##BAB 19 Rosa TerkulaiRasanya hati tak tenang meninggalkan Cahaya dalam kondisi seperti itu. Tapi bagaimana lagi?Kepentingan di butik saat ini tidak bisa aku wakilkan kepada siapa pun.Untuk membawa Cahaya juga percuma sekarang ini. Dia pasti akan menolak.Pernah dulu aku membawa Cahaya ikut serta menemaniku di butik. Saat itu aku sedang hamil dan tentu saja sebelum adanya kehadiran Rosa, Cahaya sudah sering ikut aku bekerja. Tapi kasihan, terpaksa Cahaya harus diam saja di dalam ruanganku. Dia sepertinya bosan dan kurang bisa membaur dengan beberapa rekanku.Entah sudah berapa kali aku mengenalkan beberapa rekan untuk menemaninya bermain saat aku harus menghadiri meeting di ruangan yang berbeda. Namun, tetap saja. Cahaya lebih memilih tidur atau menonton TV di ruanganku hingga tertidur. Hal itu membuatku kasihan padanya. Namun bagaimana lagi, saat itu aku memang tak pernah mempunyai baby sitter atau asisten. Semuanya aku handle sendiri. Jadi terpaksa selama itu aku harus bolak-bali
##BAB 20 Mencari BuktiAku melangkah dengan tergesa-gesa. Semua urusan perbutikan akan aku serahkan kepada Keysa untuk menghandlenya.Kali ini urusan rumah tanggaku lebih penting dari segalanya.Mobil kulajukan dengan kecepatan lumayan tinggi, beruntung tak banyak kendaraan yang lalu lalang di jam segini.Sesampainya di rumah, terlihat mobil Mas Frengky masih terparkir dengan indah di dalam garasi. Letaknya pun masih sama seperti saat kutinggal pergi ke butik tadi.Aku sengaja seperti biasa, memarkirkan mobilku di seberang tanpa suara. Dengan langkah sepanjang mungkin aku masuk ke dalam rumah. Tumben pintu rumah nggak dikunci.Aku mengucap salam dengan suara lirih, menuju ke ruang tengah. Terlihat Rosa sedang menonton TV sambil selonjoran kaki.Hmm ... bak nyonya besar di rumah ini.“Rosa!” panggilku dengan suara sedikit tinggi.Wanita dengan celana super pendek dan kaus tanpa lengan tersebut terperanjat ketika melihatku sudah berdiri di belakangnya. Hampir saja ia terlonjak kaget den
##BAB 21 Mengerjai Frengky“Apa? Miliyar, Bun?” tanya Mas Frengky dengan mata membulat.“Iya, Mas. Tolong aku, aku mohon, Mas!” isakku menggugu.Mas Frengky memelukku sembari mengusap bahuku yang bergetar.Pintar juga aku berakting ternyata.“Aku nggak punya uang sebesar itu, Bun. Bagaimana kalo kita cerita ke orang tuamu? Siapa tau Ayah bisa bantu?” tawar Mas Frengky seketika menghentikan tangisan ku.Bod*h, kenapa aku tak berpikir ke sana. Seharusnya aku bisa bekerja sama dengan orang tuaku sebelumnya.“Jangan dulu, Mas. Kasihan Ayah sudah tua, aku nggak mau menjadikan mereka beban, Mas.” Aku melanjutkan tangisan palsuku. Mas Frengky masih diam. Solusinya tak begitu berarti.“Lalu bagaimana, Bun?” tanya Mas Frengky lagi.“Gimana kalo aku pinjam surat usaha Restomu, Mas? Dengan sertifikat ruko sebagai jaminannya?” tanyaku memberi ide.“Ha?” Mas Frengky menganga.“Kenapa, Mas? Kamu nggak keberatan ‘kan? Apa Restomu lebih penting daripada aku, Mas?” tanyaku mencebik. Aku melepaskan pe
##BAB 22 Kesedihan Seorang IbuSetelah kekenyangan melahap masakan Rosa. Aku bergegas mandi dan bersiap untuk bersantai main bersama putriku tercinta.Mas Frengky baru saja datang tepat saat aku selesai berpakaian santai.“Tumben sampai jam segini, Mas. Rame, ya, Resto?” tanyaku saat Mas Frengky masuk ke dalam kamar.“Iya, alhamdulillah. Hari ini lancar, hmm ... perutku lapar, Bun. Masak apa hari ini?” Mas Frengky balik bertanya seraya melepas kemejanya.“Ada makanan spesial di belakang, Mas. Ambil sendiri, ya. Aku mau tengok Cahaya dulu, anak itu belum bangun dari tadi. Aku jadi khawatir.”Mas Frengky pun mengangguk dan bergegas menyambar handuk untuk menuju ke dalam kamar mandi.Cahaya masih tidur, nampaknya anak gadisku sedang tertidur nyenyak. Aku membangunkannya dengan lembut. Mengelus pelan pucuk kepalanya dan mengusap lembut lengannya.“Sayang, Nak. Ini Bunda, Cahaya bangun yuk, Sayang. Mandi dulu terus makan, habis itu main sama Bunda, yuk, Nak!” ujarku masih terus berusaha me
##BAB 23 Cahaya BerubahSemenjak adu mulut tempo lalu, aku seakan terasingkan di rumahku sendiri.Cahaya sama sekali tak menghiraukan kehadiranku. Dia lebih banyak diam dan merenung. Sesekali tersenyum dan menanggapi singkat itu pun jika dengan Rosa dan Mas Frengky.Sepertinya Cahaya mudah sekali memaafkan Ayahnya. Apa dia tak tahu bagaimana Ayah tercintanya itu memperlakukan aku sebagai ibu kandungnya?Mas Frengky memang Ayah yang baik untuk Cahaya, tapi tidak dengan menjadi suami yang baik untuk diriku.Aku pun tak ambil pusing, aku perlu segera mengumpulkan bukti ini dan menyelamatkan aset berhargaku, sebelum menuntut perceraian.Hanya saja bukti kuat belum aku dapatkan. Sepertinya Rosa dan Mas Frengky sudah mulai memasang waspada. Mungkin saja mereka sudah tau bahwa aku mulai mencurigai gerak-gerik mereka. Setiap hari aku putar dan tonton, tidak ada yang aneh. Seperti biasa, Rosa mengantarkan Cahaya sekolah tiap pagi. Mas Frengky pun lebih sering berangkat pagi dan baru pulang men
##BAB 24 Isi Belanja RosaMataku terbelalak sedikit lebar saat melihat isi kantong belanja milik Rosa.Ada satu set skincare dengan merk S# II yang aku tau harga satuannya berkisar delapan ratus ribu rupiah. Ada lebih dari delapan macam seri dalam kantong tersebut.Ada juga satu stel mini dress transparan seharga empat ratus ribu rupiah, berwarna hitam dengan pita merah yang begitu terkesan eksotis.Ku keluar kan semua beberapa kantong belanja yang dijadikan satu tersebut. Bak polisi yang menggeledah pencuri, aku terus membabi buta mengeluarkan seluruh isi kantong tanpa sisa.Ada beberapa lipstick, sepatu, heels dan pakaian dalam. Juga beberapa pembalut dan pil kontrasepsi dengan harga ratusan ribu.Aku terkekeh, menertawakan diriku sendiri yang dengan mudahnya dibodohi oleh makhluk jahan#m seperti mereka.“Rosa ... ini belanjaan punyamu semua ‘kan?” tanyaku seraya tertawa kecil.“Hentikan! Kamu nggak berhak mengganggu privasi Rosa seperti itu!” kata Mas Frengky sembari berusaha merai
##BAB 25 Rosa MelawanANAKKU MENJADI SAKSI MATA PERSELINGKUHAN SUAMIKUBAB 25“Cepat serahkan semua barang pemberian dari Mas Frengky. Jangan coba-coba menyembunyikannya. Atau kamu akan tahu akibatnya jika mencoba bermain-main dengan orang yang sakit jiwa sepertiku!” ujarku tegas.Rosa dengan mengerucutkan bibir membuka resleting kopernya. Ia mengeluarkan satu set perhiasan, beberapa potong pakaian yang masih tersegel dan aneka skin care yang belum sempat ia buka.“Ambil itu semua!” kata Rosa dengan gaya sombong.“Bagus, kamu nggak cocok soalnya pake barang-barang gini,” ujarku dengan senyum mengejek.“Oh, ya, Mas. Mana uang dua puluh lima juta yang aku transfer tadi pagi? Tolong kembalikan, cash atau melalui transfer malam ini juga!” kataku seraya menengadahkan tangan ke arahnya.“Loh, mana bisa? Itu kan uang modal untuk Resto, Bun. Ya sudah habis untuk belanja,” lirih Mas Frengky.“Oh, sudah habis untuk membelanjakan gundikmu? Jangan berpura-pura. Aku tahu untuk uang modal beserta g
##BAB 26 Rindu Cahaya“Apa maksud kamu?” tanya Mas Frengky dengan curiga. Ia menatap Rosa dengan wajah penasaran.“Eh, anu ... itu, maksud aku. Aku hanya mengikuti naluri sebagai seorang perempuan, Mas. Bagaimana pun aku akan menjadi seorang Ibu kelak.” Rosa tersenyum simpul, matanya mengerjap sesekali.“Kok aku jadi penasaran, ya. Apa mungkin banyak hal yang kamu sembunyikan selama ini?” tanyaku santai.“Apaan, sih. Aku Cuma salah ngomong, nggak usah ditanggepi segitunya kale.”Aku melihat Rosa yang sedang salah tingkah, bahkan sering kali dia menggigit bibirnya. Mungkin saja dia takut kelepasan.Aku tak menggubris mereka yang sedang saling pandang dengan tatapan yang sulit kuartikan.“Bagaimana, Nak? Cahaya mau ‘kan, ya, ikut Bunda?” sekali lagi aku masih berharap bisa membawa putriku satu-satunya agar terlepas dari jeratan dua insan yang tak tahu malu.“Maaf, Bunda. Aya tetep ikut Tante Rosa. Aya butuh Tante Rosa untuk nemani Aya bermain.” Jeglar!Bak disambar petir tanpa datangn
EPILOGEnam bulan kemudian ....“Pagi Sayang, have a nice day!” Aku sedikit kaget saat Hendra alias pria yang tengah sah menjadi imam ku memeluk pinggangku dari belakang. Sontak wajahku memerah, dia selalu saja berhasil membuat diriku melayang tinggi hingga menembus langit ketujuh.“Ngagetin aja, pagi juga, Mas!” sahutku seraya melanjutkan aktivitas mengiris daun bawang untuk pelengkap telur dadar sebagai sarapan pagi ini.Ya ... setelah menikah dengan Hendra selama hampir enam bulan ini, aku baru tahu bahwa dia suka sekali dengan telur dadar yang dicampur irisan daun bawang. Seakan tak pernah bosan, hampir setiap hari dia menginginkan masakan itu di setiap pagi untuk memenuhi asupan nutrisinya. Terkadang juga aku heran, bagaimana bisa lelaki dari keluarga berada dan bergelimang harta bisa mempunyai makanan favorit berupa telur ayam sederhana. Kenapa bukan masakan ala western atau mungkin makanan dengan gizi lengkap yang seimbang. “Kok diem? Ngelamun, ya?” tanya Hendra yang kini mend
##BAB 91 Akhir KisahBerkali-kali aku menghubungi Hendra, hingga puluhan panggilanku tak ada satu pun yang dijawab. Sampai pusing aku berjalan mondar-mandir bak setrika. Bu Wak bingung melihat tingkahku yang tak karuan. “Kenapa, toh, Ibu lihat dari tadi maju mundur kayak orang bingung. Ada masalah?” tanya Bu Wak terlihat perhatian, seperti biasa.Aku menggeleng, tentu saja hal seperti ini tak mungkin aku sampaikan kepada Bu Wak. Biarlah ini menjadi urusan pribadiku. Aku beranjak menuju ke kamar, tiba-tiba saja air mataku tumpah tanpa sebab. Aku tak tahu, apa yang aku rasakan hingga tiba-tiba menangis tanpa alasan. Masih dalam genggaman, kulihat layar ponsel yang masih sepi, tak ada tanda-tanda Hendra menghubungi ku kembali. Apa yang dia lakukan sebenarnya di sana?Hingga kecapekan menangis, membuatku ketiduran. Entah sudah berapa jam aku tertidur, ketika bangun ponselku sudah dipenuhi panggilan tak terjawab dari Hendra. Aku tak mendengarnya karena ponselku masih berada dalam mode sil
##BAB 90 Suara Wanita MencurigakanSUARA WANITA MENCURIGAKANANAKKU MENJADI SAKSI MATA PERSELINGKUHAN SUAMIKU (S2)“Kapan kamu siap untuk menikah? Mungkin kamu berkeinginan memilih tanggal yang cantik?” ucap Hendra.“Terserah saja, yang penting jadi menikah. Semua tanggal itu baik, ‘kan?” ujarku sembari tersenyum.“Iya juga, Papa sudah siap memfasilitasi semuanya. Aku hanya perlu menyiapkan mahar beserta mas kawin. Kamu mau apa?” tanya Hendra menatapku intens.Kami bertemu kembali di rumahku, setelah tiga hari dari rumah Ayah kemarin. Hendra pulang ke rumah Papanya untuk mengabarkan keputusanku tempo lalu. Alhamdulillah akhirnya Tante Sofia pun ikut menyetujui walaupun aku tahu mungkin dia terpaksa.“Yakin nih, aku bebas pilih sendiri mas kawinnya?” tanyaku dengan senyum menggoda.“Dengan senang hati!” Hendra menaik-turunkan alisnya memandangku.“Aku hanya bercanda, terserah kamu saja, deh!” ucapku seraya tertawa.“Bagaimana kalau pabrik usahaku saja yang kujadikan mahar?” tawar Hendr
##BAB 89 Keputusan NaylaKeesokan harinya, Hendra benar-benar serius dengan ucapannya. Pagi-pagi sekali dia sudah menjemputku, kami berencana akan pergi ke rumah Ayah. Berdua saja dan kali ini menggunakan mobilku.“Udah siap? Berangkat sekarang, ya?” tanya Hendra yang kini sudah berpakaian rapi, yakni kemeja lengan panjang, celana bahan dan sepatu pantofel. Menurutku dia lebih mirip seperti orang yang akan melakukan interview di perusahaan besar dari pada bertemu calon mertua. Eh ....Ah, membayangkan Hendra akan menjadi menantu Ayahku saja sudah membuatku berdetak hebat tak karuan begini. Aku benar-benar dibuat mabuk kepayang dengan pesonanya.“Yuk!” seruku bersemangat.Kami menempuh perjalanan sekitar dua jam, aku sengaja tak menghubungi Ayah dan Ibu jika ingin ke sana. Biar ini menjadi surprise nantinya. Hendra tampak gusar, beberapa kali mengusap wajahnya dengan handuk kecil berwarna hijau muda. Padahal tak ada peluh yang menetes, tapi ... entahlah apa yang dia bersihkan.“Kamu ke
##BAB 88 Melamar Nayla“Gimana, Nay? Kapan aku bisa menemui orang tuamu?” tanya Hendra membuatku terperangah. Rupanya dia serius dengan niatannya. Aku pun tampak berpikir, tak ada salahnya untuk mencoba. Lagian, bukankah ini memang tujuan awalku untuk memberikan balasan pada Rosa? Aku tersenyum menyeringai.“Kalau kamu serius, bisa temui orang tuaku besok. Di sana aku akan memberimu keputusan,” kataku dengan senyum mengembang. Hendra terlihat antusias, dia melirik ke arah Papanya yang diangguki dengan senyuman merekah. Sorot bahagia sangat terpancar dari netranya.“Oke, besok aku akan menemui kedua orang tuamu untuk meminta restu. Aku serius ini, Nay. Jangan pernah anggap niat baik ku sekedar main-main,” kata Hendra terdengar mengintimidasi. Aku hanya merespon dengan anggukan. Aku juga serius, meskipun niat sampingan juga karena iseng untuk balas dendam kepada Rosa. Setelah mengobrol banyak hal, aku memutuskan untuk mengajak Hendra pulang. Sebelum ke rumah, aku ingin mampir ke butik
##BAB 87 Pernikahan GladysHari ini Hendra akan menjemput ku untuk menghadiri pesta pernikahan Gladys. Sengaja aku tak mengajak Vano dan Bu Wak, tentu saja malas jika harus berhadapan lagi dengan Tante Sofia. Untuk sementara ini, aku akan menghindarinya terlebih dahulu. Aku mengenakan gamis bertajuk glamor mirip yang dipakai salah satu artis membahana. Tak lupa perhiasan dan cincin berlian tersemat manis di jari-jariku. Aku pun memakai hijab yang senada dengan warna gamisku. Tas bermerek dengan harga puluhan juta tak lupa bertengger manis di lenganku. Perfect sekali. Aku sengaja ingin tampil mewah agar tak selalu direndahkan, apalagi di mata Tante Sofia. Sudah cukup dia menghina diriku serta keluarga kecilku.Aku menaiki mobil Hendra dengan hati-hati. Berpakaian mewah seperti ini memang sedikit ribet dan harus tampil dengan elegan. Hendra menatapku takjub hingga tak berkedip. Kami menuju ke arah lokasi dengan ditemani obrolan renyah dan santai. Hendra tampaknya mulai kembali ceria dan
##BAB 86 Persepsi NaylaSaat aku membuka mata, rupanya sudah hampir sampai di rumah. Cukup lama juga aku tertidur, mungkin efek banyak pikiran membuatku susah tidur dari kemarin. Baru sekarang aku bisa tidur nyenyak meskipun sebentar, mungkin karena pikiranku yang plong. Sebelum turun, Hendra sempat mengingatkan untuk mengajak diriku hadir di acara pernikahan Reno dan Gladys yang akan diselenggarakan minggu depan. Aku belum mencari tahu bagaimana informasi perkembangan dari hukuman Mas Frengky. Mungkinkah Gladys tetap pada pendiriannya untuk membebaskan Mas Frengky? Atau berpura-pura tak peduli lagi, entahlah. Yang pasti, menurut pengacaraku bukti yang aku berikan beberapa waktu lalu sudah cukup kuat dan akurat untuk kembali memberikan hukuman tambahan buat Mas Frengky. Aku ingin lelaki durjana itu menerima hukuman yang pantas. Selain kedua kakinya yang tak berfungsi tentunya. Aku belum puas jika hanya kakinya saja yang tak berfungsi. Dia layak mendapatkan hukuman yang lebih parah dar
##BAB 85 Mengobrol dengan Rosa“Nayla ... maafkan aku,” ujar Hendra lirih. Terdengar menyayat di telingaku. Aku benci orang meminta maaf, aku bosan memberikan maaf terus-menerus.“Nggak usah dibahas, fokus sama menyetirmu, agar kita segera sampai!” Aku memalingkan wajahku menghadap ke jendela, tak ingin Hendra melihat bagaimana ada gurat kesedihan di sana.“Iya!” Hendra kembali fokus menyetir.Beberapa menit kemudian, kami telah sampai di kantor polisi, di mana Rosa menghabiskan sisa waktunya. Seorang petugas yang biasa menerimaku, menuntun kami masuk ke dalam ruangan berukuran 3x4 meter. Lima menit menunggu, seorang petugas berjenis kelamin wanita membawa Rosa menghadap padaku dan Hendra. Kami hanya diberi waktu lima belas menit untuk mengobrol. Ada bangku panjang menghadap ke dinding, aku duduk di sana. Sedangkan Hendra duduk berhadapan dengan Rosa yang disekat dengan triplek sebatas dada.“Akhirnya kamu datang juga. Nayla ternyata serius menepati janjinya padaku!” ujar Rosa dengan
##BAB 84 Menemui Rosa“Apa kau ingin bertemu dengan Rosa?” tanyaku dengan wajah sedatar mungkin. Padahal di dalam dada muncul rasa gejolak yang begitu aneh.“Iya, cepat atau lambat, aku harus menemuinya, Nay ... kenapa aku menjadi pria pengecut seperti ini?” Hendra menggeleng sembari menarik rambutnya dengan kedua tangan.“Sudah, jika kamu terus-terusan begini, nggak akan menyelesaikan keadaan. Hidup harus maju ke depan, tak baik hidup terbayang dengan kenangan,” ujarku seraya mengulas senyum.“Terima kasih, Nay ... kamu selalu bisa menjadi penyejuk untukku,” kata Hendra membuatku melayang tinggi. Namun, dengan cepat kutepis semua perasaan itu, aku tak boleh terlarut dalam rayuan Hendra sebelum pria itu memberiku kepastian.“Sama-sama. Kapan pun kamu mau ke sana, kamu bisa hubungi aku. Dengan senang hati aku pasti akan mengantarmu ke sana.” “Baiklah, biarkan aku menenangkan hatiku terlebih dahulu, aku ingin menemuinya dalam keadaan siap. Aku tak ingin menghancurkannya lagi, kasihan d