“Pak, tolong selamatkan dia,” pinta Za. Para lelaki itu kemudian mengangkat tubuh besar Al dan membawanya ke arah vila. Desas-desus terdengar. Banyak yang menanyakan apa yang telah terjadi dengan Albany. Ayu histeris dan segera menghampiri orang-orang yang menggotong tubuh lelaki pujaannya yang bersimbah darah. Tetesan cairan berwarna merah itu malah terlihat terus mengucur sepanjang perjalanan.
“Al, dia kenapa, Za?” tanya Ayu panik. Namun, Za tak ingin menghiraukan.
“Nanti saja, Yu,” jawab Za pada temannya. “Pak, bawa Albany ke mobil saya!” teriaknya pada para lelaki yang membawa tubuh suaminya.
“Tapi, Bu, darahnya terus mengucur. Nanti bisa-bisa mengotori jok mobil Ibu,” ucap seorang dari mereka.
“Terus? Apa kita mau biarkan dia begitu saja? Kalian ini! Nyawa dia jauh lebih berharga daripada jok mobil saya. Ayo cepat masukan. H
Za tidak menghiraukan pertanyaan Ayu. Dia lebih focus pada Hendro yang terlihat khawatir pada anaknya. Dia merasa tidak nyaman jika harus menjelaskan sesuatu di hadapan orang yang dibicarakan. Rasanya sangat tidak etis.Ayu menekuk wajahnya karena merasa dicuekin.“Luka-lukanya cukup panjang begini. Bagaimana ini bisa terjadi?” tanya Hendro melirik pada Za dan Albany.Al diam tak menjawab. Beruntung dia harus tengkurap, jadi bisa berpura-pura tidur.“Al nyelametin aku, Om. Kemarin Ronald sepertinya mau melecehkan aku saat di puncak. Lalu, Albany datang dan mereka berkelahi.” Za menjelaskan.“Lho, berkelahi kok bisa terluka di punggung? Ini pasti Al diserang dari belakang,” ucap Hendro menilik setiap luka yang Al alami.“Iya, Om. Saat Al bopong aku, Ronald menikamnya dari belakang. Maaf, Om. Gara-gara aku Albany jadi t
“Neng Za, kamu ke sini, Sayang? Ibu kangen banget,” ujar Bu Ningsih menghambur pada menantunya.Sepersekian detik dia baru menyadari ada sesuatu yang terjadi pada putra semata wayangnya. Dia meringis saat berdiri di samping Za.“Al, kamu kenapa? Sakit?” tanyanya dan mengecek kondisi tubuh anaknya setiap inci. Albany meringis saat sang ibu menyentuuh bagian belakang tubuhnya.“Ini kenapa?” tanya Bu Ningsih panik. Za tersenyum sekilas.“Sedikit kecelakaan, Bu. Mas Al terpeleset, lalu kegores benda tajam. Kemarin sempat dirawat, tapi sekarang udah baikan,” jawab Za sembari sesekali melirik pada suaminya.Albany mengerti, jika Za berbohong agar ibunya tak khawatir.Mulut Bu Ningsih melongo dan mengangguk-anggukan kepalanya.“Sekarang udah baikan, ya? Makasih ya Neng udah mau ngerawat anak
Za tersenyum miris. Dia merasa tersentuh hatinya dengan perkataan sang ibu mertua. Dia yang setiap hari bisa makan enak, hidup nyaman, kadang tak merasa bersyukur. Lalu, kini, dia melihat orang yang perekonomiannya berada di bawahnya, jangankan makanan mewah, makanan sederhana pun sudah terasa sangat nikmat.“Kalau kapan-kapan Za ajak Ibu ke restoran, mau?” tawarnya dengan tatapan sendu. Bu Ningsih malah tersenyum.“Oalaah, malah merepotkan kamu. udah nggak usah. Makanan kampung malah lebih sehat,” timpalnya diselingi tawa.Suara dehaman membuyarkan obrolan keduanya. Begitu juga dengan Ani yang dari tadi hanya menjadi tim penyimak sambil mengucek pakaian langsung menoleh ke sumber suara.“Mas, kamu mau kemana?” tanya Za yang hendak membersihkan ayam yang akan diungkebnya.“Emh, itu … aku mau mandi. Masih ada Ani ya?” ucapnya kikuk.
Za menjerit saat melihat kepulan asap sudah membumbung. Bu Ningsih yang masuk dari pintu belakang disusul oleh Ani yang membawa sepiring makanan pun ikut menjerit karena kaget. Za bergegas mematikan kompor dan menatap kecewa pada ayam yang sudah dengan susah payah dia olah.“Neng, waduh Ibu lupa kalau kamu lagi ngungkep ayam. Tadi Ibunya Ani manggil nawarin makanan. Ibu sama Ani malah ikut ke sana berdua.” Terlihat wajah menyesal dari Bu Ningsih.“Iya, Bu, nggak apa-apa. Aku juga teledor, tadi apinya nggak dikecilin,” jawab Za, tak ingin memperpanjang masalah. Sebetulnya tadi apinya sudah dikecilin, tapi berhubung kegiatan menyekanya berlanjut dengan sesuatu, jadi ungkep ayamnya terlupakan.“Nasib ayam kamu sekarang tinggal kenangan.” Bu Ningsih terkekeh.“Ini namanya ayam negro, Bu. Resep baru dari aku. Gampang, kan, bikinnya?” Za menimpali candaan ibu
“Mas, aku berangkat kerja dulu ya. Nggak enak juga ninggalin kerjaan lama-lama,” ujar Za berpamitan. “Jangan lupa minum obatnya.”Al hanya mengangguk dan menerima uluran tangan sang istri yang mencium punggung tangannya sebelum berangkat.“Za,” panggil Al. wanita berpakaian formal itu berhenti dan berbalik.“Ya?”“Hati-hati,” ucapnya. Al seakan berat ditinggalkan sang istri pergi. Za lalu tersenyum dan mengangguk. Rasa bahagia meliputi hati keduanya.“Ani, nanti aku minta tolong masakin buat yang kerja pasang pompa air, ya?” pinta Za saat melihat gadis itu sedang menyapu di halaman rumahnya. Za mendekati gadis yang memegang sapu lidi itu.“Oh, iya Teh.”“Masakin juga buat Ibu dan Mas Al. ini uangnya kamu pegang, ya.” Za meny
“Za, kamu comblangin aku sama si Al, ya. please,” rengek Ayu sambil menangkupkan kedua tangannya di dada.Kalau boleh jujur, demi apapun, saat ini Za ingin sekali tertawa. Berasa sangat lucu, saat seorang wanita minta dijodohin dengan suaminya sendiri. Apa kata dunia? Namun, hatinya merasa kasihan juga dengan Ayu.‘Bagaimana cara jelasinnya ya?’ bisik hati Za, bingung.Dia mengembus napas kasar dan menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.“Yu, bisa lain kali nggak kamu curhatnya? Aku cape banget, swear. Lemes banget badanku. Mana kerjaan numpuk pula abis ditinggalin seminggu,” keluh Za. Sinar wajahnya memang terlihat lelah.“Eh, iya. Kamu cape banget ya? Keliatan sih, kayak abis begadang,” timpal Ayu nggak enak hati.‘Gimana nggak, dua jam nonstop,’ bisik hati Za tapi tak kuasa mengucapkan.
“Kamu udah mandi, Mas?” tanya Za menatap heran pada suaminya yang sudah terlihat segar.“Iya. Hari ini aku mau ambil barang-barang sekalian pamitan.”“Kita berangkat bareng aja,” ucap Za. Namun, Albany menggeleng.“Jangan. Aku tidak mau membuat keributan dengan pergi bersamamu.”Za menautkan alisnya tak mengerti.“Aku tidak ingin hubungan kita mempengaruhi pandangan orang-orang padamu.” Albany mendekat pada Za dan membelai rambutnya pelan.“AKu tidak peduli dengan pendapat mereka, Mas. yang menjalani itu kita, bukan orang lain.” Za menatap lekat suaminya.“Baiklah, kalau itu memang maumu,” jawab Albany.Za merasa takjub dengan suaminya. Dia sama sekali tak menyangka jika lelaki yang selama ini keras dan angkuh itu justru memiliki
“Wow, wow … berani sekali wanita sok cantik ini. Kamu pikir akan mudah memasukanku ke penjara?” lalu terdengar suara derai tawa dari mulut Ronald. Cengkeramannya semakin kuat. Za bahkan hampir kehabisan napasnya. Namun, dengan sigap, dia berpura-pura menyenggol teleponnya dan menekan angka 1 sebanyak 3 kali. Tentu saja, karena itu yang kini angka yang bisa diraihnya.Telepon di ruang pantry berbunyi nyaring, Marni langsung mengangkatnya.“Halo?” tanyanya beberapa kali seperti orang bingung karena tak ada jawaban dari seberang sana.“LEpaskan, keparat! Pergi kau dari sini!” terdengar suara Za yang tersengal karena cengkeraman Ronald yang kuat.“Siapa, Marni?” tanya Bu Narti.“Emh, dari suaranya sepertinya Bu Zanna. Dan sepertinya Bu Zanna sedang dalam bahaya,” ucap Marni gugup.Mendengar itu, Albany langsung