari kemarin. Baru sekarang aku bisa tidur nyenyak meskipun sebentar, mungkin karena pikiranku yang plong. Sebelum turun, Hendra sempat mengingatkan untuk mengajak diriku hadir di acara pernikahan Reno dan Gladys yang akan diselenggarakan minggu depan. Aku belum mencari tahu bagaimana informasi perkembangan dari hukuman Mas Frengky. Mungkinkah Gladys tetap pada pendiriannya untuk membebaskan Mas Frengky? Atau berpura-pura tak peduli lagi, entahlah. Yang pasti, menurut pengacaraku bukti yang aku berikan beberapa waktu lalu sudah cukup kuat dan akurat untuk kembali memberikan hukuman tambahan buat Mas Frengky. Aku ingin lelaki durjana itu menerima hukuman yang pantas. Selain kedua kakinya yang tak berfungsi tentunya. Aku belum puas jika hanya kakinya saja yang tak berfungsi. Dia layak mendapatkan hukuman yang lebih parah dar
##BAB 85 Mengobrol dengan Rosa“Nayla ... maafkan aku,” ujar Hendra lirih. Terdengar menyayat di telingaku. Aku benci orang meminta maaf, aku bosan memberikan maaf terus-menerus.“Nggak usah dibahas, fokus sama menyetirmu, agar kita segera sampai!” Aku memalingkan wajahku menghadap ke jendela, tak ingin Hendra melihat bagaimana ada gurat kesedihan di sana.“Iya!” Hendra kembali fokus menyetir.Beberapa menit kemudian, kami telah sampai di kantor polisi, di mana Rosa menghabiskan sisa waktunya. Seorang petugas yang biasa menerimaku, menuntun kami masuk ke dalam ruangan berukuran 3x4 meter. Lima menit menunggu, seorang petugas berjenis kelamin wanita membawa Rosa menghadap padaku dan Hendra. Kami hanya diberi waktu lima belas menit untuk mengobrol. Ada bangku panjang menghadap ke dinding, aku duduk di sana. Sedangkan Hendra duduk berhadapan dengan Rosa yang disekat dengan triplek sebatas dada.“Akhirnya kamu datang juga. Nayla ternyata serius menepati janjinya padaku!” ujar Rosa dengan
##BAB 84 Menemui Rosa“Apa kau ingin bertemu dengan Rosa?” tanyaku dengan wajah sedatar mungkin. Padahal di dalam dada muncul rasa gejolak yang begitu aneh.“Iya, cepat atau lambat, aku harus menemuinya, Nay ... kenapa aku menjadi pria pengecut seperti ini?” Hendra menggeleng sembari menarik rambutnya dengan kedua tangan.“Sudah, jika kamu terus-terusan begini, nggak akan menyelesaikan keadaan. Hidup harus maju ke depan, tak baik hidup terbayang dengan kenangan,” ujarku seraya mengulas senyum.“Terima kasih, Nay ... kamu selalu bisa menjadi penyejuk untukku,” kata Hendra membuatku melayang tinggi. Namun, dengan cepat kutepis semua perasaan itu, aku tak boleh terlarut dalam rayuan Hendra sebelum pria itu memberiku kepastian.“Sama-sama. Kapan pun kamu mau ke sana, kamu bisa hubungi aku. Dengan senang hati aku pasti akan mengantarmu ke sana.” “Baiklah, biarkan aku menenangkan hatiku terlebih dahulu, aku ingin menemuinya dalam keadaan siap. Aku tak ingin menghancurkannya lagi, kasihan d