“Kenapa Bapak bertanya seperti itu?” Akhirnya aku memberanikan diri untuk membuka suara.“Apa aku tidak boleh tahu masa lalu istriku sendiri, ya?” katanya membuatku tertegun lagi.Dia bilang, istri? Pak Abidzar memanggilku istrinya? Apa namaku sudah tertulis di hatinya walau masih dengan huruf kecil?“Benar, ‘kan?” Suaranya membuatku tersadar, cepat aku memalingkan pandangan.“Kenapa Bapak bisa tahu?” tanyaku sambil menatap Monumen Nasional kembali. “Karena aku lihat dia sangat perhatian denganmu.”“Tidak, Pak. Dia tidak perhatian.”“Tapi saat kamu kena tumpahan air panas waktu di rumah makan, dia begitu sigap memegangi dan menyingkirkan tanganmu.”“Itu hanya refleks, Pak.”“Memangnya kamu tahu itu refleks?” ujarnya lagi, entah kenapa malam ini Pak Abidzar lebih banyak bicara.“Iya, Pak. Sama halnya dengan Bapak yang refleks meraih tangan saya dari genggaman Pak Azzam waktu itu.” Sengaja aku memberanikan diri menatap matanya saat menjawab demikian, entah kenapa Pak Abidzar malah terd
Semalaman aku tak bisa tidur karena memikirkan sikap kemarin pada Pak Abidzar. Kenapa pula aku memiliki keberanian sebesar itu untuk memeluknya? Akhirnya aku malu karena ulah sendiri. "Halo, Imas ...." Aku dikejutkan dengan suara tak asing, melihat wanita yang berjalan dari arah pintu, aku lekas berdiri sambil menyunggingkan senyuman. "Bu Yuni. Apa kabar, Bu?" tanyaku merasa begitu bahagia karena bisa melihatnya lagi. Setelah menikah dengan Pak Abidzar, aku memang diperintahkan untuk fokus mengurus rumah tangga juga Syifa, sehingga terpaksa meninggalkan pekerjaan di fotocopy milik Bu Yuni yang baik hati ini. "Baik sekali, Imas sayang. Lagi pada ngapain ini?" tuturnya setelah memelukku beberapa saat, matanya kini menatap Syifa yang masih asyik menggambar. "Lagi nemenin Syifa menggambar, Bu. Masih sedikit merajuk dia karena kemarin tidak ikut ke Jakarta." "Oalah ...." ucapnya sambil terkekeh. "Kenapa atuh di Jakartanya sebentar pisan?" tanyanya. "Pak Abi harus kerja, Bu." "Pak?
“Pa, Syifa mau es krim.” Gadis di pangkuanku itu berujar sembari menunjuk pedagang es krim yang berada di depan, padahal kami sudah bersiap hendak pulang.“Iya, boleh.” Pak Abidzar menjawab sambil tersenyum.“Astagfirullah.”“Kenapa, Bi?” tanya ibu mertuaku saat melihat perubahan ekspresi wajah Pak Abi.“Tas Abi masih di balai panitia, Bu. Dompet, ponsel, laptop sama berkas-berkas acara juga ada di sana.”“Ya ampun, Abi. Ya sudah, ayo ambil dulu sana!”“Papa, mau es krim …,” Syifa merengek kembali.“Beli sama Mama, ya?” Aku mencoba membujuk, Syifa menggeleng, sepersekian detik tangisnya meledak. Karena kekecewaannya perihal tak diajak ke Jakarta, Syifa jadi lebih sensitif sekarang.“Kalau begitu biar Imas saja yang ambil.”“Tapi−“ Tangis Syifa semakin kencang, tak memberi kesempatan pada Pak Abi untuk merampungkan perkataannya.Mau tidak mau, aku pun menyerahkan Syifa pada ayahnya. Lantas bergegas pergi ke balai panitia untuk mengambil tas Pak Abi, takutnya ada orang tak bertanggung j
[Ke sini kalau Syifa sudah tidur. Ada yang mau aku bicarakan] Aku langsung menghela napas panjang saat membaca pesan yang masuk dari Pak Abidzar. Kulirik Syifa yang sudah terlelap sekitar sepuluh menit lalu, wajah polosnya membuatku tersenyum. Entah sejak kapan rasa sayang pada anak ini tumbuh, dan kini mengakar di hatiku. Pelan, kutarik selimut dan menutupkan benda hangat ini pada setengah tubuhnya. Dengan penuh hati-hati pula aku mengecup keningnya, lantas mematikan lampu utama, membiarkan lampu tidur menyala di ruangan ini. Setelah meninggalkan kamar Syifa, aku mematung di depan pintu, kembali membuka dan membaca pesan dari ayah anak itu. Apa yang mau dia bicarakan? Mungkin kah Pak Abidzar akan memarahiku karena perihal tadi? Tapi wajar saja jika dia marah, secara aku terlalu gegabah dalam bertindak. Seharusnya tak kugubris perkataan Pak Azzam, entah tentang apa pun itu. Andai saja aku langsung pergi, mungkin Pak Abidzar takkan kena imbasnya. Sehabis pulang dari rumah Teh Nen
"Imas! Imas! Keluar kamu, Imas!" "Ya Allah, siapa itu?" sahut Ibu mertuaku sembari menoleh ke arah pintu, aku yang baru saja datang dari dapur membawa camilan untuk Syifa pun ikut terkejut. "Imas, keluar kamu!" teriakannya saling bersahutan dengan suara gedoran pintu. "Biar Imas yang buka, Bu," ucapku sambil bangkit kembali. "Siapa itu, Nak? Kenapa panggil-panggil kamu begitu?" tanyanya, aku menggeleng, walau hati ini menebak jika pemilik suara itu adalah Wa Muniroh. Setelah meminta Syifa menunggu sebentar, gegas aku berjalan menuju pintu. Langkahku tersendat kala melewati tangga, kulihat Pak Abidzar tengah turun. Tatapan kami beradu, namun aku kembali dengan aktivitasku. Suara teriakkan yang memanggil namaku masih terus terdengar, bahkan terasa semakin nyaring. "Wa Muni, ada apa?" tanyaku saat membuka pintu. Ternyata tebakanku benar. Bukan jawaban yang kudapatkan, melainkan sebuah tamparan keras di pipi kiri ini. Rasanya sungguh panas, sampai aku terpaku beberapa detik tanpa
"Tunggu, Imas! Jangan tutup pintunya! Aku mohon," pinta Pak Azzam saat aku hendak mendorong pintu, tangannya menahan benda tinggi itu sampai tak bisa tertutup dengan rapat. "Aku sudah cerai dengan Neneng!" katanya lagi membuat aktivitasku terhenti, dari balik pintu yang hampir tertutup aku bisa melihat dadanya naik turun. "Aku ke sini hanya ingin pamit." Mendadak pelupuk mataku terasa panas, entah karena apa hatiku jadi sedih seperti ini. "Aku juga ingin minta maaf," katanya lagi, tapi aku masih tetap menahan pintu, tak ingin membiarkannya menatap apa lagi masuk ke rumah ini. "Buka saja pintunya." Aku langsung menoleh ke belakang, mata ini terasa terbuka dengan sempurna saat melihat sosok di belakang. "P-Pak Abi?" ucapku tergagap. Kapan dia bangun? Kapan pula dia turun? "Buka pintunya," titahnya lagi. Aku terdiam sejenak, lantas dengan ragu aku melepaskan pegangan, membiarkan pintu dua muka itu terbuka. Kini, nampak lah lelaki berbaju hitam di hadapan. Matanya sendu, rambutnya
“Kamu ngapain Uwamu sampai dia pingsan begini, Imas?” Belum apa-apa, aku sudah dituduh Nenek. Padahal bukan hanya aku yang mengantar Wa Muniroh ke rumah, ada Teh Wiwin dan beberapa ibu lain. Tapi beliau langsung berprasangka buruk pada cucunya ini.“Imas gak ngapa-ngapain Ceu Muni, Mak Asih. Dia tiba-tiba pingsan pas mau pulang, iya ‘kan, Ibu-Ibu?” ucap Teh Wiwin, para wanita di sini langsung membenarkan.“Ya masa tiba-tiba pingsan! Gak mungkin kalau gak ada sebabnya! Kamu pasti berulah lagi ‘kan, Imas?” Mendengarnya aku hanya bisa mengembuskan napas, sepertinya kebencian untukku sudah mengakar pada darah daging wanita yang usianya lebih dari setengah abad itu.“Nek, Wa Muni pingsan tiba-tiba. Mungkin dia kaget, karena dengar rumah orang tua Imas mau jadi dua lantai.” Merasa jengah dengan segala tuduhan, aku pun terpaksa menjawab demikian. Lagi pula memang aneh, kenapa Wa Muni pingsan tiba-tiba? Dia juga buru-buru pulang setelah mendengar hal tersebut dari mulut Teh Wiwin.“Eh, iya. T
“Ayo, Imas. Dengan kerendahan hati, Uwa mohon bawa Azzam ke sini …,” pintanya seraya merendahkan tubuh dan menyatukan kedua telapak tangan layaknya seorang prajurit yang tengah memohon pada Rajanya.“Jangan begini, Wa. Jangan begini.” Aku semakin terisak, tidak tega sekali melihat keadaan mereka.“Uwa, mohon, Imas. Uwa mohon ….” Tangisnya semakin menjadi, membuat air mataku lebih deras membanjiri pipi.“Iya, Imas. Pasti kamu bisa membawa Azzam kemari.” Wa Muslihin menambahkan.“Kenapa tidak dicoba dulu sama Uwa?” “Sudah, Imas. Tadi Subuh sudah Uwa telepon, tapi tidak diangkat. Satu jam lalu Uwa baru pulang dari rumah Nak Azzam, tapi dia tidak mau bertemu Uwa. Katanya mau berangkat kerja juga.” Mendengarnya aku semakin kalut. Mana bisa aku menjemput seorang lelaki tanpa izin dari suami sendiri.“Demi kebaikan, bawa dia ke mari, Nak Imas.” Aku langsung menoleh tatkala mendengar suara itu. Ternyata Bu Ayu, kapan dia sampai?“Ibu ….” ucapku dilema.“Kasihan kalau terus dibiarkan begini.
Emmeryl POV“Emmeryl! Dari mana saja kamu jam segini baru pulang?” Suara yang tentu tidak asing di telinga itu terdengar menggema, aku hanya bisa menghela napas sambil memegangi erat helm di genggaman.“Kerja, Pa. Dari mana lagi?” sahutku pelan.“Kerja? Jadwalmu di rumah sakit itu hanya sampai jam delapan malam. Jangan membodohi Papamu, Emmeryl!” bentaknya seolah tak bosan.“Kamu pasti habis main motor lagi, ‘kan?” tebaknya. Aku diam karena malas berdebat.“Emmeryl!” pekiknya saat aku hendak melangkah.“Sudah malam, Pa. Lebih baik Papa istirahat,” kataku dengan nada rendah.“Mau jadi apa sebenarnya kamu ini, Emmeryl? Susah sekali diatur! Besok keluarga Pak Anjaya akan datang ke mari bersama calon istrimu. Seharusnya kamu bisa pulang lebih awal untuk mempersiapkan diri karena akan bertemu dengan Salma.”“Emmeryl tidak punya calon istri, Pa.”“Jangan membantah!” bentaknya lagi, aku hanya bisa menelan ludah.Entah sudah berapa belas tahun aku hidup di bawah ketiak seorang lelaki yang tak
Imas POVSelama hidup di dunia, aku mencoba menerapkan prinsip untuk tak membenci siapa pun atau menumbuhkan dendam di dalam hati ini.Aku sudah melalui banyak derita, dan aku tidak mau menambah luka dengan perasaan itu sendiri. Tak pernah kusimpan amarah di dalam jiwa, termasuk pada lelaki yang banyak memberiku nestapa.Iya, hatiku hancur lebur kala waktu itu terasa dibuang begitu saja. Padahal saat itu ada benih dirinya yang tertanam di rahimku, juga cintanya yang mengakar di dalam hatiku. Duniaku seakan runtuh kala dia dengan begitu mudah mengakhiri ikatan rumah tangga kami.Akhirnya aku harus berjuang sendiri, terseok-seok menghadapi satu demi satu kepedihan yang tak ada sudahnya. Sebisa mungkin aku tak membiarkan perasaan dengki menguasai diri.Sampai akhirnya aku tahu, jika dia melakukan ini hanya untuk melindungi, bukan semata-mata karena inginnya sendiri.Pastinya hatiku akan lebih hancur jika sudah telanjur membencinya, karena aku sendiri tidak pantas melakukannya, sebagai m
“Ayo, masuk, Imas.” Azzam menyambut kedatangan sahabat istrinya itu dengan hangat, wanita bermata bulat itu mengangguk lantas masuk ke dalam sebuah rumah kecil yang dikontrak oleh pasutri baru.“Abelnya masih di kamar mandi. Kamu mau minum apa?” tawarnya.“Jangan repot-repot, Pak.” Imas menjawab dengan enteng, Azzam tersenyum lalu menuangkan air putih pada gelas kosong di atas meja.“Tidak repot, Imas.” Tangan Azzam meraih stoples berisi camilan di kolong meja, kemudian menyuguhkannya pada wanita yang sempat bertakhta di hatinya dengan waktu begitu lama.“Bagaimana keadaan Abel sekarang?” tanya Imas seraya melepas tas ranselnya yang berukuran kecil lalu meletakkannya di samping tubuh.“Masih sama seperti kemarin. Belum masuk nasi.”“Loh, terus makan apa, dong?” tanya Imas bingung.“Paling makan buah-buahan atau roti, Imas. Kemarin sih suka minum susu juga, tapi sekarang malah jadi mual katanya kalau nyium bau susu.”“Ya Allah,” tutur Imas khawatir.“Teteh!” Kedua manusia itu menoleh b
“Dewi, hubungi Abi.” Dengan lemah Johan meminta. Lelaki yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu terbaring di ranjang rumah sakit. Dengan setia mantan menantunya itu menemani bersama orang tuanya.“Sepertinya kontak Dewi diblokir, Yah.” Dewi ikutan lemas saat menyadari profil kontak Abidzar menjadi tiada, bahkan setiap kali dia mencoba menghubunginya melalui chat, hanya centang satu yang berada di bawah teks pesannya.“Pergi lah ke rumah Yuni. Abidzar pasti masih ada di sana, Dewi. Beritahu dia jika Ayah tertimpa musibah.” Dewi menggigit bibirnya beberapa saat, lalu akhirnya mengangguk setuju.“Kalau begitu Dewi akan menelepon Ibu dulu, biar ada yang menemani Ayah di sini,” ucapnya, Johan hanya mengangguk pelan.“Kamu ini apa-apaan, Dewi? Sudah cukup, Nak. Kamu itu bukan lagi istri Abidzar, bukan lagi menantu Pak Johan. Berhenti ikut campur dengan hidup mereka,” ucap sang ibunda dari seberang sana saat Dewi berhasil menghubunginya.Wanita berbibir tebal itu melirik Johan perlah
Abidzar tersedu di atas pusara mendiang ibunya. Setelah wanita itu tiada, dia merasa jika hidup yang dijalaninya teramat begitu pahit dan sulit.“Maafkan Abi, Bu. Maafkan Abi tidak bisa mempertahankan pernikahan sekaligus amanah Ibu.” Tangannya mengusap-usap batu nisan, dadanya begitu sesak mengingat banyaknya orang yang dia cintai pergi meninggalkannya.“Sebenarnya, Abi masih sangat mencintai Imas. Abi ingin kembali bersamanya. Tapi sepertinya semua itu mustahil, Imas sudah memiliki hidup baru, memiliki pendamping baru yang tidak pecundang semacam anakmu ini.”“Abi harus bagaimana, Bu? Abi sungguh tersiksa. Abi tidak bahagia menikah dengan pilihan Ayah, Abi juga sudah tidak nyaman menjalankan profesi yang selama ini Ayah inginkan. Boleh kah Abi pergi, Bu? Boleh kah Abi melepas segalanya?” katanya masih dengan tangis yang sama.Sesak di dadanya kini berkurang setelah lelaki berjambang itu mengeluarkan semua suara-suara kepedihan di dalam hatinya.Dengan langkah berat, Abidzar pun meni
“Bekalnya, Ryl.” Imas menyodorkan kotak makanan yang tak dijamah suaminya. “Tidak usah,” ucap Emmeryl dengan ketus, tentu Imas merasa terkejut dengan sikap suaminya pagi ini.“Tapi kamu kan−“ Suara Imas tertahan saat Emmeryl melangkah begitu saja. Dari ruangan tamu yang menyatu dengan ruang televisi, Imas menatap lelaki bertubuh tinggi itu menjauh dan menyambar motor di halaman rumah.Dengan wajah dingin Emmeryl memakai helm, kemudian melesat pergi tanpa mengucap kata sedikit pun.Imas menghela napas dalam dengan tangan masih memegangi kotak makan yang tak dibawa suaminya. Dengan langkah gontai Imas pun kembali ke belakang lalu meletakkan benda itu di atas mini bar.Wanita bermata bulat itu terduduk sendirian bersama lamunan panjang. Dia pun tertunduk lesu, menyadari jika sikap dingin Emmeryl adalah sebuah pertanda jika lelaki itu sedang marah. Tentu bukan karena alasan, pemilik mata bulan sabit itu memang terbakar cemburu kala melihat istrinya berada di pelukan orang lain.Setelah m
Suara pintu yang diketuk di depan sana membuat Emmeryl dan Imas refleks menyudahi aktivitas. Saat wajah mereka kembali berjauhan, suasana malah terasa canggung, bahkan Imas sendiri tak berani menatap lelaki bermata bulan sabit itu. Cepat dia turun dari meja mini bar lalu berlari kecil menuju pintu utama rumah berukuran enam kali sembilan tersebut.“Bapak?” ucapnya sedikit kaget saat melihat sosok Misbah di hadapan pintu, lelaki yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu lantas menyunggingkan senyum.“Ayo, masuk, Pak. Kenapa Bapak ke sini gak kabarin Imas?” katanya lagi.“Hehe, maaf, Imas. Tadi Bapak habis antar jagung ke pembeli yang ngeborong, sekalian mampir ke sini karena rumahnya dekat.”“Ya Allah, Pak … terima kasih banyak.” Imas berucap sambil menahan haru.Tak lama Emmeryl datang, seperti biasa lelaki itu selalu menunjukkan rasa hormat pada ayah mertuanya.“Kenapa antar jagungnya malam-malam begini, Pak?” tanya Emmeryl.“Iya, Nak. Soalnya tadi siang Bapak sibuk bersihin sa
AUTHOR POVSaya pakai sudut pandang ini agar bisa lebih leluasa menceritakan kisah ini. Gak apa, ya?Dewi tersenyum-senyum seraya memandangi sendiri dari pantulan cermin. Dia merasa dirinya begitu cantik dengan paduan lingerie berwarna ungu muda. Wanita yang sudah berusia matang itu tengah menanti Abidzar di kamar mandi, dia hendak memberi kejutan berharap lelaki itu akan menjamahnya kembali.“Sedang apa kamu di sini?” Suara Abidzar terdengar menggema, lelaki berjambang itu sangat amat terkejut mendapati Dewi berada di kamarnya.“Loh, memangnya kenapa?” Dewi menyahut dengan enteng, bibir berisinya nampak menyunggingkan senyum.Abidzar menghela napas dalam, lalu memijat pelipis karena kelakukan wanita yang kini menjadi istrinya itu sering membuatnya merasa pening.“Tolong, keluar. Aku mau ganti pakaian.” Abidzar memelankan suaranya, dia tidak ingin berteriak karena takut ayah atau tantenya mendengar.“Kenapa harus keluar? Apa kamu tidak lihat aku sedang mengenakan apa?” Dewi berujar se
Malam-malam aku harus menempuh perjalanan cukup jauh bersama Emmeryl. Sepanjang jalan aku hanya bisa menahan hawa dingin yang terasa menusuk rongga di dalam badan, padahal aku sudah membalut tubuh dengan jaket tebal. Sebenarnya aku khawatir Emmeryl membawa motor dengan kondisi seperti tadi. Perasaannya pasti kacau karena mendengar kabar Ibundanya yang harus dilarikan ke rumah sakit besar di Kota. Ragu aku memegangi ujung jaketnya selama perjalanan, kali ini kecepatan laju kendaraan yang dikendalikan Emmeryl begitu cepat, sehingga tak jarang aku merasa ketakutan. “Aku akan memacu motor lebih cepat,” katanya dari depan dengan suara lumayan nyaring. “Ini ‘kan sudah cepat, Ryl.” Aku mencoba protes, bisa jantungan kalau dia benar-benar akan menambah kecepatan. “Tidak, ini terlalu lambat. Aku ingin segera sampai.” “Tapi, Ryl−“ Kalimatku terputus saat Emmeryl tiba-tiba saja menarik tanganku dari depan lalu melingkarkannya pada tubuh dia yang ramping. “Pegangan,” perintahnya, aku hanya