Malam yang melelahkan telah berhasil aku lewati. Tepat jam 6 aku merebahkan diri di sofa yang ada di ruangan ini, sengaja aku minta kelas VVIP supaya tidak terganggu oleh pasien yang lain dan aku pun dapat turut beristirahat dengan tenang.Dert. .dert. .dert!Ponsel dalam tasku bergetar, karena mata terasa masih lengket aku abaikan saja. Hingga beberapa kali terasa bergetar lalu hilang.Dert. .dert. .dert!Setelah sekian menit, ponsel kembali bergetar, dengan mata terpejam aku merogohnya dari dalam tas. Aku tahu itu getaran panggilan masuk, tapi tak mungkin dari Ayah atau El, karena kedua lelakiku itu sudah tahu kalau aku masih di rumah sakit dan tadi sebelum tidur aku sudah berpesan untuk tak mengangguku karena aku akan tidur sebentar.Sedikit membuka mata yang terasa amat lengket untuk melihat nama si pemanggil, terpampang jelas nama Mbak Iddah di sana. Segera aku geser tombol hijau."Hemm," jawabku terasa berat."Masih tidur kamu?! Jadi datang gak anak itu?" pekiknya di seberang sa
Tiga hari berselang, siang ini Desi sudah diperbolehkan pulang. Kemarin malam, Mamanya datang dan hari ini memintanya untuk pulang ke rumah mereka. Tapi, Desi menolak.Kemarin pagi, aku dan Mbak Iddah mendatangi kediaman orang tua Desi. Rupanya, kondisi rumah dan keadaannya jauh dari bayanganku. Yang kutahu selama ini adalah Desi berasal dari keluarga yang kaya raya, itu yang selalu ia gembar-gemborkan dulu ketika masih membenciku. Ternyata, kondisinya jauh lebih memprihatinkan.Rumah sempit semi permanen dengan lantai semen dan cat yang sudah lusuh, bahkan luas rumah itu tak lebih besar dari bangunan ruko yang kini di kelola oleh Ibu. Artinya rumah itu sempit, kisaran 5x6 meter saja kira-kira. Dan itu pun dihuni oleh, orang tua dan 2 adik Desi yang masih sekolah.Mama Desi sempat tak percaya dengan apa yang aku ceritakan, hingga aku tunjukkan bukti melalui rekaman CCTV dan aku memintanya untuk datang ke rumah sakit dimana Desi dirawat. Awalnya kekeh beliau tak percaya bahwa Raka tega
"Kau mau tahu kesalahan apa yang membuat adikmu turut berada di sini?" tanyaku mengejek Raka."Adikmu itu-""Hentikan!"Pekik Risma cepat sembari menggelengkan kepala, raut wajahnya panik dan begitu memelas. Sorot matanya memohon supaya aku tak berbicara tentang kesalahannya di hadapan Raka. Tapi, apa peduliku? Aku tersenyum melihat ekspresinya. Panik, takut dan memohon menjadi satu dan aku menikmati itu."Adikmu itu-""Diam! Diam kamu! Atau ku patahkan lehermu sekarang juga!" bentak Risma mengancamku.Raut wajahnya memerah, matanya mendelik dan telunjuknya mengarah tepat di wajahku. Aku tak takut! Lagi pula dia bisa apa? Di sini ada banyak petugas, tentu dia tak akan bisa berkutik."Adikmu itu pemakai narkoba! Ntah cuma make apa ikut ngejual, aku juga gak tahu! Biar polisi yang mengungkapkannya!" ucapku tegas dan lantang. Ku berikan senyum mengejek untuk anak manja itu.Risma melotot sempurna, raut wajahnya pucat melebihi tadi. Raka? Mematung di tempatnya, menetap tajam adik kesayang
Masih dengan derai air mata yang terus mengalir di kedua pipi tuanya, bibirnya terus meracau memanggil kedua anak-anaknya. Namun, pandangannya kosong menatap lurus ke depan tanpa ada bias kehidupan.Kedua tangan terikat, wajah memyedihkan dan rambut acak-acakan. Itulah kondisi Ibu sekarang. Aku sedih tapi mau bagaimana lagi, ini jalan yang terbaik untuk beliau."Silahkan ditanda tangani dulu, Bu." pinta salah satu petugas rumah sakit sembari menyodorkan beberapa berkas terkait keberadaan Ibu di sini.Netraku beralih pada lembar demi lembar kertas putih dengan deretan kalimat yang tertera di sana, tanpa menunggu lama segera aku bubuhkan tanda tanganku di beberapa bagian. Keputusanku sudah bulat, Ibu memang lebih baik berada di sini."Kuat, Sayang! Ini yang terbaik, percayalah!" suara lembut El menguatkanku dengan mengusap bahuku pelan."Iya, Yang! Semoga, Ibu bisa pulih berada di sini!" balasku meski ada rasa sesal di hati ini.Aku tahu, obat dari sakit mental yang Ibu alami adalah pel
Bertemu kembali dengan seseorang yang selama ini mengisi sebagian dari hati membuat hari-hariku kian bersemangat dan bahagia. AZZAHRA ADINDA, dia tidak cantik menurut definisi kebanyakan lelaki yang cantik itu harus putih, tinggi, ramping bak super model Luna Maya atau Maudy Ayunda, tidak! Dia jauh dari definisi most beauty women in the world itu.Dia sederhana, sangat sederhana tetapi dia satu-satunya wanita yang mampu mengisi hatiku sejak masih SMP. Cinta monyet! Itu kata mendiang Abang dulu. Tapi, aku meyakini bahwa itu bukan cinta monyet apalagi monyet yang cinta-cintaan, bukan.Aku meyakini bahwa rasaku pada Zahra adalah cinta sejati. Rasa ingin selalu bersamanya selalu hadir dalam setiap langkah hidupku. Ingin selalu mendengar suaranya, ingin selalu melihat senyum dan tawanya, rasa ingin selalu menjaga dan melindunginya kerap kali meneror perasaanku.Sejak dari SMP, rasa itu ada untuknya. Dia 2 tahun lebih tua dariku, tapi apa salahnya? Ketika dia lulus SMP, hariku merasa sepi d
Entah sudah semerah apa wajahku kini, pun dengan El yang wajah tampannya memerah dan salah tingkah. Lagian, main nyosor aja gak lihat sikon!"El, itu ada orang EO datang!" ucap Ayah masih berdiri di ambang pintu. Ayah mengulum senyum melihat kami yang sudah sama-sama salah tingkah karena kedapatan lagi nganu, eh cium kening! Cuma cium kening aja loh ya!"Eh, i-iya, Yah!" jawab El gegas bangkit berdiri. Melangkah dengan malu-malu sembari sedikit menunduk.Begitu melewati tubuh Ayah, Ayah menepuk bahunya pelan sembari tersenyum lebar. Duh, jantungku sudah kayak pacuan kuda, bergemuruh luar biasa.Ayah kemudian melangkah mendekat dan duduk di tepi kasur, tepatnya di sebelah kakiku berada."Gimana? Sudah lebih enakan?" tanyanya."Udah mendingan, Yah! Udah gak ngilu lagi." jawabku meyakinkan."Iyalah, lha wong udah di-" ledek Ayah sembari memainkan bibirnya maju mundur membuatku mengulum senyum dengan wajah memanas. Rasanya pengen menghilang sekarang juga, malu!Ayah tertawa melihatku yang
Aku terdiam mematung di depan cermin, melihat pantulan diriku sendiri di dalam sana. Pangling!Balutan kebaya berwarna dusty pink dipadukan dengan kain jarik khas Pekalongan dengan motif yang begitu cantik, hijab senada dengan untaian bunga melati dan sapuan make up tipis natural membuat diriku berbeda. Sederhana namun elegan, dan aku menyukainya.Bibirku seolah tak ingin menutupi deratan gigiku yang mungkin saja akan segera mengering ini, walau sebentar saja. Ia terus tertarik ke samping kanan dan kiri, megembang dengan begitu sempurnanya.Telinga seakan tuli dengan suara bising di luar sana, hanya satu gaungan yang terus berdenging di kedua telingaku."Cantik sekali!"Dua kata yang mampu menerbangkanku ke awan-awan. Jangankan orang lain, aku sendiri saja pangkling dengan diri ini. Make Up senada dengan kebaya kini kian merona di kedua sisi wajahku."Ya Allah, Zahra! Mbak sampe pangkling loh!" pekik Mbak Iddah saat aku telah selesai dimake up."Cantik banget!" girangnya menantapku ta
"HAH?! SAKAU?!"Pekikku refleks, terasa ponsel berpindah dari telingaku dan rupanya tangan suamiku yang dengan cepat mengambilnya."Halo, Pak! Upayakan yang terbaik untuk adik kami, tolong share lokasinya dan pengacara kami yang akan mengurus semuanya. Ambil tindakan yang memang harus segera diambil, kami percayakan adik kami kepada pihak berwajib!" ucap suamiku tegas dan tenang.Sekian detik berlalu dan aku masih melongo dengan kabar yang baru saja aku dengar. Sakau? Mendengar kondisi itu, bayangan Risma tengah menggigil hebat dengan wajah pucat dan mata setengah terpejam melintas begitu saja. Layaknya adegan-adegan dalam sinetron yang pernah aku lihat dulu, apakah benar begitu ya kondisi sakau atau yang ku tahu setengah sekarat? Astaghfirullah! Aku merinding mendengarnya sampai seluruh tubuhku bergidig ngeri."Sayang!" usapan lembut di bahu mengagetkanku yang pikirannya tengah melanglang buana tak tentu arah."Eh, iya, Yang!" gagapku sembari menolehke arahnya."Kenapa melamun? Mikir