##BAB 13 TerkuakSesampainya di rumah Bu Romlah, alias ibu mertuaku. Mas Frengky bergegas memarkirkan mobil ke carport.Aku dan Cahaya masuk terlebih dahulu ke dalam.“Assalamualaikum ....” salamku ketika masuk ke ruang tamu.Rumah Ibu tampak sepi, mungkin Reni dan Reno sedang kuliah, sedangkan Ibu? Entahlah di mana.Aku bergegas duduk di sofa sembari memainkan ponsel, menunggu kabar dari Gilang tentunya. Pesanku pada Rosa pun belum ada balasan, padahal status wa nya online beberapa menit yang lalu.Rupanya dia sengaja ingin menghindariku.“Masuk rumah bukannya salam, malah udah selonjoran. Dari mana?” ujar ibu mertua tiba-tiba sudah berdiri di depanku dengan wajah pias.“Lah, Nayla tadi udah salam, kok. Ibu aja yang nggak denger, mungkin faktor usia. Jadi maklum, deh,” ujarku santai.“Apa tadi kamu bilang?” tanyanya sembari mendekat ke arahku.“Oh ... nggak, bukan apa-apa,” jawabku masih dengan kaki selonjoran. Biarlah aku bersantai sejenak, badanku memang pegal butuh sandaran.“Fren
##BAB 14 Salah SasaranAku membuka mataku perlahan. Oh, ya ... aku ingat masih di rumah ibu mertua. Aku meraba kasur mencari ponselku.“Hmm ... sudah pukul 18:00 WIB, kenapa Mas Frengky tak membangunkanku? Aku belum menunaikan tiga rakaat,” lirihku sembari mengambil posisi duduk.Aku menggeliat, meregangkan semua otot-ototku agar lebih fresh.Ah ... rasanya lama tak tidur layaknya orang normal begini ....Biasanya aku mampu menghabiskan waktu seharian atau setidaknya 12 jam jika terlelap.Namun kali ini normal, seperti jadwal tidurku beberapa bulan yang lalu.Aku menatap ponsel, ada dua panggilan suara tak terjawab dari Gilang.Wah, pasti hal penting ini. Seakan tak ingin kehilangan kesempatan, aku bergegas menghubungi Gilang.“Assalamualaikum, maaf baru ngehubungi. Aku sempat tertidur tadi, apa semua sudah beres?” tanyaku ketika panggilan tersambung.“Waalaikumsalam, iya alhamdulillah sudah terpasang. Tinggal kamu sambungkan melalui ponsel, nanti aku kirim link caranya, ya. Kamu bisa
##BAB 15 Memasang CCTVBrak!Mas Frengky membanting pintu dengan kasar, matanya masih menyiratkan sorot kemarahan.Kami telah sampai di rumah, Cahaya pun sudah masuk ke dalam kamar untuk beristirahat.Aku mulai mengamati ruang tamu, menuju ke ruang keluarga, meja makan dan dapur.Aneh ... di mana Gilang menempatkan CCTV nya, aku tak melihat benda hitam itu sama sekali.“Nyari apa kamu?” tanya Mas Frengky mengagetkanku. Tiba-tiba saja dia sudah berdiri di belakangku.“Ah enggak, Mas. Hanya saja aku rindu suasana rumah. Padahal baru beberapa jam aku meninggalkannya. Memang sebaik apapun rumah orang, masih lebih nyaman di rumah sendiri. Apalagi rumah yang dibeli dengan hasil kerja keras dan keringat sendiri,” ujarku sembari meliriknya sekilas.Mas Frengky hanya melengos, perkara teh tadi di rumah Ibu mampu membuatnya uring-uringan.“Kamu kalo capek istirahat, nggak usah marah-marah nggak jelas. Kok jadi ngelampiasin ke aku?” ujarku memandangnya malas.“Maaf, Sayang. Habis aku kesel bange
##BAB 16 TercidukRosa terlihat antusias menanggapi perintahku.Dengan semangat ’45 dia masuk ke kamar dan meletakkan barang-barangnya begitu saja.Ia bergegas menuju ke dapur, membuatkanku secangkir teh hangat.Mas Frengky memelukku dan membelai pipiku dengan lembut.Tentu saja dia senang, karena gundik kesayangannya sudah pulang.Mas Frengky menatapku dengan pandangan teduh. Huh ... baru saja beberapa menit yang lalu dia uring-uringan nggak jelas.“Aku sayang banget sama kamu, Bun,” ujar Mas Frengky membisikkan kata romantis tepat di belakang telingaku.Bulu kudukku meremang, seperti bisikan syaiton yang terdengar.Jika saja aku belum mengetahui aksi bejadnya, tentu dengan bangga dan bahagia aku akan membalas kata-kata cintanya.Tapi sekarang?Hanya senyuman tipis yang aku berikan.Mas Frengky masih saja memelukku di sampingnya. Kami sedang duduk di sofa panjang sembari menikmati acara televisi di ruang keluarga yang berhadapan langsung dengan kamar Rosa.“Kok Bunda nggak respon, s
##BAB 17 Gagal Ena-enaSetelah Rosa masuk ke dalam kamar. Aku pun bergegas masuk ke dalam kamarku. Kulihat Mas Frengky sudah terlelap. Untuk memastikannya, aku sengaja mengubah posisi tidurnya. Menggerakkan beberapa anggota tubuhnya, dan membuka paksa kelopak matanya. Namun, Mas Frengky benar-benar sudah pulas.Kubuka ponselku, dengan cekatan aku masuk ke dalam aplikasi pengintai CCTV. Sasaran pertama yang kulihat, yakni kamar Rosa.Meskipun yang terekam kurang pencahayaan. Tapi aku bisa melihat dengan jelas sosok tubuh Rosa. Ia begitu lihai menyapu wajahnya dengan berbagai skincare di depan cermin. Entahlah skincare apa itu, aku tak seberapa jelas mengamatinya.Setelahnya Rosa beranjak berdiri dan membuka lemari plastik bersusun lima, ia mengambil pakaian yang masih rapi terbungkus dalam plastik transparan.Rosa merentangkan bajunya, menghadap ke cermin.Mataku membulat melihat pakaian dinas untuk istri yang bertugas memuaskan suami.Satu set pakaian mini ala tentara, dengan rok span
##BAB 18 Mengerjai RosaRosa mengambil tempat duduk di sebelahku.Dia hanya menatap lurus ke depan, tak berani memandangku.“Kamu sering begadang gini kah?” tanyaku memecah keheningan diantara kami.“Eng–Enggak sih, Mbak. Biasanya kalo susah tidur aku lebih sering main game di ponsel. Kebetulan ini tadi di kamar gerah, jadi aku nyari angin ke sini,” jawabnya.Matanya masih saja tak berani beradu pandang denganku.“Oh ... gerah banget, ya, di kamar? Padahal ada AC loh, Ros. Itu kamar tidur kedua setelah kamarku yang fasilitasnya lumayan memadai. Jika dibandingkan dengan kamar tamu, kamar yang kamu tempati hampir dua kali lipat luasnya. Rencananya itu kamar untuk Pelangi nantinya, karena didesain khusus mirip seperti punya Cahaya. Dari warna dinding hingga perabotan di dalamnya. Beruntung Mas Frengky mengizinkanmu menempati kamar itu. Biasanya seorang asisten hanya diberikan kamar yang kecil, tempatnya pun pasti di belakang,” kataku sembari menekankan kata asisten.Aku harap dia bisa me
##BAB 19 Rosa TerkulaiRasanya hati tak tenang meninggalkan Cahaya dalam kondisi seperti itu. Tapi bagaimana lagi?Kepentingan di butik saat ini tidak bisa aku wakilkan kepada siapa pun.Untuk membawa Cahaya juga percuma sekarang ini. Dia pasti akan menolak.Pernah dulu aku membawa Cahaya ikut serta menemaniku di butik. Saat itu aku sedang hamil dan tentu saja sebelum adanya kehadiran Rosa, Cahaya sudah sering ikut aku bekerja. Tapi kasihan, terpaksa Cahaya harus diam saja di dalam ruanganku. Dia sepertinya bosan dan kurang bisa membaur dengan beberapa rekanku.Entah sudah berapa kali aku mengenalkan beberapa rekan untuk menemaninya bermain saat aku harus menghadiri meeting di ruangan yang berbeda. Namun, tetap saja. Cahaya lebih memilih tidur atau menonton TV di ruanganku hingga tertidur. Hal itu membuatku kasihan padanya. Namun bagaimana lagi, saat itu aku memang tak pernah mempunyai baby sitter atau asisten. Semuanya aku handle sendiri. Jadi terpaksa selama itu aku harus bolak-bali
##BAB 20 Mencari BuktiAku melangkah dengan tergesa-gesa. Semua urusan perbutikan akan aku serahkan kepada Keysa untuk menghandlenya.Kali ini urusan rumah tanggaku lebih penting dari segalanya.Mobil kulajukan dengan kecepatan lumayan tinggi, beruntung tak banyak kendaraan yang lalu lalang di jam segini.Sesampainya di rumah, terlihat mobil Mas Frengky masih terparkir dengan indah di dalam garasi. Letaknya pun masih sama seperti saat kutinggal pergi ke butik tadi.Aku sengaja seperti biasa, memarkirkan mobilku di seberang tanpa suara. Dengan langkah sepanjang mungkin aku masuk ke dalam rumah. Tumben pintu rumah nggak dikunci.Aku mengucap salam dengan suara lirih, menuju ke ruang tengah. Terlihat Rosa sedang menonton TV sambil selonjoran kaki.Hmm ... bak nyonya besar di rumah ini.“Rosa!” panggilku dengan suara sedikit tinggi.Wanita dengan celana super pendek dan kaus tanpa lengan tersebut terperanjat ketika melihatku sudah berdiri di belakangnya. Hampir saja ia terlonjak kaget den
EPILOGEnam bulan kemudian ....“Pagi Sayang, have a nice day!” Aku sedikit kaget saat Hendra alias pria yang tengah sah menjadi imam ku memeluk pinggangku dari belakang. Sontak wajahku memerah, dia selalu saja berhasil membuat diriku melayang tinggi hingga menembus langit ketujuh.“Ngagetin aja, pagi juga, Mas!” sahutku seraya melanjutkan aktivitas mengiris daun bawang untuk pelengkap telur dadar sebagai sarapan pagi ini.Ya ... setelah menikah dengan Hendra selama hampir enam bulan ini, aku baru tahu bahwa dia suka sekali dengan telur dadar yang dicampur irisan daun bawang. Seakan tak pernah bosan, hampir setiap hari dia menginginkan masakan itu di setiap pagi untuk memenuhi asupan nutrisinya. Terkadang juga aku heran, bagaimana bisa lelaki dari keluarga berada dan bergelimang harta bisa mempunyai makanan favorit berupa telur ayam sederhana. Kenapa bukan masakan ala western atau mungkin makanan dengan gizi lengkap yang seimbang. “Kok diem? Ngelamun, ya?” tanya Hendra yang kini mend
##BAB 91 Akhir KisahBerkali-kali aku menghubungi Hendra, hingga puluhan panggilanku tak ada satu pun yang dijawab. Sampai pusing aku berjalan mondar-mandir bak setrika. Bu Wak bingung melihat tingkahku yang tak karuan. “Kenapa, toh, Ibu lihat dari tadi maju mundur kayak orang bingung. Ada masalah?” tanya Bu Wak terlihat perhatian, seperti biasa.Aku menggeleng, tentu saja hal seperti ini tak mungkin aku sampaikan kepada Bu Wak. Biarlah ini menjadi urusan pribadiku. Aku beranjak menuju ke kamar, tiba-tiba saja air mataku tumpah tanpa sebab. Aku tak tahu, apa yang aku rasakan hingga tiba-tiba menangis tanpa alasan. Masih dalam genggaman, kulihat layar ponsel yang masih sepi, tak ada tanda-tanda Hendra menghubungi ku kembali. Apa yang dia lakukan sebenarnya di sana?Hingga kecapekan menangis, membuatku ketiduran. Entah sudah berapa jam aku tertidur, ketika bangun ponselku sudah dipenuhi panggilan tak terjawab dari Hendra. Aku tak mendengarnya karena ponselku masih berada dalam mode sil
##BAB 90 Suara Wanita MencurigakanSUARA WANITA MENCURIGAKANANAKKU MENJADI SAKSI MATA PERSELINGKUHAN SUAMIKU (S2)“Kapan kamu siap untuk menikah? Mungkin kamu berkeinginan memilih tanggal yang cantik?” ucap Hendra.“Terserah saja, yang penting jadi menikah. Semua tanggal itu baik, ‘kan?” ujarku sembari tersenyum.“Iya juga, Papa sudah siap memfasilitasi semuanya. Aku hanya perlu menyiapkan mahar beserta mas kawin. Kamu mau apa?” tanya Hendra menatapku intens.Kami bertemu kembali di rumahku, setelah tiga hari dari rumah Ayah kemarin. Hendra pulang ke rumah Papanya untuk mengabarkan keputusanku tempo lalu. Alhamdulillah akhirnya Tante Sofia pun ikut menyetujui walaupun aku tahu mungkin dia terpaksa.“Yakin nih, aku bebas pilih sendiri mas kawinnya?” tanyaku dengan senyum menggoda.“Dengan senang hati!” Hendra menaik-turunkan alisnya memandangku.“Aku hanya bercanda, terserah kamu saja, deh!” ucapku seraya tertawa.“Bagaimana kalau pabrik usahaku saja yang kujadikan mahar?” tawar Hendr
##BAB 89 Keputusan NaylaKeesokan harinya, Hendra benar-benar serius dengan ucapannya. Pagi-pagi sekali dia sudah menjemputku, kami berencana akan pergi ke rumah Ayah. Berdua saja dan kali ini menggunakan mobilku.“Udah siap? Berangkat sekarang, ya?” tanya Hendra yang kini sudah berpakaian rapi, yakni kemeja lengan panjang, celana bahan dan sepatu pantofel. Menurutku dia lebih mirip seperti orang yang akan melakukan interview di perusahaan besar dari pada bertemu calon mertua. Eh ....Ah, membayangkan Hendra akan menjadi menantu Ayahku saja sudah membuatku berdetak hebat tak karuan begini. Aku benar-benar dibuat mabuk kepayang dengan pesonanya.“Yuk!” seruku bersemangat.Kami menempuh perjalanan sekitar dua jam, aku sengaja tak menghubungi Ayah dan Ibu jika ingin ke sana. Biar ini menjadi surprise nantinya. Hendra tampak gusar, beberapa kali mengusap wajahnya dengan handuk kecil berwarna hijau muda. Padahal tak ada peluh yang menetes, tapi ... entahlah apa yang dia bersihkan.“Kamu ke
##BAB 88 Melamar Nayla“Gimana, Nay? Kapan aku bisa menemui orang tuamu?” tanya Hendra membuatku terperangah. Rupanya dia serius dengan niatannya. Aku pun tampak berpikir, tak ada salahnya untuk mencoba. Lagian, bukankah ini memang tujuan awalku untuk memberikan balasan pada Rosa? Aku tersenyum menyeringai.“Kalau kamu serius, bisa temui orang tuaku besok. Di sana aku akan memberimu keputusan,” kataku dengan senyum mengembang. Hendra terlihat antusias, dia melirik ke arah Papanya yang diangguki dengan senyuman merekah. Sorot bahagia sangat terpancar dari netranya.“Oke, besok aku akan menemui kedua orang tuamu untuk meminta restu. Aku serius ini, Nay. Jangan pernah anggap niat baik ku sekedar main-main,” kata Hendra terdengar mengintimidasi. Aku hanya merespon dengan anggukan. Aku juga serius, meskipun niat sampingan juga karena iseng untuk balas dendam kepada Rosa. Setelah mengobrol banyak hal, aku memutuskan untuk mengajak Hendra pulang. Sebelum ke rumah, aku ingin mampir ke butik
##BAB 87 Pernikahan GladysHari ini Hendra akan menjemput ku untuk menghadiri pesta pernikahan Gladys. Sengaja aku tak mengajak Vano dan Bu Wak, tentu saja malas jika harus berhadapan lagi dengan Tante Sofia. Untuk sementara ini, aku akan menghindarinya terlebih dahulu. Aku mengenakan gamis bertajuk glamor mirip yang dipakai salah satu artis membahana. Tak lupa perhiasan dan cincin berlian tersemat manis di jari-jariku. Aku pun memakai hijab yang senada dengan warna gamisku. Tas bermerek dengan harga puluhan juta tak lupa bertengger manis di lenganku. Perfect sekali. Aku sengaja ingin tampil mewah agar tak selalu direndahkan, apalagi di mata Tante Sofia. Sudah cukup dia menghina diriku serta keluarga kecilku.Aku menaiki mobil Hendra dengan hati-hati. Berpakaian mewah seperti ini memang sedikit ribet dan harus tampil dengan elegan. Hendra menatapku takjub hingga tak berkedip. Kami menuju ke arah lokasi dengan ditemani obrolan renyah dan santai. Hendra tampaknya mulai kembali ceria dan
##BAB 86 Persepsi NaylaSaat aku membuka mata, rupanya sudah hampir sampai di rumah. Cukup lama juga aku tertidur, mungkin efek banyak pikiran membuatku susah tidur dari kemarin. Baru sekarang aku bisa tidur nyenyak meskipun sebentar, mungkin karena pikiranku yang plong. Sebelum turun, Hendra sempat mengingatkan untuk mengajak diriku hadir di acara pernikahan Reno dan Gladys yang akan diselenggarakan minggu depan. Aku belum mencari tahu bagaimana informasi perkembangan dari hukuman Mas Frengky. Mungkinkah Gladys tetap pada pendiriannya untuk membebaskan Mas Frengky? Atau berpura-pura tak peduli lagi, entahlah. Yang pasti, menurut pengacaraku bukti yang aku berikan beberapa waktu lalu sudah cukup kuat dan akurat untuk kembali memberikan hukuman tambahan buat Mas Frengky. Aku ingin lelaki durjana itu menerima hukuman yang pantas. Selain kedua kakinya yang tak berfungsi tentunya. Aku belum puas jika hanya kakinya saja yang tak berfungsi. Dia layak mendapatkan hukuman yang lebih parah dar
##BAB 85 Mengobrol dengan Rosa“Nayla ... maafkan aku,” ujar Hendra lirih. Terdengar menyayat di telingaku. Aku benci orang meminta maaf, aku bosan memberikan maaf terus-menerus.“Nggak usah dibahas, fokus sama menyetirmu, agar kita segera sampai!” Aku memalingkan wajahku menghadap ke jendela, tak ingin Hendra melihat bagaimana ada gurat kesedihan di sana.“Iya!” Hendra kembali fokus menyetir.Beberapa menit kemudian, kami telah sampai di kantor polisi, di mana Rosa menghabiskan sisa waktunya. Seorang petugas yang biasa menerimaku, menuntun kami masuk ke dalam ruangan berukuran 3x4 meter. Lima menit menunggu, seorang petugas berjenis kelamin wanita membawa Rosa menghadap padaku dan Hendra. Kami hanya diberi waktu lima belas menit untuk mengobrol. Ada bangku panjang menghadap ke dinding, aku duduk di sana. Sedangkan Hendra duduk berhadapan dengan Rosa yang disekat dengan triplek sebatas dada.“Akhirnya kamu datang juga. Nayla ternyata serius menepati janjinya padaku!” ujar Rosa dengan
##BAB 84 Menemui Rosa“Apa kau ingin bertemu dengan Rosa?” tanyaku dengan wajah sedatar mungkin. Padahal di dalam dada muncul rasa gejolak yang begitu aneh.“Iya, cepat atau lambat, aku harus menemuinya, Nay ... kenapa aku menjadi pria pengecut seperti ini?” Hendra menggeleng sembari menarik rambutnya dengan kedua tangan.“Sudah, jika kamu terus-terusan begini, nggak akan menyelesaikan keadaan. Hidup harus maju ke depan, tak baik hidup terbayang dengan kenangan,” ujarku seraya mengulas senyum.“Terima kasih, Nay ... kamu selalu bisa menjadi penyejuk untukku,” kata Hendra membuatku melayang tinggi. Namun, dengan cepat kutepis semua perasaan itu, aku tak boleh terlarut dalam rayuan Hendra sebelum pria itu memberiku kepastian.“Sama-sama. Kapan pun kamu mau ke sana, kamu bisa hubungi aku. Dengan senang hati aku pasti akan mengantarmu ke sana.” “Baiklah, biarkan aku menenangkan hatiku terlebih dahulu, aku ingin menemuinya dalam keadaan siap. Aku tak ingin menghancurkannya lagi, kasihan d