"Ibu aku undang kamu dan Ikshan untuk makan malam di rumah." "Ibu kamu? Beliau kenal aku dan Ikshan?" Adinda terkejut saat Ibnu mengajaknya untuk makan malam bersama orang tua laki-laki itu. "Ya, aku yang ceritain tentang kalian ke ibu dan ayah. Kamu tidak marah kan?" Ternyata Ibnu sudah menceritakan pada kedua orang tuanya. Dia menceritakan semua tentang Adinda dan Ikshan. "Tidak marah, tapi aku malu." Adinda tersenyum kikuk dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Adinda merasa malu pada orang tua Ibnu. Dia malu karena dia hanyalah seorang wanita biasa yang tidak memiliki gelar apapun. Sedangkan Ibnu, laki-laki itu adalah seorang pria dengan gelar dokter spesialis. "Kenapa malu? Hmm?" tanya Ibnu dengan menaikan kedua alisnya. "Aku dan keluargaku terima kamu dan Ikshan dengan tulus hati, Adinda. Kamu tidak perlu berpikiran yang tidak-tidak dan tidak perlu membandingkan antara kehidupan keluargaku dan keluargamu. Kita semua sama.""Kita beda, Ibnu. Kamu lulusan sarjana. Sedan
"Maukah kau menjadi istriku?""Maukah kau menjadi istriku?" Lida Adinda terasa kelu tak bisa berkata-kata. Hanya air matanya yang berbicara, air matanya mengalir membasahi pipinya. "Ya, aku mau," jawab Adinda dalam hati. Dia belum bisa menjawabnya secara langsung pada pria itu. Karena dia masih ingin membicarakan itu semua pada putranya.Adinda akan meminta persetujuan dari Ikshan, karena saat ini yang diutamakan adalah kebahagiaan putranya."Maaf, aku belum bisa terima kamu. Aku ... Aku harus bicarakan terlebih dahulu pada Ikshan." Adinda tidak menerima lamaran Ibnu."Oke, aku sendiri yang akan bicarakan ini pada Ikshan. Aku yang akan meminta izin padanya," kata Ibnu dengan sungguh-sungguh.Setelah itu Ibnu kembali menutup kotak cincin dan dia kembali memasukan ke dalam kantong jasnya.Sesudah itu dua insan anak manusia itu duduk di kursi masing-masing, lalu mereka pun menikmati hidangan yang sudah disiapkan di atas meja.Tidak ada pembahasan di antara dua insan itu. Mereka begitu
"Kenapa bengong saja? Apa yang kamu pikirkan?" Ibnu yang baru saja pulang kerja langsung menghampiri Adinda yang tengah berdiri bengong di depan jendela kamarnya. "Apa yang kamu pikirkan? Cerita sama aku, jangan dipendam sendiri," kata Ibnu. Tangannya mengelus pucuk kepala Adinda dengan sangat lembut. "Aku masih penasaran dengan orang yang menaruh rekam cctv di kamar aku waktu itu, dan sekarang aku curiga sama Mira. Aku curiga kalau wanita itu hanya berpura-pura gila." Adinda menjawab pertanyaan Ibnu. "Kamu mau tahu orangnya?" tanya Ibnu sambil tersenyum. Adinda menganggukkan kepalanya. "Ayo, biar aku nunjukin sesuatu biar kamu tidak penasaran dan tidak bengong seperti ini lagi." Ibnu menuntun Adinda untuk keluar dari kamar. Dia mengajak Adinda untuk duduk di sofa yang ada di ruang tamu. Ibnu mengambil tas kerjanya yang ada di mobil, lalu dia kembali menemui Adinda. Ibnu mulai buka tas kerjanya, dia mengeluarkan laptop dari dalam tasnya kemudian dia letakkan laptop di atas meja
Hari ini adalah hari terakhir persidangan perceraian Roy dan Adinda. Hakim sudah mengetok palu tiga kali sebagai tanda bahwa kedua insan itu benar-benar berpisah. Adinda menghela nafas lega karena dia telah resmi berpisah dari laki-laki yang selalu disetir oleh ibnu dan saudarinya. Adinda merasa bebas dari keluarga biadab yang penuh drama itu. "Hah! Lega rasanya sudah bebas dari keluarga durjana itu," ujar Adinda. "Tapi aku belum tenang kalau belum mendapatkan sertifikat rumah itu," ucap Adinda dan raut wajahnya langsung berubah. "Aku harus mendapatkan sertifikat itu dalam waktu dekat, aku tidak mau wanita gila itu yang menguasai rumah yang beli dengan hasil jerih payaku."Setelah mengetahui Mira berpura-pura gila, akhirnya Adinda putuskan untuk mengambil kembali rumah itu dari mantan suaminya. Dan tentunya rumah itu akan dia jual dan uang itu akan dia sumbangkan ke panti asuhan. Setelah selesai persidangan Adinda langsung meninggalkan ruangan sidang Bab 23 anakku gila saat aku j
"Hari ini aku ke rumah Roy, aku akan minta sertifikat rumah." Adinda berbicara dengan Ibnu lewat panggilan suara. "Tunggu aku di rumah, aku sudah dalam perjalanan." "Kamu tidak kerja?" tanya Adinda. "Aku libur, sudah matikan telfonnya dulu dan tunggu aku di rumah. Tidak boleh ke mana-mana," kata Ibnu. "Oke, aku tunggu di rumah." Adinda dan Ibnu mematikan sambungan telfon mereka masing-masing. Adinda meletakkan ponselnya di atas meja, lalu dia menghampiri putranya yang sudah bersiap diri untuk berangkat sekolah. "Bu, apa hari ini papa Ibnu yang antar Ikshan ke sekolah?" tanya Ikshan sambil mengikat tali sepatunya. "Belum tahu, Sayang. Papa Ibnu masih dalam perjalanan," jawab Adinda dan berjongkok di hadapan sang putra. Dia mengikat tali sepatu putranya. Kini Ikshan sudah bersiap diri. Dia akan berangkat sekolah. Ikshan sudah masuk sekolah seperti biasa dan sekolah barunya Ikshan dekat di dengan rumah Ibnu.Tidak berselang lama terdengar suara deru mobil. Deru mobil itu adalah d
"Jadi selama Kak Mira pura-pura gila?!""Apa karena Kakak tidak mau rawat ibu? Iya?!" Roy baru tahu jika Kakaknya itu hanya pura-pura gila dan yang membuat marah ternyata Kakaknya itu menginginkan rumah yang mereka tempati saat ini. "Aku tidak percaya kalau Kakak sejahat ini," ucap Roy dengan nada penuh kecewa."Sekarang juga kalian pergi dari sini! Kalian tidak berhak tinggal di sini!" Roy langsung mengusir Mira dan Ridho. "Haha. Kamu pikir kamu bakalan tinggal di rumah ini? Tidak akan, semuanya akan diambil kembali oleh Adinda dan dia pastinya akan jual rumah ini." Mira berbicara dengan nada sengit. "Pergi kalian semua! Jangan pergi kembali ke rumah ini!" teriak Roy mengusir Mira, Ridho dan putri mereka. "Iya, aku bakalan pergi dari sini. Aku tidak sudi tinggal di rumah ini," ucap Mira dan menarik tangan Ridho menuju kamar mereka.Setelah kepergian Mira dan Ridho ke dalam kamar, Roy menghela nafas panjang. Dia benar-benar capek dengan keadaannya saat ini. "Ini semua kesalahank
Suasana kediaman Roy didatangi oleh pihak polisi. Beberapa orang polisi langsung mengamankan Ridho di kantor polisi. Tentunya Ridho dengan senang hati menyerahkan dirinya pada pihak polisi. Sebelum dibawa oleh pihak polisi, Ridho menitipkan putri kecilnya pada Roy. "Aku titip Arunika," ucap Ridho pada Roy. "Bagaimana bisa kau mempercayai Arunika padaku. Sedangkan aku sendiri adalah seorang penjahat," ucap Roy dengan suara pelan."Jika kau tidak bisa menjaganya, tolong antarkan pada Adinda." Ridho meminta Roy untuk mengantar Arunika, putrinya pada Adinda. "Hanya dialah yang akan menjaga Arunika dengan sepenuh hati," tambahnya. Setelah itu Ridho langsung ikut bersama polisi. Roy tidak bisa berbuat apa-apa. Saat ini dia pusing dengan kondisi jasad kakaknya yang akan dimakamkan, tetapi tidak ada satupun warga yang mau membantunya untuk memakamkan jenazah Mira. Roy duduk di sofa dengan kedua tangan yang diletakkan di atas kepalanya. Dia benar-benar bingung saat ini. Dia tidak tahu
Saat ini Adinda Ibnu sudah sampai di rumah. Kedatangan mereka langsung disambut hangat oleh Ikshan. "Mama? Papa?" panggil Ikshan dan berlari ke dalam pelukan Ibnu. Ibnu sedikit membungkuk tubuhnya menyambut pelukan Ikshan. "Ayo, masuk dulu." ajak Marta. "Iya, Bu." Adinda, Ibnu dan Ikshan pun masuk ke dalam rumah. Ibnu langsung memberikan ponselnya membiarkan Ibnu untuk bermain game yang ada di ponselnya. Sedangkan Ibnu, Adinda dan kedua orang tua Ibnu mereka duduk di ruang keluarga. Adinda duduk bersebelahan dengan Marta, sedangkan Ibnu dia duduk didekat Ayahnya. "Nak Adinda sebelumnya saya selaku Ayah dari Ibnu meminta maaf kalau harus bicara sekarang sama kamu," ucap Rama dengan sangat hati-hati. Mendengar perkataan Ayah Ibnu, hati dan jantung Adinda berdebar sangat kencang. Tetapi dengan sebisa mungkin Adinda menenangkan hatinya. Ibnu melirik ke arah Adinda dan menganggukkan kepalanya seakan memberi kode pada Adinda untuk kuat. "Ayah harus bicarakan ini karena ada tetan
ANAKKU GILA S2 12Ibnu baru saja pulang dari kantor polisi, dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk bisa menolong Arunika dari kasus tersebut. Karena orang yang melaporkan Arunika ke pihak polisi memiliki bukti yang sangat kuat. Bukti berupa video dan juga foto saat Arunika saat membunuh korban. “Ayah tidak bisa membantu Arunika, semua bukti yang diserahkan ke kantor polisi sudah sangat jelas kalau dialah pelaku yang bunuh korban.” Ibnu berucap lirih dengan raut wajah sendu. “Jika barang bukti sudah membuktikan Arunika adalah pelaku, Ikhsan rasa kita tidak perlu mencari pembelaan apapun. Itu adalah kesalahannya dan dia harus terima hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.” Ikshan meminta kedua orang tuanya untuk tidak perlu mencari pembelaan untuk memperingankan hukuman pada sepupunya. “Tapi bagaimana kalau keluarga korban meminta hukuman mati?” Ibnu masih memikirkan Arunika, dan dia juga merasa kasihan pada gadis yang dia besarkan dengan kasih sayang. Ya, walaupun Arunika sering m
ANAKKU GILA SAAT AKU JADI TKWArunika berdiri di depan pintu dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Raut wajahnya terlihat sangat kegirangan. Ia tampak sangat senang melihat kedatangan Ivan.Ivan terlihat sangat buru-buru dengan raut wajah cemas. Laki-laki itu menyeret tangan Arunika masuk ke dalam rumah kontrakan wanita itu.Sikap Ivan membuat Arunika bingung dan penuh tanda tanya. Dia melepaskan tangan Ivan hingga tangan laki-laki itu menjauh darinya.“Apa-apaan kamu?!” bentak Arunika setelah berhasil melepaskan tangannya dari cengkeraman Ivan.Ivan menatap nyalang Arunika, begitu pula dengan Arunika yang tak kalah sengit menatap laki-laki di hadapannya.“Mana uang hasil kamu jual adik sepupu aku yang sialan itu?!” Arunika mengulurkan salah satu tangannya, meminta uang dari Ivan.Ivan mengibas tangan wanita itu dan tersenyum sinis. “Apa katamu? Uang? Tidak ada uang!” ucap Ivan sambil mendorong tubuh Arunika menjauh darinya.“Tidak ada uang? Adik sepupumu itu sudah bunuh ketiga
Jelita menundukkan kepalanya, membenamkan wajah di antara kedua lututnya. Tubuhnya bergetar hebat saat sebuah tangan menyentuh pundaknya dari belakang.“Kak Ikshan, Ibu, Ayah. Jelita takut,” gumam Jelita dalam hati, disertai isak tangis yang tidak bisa ia bendung lagi.“Jelita?” panggil suara seorang pria.“Jangan sentuh saya! Saya mohon, jangan perkosa saya,” Jelita memohon pada orang itu untuk tidak menyentuhnya, sambil menepis tangan yang ada di punggungnya.“Jangan takut, Jelita,” ucap pria itu, memegang kuat punggung Jelita dan merangkulnya dengan erat. Pria itu adalah Ibnu.Ibnu berhasil melacak keberadaan putrinya dan menemukannya menangis di pinggir jalan dalam keadaan takut.“Ini Ayah, Jelita.”Mendengar perkataan Ibnu, Jelita perlahan membuka matanya dan menoleh ke arah belakang. Ia menangis histeris saat melihat ayahnya memeluknya.“Ayah? Jelita takut.” Jelita semakin menangis.“Ayah, ada laki-laki bajingan yang mau menodai Jelita. Jelita takut, Ayah,” ucap Jelita sambil te
“Dia masih perawan. Jadi, saya minta bayarannya lebih mahal dari yang kemarin.” Laki-laki itu tengah bernegosiasi dengan teman-temannya. Laki-laki itu adalah Ivan, dan orang yang dimaksud olehnya adalah Jelita.Ivan menculik gadis itu saat dia tengah menunggu taksi di halte sekolah, dan itu semua atas perintah Arunika. Arunika sengaja melakukan itu agar bisa menggantikan dirinya untuk melayani teman-teman Ivan, dan uang dari teman-teman Ivan dibagi dua dengannya.“Bagaimana? Apa kalian mau?” tanya Ivan.“Berapa yang harus kami bayar?” tanya salah satu temannya Ivan. Laki-laki berperut buncit dan berkulit hitam itu adalah orang yang meniduri Arunika kemarin.“Kalian bertiga cukup membayarnya 10 juta, dan kalian bisa memakainya seharian,” ucap Ivan, menyebutkan nominal yang harus dibayar oleh teman-temannya.Ketiga teman Ivan masih berpikir, mereka saling memandang dan mencoba untuk berdiskusi.Sedangkan di dalam kamar, Jelita tengah berusaha untuk kabur dari laki-laki bejat itu.‘Aku h
Adinda berjalan mondar-mandir dengan perasaan tidak tenang memikirkan putrinya yang belum juga pulang. Padahal anak tetangga yang satu sekolah dengan Jelita sudah pulang sejak tadi. Apalagi ini sudah sangat sore, tetapi putrinya itu belum kunjung pulang juga.“Apa mungkin Jelita ikut Ikshan ke rumah sakit?” tanya Adinda pada suaminya.“Tidak tahu, Bu. Coba saja telepon Ikshan, Ayah juga tidak tenang. Ayah takut terjadi sesuatu sama Jelita,” kata Ibnu. Suami dari Adinda itu juga tidak karuan.“Ayah kok bilang begitu? Ibu kan makin takut,” kata Adinda. Sesudah itu Adinda mengambil ponselnya dan langsung menghubungi Ikshan.Tadinya Adinda sudah menghubungi Jelita, tetapi nomor anak gadisnya itu tidak dapat dihubungi. Tadinya juga Adinda masih berpikir positif tentang anaknya. Adinda berpikir mungkin anak gadisnya itu belajar kelompok bersama teman-temannya, tetapi pada akhirnya Adinda memikirkan yang tidak-tidak tentang putrinya. Dia dan Ibnu takut terjadi sesuatu pada Jelita dan memutus
Arunika tergeletak di atas tempat tidur dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Wanita itu baru saja digempur habis-habisan oleh teman-temannya Ivan. Arunika berusaha untuk bangun dan perlahan dia turun dari tempat tidur yang hanya beralaskan tikar plastik saja. Tentunya tubuhnya terasa remuk redam dan lemas. Saat ini Arunika hanya bisa pasrah dengan keadaannya, karena dia tidak mungkin untuk melawan kelima pria bertubuh tegap tersebut. Arunika berjalan pelan memungut kembali pakaiannya dan kembali mengenakannya kembali. Sesudah itu, dia keluar dari kamar dan saat dia keluar dari kamar dia langsung disambut dengan tawa sinis dari kelima laki-laki yang menidurinya beberapa menit lalu. Arunika tidak peduli dengan kelima pria itu, dia lebih memilih melangkah mendekati Ivan dan meminta lelaki itu untuk mengantarnya pulang. “Hai, p3l4cur?” sapa salah satu teman Ivan. Robby, namanya. “Haha.” Teman-teman Ivan yang lain tertawa saat mendengar Robby memanggil Arunika dengan sebutan p3l4cur
“Arunika benaran pergi dari rumah, Kak?” tanya Jelita saat dia tidak melihat Arunika di sana.“Iya, biarkan saja dia pergi. Nanti juga dia akan merasakan betapa susahnya hidup di luar sana,” kata Ikshan.“Tapi, Kak, kasihan dia lagi hamil.” Jelita merasa kasihan pada Arunika.“Itu kemauannya sendiri. Dia mau pergi dari rumah dan mau hidup bebas, jadi kita tidak perlu memikirkan dia.” Ikshan tidak ambil pusing lagi dengan sepupunya itu. Yang dia pikirkan saat ini adalah perasaan ibunya. Ikshan yakin suatu hari nanti Arunika pasti akan kembali lagi ke rumah itu.“Sudah, sekarang kamu buruan ambil tas, biar Kakak antar ke sekolah.” Ikshan akan mengantar adiknya ke sekolah. Hari ini dia masuk malam, jadi bisa antar adiknya ke sekolah.Jelita masuk ke dalam kamarnya, mengambil tas sekolahnya, dan digendong di pundaknya. Sesudah itu dia langsung meninggalkan kamarnya. Gadis cantik itu berpamitan pada kedua orang tuanya. Setelah berpamitan, putri dari Adinda dan Ibnu itu langsung berangkat d
Ikshan yang baru saja pulang kerja begitu terkejut mendengar suara kedua orang tuanya yang berbicara dengan suara keras dan bentak. Dengan cepat-cepat Ikshan berlari menaiki anak tangga menghampiri kedua orang tuanya yang berdiri di depan pintu kamar Arunika. Ikshan mengintip ke dalam kamar Arunika yang menangis di dalam kamar sembari memasukkan pakaian ke dalam tas. “Ada apa ini, Bu?” tanya Ikshan dengan suara pelan.“Arunika buat masalah lagi?” tanya Ikshan lagi. Kali ini pertanyaan Ikshan mendapatkan anggukkan kepala dari Ibnu, sedangkan Adinda terus saja mengomel Arunika yang tidak bisa atur. “Ayah dan Ibu ke kamar saja, biar Ikshan yang urus Arunika.” Ikshan meminta kedua orang tuanya untuk kembali ke kamar, dan dia yang akan mengurus sepupunya itu. Lagi dan lagi Ibnu menganggukkan kepala dan menuntun Adinda ke kamar mereka. Setelah kedua orang tuanya pergi, Ikshan melangkah masuk ke dalam kamar sepupunya yang dan dia akan bicara dengan wanita itu. Ikshan mendekati Arunika
“Dok, pasien di kamar 11 terus saja memanggil nama Dokter.” Pasien yang dimaksud oleh perawat itu adalah Roy.“Nanti saya ke sana.” Ikhsan menghela napas panjang, hatinya terasa berat untuk bertemu ayahnya. Ikhsan bangkit berdiri, dia mengambil sesuatu dari dalam laci, lalu dia masukkan ke dalam kantong bajunya. Dengan langkah panjang dan raut wajah datar, Ikhsan melangkah menuju ruangan Roy.Dengan perasaan yang susah dijelaskan, Ikhsan berdiri di depan pintu dengan kedua tangan yang masuk ke dalam kantong celananya. Sorot matanya terus saja melihat ke arah laki-laki yang darahnya mengalir di tubuhnya.Roy sendiri yang baru menyadari jika di depan pintu ada putranya yang dulu dia siksa dengan sangat keji hingga putranya itu mengalami gangguan jiwa. Sekarang putranya itu sudah tumbuh dewasa dan jadi dokter spesialis kejiwaan.“Ikhsan?” panggil Roy dengan mata berkaca-kaca.“Iya, aku Ikhsan. Aku Ikhsan yang kalian siksa kala itu, Ikhsan yang Ayah paksa kala itu untuk mengerjakan semua