“Neng Za, kamu ke sini, Sayang? Ibu kangen banget,” ujar Bu Ningsih menghambur pada menantunya.
Sepersekian detik dia baru menyadari ada sesuatu yang terjadi pada putra semata wayangnya. Dia meringis saat berdiri di samping Za.
“Al, kamu kenapa? Sakit?” tanyanya dan mengecek kondisi tubuh anaknya setiap inci. Albany meringis saat sang ibu menyentuuh bagian belakang tubuhnya.
“Ini kenapa?” tanya Bu Ningsih panik. Za tersenyum sekilas.
“Sedikit kecelakaan, Bu. Mas Al terpeleset, lalu kegores benda tajam. Kemarin sempat dirawat, tapi sekarang udah baikan,” jawab Za sembari sesekali melirik pada suaminya.
Albany mengerti, jika Za berbohong agar ibunya tak khawatir.
Mulut Bu Ningsih melongo dan mengangguk-anggukan kepalanya.
“Sekarang udah baikan, ya? Makasih ya Neng udah mau ngerawat anak
Za tersenyum miris. Dia merasa tersentuh hatinya dengan perkataan sang ibu mertua. Dia yang setiap hari bisa makan enak, hidup nyaman, kadang tak merasa bersyukur. Lalu, kini, dia melihat orang yang perekonomiannya berada di bawahnya, jangankan makanan mewah, makanan sederhana pun sudah terasa sangat nikmat.“Kalau kapan-kapan Za ajak Ibu ke restoran, mau?” tawarnya dengan tatapan sendu. Bu Ningsih malah tersenyum.“Oalaah, malah merepotkan kamu. udah nggak usah. Makanan kampung malah lebih sehat,” timpalnya diselingi tawa.Suara dehaman membuyarkan obrolan keduanya. Begitu juga dengan Ani yang dari tadi hanya menjadi tim penyimak sambil mengucek pakaian langsung menoleh ke sumber suara.“Mas, kamu mau kemana?” tanya Za yang hendak membersihkan ayam yang akan diungkebnya.“Emh, itu … aku mau mandi. Masih ada Ani ya?” ucapnya kikuk.
Za menjerit saat melihat kepulan asap sudah membumbung. Bu Ningsih yang masuk dari pintu belakang disusul oleh Ani yang membawa sepiring makanan pun ikut menjerit karena kaget. Za bergegas mematikan kompor dan menatap kecewa pada ayam yang sudah dengan susah payah dia olah.“Neng, waduh Ibu lupa kalau kamu lagi ngungkep ayam. Tadi Ibunya Ani manggil nawarin makanan. Ibu sama Ani malah ikut ke sana berdua.” Terlihat wajah menyesal dari Bu Ningsih.“Iya, Bu, nggak apa-apa. Aku juga teledor, tadi apinya nggak dikecilin,” jawab Za, tak ingin memperpanjang masalah. Sebetulnya tadi apinya sudah dikecilin, tapi berhubung kegiatan menyekanya berlanjut dengan sesuatu, jadi ungkep ayamnya terlupakan.“Nasib ayam kamu sekarang tinggal kenangan.” Bu Ningsih terkekeh.“Ini namanya ayam negro, Bu. Resep baru dari aku. Gampang, kan, bikinnya?” Za menimpali candaan ibu
“Mas, aku berangkat kerja dulu ya. Nggak enak juga ninggalin kerjaan lama-lama,” ujar Za berpamitan. “Jangan lupa minum obatnya.”Al hanya mengangguk dan menerima uluran tangan sang istri yang mencium punggung tangannya sebelum berangkat.“Za,” panggil Al. wanita berpakaian formal itu berhenti dan berbalik.“Ya?”“Hati-hati,” ucapnya. Al seakan berat ditinggalkan sang istri pergi. Za lalu tersenyum dan mengangguk. Rasa bahagia meliputi hati keduanya.“Ani, nanti aku minta tolong masakin buat yang kerja pasang pompa air, ya?” pinta Za saat melihat gadis itu sedang menyapu di halaman rumahnya. Za mendekati gadis yang memegang sapu lidi itu.“Oh, iya Teh.”“Masakin juga buat Ibu dan Mas Al. ini uangnya kamu pegang, ya.” Za meny
“Za, kamu comblangin aku sama si Al, ya. please,” rengek Ayu sambil menangkupkan kedua tangannya di dada.Kalau boleh jujur, demi apapun, saat ini Za ingin sekali tertawa. Berasa sangat lucu, saat seorang wanita minta dijodohin dengan suaminya sendiri. Apa kata dunia? Namun, hatinya merasa kasihan juga dengan Ayu.‘Bagaimana cara jelasinnya ya?’ bisik hati Za, bingung.Dia mengembus napas kasar dan menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.“Yu, bisa lain kali nggak kamu curhatnya? Aku cape banget, swear. Lemes banget badanku. Mana kerjaan numpuk pula abis ditinggalin seminggu,” keluh Za. Sinar wajahnya memang terlihat lelah.“Eh, iya. Kamu cape banget ya? Keliatan sih, kayak abis begadang,” timpal Ayu nggak enak hati.‘Gimana nggak, dua jam nonstop,’ bisik hati Za tapi tak kuasa mengucapkan.
“Kamu udah mandi, Mas?” tanya Za menatap heran pada suaminya yang sudah terlihat segar.“Iya. Hari ini aku mau ambil barang-barang sekalian pamitan.”“Kita berangkat bareng aja,” ucap Za. Namun, Albany menggeleng.“Jangan. Aku tidak mau membuat keributan dengan pergi bersamamu.”Za menautkan alisnya tak mengerti.“Aku tidak ingin hubungan kita mempengaruhi pandangan orang-orang padamu.” Albany mendekat pada Za dan membelai rambutnya pelan.“AKu tidak peduli dengan pendapat mereka, Mas. yang menjalani itu kita, bukan orang lain.” Za menatap lekat suaminya.“Baiklah, kalau itu memang maumu,” jawab Albany.Za merasa takjub dengan suaminya. Dia sama sekali tak menyangka jika lelaki yang selama ini keras dan angkuh itu justru memiliki
“Wow, wow … berani sekali wanita sok cantik ini. Kamu pikir akan mudah memasukanku ke penjara?” lalu terdengar suara derai tawa dari mulut Ronald. Cengkeramannya semakin kuat. Za bahkan hampir kehabisan napasnya. Namun, dengan sigap, dia berpura-pura menyenggol teleponnya dan menekan angka 1 sebanyak 3 kali. Tentu saja, karena itu yang kini angka yang bisa diraihnya.Telepon di ruang pantry berbunyi nyaring, Marni langsung mengangkatnya.“Halo?” tanyanya beberapa kali seperti orang bingung karena tak ada jawaban dari seberang sana.“LEpaskan, keparat! Pergi kau dari sini!” terdengar suara Za yang tersengal karena cengkeraman Ronald yang kuat.“Siapa, Marni?” tanya Bu Narti.“Emh, dari suaranya sepertinya Bu Zanna. Dan sepertinya Bu Zanna sedang dalam bahaya,” ucap Marni gugup.Mendengar itu, Albany langsung
“I’m sorry for all those things happened. Semua bermula gara-gara aku melakukan kesalahan itu dan menyeretmu ke dalam semua masalah ini. Apa kamu menyesal telah menikah denganku?” tanya Za dengan mata berkaca-kaca.Albany tidak menjawab. Dia melirik ke arah pintu sekilas, setelah merasa aman, dia lalu menarik lengan mungil itu hingga Za berdiri dan menempel di dadanya. Tatapan mereka beradu. Albany tak ingin menjawab pertanyaan sang istri dengan kata-kata. Dia menarik tengkuk yang berada cukup jauh di bawahnya. Tentu saja, tinggi Albany yang lebih dari 180 senti meter harus berhadapan dengan Za yang hanya 165 senti. Lelaki itu mencium Za dengan rakus.“Aku pulang duluan ya,” desahnya dengan napas tersengal. “Aku tidak mau membuat keributan. Tidak etis rasanya jika mereka menemukanku sedang meniduri bos mereka di kantornya.” Albany menyapu bibir Za yang terlihat merah dengan ibu jarinya.
“Bisa nggak sih jangan selama itu?” tanya Za polos. Albany menaikan sebelah alisnya.“Ok, aku korting lima menit,” jawab Albany dengan wajah serius sambil menyuap.“Iish, sama aja boong.” Za langsung memanyunkan bibirnya dan mengambil sebuah kerupuk dan menimpukannya ke dada sang suami.“Nggak sama, dong. Beda lima menit.” Albany tetap dengan wajah seriusnya.Obrolan mereka buyar saat berulang kali ponsel mililk Za dan juga Albany berdering berkali-kali.“Siapa ya?” tanya Za. Mereka saling melempar pandangan. Albany mengedikan bahunya.“UDah biarin aja.” Lelaki itu kembali fokus menyuap. Namun, Za tampaknya merasa sangat terganggu dengan dering ponsel yang terus saja menjerit-jerit.“Udah, deh, aku angkat aja dulu, takutnya ada yang penting.” Za bangkit dan melang
Entah berapa lama mereka menunggu di sana. Hingga seorang suster menghampiri mereka dan mengatakan jika operasinya berhasil. Bayinya ada dalam inkubator, sementara Syafitri masuk ke ruang ICU karena kondisinya kritis.Ada rasa lega juga sedih di hati keduanya.Za menatap lekat pada bayi yang terbaring di dalam kotak kaca itu. Pikirannya kembali pada masa Rabbani masih ada. Air matanya kembali menetes tanpa bisa ditahan.Albany menatap nanar pada sang istri. Dia mengira jika itu adalah air mata bahagia atas lahirnya seorang putra.“Dia mirip Rabbani ya, Mas.” Za bergumam. Albany mengangguk.“Selamat, kamu sudah resmi menjadi seorang ibu,” bisik Albany seraya memeluk istrinya dari samping. Dia juga mengecup puncak kepala Za penuh sayang.**Za dan Albany sedang sarapan di kantin rumah sakit saat dering telepon
Pagi-pagi Albany terbangun dengan tubuh yang luar biasa lelah. Kemarin malam dia bahkan tidak sempat makan. Hanya teh susu yang dihidangkan sang istri saja yang sempat diminumnya.Matanya mengerjap sambil dikucek. Za tersenyum di sebelahnya.“Kamu udah mandi?” tanya Albany saat melihat istrinya sudah rapih. Tak terlihat gurat lelah di mata wanita itu saat biasanya dia lihat setelah pergumulan mereka di malam harinya.“Udah. Aku bahkan udah siapin kamu sarapan. Ayo mandi dulu. kamu pasti cape,” ujar Za tersenyum semringah. Albany mengangguk. Dia lalu bangkit setelah sebelumnya meraih handuk yang semalam terjatuh ke lantai.Kening Albany mengerut saat dia berdiri dan sekilas melihat ke atas seprei hijau muda. Ada bercak darah di sana.“Sayang, kamu lagi dapet?” tanya Albany. Dia bahkan lupa jika istrinya sudah tak memiliki kantung rahim.&nb
[Mas, nanti malem aku tunggu ya. I miss you so much.]Tulis Za ke nomor whatsapp suaminya. Albany yang sedang mengecek kebun selada sontak mengulum senyum saat membaca pesan itu.[Siap-siap saja kalau sudah berani menggoda.]Balas Albany. Dia tersenyum lalu kembali memasukan ponselnya ke saku celana. Dia geleng-geleng membayangkan sang istri yang biasanya mendominasi kalau ngajak duluan.“Tunggu saja, aku buat kamu minta ampun,” gumamnya sambil mengulum senyum.[Aku minta Fitri pulang dulu ke rumah Pak Ahmad, biar kita nggak ada yang ganggu.]Za kembali membalas. Getar ponsel membuat Albany mengambilnya lagi. Dia lalu tertawa kecil sambil geleng-geleng saat membaca pesan itu.**Albany pulang dalam keadaan basah kuyup. Walaupun sudah memakai jas hujan, tetapi karena hujan yang mengguyur sangat besar air itu masih dapat tembus melalui sela-sela leher dan beberapa bagian lainnya.Albany masuk ke rumah yang terlihat sepi.“Pada ke mana, kok nggak ada?” gumamnya sambil celingak-celinguk.
Mereka tiba di rumah baru itu sudah sore. Rumah itu lebih terlihat seperti vila di daerah pegunungan. Za sengaja memilihnya, agar sang suami mudah mencari lahan perkebunan baru di sana.“Ini kamar kamu, ya, Fit.” Za menunjukan sebuah kamar di sebelah miliknya. Mata gadis itu tak henti-henti berbinar semenjak kedatangannya ke rumah ini. Rumah yang di matanya begitu mewah, jauh jika dibandingkan dengan rumah sang ayah.“Kamu nggak apa-apa, kan, di kamar ini?” tawar Za meminta persetujuan. Gadis itu mengangguk cepat.“Terima kasih, Bu,” ucap Syafitri dengan senyum semringah. Gadis yang baru setahun lulus SMA itu langsung masuk ke kamarnya dan berputar-putar melihat setiap benda yang seolah mimpi bisa menjadi miliknya.Za tersenyum melihat rona bahagia di wajah gadis itu. Gadis yang telah mau membantunya untuk memberikan seorang anak.Beberapa hari yang lalu, Za diam-diam mendatangi rumah Ahmad dan menceritakan semuanya. Za meminta Syafitri agar mau menjadi madunya.Awalnya Ahmad juga Sya
“Mas, aku sudah siapkan sebuah rumah di luar kota untuk rencana kita itu,” ujar Za saat Albany berganti pakaian pagi itu.“Rencana? Rencana apa?” tanyanya menghentikan aktifitas.“Punya bayi,” jawab Za singkat.“Maksudnya gimana?”“Kita pindah rumah dari sini, Mas. Tidak mungkin kita membawa istri barumu ke sini, kan? Bisa-bisa Papa sama Ibu marah sama kita. Mereka juga tidak tahu, kan, kalau aku sudah tidak memiliki Rahim?” ungkap Za.Terdengar dengkusan dari mulut Albany. Ternyata keinginan dan rencana istrinya itu bukan main-main. Padahal dia sama sekali tak menginginkan pernikahan kedua. Jika memang Tuhan tidak menakdirkannya memiliki anak, Albany akan menjalaninya dengan ikhlas.“Mas … kok malah gitu, sih? Bukannya jawab,” kejar Za dan menarik lengan suaminya.Albany mengembus napas kasar dan menatap istrinya nanar.“Aku harus jawab apa, Sayang? Aku sama sekali tidak punya ide untuk itu. Bahkan membayangkannya saja aku berat,” jawab Albany.“Hanya sebentar, Mas. Kita harus berkor
Mata Amara membulat seketika. Bahunya meluruh saat rekaman itu berakhir.“KAmu dengar sendiri, kan? Apa laki-laki macam itu yang akan kamu pertahankan? Dia hanya akan jadi penyakit untuk masa depanmu, Mara. Kamu lebih baik berhenti mengharapkannya,” ucap Za menatap dalam pada sepupunya.Amara mulai melemah emosinya. Tangis itu kini berganti isak. Za lalu merengkuh sepupunya dan mengelus punggungnya perlahan.“Kamu harus bersyukur karena mengetahui kebenaran tentang Rafael sebelum hari pernikahan kalian. Kalau seandainya kalian sudah menikah, sudah pasti akan jauh lebih berat buatmu,” bisik Za berusaha menyalurkan kekuatan.“Terima kasih, Za. Kalau seandainya kamu nggak ngasih tau semua ini, aku pasti salah paham terus sama kalian. Rafael bilang kalian telah menjebaknya hingga dia ditahan,” ucapnya terisak.Za tersenyum sekilas setelah mengendurkan pelukannya.“Kamu adalah adikku. Sudah sepantasnya aku menyelamatkanmu dari manusia picik seperti dia.” Za mengusap bahu Amara lalu mengaj
“Apa?” Mata Za terbelalak. Albany mengangguk dengan mata terpejam. Tak kuasa menahan rasa sakit di dadanya.“Dia sepertinya yang telah menabrakmu,” ucap Albany penuh sesal.“BAgaimana kamu bisa seyakin itu?” tanya Za dengan jantung yang bertalu kencang. Jika benar lelaki itu yang telah menabraknya, lalu apa alasannya?“Apa kamu tidak ingat waktu motor itu menabrakmu, Neng Za? Ibu melihat jelas sekali jenis motor, warna dan juga plat nomornya,” timpal Ningsih.“Aku kaget sekali waktu itu, Bu. Perutku juga sakit sekali diterjang motor itu. Kalau gak salah, memang motor yang sejenis motor Ninja warna merah. Hanya saja aku nggak tau nomor platnya. Lagi pula, buat apa dia nabrak aku?” Za tampak kebingungan.Albany mengembus napas kasar. Dia menggenggam tangan sang istri erat sebelum berani berterus terang tentang segalanya.“Kamu ingat dengan lelaki yang menggodaku di kafe?” tanya Albany dengan nada memelas.Mata Za terbelalak. Dia sadar, jika suara yang pernah dia dengar memang persis den
Mata Albany membulat seketika, apalagi saat lelaki itu datang mendekat.“Ini, kenalkan, sepupuku. Za. Dan ini suaminya, Albany,” ucap Amara memperkenalkan.Alis Rafael terangkat sebelah. Dia lalu tersenyum semringah seraya mengulurkan tangan.“Hai. Aku Rafael. Senang bertemu denganmu,” ucapnya mengulurkan tangan pada Albany. Lelaki berkuncir itu dengan terpaksa menerima uluran tangan orang yang dibencinya. Kala tangan mereka berjabat, Rafael menggerak-gerakan ibu jarinya mengelus telapak tangan Albany dengan menyunggingkan seulas senyum.Albany bergegas menarik tangannya. Sungguh terasa menjijikan ketika harus berhadapan dengan lelaki belok itu.Rafael juga tersenyum manis pada Za seraya mengulurkan tangan. Namun, Albany segera menarik lengan Za yang lain agar segera menjauh dari lelaki itu. Ada perasaan aneh dalam hati Za dengan sikap sang sua
Za hendak bangkit, namun ditahan oleh sang suami. Tubuhnya semakin bergetar menahan tangis.“Lepas, Mas. Lepaas …,” pinta Za memohon dan berusaha melepaskan cengkeraman tangan Albany yang menahan erat dirinya.“Tidak.” Albany menggeleng.“AKu mau pergi, Mas. Aku mau sendiri,” ucap Za terisak.“Tidak, Za. Aku mohon, jangan pergi lagi.” Lelaki itu tetap kukuh menahan tubuh istrinya yang hendak bangkit berdiri.“Aku hanya wanita tidak berguna, Mas. untuk apa lagi kau pertahankan aku,” isak Za semakin kencang.Albany merengkuhnya ke dalam pelukan. “Siapa bilang kau tidak berguna?” bisik Albany seraya mengusap punggung sang istri perlahan.“Kau adalah hidupku. Kau adalah nyawaku.” Albany semakin mengeratkan pelukannya. Tangis Za semakin pecah. Dia merasa menjadi wanita yang egois jika terus bersama dengan Albany.Lelaki itu sangat menginginkan seorang anak, dan sekarang … dia takkan lagi mampu memberikannya.“Aku tidak ingin kamu kecewa dengan keadaanku, Mas. Aku mandul. Aku tidak akan per