"Kamu ...?"
"Iya, aku ... Aku yang akan bongkar kebusukan kalian semua dan aku yang akan melaporkan kalian semua ke kantor polisi karena sudah membuat Ikshan g i l a!" ujar pria paruh baya itu dengan tegas. Roy mengepalkan kedua tangannya kuat. Dia tidak menyangka kalau pria paruh baya yang hilang selama ini kembali ke rumah. Pria paruh baya itu adalah Ferri, ayahnya Roy dan Mira. Ferri, sudah satu setengah tahun tidak kembali ke rumah itu karena dia tidak tega melihat anak dan istrinya yang terus berperilaku kasar pada Ikshan. Roy, Lina, Mira, dan Ridho. Mereka mereka tidak tenang dengan kembalinya Ferri, karena dengan kembalinya pria itu membuat posisi mereka terancam. Mereka terancam akan masuk penjara jika Ferri membeberkan semua perlakuan mereka pada pihak polisi. Roy dan Ridho mendekati pria itu dan menyeret pria dengan kondisi kaki kiri pincang masuk ke dalam rumah. "Lepaskan Ayah, Roy! Sudah cukup kalian jahat sama Ikshan dan memeras Adinda untuk kepentingan kalian." Ferri terus berontak melawan Roy dan Ridho yang menyeretnya masuk ke dalam rumah. "Diam kau pria tua!" pekik Roy. "Lepaskan aku biada —" Bugh! Ucapan Ferri terputus karena pria itu tersungkur di lantai karena dipukuli oleh Roy dan Ridho. "Seret pria tua ini ke gudang!" perintah Roy pada Ridho. Tidak menunggu diperintah dua kali, Ridho pun bergegas menyeret tubuh Ferri ke dalam gudang. Sedangkan Roy, pria brengsek itu mengibas tangannya dan kembali berkumpul dengan Lina dan Mira. "Adinda datang," bisik Mira saat melihat Adinda keluar dari taksi. "Untung saja pria tua itu sudah kita amankan, kalau tidak bisa gawat." Roy merasa lega karena Ferri sudah diseret oleh Ridho di gudang dan menguncinya di gudang. Adinda tidak peduli dengan keberadaan orang-orang di rumah itu, dia melangkah masuk ke dalam rumah dan berjalan menuju kamar. Saat Adinda hendak menaiki anak tangga menuju kamarnya, dia tidak sengaja berpapasan dengan Ridho yang berjalan dari arah dapur sembari mengibas tangannya. Adinda mengabaikan pria itu, dia melangkah menaiki anak tangga menuju kamarnya. Adinda masuk ke dalam kamarnya dan menguncinya. "Sepertinya ada yang mereka sembunyikan dari aku dan pasti mereka merencanakan sesuatu," ujar Adinda sambil menduduki bokongnya di samping tempat tidur. Adinda mengambil ponsel dari dalam tasnya dan membuka camera cctv yang sudah dia sambungan pada ponselnya. Adinda sudah meminta orang untuk pasang cctv di dalam rumah itu dan tentunya dipasang dengan sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui oleh manusia-manusi biadab itu. Amira membuka cctv dari kamarnya, di sana dia tidak melihat apapun. Lalu dia mengecek cctv yang ada di depan terasa dan di sana dia melihat Ferri, Ayah mertuanya. Tentunya melihat pria paruh baya itu membuat Adinda terkejut. "Ayah? Apa benar ini rekaman cctv hari ini?" gumam Adinda dan kembali mengecek tanggal pada video cctv itu. "Iya, benar. Ini rekaman hari ini." Adinda kembali memutar video rekaman cctv itu dan dia pun menontonnya, tetapi tiba-tiba video itu mati karena baterai ponsel Adinda habis. "Sialan!" umpat Adinda. Dia pun langsung mengisi daya pada ponselnya itu. Adinda lupakan video rekam itu, sambil menunggu bateri ponselnya terisi penuh, Adinda melangkah menuju kamar mandi dan mengguyur tubuhnya. Sedangkan di ruangan keluarga,Roy masih berkumpul bersama Lina, Mira dan Ridho. "Apa kamu sudah ikat kaki dan tangan pria tua itu?" tanya Mira. "Sudah. Dia tidak akan bisa kabur dan dia tidak akan bisa melaporkan kita pada pihak polisi ataupun melaporkan perlakuan kasar kita pada Adinda." Ridho merasa Ferri aman di dalam gudang. Karena kaki dan tangan pria itu dia ikat sangat kuat. "Bagus, ini baru suami aku." Mira memuji suaminya itu. "Ayo, kita semua kembali ke kamar kita masing-masing biar Adinda tidak curiga pada kita semua." Lina pun meminta putra putri dan mantunya untuk kembali ke kamar masing-masing. "Ayo!" sahut Roy,Ridho dan Mira, bersamaan. Mereka pun langsung masuk ke dalam kamar mereka masing-masing. * * * Jarum jam sudah menunjukan di angka 00.00. Penghuni rumah itu sudah tertidur lelap. Sedangkan di dalam gudang itu sangat gelap. Di mana di dalam gudang itu ada Ferri. "Tolong! Tolong lepaskan aku!" teriak Ferri. Pria itu baru bangun dari pingsan. "Aku harus bisa lepas dari ikatan anak durhaka itu, aku harus pergi dari sini." Ferri bergumam dan terus berusaha dan mencari agar bisa melepaskan ikatan tali pada tangan dan kakinya dan juga membuka mulutnya yang dibekap oleh Ridho. "Tolong! Tolong!" teriak Ferri dengan suara yang tidak terdengar jelas. "Apa yang harus aku lakukan?" tanya Ferri monolog. Dia bingung dengan kondisi saat ini. Apa lagi dia dalam kondisi di ikat ditambah ruangan itu gelap gulita. Jika saat ini Ferri tengah bersusah paya berusaha untuk bisa melepaskan diri dan kabur dari sana, berbeda dengan Roy. Pria itu kembali bangun dari tidurnya karena kepelet pipis. Roy melangkah masuk ke dalam kamar mandi dan membuang air kecil. Saat Roy hendak kembali ke tempat tidurnya, tiba-tiba lampu kamarnya mati dan gelap gulita lah kamar itu tanpa pencahayaan apapun. "Pa, sakit! Pa, jangan sakiti Ikshan, Pa. Ikshan janji akan nurut sama Papa!" Suara isak tangis Ikshan. "Papa, jangan!" "Cukup, pa. Ikshan minta maaf." Suara itu jelas terdengar oleh Roy. Roy membulatkan matanya dan dia berusaha untuk melangkah menuju saklar lampu, tetapi sangat disayangkan sekali tubuh pria itu jatuh tersungkur karena terhalang oleh seseorang. "Cukup, Pa.pantat Ikshan sakit!" Suara Ikshan kembali terdengar jelas. Suara itu bukan diputar melalui alat rekam, tetapi suara itu nyata di dalam kamar. Roy semakin ketakutan, tubuhnya bergetar hebat saat tangan seseorang menyentuh pundaknya. "Siapa kamu! Jangan macam-macam kamu sama saya!" pekik Roy dengan suara tegas, tetapi tubuhnya bergetar hebat penuh ketakutan. "Papa, jahat! Papa jahat!" "Ikshan, diam kamu! Di mana kamu Ikshan?! Akan saya bunuh kamu!" Roy berusaha untuk bangkit dan mencari sumber suara itu. "Papa?" Suara itu sangat dekat di belakang Roy. Roy mencoba mengibaskan tangannya guna mencari keberadaan orang yang suaranya sama persis seperti suara putranya. "Di mana kamu Ikhsan? Kamu jangan main-main sama Papa! Papa habisi kamu!" Roy seperti orang gila yang terus mencari sumber suara dan keberadaan orang yang suaranya sangat-sangat mirip dengan putranya. "Bukan Papa yang akan habisi Ikshan, tapi Papa yang akan dihabisi oleh Ikshan." Roy semakin ketakutan dan dia berjalan ke arah saklar lampu dan menyalahkan lampu kamarnya. Dengan keringat dingin dan nafas yang terengah-engah, Roy mencari keberadaan orang yang suaranya sama persis seperti Ikhsan. "Di mana kamu? Keluar sini, jangan sembunyi kalau kamu berani!" teriak Roy. "Aku tidak takut sama kamu bocah gil—" Plak! Plak! Bugh! Tubuh Roy jatuh tersungkur, tak sadarkan diri. Orang bertopeng itu tersenyum dalam topengnya. Lalu dia keluar dari kamar Roy dan melangkah menuju kamar Adinda. Adinda tertidur pulas hingga dia tidak menyadari jika ada seseorang yang masuk ke dalam kamarnya. "Aku akan membantumu, aku akan membuat suami dan keluarganya gila sama seperti perbuatan mereka pada Ikshan." Bersambung ...Jarum jam sudah di angka 04.00 subuh, Roy belum juga tertidur. Pria itu terus saja kepikiran dengan orang misterius yang masuk ke dalam kamarnya itu.Pria itu terus saja guling ke kiri dan ke kanan, dia merasa tidak tenang.'Apa aku tidur saja di ruang tamu?' Pria itu bergegas turun dari tempat tidurnya dia menyambar selimut dan guling dibawanya ke ruang tamu. Roy meletakan guling di samping di sofa lalu dia tidur di sana. Roy langsung memejamkan matanya dan sekarang dia baru bisa tidur nyenyak. Sedangkan di dalam kamar Adinda sudah bangun tidur. Ibu satu anak turun dari ranjangnya dan berjalan ke arah toilet. Setelah dari toilet, Adinda membasuh wajahnya di kamar mandi. Selesai membasuh wajahnya, Adinda bersiap diri. Dia akan berangkat ke pasar pagi guna membelikan bahan masakan. Dia akan memasak untuk dia bawakan ke rumah sakit untuk sang putra. Adinda keluar dari kamarnya dan mencari sendalnya yang kemarin dia letakkan di teras rumah, tapi sekarang sendal itu sudah tidak ada di
“Apa kamu sudah menemukan keberadaan ayah?” “Belum, sepertinya pria tua dan tidak berguna itu sembunyi dari kita.” Ridho sudah berusaha mencari keberadan Ferri ke sana kemari, tetapi tak kunjung menemukan ayah mertuanya.“Apa katamu? Berani sekali kau mengatakan ayahku tidak berguna! Mulutmu itu aku sumbat nanti!” Roy tidak terima Ridho yang mengatai ayahnya tidak berguna.“Bukankah kamu juga mengatakan ayahmu begitu?” Ridho bingung dengan sikap Roy.Roy mengepalkan kedua tangannya dan rahangnya mengeras. Kemudian Roy mendekati Ridho menarik baju Ridho. “Hanya aku yang boleh mengatai kedua orang tuaku! Dan kamu tidak boleh mengatakan itu, jika sekali lagi aku mendengar mulutmu akan aku pecahkan!”“Oke, aku tidak akan ulangi lagi.” Ridho menepis tangan Roy yang menarik bajunya.Roy menepis tangannya dan menjauh dari suami Kakak perempuannya itu. “Sekarang juga kamu harus mencari keberadaan ayah dan bawa pria tua itu ke hadapan aku.” Roy kembali perintah Ridho untuk memncari keberadaa
"Dokter Ibnu?" "Iya, saya." Ternyata dokter Ibnu lah yang membekap mulut Adinda dan membawa wanita itu ke dalam mobilnya. "Kita harus pergi dari sini sebelum suamimu dan keluarganya tahu." Dokter Ibnu melesatkan mobil menuju ke rumah sakit. "Ikshan sudah membaik, tapi luka pada tubuh bagiannya juga sudah kering. Saat ini dia butuh kamu untuk selalu ada di sampingnya," kata Dokter Ibnu. "Iya, Dok. Maaf sudah merepotkan Dokter," ucap Adinda. "Tidak masalah, asal Ikshan sembuh dan bisa kembali beraktifitas seperti anak-anak lain." Dokter Ibnu sangat kasihan pada Adinda dan Ikshan, oleh sebab itu dia membantu Ibu dan anak itu. Dokter Ibnu juga memberikan perawatan dan pengobatan yang terbaik untuk Ikshan."Saya minta kamu untuk tetap ada di samping, Ikshan. Dia butuh Ibu dan pelukan hangat darimu." Dokter Ibnu meminta Adinda untuk tetap di rumah sakit. "Iya, aku akan tetap ada di sampingnya. Tapi untuk sementara aku harus mencari tahu semua kebusukan suami dan keluarganya. Aku akan
"Siapa yang letakkan rekaman ini?" gumam Adinda.Adinda yang penasaran dengan isi rekaman itu, dia sambungkan alat itu di ponselnya dan mulai mengotak atik rekaman itu. video rekam itu masih berputar beberapa detik dan setelah itu tampillah video yang membuat Adinda membulatkan matanya kedua tangannya menutup muulutnya."Ridho?" Tangan Adinda bergetar hebat saat melihat video yang diputar lewat ponselnya. Di mana di dalam video itu terlihat jelas Ridho tengah melakukan hal yang seharusnya tidak pantas dilakukan seorang paman pada ponakannya. tapi di dalam video itu terlihat Ridho seperti bukan seorang paman, tetapi seperti setan. Melihat Ridho melakukan hal bejat membuat Adinda langsung lempar rekaman itu di atas tempat tidur. Dia tidak kuat melihat sang putra yang menangis histeris saat laki-laki bertubuh kekar itu melakukan hal bejat padanya. Air matanya tak henti-hentinya luruh dan tubuhnya bergetar hebat. Ditambah lagi mendengar teriakan Ikshan di dalam video itu membuat uluh
"Kamu kenapa, Mir? Kenapa wajah kamu lebam semua? Apa apa terjadi dengan kamu?" Lina sangat cemas melihat wajah cantik istri yang biru seperti dipukul orang. "Tidak kenap kok, Bu. Ini karena Mira salah skincare makanya lebam seperti ini." Mira berbohong. Dia terpaksa berbohong karena di meja itu ada Adinda.Adinda terlihat santai saja, dia menyeruput susu buatnya dan menyantap roti tawar yang sudah dibaluri selai. Tetapi matanya menatap tajam ke arah Mira dengan tatapan penuh ancaman yang sangat berbahaya.Sedangkan Lina heboh dengan kondisi kedua anaknya yang bangun pagi muka sudah penuh dengan lebam. "Kamu juga Roy, kenapa wajah kamu juga seperti itu?" tanya Lina. "Tidak kenapa-kenapa," jawab Roy juga berbohong, karena tidak mungkin dia jawab dengan jujur pada Ibunya apa lagi di meja makan ada Adinda. "Sudah, Bu. Ayo, sekarang kita sarapan." Mira menuntun Ibunya untuk duduk kembali di kursi. Lina duduk di kursinya dan Roy duduk didekat Ibunya. Sedangkan Mira, wanita itu terp
"Kamu pikir kamu bisa mengalahkan aku? Tidak, kamu tidak akan bisa menyalahkan aku dan aku tidak akan pernah mau dikalahkan sama kamu wanita sialan!""Aku yang akan buat hidupmu menderita!"Adinda berucap dengan tubuh yang sedikit membungkuk di hadapan Mira. Adinda berhasil melawan serangan Mira dengan memukul kepala Kakak iparnya itu dengan bingkai foto hingga jatuh tersungkur di lantai.Adinda bangkit berdiri, lalu dia menyeret tubuh Mira keluar dari kamar. Dia akan mengurung wanita yang sudah menyakiti putranya itu di gudang.Sesampainya di gudang, Adinda mengikat kaki dan tangan Mira sama seperti yang dilakukan suaminya kalah itu pada Ikshan.Setelah diikat kaki dan tangan Mira, Adinda juga membekap mulut Mira dengan kain. Dengan begitu wanita itu tidak akan bisa kabur dan teriak meminta pertolongan orang lain.Sesudah itu Adinda bergegas meninggalkan gudang dan tidak lupa dia mengunci pintu gudang. Adinda kembali ke kamarnya, dia akan mengobati lukanya.Ibu dari Ikshan Muhammad i
Bugh! Suara tubuh terjatuh dan tersungkur di lantai. "Mati saja kau laki-laki pengganggu!"Tubuh Roy jatuh tersungkur di lantai kamar mandi. Pria itu benar-benar mabuk parah. Ibnu yang bersembunyi di balik pintu pun bergegas keluar dari kamar mandi dan mengajak Adinda untuk pergi dari sana. Ibnu tidak rela meninggalkan Adinda di rumah itu sendirian, apa lagi Roy yang mabuk seperti itu. Ibnu takut jika laki-laki itu melukai Adinda. "Ayo, kita pergi dari sini." Tanpa menunggu persetujuan Adinda, Ibnu menarik tangan Adinda keluar dari kamar itu. Adinda hanya bisa nurut karena dia juga merasa takut jika Roy melakukan hal yang tidak-tidak padanya. Ibnu bawa Adinda ikut bersamanya. Ibnu bawa Adinda ke rumah sakit. Dalam perjalanan Adinda hanya diam saja, dia tidak berbicara sepatah kata pun. "Maaf, kalau saya memaksa kamu untuk ikut bersama saya. Tapi yang jelas saya takut jika kamu tetap di rumah dan disakiti oleh suamimu yang sedang mabuk itu.""Tidak masalah. Saya juga takut mas
Adinda baru saja sampai di rumah, kepulangan ke rumah itu langsung disambut oleh Roy. Suaminya itu sudah berdiri di depan dengan kedua tangan lipat di depan dada. Adinda tidak peduli dengan keberadaan Roy, dia melangkah masuk melewati lelaki itu. Tetapi tangannya dicekal sehingga langkahnya terhenti. Tanpa menoleh ke arah orang yang menahan tangannya, Adinda menepis tangannya dengan kasar sehingga terlepas dari cekalan tangan orang di belakangnya. "Dari mana kamu? Kenapa kamu selalu keluar setiap hari?" Beberapa pertanyaan dilontarkan oleh Roy. "Aku cari Ikshan, apa kamu pernah berpikir untuk mencari keberadaan anak kita?" Adinda jawab dengan nada ketus. "Ups, aku lupa kalau kamu kan telah merekayasa kematian Ikshan." Tanpa merasa takut Adinda mengucapkan benaran yang ada. "Jaga ucapanmu Adinda, kamu harus terima kenyataan! Ikshan sudah mati!" Roy tetap kekeh menganggap Ikshan meninggal. Adinda tersenyum sinis dan berbalik badan menatap suaminya itu. Tanpa berkata-kata lagi, Ad
ANAKKU GILA S2 12Ibnu baru saja pulang dari kantor polisi, dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk bisa menolong Arunika dari kasus tersebut. Karena orang yang melaporkan Arunika ke pihak polisi memiliki bukti yang sangat kuat. Bukti berupa video dan juga foto saat Arunika saat membunuh korban. “Ayah tidak bisa membantu Arunika, semua bukti yang diserahkan ke kantor polisi sudah sangat jelas kalau dialah pelaku yang bunuh korban.” Ibnu berucap lirih dengan raut wajah sendu. “Jika barang bukti sudah membuktikan Arunika adalah pelaku, Ikhsan rasa kita tidak perlu mencari pembelaan apapun. Itu adalah kesalahannya dan dia harus terima hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.” Ikshan meminta kedua orang tuanya untuk tidak perlu mencari pembelaan untuk memperingankan hukuman pada sepupunya. “Tapi bagaimana kalau keluarga korban meminta hukuman mati?” Ibnu masih memikirkan Arunika, dan dia juga merasa kasihan pada gadis yang dia besarkan dengan kasih sayang. Ya, walaupun Arunika sering m
ANAKKU GILA SAAT AKU JADI TKWArunika berdiri di depan pintu dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Raut wajahnya terlihat sangat kegirangan. Ia tampak sangat senang melihat kedatangan Ivan.Ivan terlihat sangat buru-buru dengan raut wajah cemas. Laki-laki itu menyeret tangan Arunika masuk ke dalam rumah kontrakan wanita itu.Sikap Ivan membuat Arunika bingung dan penuh tanda tanya. Dia melepaskan tangan Ivan hingga tangan laki-laki itu menjauh darinya.“Apa-apaan kamu?!” bentak Arunika setelah berhasil melepaskan tangannya dari cengkeraman Ivan.Ivan menatap nyalang Arunika, begitu pula dengan Arunika yang tak kalah sengit menatap laki-laki di hadapannya.“Mana uang hasil kamu jual adik sepupu aku yang sialan itu?!” Arunika mengulurkan salah satu tangannya, meminta uang dari Ivan.Ivan mengibas tangan wanita itu dan tersenyum sinis. “Apa katamu? Uang? Tidak ada uang!” ucap Ivan sambil mendorong tubuh Arunika menjauh darinya.“Tidak ada uang? Adik sepupumu itu sudah bunuh ketiga
Jelita menundukkan kepalanya, membenamkan wajah di antara kedua lututnya. Tubuhnya bergetar hebat saat sebuah tangan menyentuh pundaknya dari belakang.“Kak Ikshan, Ibu, Ayah. Jelita takut,” gumam Jelita dalam hati, disertai isak tangis yang tidak bisa ia bendung lagi.“Jelita?” panggil suara seorang pria.“Jangan sentuh saya! Saya mohon, jangan perkosa saya,” Jelita memohon pada orang itu untuk tidak menyentuhnya, sambil menepis tangan yang ada di punggungnya.“Jangan takut, Jelita,” ucap pria itu, memegang kuat punggung Jelita dan merangkulnya dengan erat. Pria itu adalah Ibnu.Ibnu berhasil melacak keberadaan putrinya dan menemukannya menangis di pinggir jalan dalam keadaan takut.“Ini Ayah, Jelita.”Mendengar perkataan Ibnu, Jelita perlahan membuka matanya dan menoleh ke arah belakang. Ia menangis histeris saat melihat ayahnya memeluknya.“Ayah? Jelita takut.” Jelita semakin menangis.“Ayah, ada laki-laki bajingan yang mau menodai Jelita. Jelita takut, Ayah,” ucap Jelita sambil te
“Dia masih perawan. Jadi, saya minta bayarannya lebih mahal dari yang kemarin.” Laki-laki itu tengah bernegosiasi dengan teman-temannya. Laki-laki itu adalah Ivan, dan orang yang dimaksud olehnya adalah Jelita.Ivan menculik gadis itu saat dia tengah menunggu taksi di halte sekolah, dan itu semua atas perintah Arunika. Arunika sengaja melakukan itu agar bisa menggantikan dirinya untuk melayani teman-teman Ivan, dan uang dari teman-teman Ivan dibagi dua dengannya.“Bagaimana? Apa kalian mau?” tanya Ivan.“Berapa yang harus kami bayar?” tanya salah satu temannya Ivan. Laki-laki berperut buncit dan berkulit hitam itu adalah orang yang meniduri Arunika kemarin.“Kalian bertiga cukup membayarnya 10 juta, dan kalian bisa memakainya seharian,” ucap Ivan, menyebutkan nominal yang harus dibayar oleh teman-temannya.Ketiga teman Ivan masih berpikir, mereka saling memandang dan mencoba untuk berdiskusi.Sedangkan di dalam kamar, Jelita tengah berusaha untuk kabur dari laki-laki bejat itu.‘Aku h
Adinda berjalan mondar-mandir dengan perasaan tidak tenang memikirkan putrinya yang belum juga pulang. Padahal anak tetangga yang satu sekolah dengan Jelita sudah pulang sejak tadi. Apalagi ini sudah sangat sore, tetapi putrinya itu belum kunjung pulang juga.“Apa mungkin Jelita ikut Ikshan ke rumah sakit?” tanya Adinda pada suaminya.“Tidak tahu, Bu. Coba saja telepon Ikshan, Ayah juga tidak tenang. Ayah takut terjadi sesuatu sama Jelita,” kata Ibnu. Suami dari Adinda itu juga tidak karuan.“Ayah kok bilang begitu? Ibu kan makin takut,” kata Adinda. Sesudah itu Adinda mengambil ponselnya dan langsung menghubungi Ikshan.Tadinya Adinda sudah menghubungi Jelita, tetapi nomor anak gadisnya itu tidak dapat dihubungi. Tadinya juga Adinda masih berpikir positif tentang anaknya. Adinda berpikir mungkin anak gadisnya itu belajar kelompok bersama teman-temannya, tetapi pada akhirnya Adinda memikirkan yang tidak-tidak tentang putrinya. Dia dan Ibnu takut terjadi sesuatu pada Jelita dan memutus
Arunika tergeletak di atas tempat tidur dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Wanita itu baru saja digempur habis-habisan oleh teman-temannya Ivan. Arunika berusaha untuk bangun dan perlahan dia turun dari tempat tidur yang hanya beralaskan tikar plastik saja. Tentunya tubuhnya terasa remuk redam dan lemas. Saat ini Arunika hanya bisa pasrah dengan keadaannya, karena dia tidak mungkin untuk melawan kelima pria bertubuh tegap tersebut. Arunika berjalan pelan memungut kembali pakaiannya dan kembali mengenakannya kembali. Sesudah itu, dia keluar dari kamar dan saat dia keluar dari kamar dia langsung disambut dengan tawa sinis dari kelima laki-laki yang menidurinya beberapa menit lalu. Arunika tidak peduli dengan kelima pria itu, dia lebih memilih melangkah mendekati Ivan dan meminta lelaki itu untuk mengantarnya pulang. “Hai, p3l4cur?” sapa salah satu teman Ivan. Robby, namanya. “Haha.” Teman-teman Ivan yang lain tertawa saat mendengar Robby memanggil Arunika dengan sebutan p3l4cur
“Arunika benaran pergi dari rumah, Kak?” tanya Jelita saat dia tidak melihat Arunika di sana.“Iya, biarkan saja dia pergi. Nanti juga dia akan merasakan betapa susahnya hidup di luar sana,” kata Ikshan.“Tapi, Kak, kasihan dia lagi hamil.” Jelita merasa kasihan pada Arunika.“Itu kemauannya sendiri. Dia mau pergi dari rumah dan mau hidup bebas, jadi kita tidak perlu memikirkan dia.” Ikshan tidak ambil pusing lagi dengan sepupunya itu. Yang dia pikirkan saat ini adalah perasaan ibunya. Ikshan yakin suatu hari nanti Arunika pasti akan kembali lagi ke rumah itu.“Sudah, sekarang kamu buruan ambil tas, biar Kakak antar ke sekolah.” Ikshan akan mengantar adiknya ke sekolah. Hari ini dia masuk malam, jadi bisa antar adiknya ke sekolah.Jelita masuk ke dalam kamarnya, mengambil tas sekolahnya, dan digendong di pundaknya. Sesudah itu dia langsung meninggalkan kamarnya. Gadis cantik itu berpamitan pada kedua orang tuanya. Setelah berpamitan, putri dari Adinda dan Ibnu itu langsung berangkat d
Ikshan yang baru saja pulang kerja begitu terkejut mendengar suara kedua orang tuanya yang berbicara dengan suara keras dan bentak. Dengan cepat-cepat Ikshan berlari menaiki anak tangga menghampiri kedua orang tuanya yang berdiri di depan pintu kamar Arunika. Ikshan mengintip ke dalam kamar Arunika yang menangis di dalam kamar sembari memasukkan pakaian ke dalam tas. “Ada apa ini, Bu?” tanya Ikshan dengan suara pelan.“Arunika buat masalah lagi?” tanya Ikshan lagi. Kali ini pertanyaan Ikshan mendapatkan anggukkan kepala dari Ibnu, sedangkan Adinda terus saja mengomel Arunika yang tidak bisa atur. “Ayah dan Ibu ke kamar saja, biar Ikshan yang urus Arunika.” Ikshan meminta kedua orang tuanya untuk kembali ke kamar, dan dia yang akan mengurus sepupunya itu. Lagi dan lagi Ibnu menganggukkan kepala dan menuntun Adinda ke kamar mereka. Setelah kedua orang tuanya pergi, Ikshan melangkah masuk ke dalam kamar sepupunya yang dan dia akan bicara dengan wanita itu. Ikshan mendekati Arunika
“Dok, pasien di kamar 11 terus saja memanggil nama Dokter.” Pasien yang dimaksud oleh perawat itu adalah Roy.“Nanti saya ke sana.” Ikhsan menghela napas panjang, hatinya terasa berat untuk bertemu ayahnya. Ikhsan bangkit berdiri, dia mengambil sesuatu dari dalam laci, lalu dia masukkan ke dalam kantong bajunya. Dengan langkah panjang dan raut wajah datar, Ikhsan melangkah menuju ruangan Roy.Dengan perasaan yang susah dijelaskan, Ikhsan berdiri di depan pintu dengan kedua tangan yang masuk ke dalam kantong celananya. Sorot matanya terus saja melihat ke arah laki-laki yang darahnya mengalir di tubuhnya.Roy sendiri yang baru menyadari jika di depan pintu ada putranya yang dulu dia siksa dengan sangat keji hingga putranya itu mengalami gangguan jiwa. Sekarang putranya itu sudah tumbuh dewasa dan jadi dokter spesialis kejiwaan.“Ikhsan?” panggil Roy dengan mata berkaca-kaca.“Iya, aku Ikhsan. Aku Ikhsan yang kalian siksa kala itu, Ikhsan yang Ayah paksa kala itu untuk mengerjakan semua