Share

Hinaan Neneng

Author: Azu Ra
last update Last Updated: 2023-06-11 00:35:01

"Imas? Imas siapa, Azzam?" kata Pak Suryana membuat beberapa orang menolehku, termasuk Ibu. 

"Ya Imas putrinya Pak Muslihin, Pak. Bukan Neneng." Kang Azzam menjawab dengan ekspresi wajah yang tak bisa kujelaskan. 

"Jangan ngawur kamu, Zam. Pak Muslihin itu cuma punya satu putri, yaitu Nyai Neneng. Anak bungsunya Hasbi, masih kelas satu MTs. Benar begitu bukan, Pak?" tandasnya seraya menatap Wa Muslihin, membuat semua orang saling berbisik hingga keadaan terasa riuh kembali. 

"Betul, Pak." 

"Tuh, dengar!" ucap Pak Suryana cepat. 

"Tapi ...," ucap Uwa lagi membuat semua menoleh padanya. 

"Memang, ada nama Imas di sini. Dia anak adik saya." Seraya melirikku Wa Muslihin berujar, otomatis semua mata tertuju padaku yang masih duduk di paling ujung ini. 

"Maaf, bukannya Imas itu anak Bapak, ya? Dulu sewaktu sekolah, saya sering lihat Imas diantar sama Bapak." Kang Azzam bersuara lagi. 

Sejenak aku berpikir, sejak kapan dia melihatku sering diantar Wa Emus? Sejak kapan dia tahu namaku? Sungguh, semuanya terasa diluar nalar. 

"Ya, dulu Bapak memang suka mengantar Imas ke sekolah kalau kebetulan lewat Cidahu." Uwa menjawab jujur. 

Kulihat Kang Azzam mengangguk-angguk, sementara raut wajah Pak Suryana terlihat bingung, sama halnya denganku yang sudah banjir keringat dingin. 

"Jadi ... anak Bapak itu Neneng? Bukan Imas?" ucap lelaki yang kulitnya putih bersih itu. Wa Muslihin mengangguk. 

"Bagaimana atuh ini, teh? Haduh." Pak Suryana nampak resah, sedangkan aku berkali-kali menggenggam tangan Ibu yang sepertinya merasa bingung sepertiku. 

"Sebelumnya, saya mau meminta maaf karena sudah membuat kesalah pahaman. Tapi, saya ke sini benar-benar ingin melamar Imas. Salah saya karena tidak mencari tahu informasi lebih dalam." Kang Azzam memaparkan, matanya kini tertuju padaku, dengan cepat aku menunduk, sudah mau copot rasanya jantungku ini. 

"Sedari Madrasah Aliyah dulu, saya mulai menyukai Imas. Tapi saya tidak tahu banyak informasi mengenai dia. Ditambah waktu itu saya belum berniat menjalin hubungan karena ingin fokus belajar. Setelah saya lulus sarjana satu tahun lalu, tak sengaja saya melihat Imas di tempat fotokopi, tapi saya malu menyapanya, alhasil saya iseng bertanya pada sahabat saya, Rudi. Dari sana lah saya tahu nama wanita yang selama ini saya kagumi itu bernama Imas." 

Ya Allah, Ya Rabb. Sungguh aku tak pernah menyangka, seorang lelaki seperti Kang Azzam memiliki perasaan pada gadis tak punya sepertiku. Secara kasta kami sangat berbeda, waktu di sekolah pun dia idaman banyak para siswi, dia aktif di berbagai macam organisasi. 

Berbeda denganku yang sangat pasif dan tak pandai bergaul. Bahkan ketika di sekolah, aku hanya memiliki satu teman, yaitu Siti, yang sekarang sudah tak lagi tinggal di sini. 

"Lalu, saya dipertemukan dengan Pak Muslihin yang setiap beberapa kali dalam seminggu menyambangi rumah untuk berdiskusi perihal usaha bersama Bapak. Tetiba saja saya teringat, kalau Pak Muslihin ini adalah seseorang yang sering mengantar Imas waktu sekolah dulu. Dari sana, saya berpikir jika Bapak adalah ayah dari wanita yang saya kagumi." 

"Akhirnya saya memberanikan diri untuk bertanya pada Bapak, apa Pak Muslihin memiliki anak perempuan? Bapak bilang, iya. Saya bertanya lagi, apa nama anak perempuannya Imas? Bapak bilang lagi, iya. Nama lengkapnya Nyimas Neneng Lestari. Saya pikir, nama itu adalah nama lengkap Imas, tapi ternyata ... bukan. Saya yang sudah kegirangan langsung memutuskan untuk melamar, apa lagi Bapak bilang kalau anak Pak Muslihin memang belum bertemu jodoh. Tanpa mencari info lebih lanjut, saya pun langsung menentukan tanggal, dan niat saya disambut baik oleh keluarga ini." Berkali-kali aku menelan ludah saat mendengar penjelasan Kang Azzam yang panjang lebar, tubuhku sudah gemetar dan lunglai, serasa ingin pingsan. 

"Tapi ternyata, Nyimas Neneng Lestari itu bukan lah wanita yang saya maksud. Neneng sendiri teman satu angkatan saya di sekolah, tapi kami tidak saling mengenal, karena kami beda kelas dan jurusan. Hanya saja saya sering mendengar namanya karena Teh Neneng ini aktif di kegiatan paskibra kalau tidak salah." Kang Azzam masih berbicara dengan panjang lebar, membuat semua orang mendengarnya dengan saksama. 

"Demi Allah, ini semua di luar dugaan saya. Mohon maaf, saya sama sekali tidak bermaksud mempermalukan keluarga besar saya mau pun keluarga besar Bapak Muslihin. Tapi, saya benar-benar ingin melamar Imas. Wanita yang sudah lama saya sebut di dalam doa." 

Air mataku langsung menetes, merasa tak percaya saja jika di muka bumi ini ada seorang hamba yang mendoakanku selain orang tua sendiri. 

"Tidak apa, Jang. Tidak apa, Bapak mengerti dengan maksud Jang Azzam. Jadi, semuanya sudah jelas, ya. Sekarang kita hanya butuh tanggapan Imas juga orang tuanya. Mis, duduk di sini." Wa Muslihin menyuruh Bapakku maju ke depan, wajah beliau nampak pucat, tapi Bapak tetap menurut dan akhirnya duduk di dekat Uwa. 

Sementara di depan sana, kulihat wajah Teh Neneng penuh kecewa. Berkali-kali juga dia melirikku dengan tatapan tajam, matanya bahkan sudah memerah seperti menahan tangis. 

Dia pasti sedih dan malu, tapi semua benar-benar di luar kendaliku. 

"Ya Allah, abdi tèh bingung harus bicara apa." Bapak tak bisa menahan tangis, beliau dengan cepat mengusap matanya basahnya dengan kemeja batik yang warnanya sudah pudar itu. 

"Saya serahkan semuanya pada putri saya, Imas Asmara Sinta." Bapak melirikku, membuat dadaku kembali berdebar begitu kencang. 

"Sok atuh, dijawab. Sudah pada penasaran ini tèh." Pak Ali, ketua RT yang turut hadir nyeletuk. 

Aku semakin menggigil rasanya, tapi sekuat tenaga kutahan rasa yang bergejolak itu. 

"Bagaimana, Imas. Apa kamu menerima lamaran saya?" tanya Kang Azzam dengan suaranya yang begitu lembut. 

Setelah mengatur napas, aku mencoba mendongak, menatap Kang Azzam serta keluarga besarnya yang tengah menunggu jawaban. 

Namun lidahku kelu seketika, tatkala netra ini beradu dengan kedua bola mata Teh Neneng. Tatapannya menghujam sampai ke relung, membuat perasaanku kembali bingung. 

"Maaf, Kang. Semua ini sungguh mengejutkan saya, semuanya sangat mendadak. Saya tidak bisa berpikir jernih. Boleh kah saya istikharah dulu?" ucapku dengan hati-hati. 

Kang Azzam langsung tersenyum mendengar jawabanku, tak bisa dipungkiri, dia lelaki yang amat tampan dan berkharisma. 

"Tidak apa, Imas. Saya mengerti. Saya akan tunggu sampai kamu memiliki jawaban. Maafkan saya sudah membuat perasaanmu dan keluarga besarmu tidak nyaman." Kang Azzam terdengar bijak. Aku hanya menunduk, tak kuasa lagi menahan segala perasaan yang bercampur di dada. 

"Sekali lagi, saya minta maaf. Maaf atas kesalah pahaman yang telah saya buat. Terkhusus untuk Teh Neneng," kata Kang Azzam. 

Aku mendongak lagi, ingin melihat Teh Neneng, dan sepupuku itu hanya mengangguk dengan lesu. 

"Haduh, Gusti. Azzam ... Azzam. Hampura nya, Pak Mus. Hampura." Pak Suryana berujar, lalu diiringi tawa bapak-bapak. 

Tak lama mereka pun pamit, sebelum benar-benar pergi Kang Azzam memberikan senyuman yang membuat perasaan bersalahku pada Teh Neneng kian besar. 

"Jahat kamu, Imas. Jahat!" Teh Neneng tiba-tiba menghampiriku, mendorong bahuku setelah keluarga Kang Azzam pergi. 

"Jahat apanya, Teh? Semuanya 'kan salah paham. Imas juga nggak tahu kalau Kang Azzam mau ngelamar Imas!" jawabku. 

"Sabar, Neng. Sabar. Imas, lebih baik kamu jangan terima lamaran Azzam, jangan sakitin hati saudaramu demi laki-laki, Mas." Nenek berujar seraya membelai bahu Teh Neneng berkali-kali. 

"Jangan-jangan kamu memang sengaja mau buat malu aku ya, Imas?" 

"Ya Allah, bicara apa ari Teteh?" 

"Imas, dengerin, ya! Aku itu sudah suka Azzam dari zaman sekolah dulu. Lagi pula nggak pantas kalau Azzam nikah sama kamu! Azzam itu anak dari keluarga terpandang, bukan anak tukang cuci piring kayak ibumu!" 

Plak! 

Semua orang langsung menjerit, entah angin apa yang membuatku berani menampar Teh Neneng dengan cepat, hatiku benar-benar panas kala mendengarnya menghina wanita yang melahirkanku. 

"Jangan pernah hina orang tuaku!" ucapku tak bisa menahan emosi. 

"Teteh bisa menghinaku serendah-rendahnya! Tapi tidak untuk kedua orang tuaku. Mengerti?" hardikku seraya mendekatkan jarak wajahku padanya. 

"Imas ... Ya Allah, sudah, Imas. Minta maaf, Imas! Minta maaf!" perintah Ibu seraya berurai air mata. 

"Tidak, Bu. Dia sudah merendahkan Ibu!" 

"Imas! Minta maaf!" teriak Nenek seraya memeluk Teh Neneng yang tersedu-sedu. 

"Maaf, Nek. Sepertinya Imas akan menerima lamaran Kang Azzam," ucapku dengan penuh penekanan.

Related chapters

  • ANAK TUKANG CUCI PIRING    Neneng Menikah?

    “Seharusnya kemarin kamu tidak menampar Neneng, Mas.” Sembari menuangkan teh hangat pada gelas di hadapanku Ibu berujar.“Tapi dia sudah keterlaluan, Bu. Nggak rela Imas kalau dia ngehina orang tua Imas,” kataku seraya menarik gelas, sisa-sisa amarah itu masih terasa di dalam hati ini.“Iya, Neneng memang sudah keterlaluan.” Bapak menyahut seraya mengunyah singkong rebus yang masih hangat.“Tapi bagaimana kalau nanti Kang Muslihin nggak ngajak kamu kerja lagi, Kang? Akang tahu sendiri ‘kan, bagaimana sikap Teh Muniroh? Dia pasti akan tambah benci karena kejadian ini.” “Ya mau bagaimana lagi, Is? Tidak apa-apa jika Kang Emus berhenti ngajak Akang kerja, masih banyak pekerjaan lain di luar sana,” jawab Bapak terdengar begitu enteng.Bapak memang salah satu pekerja di tempat grosir milik Wa Emus, kakak lelaki Bapak itu sebenarnya memiliki sikap yang baik, hanya saja dia memiliki istri dengan perangai buruk menurutku. Tak jarang Wa Muniroh menghasut suaminya itu agar mengeluarkan Bapak d

    Last Updated : 2023-06-11
  • ANAK TUKANG CUCI PIRING    Pernikahan Azzam

    “Tidak mungkin, Wa. Tiga hari lalu Imas baru saja menerima lamaran Kang Azzam,” ucapku mencoba mengeluarkan suara.“Jangan ngarang kamu, Imas. Orang semalam Azzam dan orang tuanya datang ke sini nentuin tanggal pernikahan dengan Neneng,” jawab Wa Muniroh membuatku semakin tak mengerti.Semalam, katanya? Tapi semalam Kang Azzam masih mengirimiku pesan, bahkan dia berkata akan membelikanku ponsel baru. Tapi, sedari Subuh tadi memang dia tak memberiku kabar. Ada apa sebenarnya? Kenapa semuanya jadi seperti ini.“Imas nggak ngarang, Teh. Tiga hari lalu Azzam memang ke rumah dan meminta jawaban Imas perihal lamaran waktu itu.” Ibu menimpali dengan suara gemetar, sepertinya Ibu juga sama terkejutnya denganku.“Lagi pada ngomongin apa ini?” tanya Nenek yang tiba-tiba datang.“Ini, Bu. Euis sama Imas nggak percaya kalau Neneng sama Azzam bakal menikah, malah bilang tiga hari lalu katanya Azzam ke rumah mereka buat minta jawaban Imas.” Mendengar perkataan Wa Muniroh, Nenek terkekeh cukup lama.

    Last Updated : 2023-06-11
  • ANAK TUKANG CUCI PIRING    Tetangga Baru

    “Imas, tolong simpan kado-kado ini di kamar Neneng, ya?” Sejenak aku tertegun mendengar perintah Wa Muniroh.“Malah bengong! Ayo simpan ke sana, Imas!” “Tapi kenapa harus sama Imas, Wa? Kenapa nggak sama Uwa saja?” tanyaku langsung, merasa aneh saja dengan perintahnya.“Ih, teu sopan kamu teh, Imas! Disuruh sama orang tua malah nyuruh balik!” ucapnya nyaring.“Justru Imas merasa tidak sopan kalau masuk ke kamar pengantin, Wa.”“Ya bilang permisi saja, atuh. Lagi pula ini masih sore, Neneng sama Azzam belum tidur, pintu kamarnya saja masih sedikit kebuka,” jawabnya membuatku menoleh pada daun pintu yang atasnya terdapat hiasan bunga khas kamar pengantin baru.“Ayo, Imas! Uwa masih banyak tamu di depan, takut keburu pulang!” katanya membuatku memalingkan pandangan dari pintu kamar.Belum sempat aku menjawab, Wa Muniroh menyodorkan beberapa bungkus kado padaku, refleks aku menengadahkan kedua tangan untuk menahan.Wa Muniroh pun kembali pergi ke luar rumah, dari balik kaca jendela yang

    Last Updated : 2023-06-11
  • ANAK TUKANG CUCI PIRING    Permintaan Azzam

    Belum sempat aku menjawab, Nenek sudah mengambil gulungan kertas yang berada di genggamanku.“Ini dia uang yang aku cari-cari,” ucapnya setelah bend aitu berpindah tangan.“Kamu nemuin di mana?” tanya Nenek.“Dari bantal ini, Nek.” Seraya menunjuk benda empuk itu aku menjawab.“Tadi kamu mau buka, ya? Ngapain?” tanyanya lagi seolah mengintimidasi.“Enggak, Nek. Imas hanya penasaran, soalnya bentuknya aneh.” Aku menjawab lagi dengan jujur.“Aneh bagaimana? Jangan bilang kamu mau ambil uang ini, ya?”“Ya Allah, Nenek bicara apa, atuh? Imas kira itu bukan uang, makanya Imas mau buka. Takutnya ada yang jahil atau apa sama Nenek, habis bentukannya mirip benda milik orang-orang pintar,”“Orang pintar bagaimana maksud kamu, Imas?” “Iya, mirip orang-orang pintar di televisi yang suka main dukun atau punya ajian. Pasti mereka suka punya benda semacam ini.”“Sepertinya kamu terlalu banyak nonton sinetron, Imas. Sudah, lebih baik kamu selesaikan pekerjaanmu!” titahnya dengan tegas, kemudian ber

    Last Updated : 2023-07-18
  • ANAK TUKANG CUCI PIRING    Tawaran Bu Ayu

    Suara ketukan pintu tak membuatku ingin beranjak dari kasur berbahan kapas randu ini. Perkataan Kang Azzam dan Teh Neneng masih terus terngiang di telingaku, tajamnya kalimat yang keluar dari mulut mereka terasa merobek hatiku satu-satunya.“Imas?” Suara Bapak terdengar begitu dekat, seharusnya aku mengunci pintu kamar setelah mengambil air wudu untuk salat Magrib tadi.“Jam segini tidur. Sudah salat Isya, kamu?” Sekarang aku bisa menebak kalau Bapak tengah berdiri di samping dipan.“Kata Ibu kamu belum makan.” Mendengar kalimat terakhirnya, sesak di dadaku kembali timbul.Perasaanku benar-benar kacau, mengingat sesuatu yang selalu kami andalkan setiap bulannya hilang begitu saja. Walau hanya sekarung beras, tapi itu sungguh berarti bagi kami semua. Bapak mau pun Ibu tak memiliki sawah seperti kakak dan adiknya, sehingga selama ini kami merasa begitu terbantu dengan adanya bantuan sosial dari pemerintah berupa sembako, terutama makanan pokok.Namun sekarang? Kami benar-benar kehilang

    Last Updated : 2023-07-18
  • ANAK TUKANG CUCI PIRING    Masa Lalu Nenek

    “Mau ke mana, Bu?” tanyaku saat melihat Ibu berjalan menuju pintu.“Ini, mau mengembalikan rantang milik Mih Enur. Sekalian ngasih singkong.”“Oh. Rantang bekas makanan itu, ya? Biar Imas saja kalau begitu,” ucapku sembari bangkit dari duduk.“Jangan, Mas. Kamu baru pulang, lebih baik kamu makan sana, Ibu sudah buat telur dadar.”“Tidak apa, Bu. Imas belum lapar,” kataku seraya meraih rantang dan singkong mentah dari tangan Ibu.“Benar tidak apa-apa?” tanya Ibu lagi.“Iya, Bu. Lebih baik Ibu di rumah saja, sebentar lagi ‘kan Ilham pulang sekolah diniyah. Nanti suka nyariin kalau Ibu nggak ada.”“Ya sudah, atuh. Terima kasih ya, Sayang.” Ibu mengusap kepalaku yang masih terbalut kerudung berwarna biru tua.Walau sebenarnya aku masih merasa capek, tapi aku lebih tidak tega jika melihat Ibu lelah. Lagi pula, rumah Mih Enur tidak terlalu jauh, aku masih bisa berjalan kaki untuk sampai ke tempat tinggalnya.“Eh, Imas. Masuk, Neng.” Dengan senyuman rumah, wanita yang tengah menyapu halaman

    Last Updated : 2023-07-18
  • ANAK TUKANG CUCI PIRING    Ibu Untuk Syifa

    Selepas Magrib, aku diajak Bapak pergi ke rumah Bu Ayu. Katanya ada pekerjaan lain namun akan lebih baik dilakukan oleh perempuan.“Loh, kirain yang ke sini Bu Euis, Pak.” Bu Ayu berujar saat aku sudah berada di dalam dapur mewah miliknya. Dengan cepat aku menyalami wanita yang sangat anggun itu.“Istri saya sedang buat adonan gorengan untuk jualan besok pagi, Bu. Akhirnya saya ajak anak saya saja. Tidak apa-apa ‘kan, Bu?”“Tidak apa-apa, Pak Mis. Tidak apa-apa. Tapi, saya takutnya Imas kecapekan, dia ‘kan baru pulang kerja tadi sore,” katanya seraya menatapku dan Bapak bergantian, senyumannya yang ramah tak pernah berhenti tersungging.“Tidak, Bu. Imas tidak capek, kok. Alhamdulillah,” jawabku sesopan mungkin.“Jadi merepotkan begini ya, saya. Kalau bukan karena Abidzar, saya tidak akan meminta bantuan Imas atau Bu Euis. Tadi sewaktu pulang kerja, Abidzar tiba-tiba bawa udang, katanya mau dimasakin udang asam manis, tapi saya nggak bisa buatnya.” Bu Ayu terkekeh di ujung kalimat, aku

    Last Updated : 2023-07-18
  • ANAK TUKANG CUCI PIRING    Calon Istri Abidzar

    Entah sudah berapa lama aku tidak memainkan ponsel karena tidak memiliki kuota internet, dan hari ini Bu Ayu dengan baiknya memberikan sebuah voucher, katanya imbalan untukku karena sudah mau mengantar Syifa sekolah.Padahal aku melakukannya dengan tulus, yang terpenting aku tidak kehilangan pekerjaan saja. Namun aku sendiri tak bisa menampik rasa bahagia saat menerima hadiah berupa voucher kuota internet yang nominalnya begitu besar, selama hidup aku tak pernah membeli kuota sebesar ini.Beberapa notifikasi masuk, paling banyak adalah dari platform kepenulisan, karena aku memang suka membaca juga iseng menulis cerita berbentuk online jika memiliki kuota. “Siapa, sih?” gumamku seorang diri saat beberapa kali notifikasi masuk dari aplikasi hijau yang digandrungi banyak manusia.Aku tidak memiliki banyak teman, makanya aku jarang membuka aplikasi tersebut. Paling-paling hanya mengecek grup alumni dan selalu setia menjadi silent reader. Tapi notifikasi yang terus menerus membanjiri pon

    Last Updated : 2023-07-18

Latest chapter

  • ANAK TUKANG CUCI PIRING    Ekstra part

    Emmeryl POV“Emmeryl! Dari mana saja kamu jam segini baru pulang?” Suara yang tentu tidak asing di telinga itu terdengar menggema, aku hanya bisa menghela napas sambil memegangi erat helm di genggaman.“Kerja, Pa. Dari mana lagi?” sahutku pelan.“Kerja? Jadwalmu di rumah sakit itu hanya sampai jam delapan malam. Jangan membodohi Papamu, Emmeryl!” bentaknya seolah tak bosan.“Kamu pasti habis main motor lagi, ‘kan?” tebaknya. Aku diam karena malas berdebat.“Emmeryl!” pekiknya saat aku hendak melangkah.“Sudah malam, Pa. Lebih baik Papa istirahat,” kataku dengan nada rendah.“Mau jadi apa sebenarnya kamu ini, Emmeryl? Susah sekali diatur! Besok keluarga Pak Anjaya akan datang ke mari bersama calon istrimu. Seharusnya kamu bisa pulang lebih awal untuk mempersiapkan diri karena akan bertemu dengan Salma.”“Emmeryl tidak punya calon istri, Pa.”“Jangan membantah!” bentaknya lagi, aku hanya bisa menelan ludah.Entah sudah berapa belas tahun aku hidup di bawah ketiak seorang lelaki yang tak

  • ANAK TUKANG CUCI PIRING    Manusia Penuh Cinta

    Imas POVSelama hidup di dunia, aku mencoba menerapkan prinsip untuk tak membenci siapa pun atau menumbuhkan dendam di dalam hati ini.Aku sudah melalui banyak derita, dan aku tidak mau menambah luka dengan perasaan itu sendiri. Tak pernah kusimpan amarah di dalam jiwa, termasuk pada lelaki yang banyak memberiku nestapa.Iya, hatiku hancur lebur kala waktu itu terasa dibuang begitu saja. Padahal saat itu ada benih dirinya yang tertanam di rahimku, juga cintanya yang mengakar di dalam hatiku. Duniaku seakan runtuh kala dia dengan begitu mudah mengakhiri ikatan rumah tangga kami.Akhirnya aku harus berjuang sendiri, terseok-seok menghadapi satu demi satu kepedihan yang tak ada sudahnya. Sebisa mungkin aku tak membiarkan perasaan dengki menguasai diri.Sampai akhirnya aku tahu, jika dia melakukan ini hanya untuk melindungi, bukan semata-mata karena inginnya sendiri.Pastinya hatiku akan lebih hancur jika sudah telanjur membencinya, karena aku sendiri tidak pantas melakukannya, sebagai m

  • ANAK TUKANG CUCI PIRING    Hati Untuk Imas

    “Ayo, masuk, Imas.” Azzam menyambut kedatangan sahabat istrinya itu dengan hangat, wanita bermata bulat itu mengangguk lantas masuk ke dalam sebuah rumah kecil yang dikontrak oleh pasutri baru.“Abelnya masih di kamar mandi. Kamu mau minum apa?” tawarnya.“Jangan repot-repot, Pak.” Imas menjawab dengan enteng, Azzam tersenyum lalu menuangkan air putih pada gelas kosong di atas meja.“Tidak repot, Imas.” Tangan Azzam meraih stoples berisi camilan di kolong meja, kemudian menyuguhkannya pada wanita yang sempat bertakhta di hatinya dengan waktu begitu lama.“Bagaimana keadaan Abel sekarang?” tanya Imas seraya melepas tas ranselnya yang berukuran kecil lalu meletakkannya di samping tubuh.“Masih sama seperti kemarin. Belum masuk nasi.”“Loh, terus makan apa, dong?” tanya Imas bingung.“Paling makan buah-buahan atau roti, Imas. Kemarin sih suka minum susu juga, tapi sekarang malah jadi mual katanya kalau nyium bau susu.”“Ya Allah,” tutur Imas khawatir.“Teteh!” Kedua manusia itu menoleh b

  • ANAK TUKANG CUCI PIRING    Jangan Pergi

    “Dewi, hubungi Abi.” Dengan lemah Johan meminta. Lelaki yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu terbaring di ranjang rumah sakit. Dengan setia mantan menantunya itu menemani bersama orang tuanya.“Sepertinya kontak Dewi diblokir, Yah.” Dewi ikutan lemas saat menyadari profil kontak Abidzar menjadi tiada, bahkan setiap kali dia mencoba menghubunginya melalui chat, hanya centang satu yang berada di bawah teks pesannya.“Pergi lah ke rumah Yuni. Abidzar pasti masih ada di sana, Dewi. Beritahu dia jika Ayah tertimpa musibah.” Dewi menggigit bibirnya beberapa saat, lalu akhirnya mengangguk setuju.“Kalau begitu Dewi akan menelepon Ibu dulu, biar ada yang menemani Ayah di sini,” ucapnya, Johan hanya mengangguk pelan.“Kamu ini apa-apaan, Dewi? Sudah cukup, Nak. Kamu itu bukan lagi istri Abidzar, bukan lagi menantu Pak Johan. Berhenti ikut campur dengan hidup mereka,” ucap sang ibunda dari seberang sana saat Dewi berhasil menghubunginya.Wanita berbibir tebal itu melirik Johan perlah

  • ANAK TUKANG CUCI PIRING    Kepergian Abidzar

    Abidzar tersedu di atas pusara mendiang ibunya. Setelah wanita itu tiada, dia merasa jika hidup yang dijalaninya teramat begitu pahit dan sulit.“Maafkan Abi, Bu. Maafkan Abi tidak bisa mempertahankan pernikahan sekaligus amanah Ibu.” Tangannya mengusap-usap batu nisan, dadanya begitu sesak mengingat banyaknya orang yang dia cintai pergi meninggalkannya.“Sebenarnya, Abi masih sangat mencintai Imas. Abi ingin kembali bersamanya. Tapi sepertinya semua itu mustahil, Imas sudah memiliki hidup baru, memiliki pendamping baru yang tidak pecundang semacam anakmu ini.”“Abi harus bagaimana, Bu? Abi sungguh tersiksa. Abi tidak bahagia menikah dengan pilihan Ayah, Abi juga sudah tidak nyaman menjalankan profesi yang selama ini Ayah inginkan. Boleh kah Abi pergi, Bu? Boleh kah Abi melepas segalanya?” katanya masih dengan tangis yang sama.Sesak di dadanya kini berkurang setelah lelaki berjambang itu mengeluarkan semua suara-suara kepedihan di dalam hatinya.Dengan langkah berat, Abidzar pun meni

  • ANAK TUKANG CUCI PIRING    Pernyataan Cinta

    “Bekalnya, Ryl.” Imas menyodorkan kotak makanan yang tak dijamah suaminya. “Tidak usah,” ucap Emmeryl dengan ketus, tentu Imas merasa terkejut dengan sikap suaminya pagi ini.“Tapi kamu kan−“ Suara Imas tertahan saat Emmeryl melangkah begitu saja. Dari ruangan tamu yang menyatu dengan ruang televisi, Imas menatap lelaki bertubuh tinggi itu menjauh dan menyambar motor di halaman rumah.Dengan wajah dingin Emmeryl memakai helm, kemudian melesat pergi tanpa mengucap kata sedikit pun.Imas menghela napas dalam dengan tangan masih memegangi kotak makan yang tak dibawa suaminya. Dengan langkah gontai Imas pun kembali ke belakang lalu meletakkan benda itu di atas mini bar.Wanita bermata bulat itu terduduk sendirian bersama lamunan panjang. Dia pun tertunduk lesu, menyadari jika sikap dingin Emmeryl adalah sebuah pertanda jika lelaki itu sedang marah. Tentu bukan karena alasan, pemilik mata bulan sabit itu memang terbakar cemburu kala melihat istrinya berada di pelukan orang lain.Setelah m

  • ANAK TUKANG CUCI PIRING    Ingin Bersama Kembali

    Suara pintu yang diketuk di depan sana membuat Emmeryl dan Imas refleks menyudahi aktivitas. Saat wajah mereka kembali berjauhan, suasana malah terasa canggung, bahkan Imas sendiri tak berani menatap lelaki bermata bulan sabit itu. Cepat dia turun dari meja mini bar lalu berlari kecil menuju pintu utama rumah berukuran enam kali sembilan tersebut.“Bapak?” ucapnya sedikit kaget saat melihat sosok Misbah di hadapan pintu, lelaki yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu lantas menyunggingkan senyum.“Ayo, masuk, Pak. Kenapa Bapak ke sini gak kabarin Imas?” katanya lagi.“Hehe, maaf, Imas. Tadi Bapak habis antar jagung ke pembeli yang ngeborong, sekalian mampir ke sini karena rumahnya dekat.”“Ya Allah, Pak … terima kasih banyak.” Imas berucap sambil menahan haru.Tak lama Emmeryl datang, seperti biasa lelaki itu selalu menunjukkan rasa hormat pada ayah mertuanya.“Kenapa antar jagungnya malam-malam begini, Pak?” tanya Emmeryl.“Iya, Nak. Soalnya tadi siang Bapak sibuk bersihin sa

  • ANAK TUKANG CUCI PIRING    Sentuhan Pertama

    AUTHOR POVSaya pakai sudut pandang ini agar bisa lebih leluasa menceritakan kisah ini. Gak apa, ya?Dewi tersenyum-senyum seraya memandangi sendiri dari pantulan cermin. Dia merasa dirinya begitu cantik dengan paduan lingerie berwarna ungu muda. Wanita yang sudah berusia matang itu tengah menanti Abidzar di kamar mandi, dia hendak memberi kejutan berharap lelaki itu akan menjamahnya kembali.“Sedang apa kamu di sini?” Suara Abidzar terdengar menggema, lelaki berjambang itu sangat amat terkejut mendapati Dewi berada di kamarnya.“Loh, memangnya kenapa?” Dewi menyahut dengan enteng, bibir berisinya nampak menyunggingkan senyum.Abidzar menghela napas dalam, lalu memijat pelipis karena kelakukan wanita yang kini menjadi istrinya itu sering membuatnya merasa pening.“Tolong, keluar. Aku mau ganti pakaian.” Abidzar memelankan suaranya, dia tidak ingin berteriak karena takut ayah atau tantenya mendengar.“Kenapa harus keluar? Apa kamu tidak lihat aku sedang mengenakan apa?” Dewi berujar se

  • ANAK TUKANG CUCI PIRING    Makan Berdua

    Malam-malam aku harus menempuh perjalanan cukup jauh bersama Emmeryl. Sepanjang jalan aku hanya bisa menahan hawa dingin yang terasa menusuk rongga di dalam badan, padahal aku sudah membalut tubuh dengan jaket tebal. Sebenarnya aku khawatir Emmeryl membawa motor dengan kondisi seperti tadi. Perasaannya pasti kacau karena mendengar kabar Ibundanya yang harus dilarikan ke rumah sakit besar di Kota. Ragu aku memegangi ujung jaketnya selama perjalanan, kali ini kecepatan laju kendaraan yang dikendalikan Emmeryl begitu cepat, sehingga tak jarang aku merasa ketakutan. “Aku akan memacu motor lebih cepat,” katanya dari depan dengan suara lumayan nyaring. “Ini ‘kan sudah cepat, Ryl.” Aku mencoba protes, bisa jantungan kalau dia benar-benar akan menambah kecepatan. “Tidak, ini terlalu lambat. Aku ingin segera sampai.” “Tapi, Ryl−“ Kalimatku terputus saat Emmeryl tiba-tiba saja menarik tanganku dari depan lalu melingkarkannya pada tubuh dia yang ramping. “Pegangan,” perintahnya, aku hanya

DMCA.com Protection Status