“Adik Pak Sapto menderita HIV berapa lama?” tanya Ambar setelah mereka keluar dari ruang dokter dan telah duduk berdua di kantin kembali.“Dia telah berobat rutin selama 6 bulan ini.”“Itu berarti, saat kejadian dia telah menderita itu?” tanya Ambar dengan nada heran.Pak Sapto sesaat terdiam lalu menarik napas panjang. Tampak pria berisi tersebut tersenyum tipis, lebih tepatnya sebuah pelampiasan rasa sedihnya. Pria tersebut tertekan juga dengan orientasi menyimpang yang dijalani sang adik.“Jujur saya katakan, virus HIV yang udah mengarah ke AIDS. Iksan semakin menjadi kelakuannya sejak terkena virus HIV dan itu menjadi AIDS. Adik saya udah dianggap mati oleh orang tua kami. Mereka malu karena dia tak pernah mau bertobat,” cerita sekilas dari Pak Sapto ini membuat Ambar ikut merasakan yang dialami pria ini dan keluarganya.“Saya ikut prihatin, Pak. Hal itu yang kini saya alami. Maaf, dia kena herpes juga?”“Iksan kena virus herpes hampir 3 bulan ini dan mungkin ada penyakit lain aka
“Siapa yang suruh kalian?" tanya sekuriti kepada kedua perawat palsu, setelah mereka sampai di kantor.“Widih, main suruh-suruh. Kami bukan pesuruh, tauk,” protes perawat palsu berbadan montok sembari gemetar.“Cintaaa ... eike, takuuut ...,” timpal yang satu segera memeluk sang teman.Akhirnya salah satu sekuriti menemukan ide jitu untuk memperlancar interogasi. Dia berbisik ke temannya yang berambut ikal.“Tolong pesanin minum untuk keduanya. Biar aku yang interogasi mereka.”“Baik.”Sekuriti berambut ikal tersebut segera berlalu ke arah kantin. Sedangkan, sekuriti berambut lurus mempersiapkan kertas di mesin ketik.Berhadapan dengan dua makhluk unik memang harus dengan cara berbeda, ucap sekuriti ini seraya memandang keduanya bergantian.“Zus-zus yang cantik membahana. Coba ceritakan, gimana awalnya kalian bisa berdandan seksi ala perawat gini?” tanya sekuriti dengan pandangan lurus ke arah keduanya.“Gimana dong, Cint ... hidup perlu doku,” jawab pria melambai berkulit eksotis sem
"Ada apa dengan, lu, Bar?” tanya Mita seraya menyibakkan rambut wanita di depannya yang telah basah oleh air mata.“Gu-gue pengen mati, Mit. Gue pengen bawa Brian mati aja. Begitu kejamnya dunia pada anak gue. Kenapa Mit?” Ambar menangis histeris dalam pelukan sang sahabat. “Geser, yuk! Biar gue yang nyetir. Habisin air mata lu dulu. Habis tuh, cerita semua ke gue. Okey?” Mita seketika ambil alih kemudi, setelah Ambar menggeser duduknya.Tak begitu lama mobil mengarah ke sebuah pantai. Ambar tak menyadari bahwa mobil telah melewati rumah sakit beberapa menit yang lalu.“Mit, sebelum sampe rumah sakit. Mampir beli mangga buat Brian, ya,” ucap Ambar seraya menyeka genangan air mata di kedua kelopak dan pipi.“Lu, telat. Kaga bilang dari tadi. Mo ke pante, nih. Maksud gue, biar emosi lu stabil dulu. Habisin di pante. Gimana? Mo balik ke penjual buah?” tanya Mita sembari memperlambat laju mobil.“Serius mo ke pante? Gila, lu! Ini udah lumayan jauh dari rumah sakit. Gue kaga terasa sampe
“Terima kasih atas infonya kemarin. Sekarang saya ingin tahu siapa wanita yang sering main ke kamar suami saya,” balas Ambar sembari meletakkan sepatu di balik pintu.“Oh, ya. Maaf, ditutup aja. Biar gak ketauan,” ucap Ambar yang kemudian si tuan rumah segera menutup pintu.Kebetulan anak buah Ambar ini adalah seorang lajang yang kos sendiri. Jadi, mereka lebih bebas untuk mengawasi gerak-gerik Hadi dari kamar tersebut. Kamar terletak dekat dari pintu gerbang dan letak kamar Hadi di bagian belakang. Otomatis, setiap Hadi datang dan pergi akan selalu lewat di depan kamar pegawai office girl tersebut. Kecuali Hadi mau jalan memutar, bisa lewat pintu belakang yang lebih jauh ke arah jalan raya.Ambar mengintip dari balik tirai, saat Hadi lewat dengan motornya. Sementara itu, pemilik kamar sedang ke dapur membuat minuman. Hingga minuman terhidang dan telah diminum separuh gelas, tak ada tanda-tanda Mita akan datang menemui Hadi.Tak berapa lama, ponsel di tas Ambar berbunyi. Wanita ini s
"Dobrak aja, Pak!” teriak salah satu penghuni kos yang ikut mendekati kamar Hadi.Ambar menitikkan air mata kesekian kali dan percaya bahwa dirinya semakin kuat dalam menjalani hidup setelah ini. Tak lama kemudian pintu terbuka dan Hadi muncul memakai pakaian rapi, tampak akan pergi keluar.“Selamat sore, Bapak-bapak. Maaf, saya tadi sedang di kamar mandi. Ada apa?” tanya pria tersebut dengan santun. Kedua matanya menatap ke arah Ambar yang terlihat emosi. Hadi melempar senyum tipis ke istrinya.“Maaf, Pak Hadi. Boleh kami masuk. Pak Rt, Bapak polisi dan Bu Ambar ingin ngobrol dengan Anda,” ucap pemilik indekos segera menguasai keadaan.“Sebenarnya, saya ada jadwal memberi les. Baiklah, silakan masuk!” balas Hadi sembari memberi jalan kepada lima orang tamu tak diundangnya.Ambar hanya duduk di ruang tamu, sedangkan yang lain sibuk memeriksa bagian kamar hingga ruang belakang serta jendela yang menghadap ke arah lahan kosong di belakang.Pemilik indekos tersenyum melihat ada sesuatu d
“Bu Ambar! Maafkan saya terlambat menyeret Eksanti,” ucap Sapto yang tiba-tiba muncul di sebelah Ambar.“Udah terlanjur terjadi, Pak,” balas Ambar sembari mengusap air mata dengan tisu.“Saya enggak nyangka kalo keputusan Pak Hadi untuk tobat, membuat adik saya gila. Mohon maaf, Bu.”Ambar menetralkan emosi sesaat lalu mengusap sisa buliran bening dari kedua mata dan pipi. Beberapa detik menarik napas panjang dan mengatur posisi duduk agar bisa berhadapan dengan Sapto. Wanita ini menatap tajam ke arah pria yang kini tepat di depannya.“Maaf, Pak Sapto masih punya empati pada saya terutama Brian, kan? Berapa lama tau hubungan mereka? Dia adalah adik Bapak, kenapa gak bilang dari awal? Kenapa Bapak menutupi ini semua? Tega!” ucap Ambar dengan berapi-api.Dia marah dengan pria yang selama ini dianggap lebih bijak daripada Hadi dengan penampilan yang kalem dan kebapakan. Ambar merasa salah menilai dan tertipu dengan penampilan serta tutur kata santun pria tersebut.Sapto menjadi salah tin
“Pak, bisa keduanya ditempatkan ke ruang lain dulu?” tanya Ambar ke arah petugas di depannya, yang dengan segera direspon oleh petugas lain.Dua petugas segera menggelandang Hadi dan Mita ke ruang yang berbeda. Pada awalnya, keduanya berontak dan bersikukuh ingin meminta maaf kepada Ambar. Namun, petugas-petugas tersebut memaksa keduanya untuk segera keluar ruangan demi kelancaran proses pemeriksaan.Ambar menyelesaikan sesi tanya jawab dalam waktu tiga puluh menit. Setelah itu, dia dipersilakan oleh petugas untuk pulang dan setiap saat bersedia datang jika diperlukan.Akhirnya, Ambar bisa melenggang dengan sedikit lega dengan diiringi langkah kaki Sapto. Keduanya berjalan dalam diam sampai pelataran parkir.Mereka asik dengan pikiran masing-masing. Dua orang manusia dewasa yang sama-sama harus merelakan orang tercinta karena perselingkuhan dan sebuah intriks keji.Ambar terluka sangat dalam dibanding dengan Sapto, tapi rasa bersalah dan penyesalan sang pria lebih perih lagi. Hingga S
“Enggak perlu senaif itu, Pak. Bapak perlu kerja dan aktivitas saya beda jauh dengan Bapak. Jangan korbankan pekerjaan, demi saya. Selama ini, saya udah biasa mandiri, meski punya suami sekali pun. Bapak tenang aja. Enggak perlu berlebihan mengkhawatirkan saya,” jelas Ambar perlahan agar bisa dimengerti oleh Sapto.Pria yang selalu berdandan rapi tersebut tersenyum tipis. Ada rasa khawatir mendera, dalam hatinya. Dia tetap tak bisa mengabaikan rasa tersebut. Imbas penyesalan semakin menghimpit rongga dada.“Harus bagaimana saya menebus dosa ini, Bu? Apalagi Ik sedang berada di luar. Kabari saya, jika perlu bantuan. Hanya itu yang mampu saya janjikan,” ucap Sapto bersungguh-sungguh.“Terima kasih, Pak. Saya gak tau meski ngomong apalagi atas kebaikan Bapak ini. Saya merasa kuat lagi, setelah tumbang sesaat. Teman karib, selalu bersama, bahkan di tangannya, saya percayakan anak. Berkhianat. Berasa dunia tak berpihak pada kami.” Setelah berucap, Ambar beberapa saat, menarik napas.Tak la