Sepanjang malam aku menyusun rencana apa yang harus aku berikan untuk Raka dan Risma, hingga panggilan video dari El terabaikan begitu saja.Aku mendesah pasrah, pusing. Sebenarnya aku ingin diam saja dan membiarkan Tuhan yang membalas mereka, Tapi, melihat mereka semakin bertingkah dan terus mendzolimi orang lain membuat sisi kemanusiaanku terusik.Di saat pikiranku buntu, entah kenapa satu nama terlintas di otakku. Bang Mada! Ya, Bang Mada! Aku harus diskusikan ini dengannya, siapa tahu dia ada solusi mengingat ucapannya dulu yang akan membantuku terlebih perihal kedua adik tirinya itu.Gegas aku meraih ponsel dan segera mencari kontak Bang Mada."Halo assalamualaikum!" suara seorang wanita yang tak asing lagi ku dengar, Mbak Sita, istri Bang Mada."Hallo, walaikumsalam, Mbak Sita! Ini Zahra, Mbak!""Ya Allah, Zahra! Apa kabar kamu? Lama banget loh kita gak ketemu!" pekiknya dengan suara nyaring. Aku tersenyum lebar meski beliau juga takkan bisa melihatnya, tapi aku senang akan samb
Malam yang melelahkan telah berhasil aku lewati. Tepat jam 6 aku merebahkan diri di sofa yang ada di ruangan ini, sengaja aku minta kelas VVIP supaya tidak terganggu oleh pasien yang lain dan aku pun dapat turut beristirahat dengan tenang.Dert. .dert. .dert!Ponsel dalam tasku bergetar, karena mata terasa masih lengket aku abaikan saja. Hingga beberapa kali terasa bergetar lalu hilang.Dert. .dert. .dert!Setelah sekian menit, ponsel kembali bergetar, dengan mata terpejam aku merogohnya dari dalam tas. Aku tahu itu getaran panggilan masuk, tapi tak mungkin dari Ayah atau El, karena kedua lelakiku itu sudah tahu kalau aku masih di rumah sakit dan tadi sebelum tidur aku sudah berpesan untuk tak mengangguku karena aku akan tidur sebentar.Sedikit membuka mata yang terasa amat lengket untuk melihat nama si pemanggil, terpampang jelas nama Mbak Iddah di sana. Segera aku geser tombol hijau."Hemm," jawabku terasa berat."Masih tidur kamu?! Jadi datang gak anak itu?" pekiknya di seberang sa
Tiga hari berselang, siang ini Desi sudah diperbolehkan pulang. Kemarin malam, Mamanya datang dan hari ini memintanya untuk pulang ke rumah mereka. Tapi, Desi menolak.Kemarin pagi, aku dan Mbak Iddah mendatangi kediaman orang tua Desi. Rupanya, kondisi rumah dan keadaannya jauh dari bayanganku. Yang kutahu selama ini adalah Desi berasal dari keluarga yang kaya raya, itu yang selalu ia gembar-gemborkan dulu ketika masih membenciku. Ternyata, kondisinya jauh lebih memprihatinkan.Rumah sempit semi permanen dengan lantai semen dan cat yang sudah lusuh, bahkan luas rumah itu tak lebih besar dari bangunan ruko yang kini di kelola oleh Ibu. Artinya rumah itu sempit, kisaran 5x6 meter saja kira-kira. Dan itu pun dihuni oleh, orang tua dan 2 adik Desi yang masih sekolah.Mama Desi sempat tak percaya dengan apa yang aku ceritakan, hingga aku tunjukkan bukti melalui rekaman CCTV dan aku memintanya untuk datang ke rumah sakit dimana Desi dirawat. Awalnya kekeh beliau tak percaya bahwa Raka tega
"Kau mau tahu kesalahan apa yang membuat adikmu turut berada di sini?" tanyaku mengejek Raka."Adikmu itu-""Hentikan!"Pekik Risma cepat sembari menggelengkan kepala, raut wajahnya panik dan begitu memelas. Sorot matanya memohon supaya aku tak berbicara tentang kesalahannya di hadapan Raka. Tapi, apa peduliku? Aku tersenyum melihat ekspresinya. Panik, takut dan memohon menjadi satu dan aku menikmati itu."Adikmu itu-""Diam! Diam kamu! Atau ku patahkan lehermu sekarang juga!" bentak Risma mengancamku.Raut wajahnya memerah, matanya mendelik dan telunjuknya mengarah tepat di wajahku. Aku tak takut! Lagi pula dia bisa apa? Di sini ada banyak petugas, tentu dia tak akan bisa berkutik."Adikmu itu pemakai narkoba! Ntah cuma make apa ikut ngejual, aku juga gak tahu! Biar polisi yang mengungkapkannya!" ucapku tegas dan lantang. Ku berikan senyum mengejek untuk anak manja itu.Risma melotot sempurna, raut wajahnya pucat melebihi tadi. Raka? Mematung di tempatnya, menetap tajam adik kesayang
Masih dengan derai air mata yang terus mengalir di kedua pipi tuanya, bibirnya terus meracau memanggil kedua anak-anaknya. Namun, pandangannya kosong menatap lurus ke depan tanpa ada bias kehidupan.Kedua tangan terikat, wajah memyedihkan dan rambut acak-acakan. Itulah kondisi Ibu sekarang. Aku sedih tapi mau bagaimana lagi, ini jalan yang terbaik untuk beliau."Silahkan ditanda tangani dulu, Bu." pinta salah satu petugas rumah sakit sembari menyodorkan beberapa berkas terkait keberadaan Ibu di sini.Netraku beralih pada lembar demi lembar kertas putih dengan deretan kalimat yang tertera di sana, tanpa menunggu lama segera aku bubuhkan tanda tanganku di beberapa bagian. Keputusanku sudah bulat, Ibu memang lebih baik berada di sini."Kuat, Sayang! Ini yang terbaik, percayalah!" suara lembut El menguatkanku dengan mengusap bahuku pelan."Iya, Yang! Semoga, Ibu bisa pulih berada di sini!" balasku meski ada rasa sesal di hati ini.Aku tahu, obat dari sakit mental yang Ibu alami adalah pel
Bertemu kembali dengan seseorang yang selama ini mengisi sebagian dari hati membuat hari-hariku kian bersemangat dan bahagia. AZZAHRA ADINDA, dia tidak cantik menurut definisi kebanyakan lelaki yang cantik itu harus putih, tinggi, ramping bak super model Luna Maya atau Maudy Ayunda, tidak! Dia jauh dari definisi most beauty women in the world itu.Dia sederhana, sangat sederhana tetapi dia satu-satunya wanita yang mampu mengisi hatiku sejak masih SMP. Cinta monyet! Itu kata mendiang Abang dulu. Tapi, aku meyakini bahwa itu bukan cinta monyet apalagi monyet yang cinta-cintaan, bukan.Aku meyakini bahwa rasaku pada Zahra adalah cinta sejati. Rasa ingin selalu bersamanya selalu hadir dalam setiap langkah hidupku. Ingin selalu mendengar suaranya, ingin selalu melihat senyum dan tawanya, rasa ingin selalu menjaga dan melindunginya kerap kali meneror perasaanku.Sejak dari SMP, rasa itu ada untuknya. Dia 2 tahun lebih tua dariku, tapi apa salahnya? Ketika dia lulus SMP, hariku merasa sepi d
Entah sudah semerah apa wajahku kini, pun dengan El yang wajah tampannya memerah dan salah tingkah. Lagian, main nyosor aja gak lihat sikon!"El, itu ada orang EO datang!" ucap Ayah masih berdiri di ambang pintu. Ayah mengulum senyum melihat kami yang sudah sama-sama salah tingkah karena kedapatan lagi nganu, eh cium kening! Cuma cium kening aja loh ya!"Eh, i-iya, Yah!" jawab El gegas bangkit berdiri. Melangkah dengan malu-malu sembari sedikit menunduk.Begitu melewati tubuh Ayah, Ayah menepuk bahunya pelan sembari tersenyum lebar. Duh, jantungku sudah kayak pacuan kuda, bergemuruh luar biasa.Ayah kemudian melangkah mendekat dan duduk di tepi kasur, tepatnya di sebelah kakiku berada."Gimana? Sudah lebih enakan?" tanyanya."Udah mendingan, Yah! Udah gak ngilu lagi." jawabku meyakinkan."Iyalah, lha wong udah di-" ledek Ayah sembari memainkan bibirnya maju mundur membuatku mengulum senyum dengan wajah memanas. Rasanya pengen menghilang sekarang juga, malu!Ayah tertawa melihatku yang
Aku terdiam mematung di depan cermin, melihat pantulan diriku sendiri di dalam sana. Pangling!Balutan kebaya berwarna dusty pink dipadukan dengan kain jarik khas Pekalongan dengan motif yang begitu cantik, hijab senada dengan untaian bunga melati dan sapuan make up tipis natural membuat diriku berbeda. Sederhana namun elegan, dan aku menyukainya.Bibirku seolah tak ingin menutupi deratan gigiku yang mungkin saja akan segera mengering ini, walau sebentar saja. Ia terus tertarik ke samping kanan dan kiri, megembang dengan begitu sempurnanya.Telinga seakan tuli dengan suara bising di luar sana, hanya satu gaungan yang terus berdenging di kedua telingaku."Cantik sekali!"Dua kata yang mampu menerbangkanku ke awan-awan. Jangankan orang lain, aku sendiri saja pangkling dengan diri ini. Make Up senada dengan kebaya kini kian merona di kedua sisi wajahku."Ya Allah, Zahra! Mbak sampe pangkling loh!" pekik Mbak Iddah saat aku telah selesai dimake up."Cantik banget!" girangnya menantapku ta
"Dan jawaban untuk pertanyaanmu tadi adalah Ibu. . ."Aku mendongak menatap matanya yang masih basah, terdiam menanti jawaban apa yang akan keluar dari bibir beliau."Ibu. .tak mungkin lagi bersama Ayahmu, Nak!""Kenapa, Bu?" lirihku sedikit kecewa."Ayah masih cinta Ibu, bahkan sampai hari ini Ayah masih menyimpan semua kenangan tentang Ibu!" ucapku berusaha menyakinkan Ibu. Ibu menoleh, menatap mataku dalam dan aku lihat sedikit senyum di bibirnya."Ayah ada di luar sekarang! Ingin bertemu juga dengan Ibu!" lanjutku."Tapi, Ibu merasa tak pantas untuknya! Ibu sudah sangat melukainya, bahkan Ibu punya anak dari lelaki lain. Tak mungkin rasanya Ayahmu masih cinta Ibu!" sanggahnya menunduk."Aku masih sangat mencintaimu, Neni!"Kami menoleh berbarengan dan kulihat Ayah telah berdiri di ambang pintu menatap kami sendu. Segaris senyum terbit setelah mata kami saling bertemu."Mas. . ." lirih Ibu pelan dan matanya tak lepas menatap Ayah.Ayah berjalan mendekat ke arah kami dengan kedua ja
Di sinilah kami sekarang, di depan bangunan toko yang nyaris tak pernah aku kunjungi selama ini karena sudah dikelola oleh Ibu.Kondisi toko lumayan ramai, meski tak sebesar toko yang di kelola Mbak Idah. Nampak beberapa pengunjung datang silih berganti, memang lokasi toko ini cukup strategis karena berada di tepi jalan kota yang ramai."Gimana, Yang, Yah?" tanya El sebelum kami memutuskan turun."Ayah, gugup!" jawab Ayah menatap lurus pintu kaca toko yang tertutup itu."Zahra juga, Yah! Tapi, kita tetap harus masuk ke dalam!" yakinku lagi.Setelah beberapa saat, kami akhirnya turun dan segera masuk ke dalam. Tak ku jumpai Raka di sana, hanya ada seorang kasir yang waktu itu sempat di pekerjakan Ibu di toko pusat. Aku memutuskan untuk bertanya saja padanya dan meninggalkan El serta Ayah di dekat pintu."Kamu-" ucapnya seperti tengah mengingat-ingat."Raka dimana?" tanyaku langsung dan mengabaikan tebakannya."Ada di atas ada perlu apa?" tanyanya sedikit ketus dan menatapku tak suka.A
Dua minggu berlalu dari acara resepsi super mewah itu. Siang ini, kami berencana pulang ke Semarang. Awalnya Kakek meminta kami untuk tinggal saja di sini tetapi dengan sungkan aku menolak karena masih ada Ibu yang menanti kedatanganku.Kakek, Tante Mayang, Damar dan Anggi melepas kami di bandara Hang Nadim untuk kembali ke Semarang.Tepat pukul 2 siang, pesawat lepas landas dan semakin meninggi meninggalkan kota kecil yang mengenalkanku kepada teh obeng ini.Batam, kota kecil dengan segala keindahannya. Sungguh aku jatuh cinta padanya dan suatu hari nanti aku akan putuskan untuk menetap di sini tapi tentu setelah tugasku selesai. Itu sudah aku bicarakan dengan suamiku dan tentu saja dia sangat mendukung.Selama di pesawat sudah tak sabar rasanya ingin segera bertemu dengan Ibu dan memeluk tubuhnya. Pun dengan Ayah, yang wajahnya kian berseri sejak pagi tadi. Beliau pun tak sabar untuk bertemu dengan sang ratu yang menghuni hatinya.Teringat kembali percakapan kami beberapa waktu lalu
Seluruh rangkaian acara resepsi pernikahan kami digelar begitu mewahnya, aku terkagum sekaligus masih tak menyangka akan jadi sebegitu mewah dan meriahnya acara ini.Awalnya aku pikir, resepsi ini hanya sekedar resepsi biasa layaknya resepsi yang pernah aku datangi kala di kampung. Namun rupanya, jauh dari bayanganku. Pesta ini tak kalah mewah dengan pesta resepsi artis dan youtuber ternama yang beberapa waktu lalu aku lihat di televisi.Sekali lagi aku lupa, siapa suamiku dan keluarga besarnya. Dan itu membuatku semakin tidak percaya diri, aku merasa asing di sini. Hanya ada Ayah, Mbak Ika, dan Bang Aksa, dari pihak keluargaku.Ribuan undangan berasal dari kalangan orang ternama, mulai dari pengusaha, artis ibu kota, petinggi Bank swasta, politisi bahkan nampak hadir pula putra bungsu orang nomor satu di negeri ini. Aku bagai mimpi berdiri di sini."Woy, Bro! Selamat, akhirnya berani juga melepas masa lajang!" ucap lelaki bertubuh kekar ini sembari memeluk tubuh suamiku. Aku yang ber
Bias cahaya yang pernah hilang perlahan kembali meski masih samar, suara berdenging memekakkan membuatku menutup telinga dengan kedua tangan.Sesak di dalam dada kian menghimpit jiwa, entah apa yang terjadi denganku, aku pun asing dengan jiwaku. Tak kutemukan siapapun di tempatku berdiri, tak ada apapun untuk dapat ku gapai, tak ada bias lain selain pendar cahaya yang berkilau.Suara tangis bayi kian jelas terdengar, membawaku menyeret langkah mendekat, meski membawa beban berat di pundakku. Bayi, ya, bayi! Jauh di sudut pandang kulihat bayi merah tergeletak dan menangis. Namun, semakin cepat langkah ku bawa, semakin jauh pula untuk ku gapai dia.Apa ini? Ada apa dengan semua ini? Batin bertanya dan terus bertanya, kaki telah lelah melangkah namun tak jua sampai padanya. Siapa dia? Kenapa dia di sini, namun tak bisa ku gapai?Terduduk lesu bertumpu kedua kakiku, aku ada dimana?Kulihat bayi merah itu kian tumbuh layaknya anak-anak lainnya. Mulai dari dia tengkurap, merangkak, duduk, j
Mataku mengerjap beberapa kali, tenggorokanku rasanya kering sekali. Aku menggeliat dan tak ku temukan suamiku di sebelahku, ingatanku kembali ke beberapa saat yang lalu dimana kami pulang dari kafe dan aku mendadak muntah-muntah.Aku kembali tersenyum kala ingat tebakan suamiku bahwa aku tengah hamil, tetapi setelah dilakukan tes hasilnya masih negatif.Cklek,Bunyi handle pintu kamar mandi menarik perhatianku, rupanya suamiku baru saja dari dalam sana. Wajahnya sudah basah dan terlihat semakin tampan saja."Sayang udah bangun?" tanyanya sembari melangkah mendekat. Lalu duduk di sampingku."Masih pusing?" tanyanya lagi nampak khawatir dengan menempelkan punggung tangannya di keningku."Udah mendingan tapi masih lemes." jawabku pelan. Menaikkan kepalaku ke pangkuannya."Kamu kenapa sih? Cerita dong sama aku, Yang!" ucapnya sembari mengusap kepalaku."Gak papa, Yang! Maaf ya, udah bikin kamu khawatir. Aku hanya-" jawabku tertahan di tenggorokan. Ah, rasanya tak sampai hati aku mengucap
Aku melihat dengan seksama video kiriman Raka, masih tak percaya hingga aku ulangi sekali lagi. Video berdurasi 20 detik itu mampu meruntuhkan duniaku. Mataku melebar sempurna, dengan mulut menganga. Air mata mengalir begitu saja, bahkan tanganku mulai bergetar.Masih belum yakin kembali aku putar bahkan dengan volume full, takutnya aku salah dengar."Ibu Neni ingat Mbak Zahra?" tanya suster Asih seolah kembali menegaskan. Entah percakapan seperti apa yang mereka lakukan sebelumnya. Dari ekspresi suster Asih pun nampak terkejut dan bahagia di saat yang bersamaan.Nampak Ibu mengangguk lemah, matanya menatap lurus ke depan. Dan aku yakin, di depan Ibu adalah Raka karena mata Ibu tepat mengarah ke kamera."Siapa Zahra, Bu Neni?" suara suster Asih lagi."Zah-ra. . ." ucapan itu terdengar lirih dan itu keluar dari mulut Ibu.Ibu yang selama ini tak menganggapku ada, akhirnya setelah 27 tahun penantian beliau mau memanggil namaku. Air mata bahagia tak dapat ku bendung lagi, mengalir begitu
Satu bulan kemudianAku masih termenung menatap wajahnya, kerutan kian jelas terlihat di sekitar matanya. Ibu, terlelap begitu damai setelah minum obat yang ku berikan tadi. Selama hampir satu bulan, aku merawatnya. Mulai dari menyuapi makan, memandikan, mengajaknya bercerita dan kadang jalan-jalan di sekitar taman rumah sakit. Selama itu pula sorot matanya mulai ada bias kehidupan.Meski, sesekali masih menyebut nama Risma, tetapi sudah tidak ada lagi tindakan brutal yang mengancam orang-orang di sekelilingnya.Hari ini, hari terakhir sebelum esok pagi aku bertolak ke Batam untuk menggelar acara resepsi yang akan berlangsung 4 hari lagi. Sedari pagi, aku menghabiskan waktu bersama Ibu. Entah, rasanya hati ini semakin tak tega meninggalkannya.Usapan lembut di bahuku membuatku menoleh."Tenang aja, Kak! Biar aku yang jaga dan rawat Ibu di sini!" ucap Raka sembari tersenyum.Ya, Raka, adik lelakiku. Dia sudah menyesali perbuatannya dan sudah dibebaskan oleh pihak kepolisian karena Desi
Gundukan tanah merah dengan taburan aneka bunga segar menghiasi, di ujungnya tertancap nisan kokoh bertuliskan nama adik bungsuku, KHARISMA WIJAYANTI.Tangis Raka kian terdengar pilu, bersimpuh di samping nisan dan memeluknya erat. Sekelebat penyesalan dan rasa bersalah kembali hadir di sudut lain hati ini, hingga air mata kembali tumpah dengan derasnya.Andai aku tak melaporkan Risma, andai aku diam saja mengetahui kelakuan Risma, andai, andai dan andai. Aku benci rasa ini, aku benci keadaan ini.El mengeratkan pelukannya padaku, menenggelamkan wajahku di dada bidangnya. Membiarkan tangisku kembali tumpah membasahi bajunya.Setelah tangisnya reda, ia bangkit berdiri. Memandangi tinta hitam yang mengukir nama adiknya di papan kayu jati. Diam, tanpa beralih untuk beberapa saat lamanya.Setelahnya, ia beranjak. Berbalik badan dan menatapku yang berdiri tak jauh darinya. Matanya menyiratkan kepedihan luar biasa, jejak-jejak lelehan air mata masih nampak jelas di kedua pipinya. Lalu, mele