Acara lamaran ini berjalan sebagaimana mestinya, meskipun mendadak. Seluruh keluarga El sudah kembali ke hotel yang menjadi tempat mereka menginap selama di Semarang. Sedangkan, Tante Sindi dan suaminya langsung pulang ke Ungaran.Kini tinggalah aku, El, Ayah dan kakek Priyo. Kami berbincang di ruang keluarga, sedangkan di luar sana para petugas katering sedang membereskan sisa-sisa makanan dan kembali mengangkut semuanya kembali ke restoran.Kami berniat membahas lebih lanjut acara pernikahan kami yang sudah diputuskan oleh kakek akan digelar 3 bulan dari sekarang."Tapi, maaf sebelumnya, Pak Priyo. Nanti sewaktu ijab saya tidak bisa menjadi menjadi wali untuk Zahra. Dan, nasab Zahra jelas berbinti Ibunya." ujar Ayah pelan dan penuh sesal."Tak apa, Pak Herman. Tak usah sedih hati, kan masih ada wali hakim. Yang terpenting, pernikahan mereka sah secara hukum dan agama." jawab Kakek bijak."Tapi, bagaimana dengan keluarga besar Anda nanti? Pastilah mereka akan membicarakan perihal nas
Sepanjang malam aku tak dapat memejamkan mata, hatiku terus saja gelisah, kepikiran akan kondisi Ibu. Aku putuskan untuk memantau Ibu melalui CCTV.Ibu nampak berbaring di kamarnya, sendirian. Walau posisinya membelakangi pintu masuk, aku dapat melihat bahwa beliau tengah menangis meski tanpa suara terlihat jelas dari bahunya yang bergerak-gerak.Di ruang tengah Raka, Risma dan Desi tengah bersitegang. Kedua wanita itu menyalahkan Raka yang terus saja memohon padaku untuk tetap tinggal di rumah itu."Abang kenapa sih sebenarnya?" suara Desi membentak Raka."Diam kamu! Jangan bikin aku tambah pusing!" bentak Raka balik."Abang rela menjatuhkan harga diri Abang, memohon sampai berlutut sama wanita tak berguna itu, sebenarnya apa sih rencana Abang?" kembali Desi bersuara."Kamu ini pakai otak dikit dong! Kalau kita bisa ambil hatinya Zahra, kita akan semakin mudah memperalat dan memanfaatkan dia! Makanya Abang minta sama kalian, baik-baikin dulu itu si Zahra sampai kita dapatkan tanda ta
"Ekhem! Ngapain di sini?"Kedua orang itu menoleh serempak ke arahku yang telah berdiri di samping meja mereka. Desi terbelalak melihatku, refleks dia melepaskan rangkulan tangannya di lengan lelaki tua di sampingnya. Wajahnya pias, ia melengos dengan mulut mencebik tak suka."Oh, selain digilir oleh anggota kepolisian, kamu juga jadi simpanan om-om rupanya?" cibirku santai sembari bersedekap dada. Desi mendelik menoleh ke arahku."Sial*n kamu!" Desi bangkit berdiri lantas menarik lenganku dengan kasar menjauh dari lelaki tua itu.Setelah sedikit menjauh, aku menghempaskan tangannya kasar pula."Paan sih!" bentakku."Kamu!" tudingnya tepat di wajahku dengan nafas memburu, raut kesal tergambar jelas di wajah putihnya."Jangan ikut campur urusan aku! Apalagi sampai mengadu sama Bang Raka! Kalau dia sampai tahu, akan ku patahkan lehermu!" ancamnya. Aku tertawa terbahak mendengarnya."Memangnya kamu siapa?" ejekku membuatnya kian kesal."Dan ya, kalau pun aku mengadu pada suamimu, memangn
Sepanjang malam aku menyusun rencana apa yang harus aku berikan untuk Raka dan Risma, hingga panggilan video dari El terabaikan begitu saja.Aku mendesah pasrah, pusing. Sebenarnya aku ingin diam saja dan membiarkan Tuhan yang membalas mereka, Tapi, melihat mereka semakin bertingkah dan terus mendzolimi orang lain membuat sisi kemanusiaanku terusik.Di saat pikiranku buntu, entah kenapa satu nama terlintas di otakku. Bang Mada! Ya, Bang Mada! Aku harus diskusikan ini dengannya, siapa tahu dia ada solusi mengingat ucapannya dulu yang akan membantuku terlebih perihal kedua adik tirinya itu.Gegas aku meraih ponsel dan segera mencari kontak Bang Mada."Halo assalamualaikum!" suara seorang wanita yang tak asing lagi ku dengar, Mbak Sita, istri Bang Mada."Hallo, walaikumsalam, Mbak Sita! Ini Zahra, Mbak!""Ya Allah, Zahra! Apa kabar kamu? Lama banget loh kita gak ketemu!" pekiknya dengan suara nyaring. Aku tersenyum lebar meski beliau juga takkan bisa melihatnya, tapi aku senang akan samb
Malam yang melelahkan telah berhasil aku lewati. Tepat jam 6 aku merebahkan diri di sofa yang ada di ruangan ini, sengaja aku minta kelas VVIP supaya tidak terganggu oleh pasien yang lain dan aku pun dapat turut beristirahat dengan tenang.Dert. .dert. .dert!Ponsel dalam tasku bergetar, karena mata terasa masih lengket aku abaikan saja. Hingga beberapa kali terasa bergetar lalu hilang.Dert. .dert. .dert!Setelah sekian menit, ponsel kembali bergetar, dengan mata terpejam aku merogohnya dari dalam tas. Aku tahu itu getaran panggilan masuk, tapi tak mungkin dari Ayah atau El, karena kedua lelakiku itu sudah tahu kalau aku masih di rumah sakit dan tadi sebelum tidur aku sudah berpesan untuk tak mengangguku karena aku akan tidur sebentar.Sedikit membuka mata yang terasa amat lengket untuk melihat nama si pemanggil, terpampang jelas nama Mbak Iddah di sana. Segera aku geser tombol hijau."Hemm," jawabku terasa berat."Masih tidur kamu?! Jadi datang gak anak itu?" pekiknya di seberang sa
Tiga hari berselang, siang ini Desi sudah diperbolehkan pulang. Kemarin malam, Mamanya datang dan hari ini memintanya untuk pulang ke rumah mereka. Tapi, Desi menolak.Kemarin pagi, aku dan Mbak Iddah mendatangi kediaman orang tua Desi. Rupanya, kondisi rumah dan keadaannya jauh dari bayanganku. Yang kutahu selama ini adalah Desi berasal dari keluarga yang kaya raya, itu yang selalu ia gembar-gemborkan dulu ketika masih membenciku. Ternyata, kondisinya jauh lebih memprihatinkan.Rumah sempit semi permanen dengan lantai semen dan cat yang sudah lusuh, bahkan luas rumah itu tak lebih besar dari bangunan ruko yang kini di kelola oleh Ibu. Artinya rumah itu sempit, kisaran 5x6 meter saja kira-kira. Dan itu pun dihuni oleh, orang tua dan 2 adik Desi yang masih sekolah.Mama Desi sempat tak percaya dengan apa yang aku ceritakan, hingga aku tunjukkan bukti melalui rekaman CCTV dan aku memintanya untuk datang ke rumah sakit dimana Desi dirawat. Awalnya kekeh beliau tak percaya bahwa Raka tega
"Kau mau tahu kesalahan apa yang membuat adikmu turut berada di sini?" tanyaku mengejek Raka."Adikmu itu-""Hentikan!"Pekik Risma cepat sembari menggelengkan kepala, raut wajahnya panik dan begitu memelas. Sorot matanya memohon supaya aku tak berbicara tentang kesalahannya di hadapan Raka. Tapi, apa peduliku? Aku tersenyum melihat ekspresinya. Panik, takut dan memohon menjadi satu dan aku menikmati itu."Adikmu itu-""Diam! Diam kamu! Atau ku patahkan lehermu sekarang juga!" bentak Risma mengancamku.Raut wajahnya memerah, matanya mendelik dan telunjuknya mengarah tepat di wajahku. Aku tak takut! Lagi pula dia bisa apa? Di sini ada banyak petugas, tentu dia tak akan bisa berkutik."Adikmu itu pemakai narkoba! Ntah cuma make apa ikut ngejual, aku juga gak tahu! Biar polisi yang mengungkapkannya!" ucapku tegas dan lantang. Ku berikan senyum mengejek untuk anak manja itu.Risma melotot sempurna, raut wajahnya pucat melebihi tadi. Raka? Mematung di tempatnya, menetap tajam adik kesayang
Masih dengan derai air mata yang terus mengalir di kedua pipi tuanya, bibirnya terus meracau memanggil kedua anak-anaknya. Namun, pandangannya kosong menatap lurus ke depan tanpa ada bias kehidupan.Kedua tangan terikat, wajah memyedihkan dan rambut acak-acakan. Itulah kondisi Ibu sekarang. Aku sedih tapi mau bagaimana lagi, ini jalan yang terbaik untuk beliau."Silahkan ditanda tangani dulu, Bu." pinta salah satu petugas rumah sakit sembari menyodorkan beberapa berkas terkait keberadaan Ibu di sini.Netraku beralih pada lembar demi lembar kertas putih dengan deretan kalimat yang tertera di sana, tanpa menunggu lama segera aku bubuhkan tanda tanganku di beberapa bagian. Keputusanku sudah bulat, Ibu memang lebih baik berada di sini."Kuat, Sayang! Ini yang terbaik, percayalah!" suara lembut El menguatkanku dengan mengusap bahuku pelan."Iya, Yang! Semoga, Ibu bisa pulih berada di sini!" balasku meski ada rasa sesal di hati ini.Aku tahu, obat dari sakit mental yang Ibu alami adalah pel