Bab 4
"Nda, tolong cepat ke rumah sakit. Ikshan terus saja berontak dan memanggil kamu," ujar dokter Ibnu dari seberang sana. "Baik, Dok. Saya akan segera ke sana," jawab Adinda. Adinda keluar dari kamarnya dan mengunci pintu kamar. Dengan langkah panjang Adinda melangkah keluar. Adinda berjalan ke arah jalan raya mencari taksi untuk mengantarnya ke rumah sakit jiwa. Ponsel Adinda terus saja berdering ada panggilan masuk dari dokter Ibnu. Adinda mengabaikan panggilan itu karena perasaannya saat ini tidak tenang dan pikirannya sudah jauh melayang tentang putranya tercinta. [Kamu ada di mana? Bisa lebih cepat] pesan masuk dari dokter Ibnu. [Saya masih dalam perjalanan.] Adinda akhirnya membalas pesan dokter Ibnu. Karena sudah tiga hari dokter Ibnu merawat Ikshan di rumah sakit membuat Adinda akrab dengan dokter berjenis kelamin laki-laki itu. Setibanya di rumah sakit, Adinda bergegas keluar dari mobil dan membayar ongkos taksi pada pak sopir. Sesudah itu Adinda berlari kecil masuk ke dalam rumah sakit dan dia pun akhirnya sampai di ruangan rawat putranya. Di dalam ruangan itu terlihat ada dua orang perawat dan juga dokter Ibnu yang tengah memegang kaki dan tangan Ikshan. "Ikshan harus diikat, dia terus saja berontak," kata Dokter Ibnu. "Lakukan yang terbaik, Dok. Yang tidak melukainya," ucap Adinda. Dia pasrahkan semuanya pada dokter dan juga perawat untuk kesembuhan putranya tercinta. Dua orang perawat pun langsung mengikat kedua tangan dan kaki Ikshan. Adinda mendekati putranya dan menyeka air mata yang terus merembes membasahi putranya itu. . "Mama, jangan ikat kaki dan tangan Ikshan. Mama, Ikshan takut. Papa jahat, Ma." Ikshan terus saja berteriak dan mengatakan jikalau papanya jahat padanya. Adinda meneteskan air matanya mendengar teriakan Ikshan yang terdengar pilu. "Mama, Ikshan takut! Mama, lepasin Ikshan, jangan ikat Ikshan, Ma!" teriak Ikshan lagi. "Iya, sayang. Mama akan lepasin ikatannya, tapi Ikshan janji sama Mama. Ikshan tidak boleh berontak, ya?" Adinda tidak tega melihat tangan dan kaki putranya diikat. Dengan penuh hormat Adinda meminta pada perawat untuk melepaskan ikatan tali pada tangan dan kaki Ikshan. Setelah terlepas dengan cekatan bocah gila itu langsung memeluk erat Ibunya dan bertubi-tubi mendaratkan kecupan. Dengan isak tangis, Adinda memeluk erat buah cintanya itu dengan rasa sakit yang mendalam. Hati Adinda sangat sakit melihat sang buah cinta jadi gila karena ulah lelaki yang darahnya mengalir darah tubuh putranya itu. 'Mereka jahat sama kamu, sayang. Mereka jahat sudah buat kamu seperti ini.' Adinda bergumam dalam hati. 'Ya Tuhan Yang Maha Esa berilah kesembuhan untuk putraku tercinta. Jika hamba berbuat dosa yang membuat-Mu murka, hamba mohon kirimkan saja karma itu untuk hamba, jangan Engkau kirimkan pada putraku.' Adinda berucap lirih dan air matanya tak henti-hentinya mengalir membasahi wajahnya. Dengan deraian air mata Adinda terus saja memeluk Ikshan dan tangannya mengusap lembut punggung sang putra. Mendapatkan perlakuan manis dan lembut dari sang Ibu membuat hati dan perasaan Ikshan tenang. Bocah 11 tahun itu tertidur pulas dalam pelukan san Ibu. Walaupun dalam posisi tertidur lelap, selembar foto sang Ibu tidak terlepas dari genggamannya. Foto itu terus dia dekap di dadanya. Dokter memberikan kode pada Adinda meminta wanita itu untuk menidurkan Ikshan di tempat tidur. "Biarkan aku memeluknya sebentar, dia rindu dan butuh pelukan hangat dariku." Adinda masih ingin memeluk putranya dan membiarkan putranya tidur dalam dekapannya. Dokter Ibnu memberikan kesempatan Adinda untuk memeluk Ikshan, lalu dia juga membiarkan Adinda bersama Ikshan di dalam ruangan rawat. * * * "Ke mana, Adinda? Kenapa dia belum pulang juga?" tanya Lina. "Biarkan saja, Bu. Palingan dia sedang mencari keberadaan putranya yang gila itu." Roy tidak peduli dengan Adinda yang tak kunjung pulang, padahal jam sudah menunjukan angka 9 malam. "Roy, kamu harus bisa memanfaatkan dirinya itu. Kamu harus bisa mengambil kembali hatinya, Ibu tidak mau hidup miskin dan terlantar di luar sana." Lina mulai cemas karena bisa saja sewaktu-waktu Adinda tahu kebusukan mereka dan mengusir mereka dari rumah megah itu. "Iya, Bang. Kamu harus bisa mempertahankan Adinda dan secepatnya kamu ambil sertifikat rumah ini dan ubah jadi milik kita." Mira ikut berbicara dan meminta Roy untuk mengambil sertifikat rumah tersebut dan mengubah nama kepemilikan jadi milik mereka. "Betul, Mas. Kamu harus mengambil sertifikat rumah ini dan ubah menjadi nama kamu." Ita juga ikut berbicara dan membenarkan perkataan Mira. Roy tidak menjawab, dia diam sembari memikirkan cara untuk mengambil alih rumah itu jadi hak miliknya. "Kenapa kita baru kepikiran sekarang? Kenapa tidak kita lakukan sejak dulu sebelum Adinda kembali dari luar negeri?" ucap Lina. "Iya, Bu. Kita tidak kepikiran dulu?" ujar Roy. "Halah, kamu si tidak berguna. Kamu selalu saja ngeyel kalau dibilang sama Ibu." Lina mempersalahkan Roy. "Iya, Mas. Ini salah kamu!" Ita juga ikut mempersalahkan Roy. "Cukup! Kenapa kalian mempersalahkan aku?! Kalian pikir aku tidak pusing mikirin ini dan itu? Kalian kalau tidak bisa berbuat apa-apa silakan kalian pergi dari sini!" cecar Roy memarahi keluarganya. Saat ini Roy sangat pusing dan juga takut karena dia diancam akan dilaporkan ke kantor polisi. adinda lah yang mengancamnya. "Kamu usir Ibu? Dasar anak durhaka!" Lina mengatai Roy anak durhaka. "Cukup, Bu. Cukup memarahi Roy dan mempersalahkan Roy. Saat ini posisi kita semua terancam, Adinda akan melaporkan kita semua ke pihak polisi." "Kita bisa di penjarakan karena sudah melakukan penyiksaan pada Ikshan dan membuat bocah itu gila. Adinda sudah tahu kebusukan kita, Bu." Mendengar perkataan Roy, membuat mata Lina, Mira, Ita dan Ridho membulat sempurna. Mereka sangat syok. Lina yang terserang penyakit jantung pun langsung duduk di sofa dengan menekan dadanya kuat. Mira dan Ridho saling menatap, karena mereka lah yang paling parah menyiksa Ikshan dengan melakukan pele*ah4n pada keponakan mereka. Tidak hanya Mira dan Ridho, tetapi Roy juga melakukan hal itu pada putranya. Sungguh tak bermoral ketiga manusia itu. "Sekarang kita cari cara untuk bisa melenyapkan Adinda. Karena hanya dengan cara itu kita bisa bebas dari ancamannya," ujar Roy. Mereka semua diam dengan pikiran mereka masing-masing. Mereka memikirkan cara untuk menyingkirkan Adinda. "Aku tahu caranya," ucap Ridho buka suara setelah diam beberapa menit. Lina, Mira, Ita dan Roy melihat ke arah Ridho dan siap untuk mendengar cara dari pria itu untuk melenyapkan Adinda. "Aku akan mendatangi kamar Adinda dan aku ... Aku akan membunuhnya saat dia tertidur lelap," ucap Ridho. Tanpa mereka sadari Adinda mendengar semua pembicaraan mereka. 'Kalian yang akan bunuh,' gumam Adinda. Bersambung ...Bab 5Adinda baru saja pulang dari rumah sakit. Wanita itu melangkah masuk ke dalam rumah. Rumah itu sangat sepi karena para penghuni lain sudah pada tidur. Adinda melangkah menuju kamarnya, dia membuka pintu kamarnya dan melangkah masuk ke dalam kamarnya. Karena seharian jagain putranya di rumah sakit. Adinda menjatuhkan bokongnya di samping tepat tidur. dia memejamkan matanya dan seketika itu juga bayangan tentang Ikshan muncul dalam benaknya. 'Ikshan, maaf Ibu belum bisa tidur berdua denganmu,' gumam Adinda lirih. Tidak terasa air matanya mengalir dari pelupuk matanya. Akhir-akhir ini air mata itu terus saja mengalir tak henti saat mengetahui sang buah hati gilaAdinda menyeka air matanya dan dia bergegas bangkit berdiri dan merenggangkan otot-otot tangannya yang terasa remuk redam. Sesudah itu Adinda melangkah menuju kamar mandi, dia akan mengguyur tubuhnya guna melepaskan rasa penat dan juga rasa stres yang tengah melandanya. Tanpa diketahui oleh Adinda jika ada seseorang yan
Bab 6 anakku disiksa mertua dan ipar sampai gila.Suasana duka menelimuti keluarga Roy. Di mana saat ini, keluarga itu tengah di landa duka yang mandalam atas meninggalnya Ita, istri kedua Roy. Semua orang yang datang di rumah itu memakai pakaian warna hitam sebagai lambang duka.Roy, Lina, Mira dan Ridho. Mereka terus saja menangis sesenggukkan merasa kehilangan orang yang mereka cinta dan juga orang yang selama ini mereka anggap sebagai ladang uang. Jika saat ini Roy dan keluarga menangis sesenggukan berbeda dengan Adinda, wanita itu terlihat sangat cantik dengan gaun warna merah.Penampilan Adinda berbeda dari yang lainya. Wanita itu merias wajahnya dengan sangat cantik dan juga memeloskan lipstik berwarna merah senada dengan gaun yang dipakainya. Semua parah melayat yang ada di rumah itu menatap Adinda dengan tatapan sinis. Tetapi tatapan mereka tidak membuat nyali Ibu satu anak itu menciut, justru tatapan sinis itu membuat Adinda semakin percaya diri dan berani.Adinda melangkah
"Kamu ...?" "Iya, aku ... Aku yang akan bongkar kebusukan kalian semua dan aku yang akan melaporkan kalian semua ke kantor polisi karena sudah membuat Ikshan g i l a!" ujar pria paruh baya itu dengan tegas. Roy mengepalkan kedua tangannya kuat. Dia tidak menyangka kalau pria paruh baya yang hilang selama ini kembali ke rumah. Pria paruh baya itu adalah Ferri, ayahnya Roy dan Mira. Ferri, sudah satu setengah tahun tidak kembali ke rumah itu karena dia tidak tega melihat anak dan istrinya yang terus berperilaku kasar pada Ikshan. Roy, Lina, Mira, dan Ridho. Mereka mereka tidak tenang dengan kembalinya Ferri, karena dengan kembalinya pria itu membuat posisi mereka terancam. Mereka terancam akan masuk penjara jika Ferri membeberkan semua perlakuan mereka pada pihak polisi. Roy dan Ridho mendekati pria itu dan menyeret pria dengan kondisi kaki kiri pincang masuk ke dalam rumah."Lepaskan Ayah, Roy! Sudah cukup kalian jahat sama Ikshan dan memeras Adinda untuk kepentingan kalian." Fer
Jarum jam sudah di angka 04.00 subuh, Roy belum juga tertidur. Pria itu terus saja kepikiran dengan orang misterius yang masuk ke dalam kamarnya itu.Pria itu terus saja guling ke kiri dan ke kanan, dia merasa tidak tenang.'Apa aku tidur saja di ruang tamu?' Pria itu bergegas turun dari tempat tidurnya dia menyambar selimut dan guling dibawanya ke ruang tamu. Roy meletakan guling di samping di sofa lalu dia tidur di sana. Roy langsung memejamkan matanya dan sekarang dia baru bisa tidur nyenyak. Sedangkan di dalam kamar Adinda sudah bangun tidur. Ibu satu anak turun dari ranjangnya dan berjalan ke arah toilet. Setelah dari toilet, Adinda membasuh wajahnya di kamar mandi. Selesai membasuh wajahnya, Adinda bersiap diri. Dia akan berangkat ke pasar pagi guna membelikan bahan masakan. Dia akan memasak untuk dia bawakan ke rumah sakit untuk sang putra. Adinda keluar dari kamarnya dan mencari sendalnya yang kemarin dia letakkan di teras rumah, tapi sekarang sendal itu sudah tidak ada di
“Apa kamu sudah menemukan keberadaan ayah?” “Belum, sepertinya pria tua dan tidak berguna itu sembunyi dari kita.” Ridho sudah berusaha mencari keberadan Ferri ke sana kemari, tetapi tak kunjung menemukan ayah mertuanya.“Apa katamu? Berani sekali kau mengatakan ayahku tidak berguna! Mulutmu itu aku sumbat nanti!” Roy tidak terima Ridho yang mengatai ayahnya tidak berguna.“Bukankah kamu juga mengatakan ayahmu begitu?” Ridho bingung dengan sikap Roy.Roy mengepalkan kedua tangannya dan rahangnya mengeras. Kemudian Roy mendekati Ridho menarik baju Ridho. “Hanya aku yang boleh mengatai kedua orang tuaku! Dan kamu tidak boleh mengatakan itu, jika sekali lagi aku mendengar mulutmu akan aku pecahkan!”“Oke, aku tidak akan ulangi lagi.” Ridho menepis tangan Roy yang menarik bajunya.Roy menepis tangannya dan menjauh dari suami Kakak perempuannya itu. “Sekarang juga kamu harus mencari keberadaan ayah dan bawa pria tua itu ke hadapan aku.” Roy kembali perintah Ridho untuk memncari keberadaa
"Dokter Ibnu?" "Iya, saya." Ternyata dokter Ibnu lah yang membekap mulut Adinda dan membawa wanita itu ke dalam mobilnya. "Kita harus pergi dari sini sebelum suamimu dan keluarganya tahu." Dokter Ibnu melesatkan mobil menuju ke rumah sakit. "Ikshan sudah membaik, tapi luka pada tubuh bagiannya juga sudah kering. Saat ini dia butuh kamu untuk selalu ada di sampingnya," kata Dokter Ibnu. "Iya, Dok. Maaf sudah merepotkan Dokter," ucap Adinda. "Tidak masalah, asal Ikshan sembuh dan bisa kembali beraktifitas seperti anak-anak lain." Dokter Ibnu sangat kasihan pada Adinda dan Ikshan, oleh sebab itu dia membantu Ibu dan anak itu. Dokter Ibnu juga memberikan perawatan dan pengobatan yang terbaik untuk Ikshan."Saya minta kamu untuk tetap ada di samping, Ikshan. Dia butuh Ibu dan pelukan hangat darimu." Dokter Ibnu meminta Adinda untuk tetap di rumah sakit. "Iya, aku akan tetap ada di sampingnya. Tapi untuk sementara aku harus mencari tahu semua kebusukan suami dan keluarganya. Aku akan
"Siapa yang letakkan rekaman ini?" gumam Adinda.Adinda yang penasaran dengan isi rekaman itu, dia sambungkan alat itu di ponselnya dan mulai mengotak atik rekaman itu. video rekam itu masih berputar beberapa detik dan setelah itu tampillah video yang membuat Adinda membulatkan matanya kedua tangannya menutup muulutnya."Ridho?" Tangan Adinda bergetar hebat saat melihat video yang diputar lewat ponselnya. Di mana di dalam video itu terlihat jelas Ridho tengah melakukan hal yang seharusnya tidak pantas dilakukan seorang paman pada ponakannya. tapi di dalam video itu terlihat Ridho seperti bukan seorang paman, tetapi seperti setan. Melihat Ridho melakukan hal bejat membuat Adinda langsung lempar rekaman itu di atas tempat tidur. Dia tidak kuat melihat sang putra yang menangis histeris saat laki-laki bertubuh kekar itu melakukan hal bejat padanya. Air matanya tak henti-hentinya luruh dan tubuhnya bergetar hebat. Ditambah lagi mendengar teriakan Ikshan di dalam video itu membuat uluh
"Kamu kenapa, Mir? Kenapa wajah kamu lebam semua? Apa apa terjadi dengan kamu?" Lina sangat cemas melihat wajah cantik istri yang biru seperti dipukul orang. "Tidak kenap kok, Bu. Ini karena Mira salah skincare makanya lebam seperti ini." Mira berbohong. Dia terpaksa berbohong karena di meja itu ada Adinda.Adinda terlihat santai saja, dia menyeruput susu buatnya dan menyantap roti tawar yang sudah dibaluri selai. Tetapi matanya menatap tajam ke arah Mira dengan tatapan penuh ancaman yang sangat berbahaya.Sedangkan Lina heboh dengan kondisi kedua anaknya yang bangun pagi muka sudah penuh dengan lebam. "Kamu juga Roy, kenapa wajah kamu juga seperti itu?" tanya Lina. "Tidak kenapa-kenapa," jawab Roy juga berbohong, karena tidak mungkin dia jawab dengan jujur pada Ibunya apa lagi di meja makan ada Adinda. "Sudah, Bu. Ayo, sekarang kita sarapan." Mira menuntun Ibunya untuk duduk kembali di kursi. Lina duduk di kursinya dan Roy duduk didekat Ibunya. Sedangkan Mira, wanita itu terp
ANAKKU GILA SAAT AKU JADI TKW S216 TAHUN KEMUDIANPART 1“Ibu, Ayah, Ikhsan berangkat dulu, ya?” pamit Ikshan pada kedua orang tuanya. “Iya, sayang. Hati-hati di jalan,” jawab Ibnu pada putra smabungnya. “Tunggu adik kamu, Ikshan.” Adinda meminta putranya untuk tunggu putrinya. “Iya, Bu. Ikhsan tunggu di mobil,” jawab Ikhsan dan melangkah menuju mobilnya. Pernikahan Adinda dan Ibnu dikarunia seorang putri cantik yang sekarang mas duduk kelas satu SMA. Putri Ibnu dan Adinda bernama Jelita Mukaira. Sedangkan Ikshan sendiri adalah seorang dokter spesialis kejiwaan. Ikshan mengikuti jejak Ayah sambungan dan sekarang dia ditugaskan di rumah sakit yang dulu Ayahnya bertugas. “Sayang, buruan kakak sudah nungguin di mobil.” Adinda meminta putrinya untuk cepat-cepat ke mobil karena sudah di tungguin oleh Ikhsan. “Iya, Bu.” Jelita keluar dari kamarnya dengan sedikit berlari sambil menggendong tas di pundaknya. “Arunika? Aru?” panggil Adinda. Putri dari mantan suaminya itu belum juga k
Hari ini adalah hari bahagia Adinda dan Ibnu. Di mana saat ini dua pasangan itu tengah merayakan pernikahan mereka. Adinda sangat anggun dengan gaun pernikahan warna putih dan wajahnya terlihat sangat cantik dengan polesan make tipis. Sedangkan Ibnu, terlihat sangat tampan dengan setelan jas hitam yang sama dengan putra sambungnya. Kedua orang tua Ibnu sendiri memakai pakaian hitam putih sama seperti yang dikenakan oleh kedua mempelai. Sedangkan para undangan diwajibkan untuk memakai baju warna sage. Pernikahan Ibnu dan Adinda sangat meriah dengan dekorasi yang sangat bagus. Setelah bersalaman dengan kedua mempelai para tamu undangan langsung di arahkan untuk mengambil makanan yang sudah terhidang di atas meja makan. Selain para tamu undangan yang diundang oleh keluarga Ibnu, ada juga Ferri yang hadir di sana. Dia juga mengucapkan selamat pada Adinda dan Ibnu. Setelah itu pria paruh tua itu menyantap makanan bersama para tamu undangan yang lain. Ikshan duduk dan makan bersa
"Ayah?" "Iya, ini Ayah. Ayah yang kamu sekap di dalam gudang dalam keadaan kaki dan tangan kalian ikat," ucap Ferri. Mendengar perkataan sang Ayah, Roy tertunduk malu dengan mata yang berkaca-kaca. Dia menyesal karena telah melukai hati Ayahnya."Ayah? Roy, Roy minta maaf. Roy, salah Ayah." Dengan suara bergetar, Roy meminta maaf pada Ferri. Ferri melangkah lebih dekat dengan putranya itu dan duduk didekat Roy. Kini jarak Ayah dan anak itu sangat dekat. Ferri menepuk pundak Roy dan matanya menatap putranya. "Bagaimana kabar ibu kalian?" Ferri menanyakan kabar istrinya pada Roy, putranya. "Ibu, ibu sakit, Ayah. Ibu stroke," jawab Roy nasih dengan kepala yang menunduk dan masih dengan rasa bersalah. "Bagaimana dengan kakakmu dan keluarganya?" Ferri kembali bertanya dan kali ini beliau menanyakan kabar putri pertamanya. Mira. Roy yang tadinya hanya mengetes air mata secara diam-diam, kini dia tidak bisa bendung lagi air matanya dan isak tangisnya pecah. "Kak Mira sudah meninggal
Saat ini Adinda Ibnu sudah sampai di rumah. Kedatangan mereka langsung disambut hangat oleh Ikshan. "Mama? Papa?" panggil Ikshan dan berlari ke dalam pelukan Ibnu. Ibnu sedikit membungkuk tubuhnya menyambut pelukan Ikshan. "Ayo, masuk dulu." ajak Marta. "Iya, Bu." Adinda, Ibnu dan Ikshan pun masuk ke dalam rumah. Ibnu langsung memberikan ponselnya membiarkan Ibnu untuk bermain game yang ada di ponselnya. Sedangkan Ibnu, Adinda dan kedua orang tua Ibnu mereka duduk di ruang keluarga. Adinda duduk bersebelahan dengan Marta, sedangkan Ibnu dia duduk didekat Ayahnya. "Nak Adinda sebelumnya saya selaku Ayah dari Ibnu meminta maaf kalau harus bicara sekarang sama kamu," ucap Rama dengan sangat hati-hati. Mendengar perkataan Ayah Ibnu, hati dan jantung Adinda berdebar sangat kencang. Tetapi dengan sebisa mungkin Adinda menenangkan hatinya. Ibnu melirik ke arah Adinda dan menganggukkan kepalanya seakan memberi kode pada Adinda untuk kuat. "Ayah harus bicarakan ini karena ada tetan
Suasana kediaman Roy didatangi oleh pihak polisi. Beberapa orang polisi langsung mengamankan Ridho di kantor polisi. Tentunya Ridho dengan senang hati menyerahkan dirinya pada pihak polisi. Sebelum dibawa oleh pihak polisi, Ridho menitipkan putri kecilnya pada Roy. "Aku titip Arunika," ucap Ridho pada Roy. "Bagaimana bisa kau mempercayai Arunika padaku. Sedangkan aku sendiri adalah seorang penjahat," ucap Roy dengan suara pelan."Jika kau tidak bisa menjaganya, tolong antarkan pada Adinda." Ridho meminta Roy untuk mengantar Arunika, putrinya pada Adinda. "Hanya dialah yang akan menjaga Arunika dengan sepenuh hati," tambahnya. Setelah itu Ridho langsung ikut bersama polisi. Roy tidak bisa berbuat apa-apa. Saat ini dia pusing dengan kondisi jasad kakaknya yang akan dimakamkan, tetapi tidak ada satupun warga yang mau membantunya untuk memakamkan jenazah Mira. Roy duduk di sofa dengan kedua tangan yang diletakkan di atas kepalanya. Dia benar-benar bingung saat ini. Dia tidak tahu
"Jadi selama Kak Mira pura-pura gila?!""Apa karena Kakak tidak mau rawat ibu? Iya?!" Roy baru tahu jika Kakaknya itu hanya pura-pura gila dan yang membuat marah ternyata Kakaknya itu menginginkan rumah yang mereka tempati saat ini. "Aku tidak percaya kalau Kakak sejahat ini," ucap Roy dengan nada penuh kecewa."Sekarang juga kalian pergi dari sini! Kalian tidak berhak tinggal di sini!" Roy langsung mengusir Mira dan Ridho. "Haha. Kamu pikir kamu bakalan tinggal di rumah ini? Tidak akan, semuanya akan diambil kembali oleh Adinda dan dia pastinya akan jual rumah ini." Mira berbicara dengan nada sengit. "Pergi kalian semua! Jangan pergi kembali ke rumah ini!" teriak Roy mengusir Mira, Ridho dan putri mereka. "Iya, aku bakalan pergi dari sini. Aku tidak sudi tinggal di rumah ini," ucap Mira dan menarik tangan Ridho menuju kamar mereka.Setelah kepergian Mira dan Ridho ke dalam kamar, Roy menghela nafas panjang. Dia benar-benar capek dengan keadaannya saat ini. "Ini semua kesalahank
"Hari ini aku ke rumah Roy, aku akan minta sertifikat rumah." Adinda berbicara dengan Ibnu lewat panggilan suara. "Tunggu aku di rumah, aku sudah dalam perjalanan." "Kamu tidak kerja?" tanya Adinda. "Aku libur, sudah matikan telfonnya dulu dan tunggu aku di rumah. Tidak boleh ke mana-mana," kata Ibnu. "Oke, aku tunggu di rumah." Adinda dan Ibnu mematikan sambungan telfon mereka masing-masing. Adinda meletakkan ponselnya di atas meja, lalu dia menghampiri putranya yang sudah bersiap diri untuk berangkat sekolah. "Bu, apa hari ini papa Ibnu yang antar Ikshan ke sekolah?" tanya Ikshan sambil mengikat tali sepatunya. "Belum tahu, Sayang. Papa Ibnu masih dalam perjalanan," jawab Adinda dan berjongkok di hadapan sang putra. Dia mengikat tali sepatu putranya. Kini Ikshan sudah bersiap diri. Dia akan berangkat sekolah. Ikshan sudah masuk sekolah seperti biasa dan sekolah barunya Ikshan dekat di dengan rumah Ibnu.Tidak berselang lama terdengar suara deru mobil. Deru mobil itu adalah d
Hari ini adalah hari terakhir persidangan perceraian Roy dan Adinda. Hakim sudah mengetok palu tiga kali sebagai tanda bahwa kedua insan itu benar-benar berpisah. Adinda menghela nafas lega karena dia telah resmi berpisah dari laki-laki yang selalu disetir oleh ibnu dan saudarinya. Adinda merasa bebas dari keluarga biadab yang penuh drama itu. "Hah! Lega rasanya sudah bebas dari keluarga durjana itu," ujar Adinda. "Tapi aku belum tenang kalau belum mendapatkan sertifikat rumah itu," ucap Adinda dan raut wajahnya langsung berubah. "Aku harus mendapatkan sertifikat itu dalam waktu dekat, aku tidak mau wanita gila itu yang menguasai rumah yang beli dengan hasil jerih payaku."Setelah mengetahui Mira berpura-pura gila, akhirnya Adinda putuskan untuk mengambil kembali rumah itu dari mantan suaminya. Dan tentunya rumah itu akan dia jual dan uang itu akan dia sumbangkan ke panti asuhan. Setelah selesai persidangan Adinda langsung meninggalkan ruangan sidang Bab 23 anakku gila saat aku j
"Kenapa bengong saja? Apa yang kamu pikirkan?" Ibnu yang baru saja pulang kerja langsung menghampiri Adinda yang tengah berdiri bengong di depan jendela kamarnya. "Apa yang kamu pikirkan? Cerita sama aku, jangan dipendam sendiri," kata Ibnu. Tangannya mengelus pucuk kepala Adinda dengan sangat lembut. "Aku masih penasaran dengan orang yang menaruh rekam cctv di kamar aku waktu itu, dan sekarang aku curiga sama Mira. Aku curiga kalau wanita itu hanya berpura-pura gila." Adinda menjawab pertanyaan Ibnu. "Kamu mau tahu orangnya?" tanya Ibnu sambil tersenyum. Adinda menganggukkan kepalanya. "Ayo, biar aku nunjukin sesuatu biar kamu tidak penasaran dan tidak bengong seperti ini lagi." Ibnu menuntun Adinda untuk keluar dari kamar. Dia mengajak Adinda untuk duduk di sofa yang ada di ruang tamu. Ibnu mengambil tas kerjanya yang ada di mobil, lalu dia kembali menemui Adinda. Ibnu mulai buka tas kerjanya, dia mengeluarkan laptop dari dalam tasnya kemudian dia letakkan laptop di atas meja