“Eemmh, aku mau sholat dulu, Abang. Udah siang ini. Aku juga laper banget.” Kinan terlihat memelas.Meskipun Ken ingin memangsa lagi, tetapi hatinya tak tega. “Ya sudah. Sana sholat sama makan dulu, habis itu siap-siap lanjut ronde selanjutnya,” katanya dengan santai. Namun, bisa membuat Kinan ketar-ketir.“Abang ih, apa nggak cape?” ucap Kinan yang sudah terpojok. Ken hanya tersenyum sambil menyampirkan rambut Kinan yang menghalangi wajahnya.“Biasa aja,” jawab Ken sambil mengangkat dagu Kinan dengan jarinya hingga wajah polos itu mendongak. Ken lalu melumat bingkai indah itu. Jika saja Kinan tak mendorongnya mungkin Ken malah akan melanjutkan pertarungan di sana.“Abang, ih. Aku, kan udah wudhu.” Kinan menggerutu. Namun, Ken malah terlihat senang telah mengerjai istrinya. Daripada dikerjai terus menerus, Kinan lebih memilih untuk wudhu di luar.Dia mengerjakan sholat Subuh yang sangat kesiangan dengan agak tergesa. Kakinya terasa semakin gemetar saking lemas. Apalagi di dapur sepert
“Wah, boleh lah, Bun. Udah lama nggak makan masakan Bunda.” Ken yang sedang mengobrol dengan Hendro lantas bangkit dan menuju ruang makan.“Abang, bukannya tadi udah makan waktu di jalan?” Kinan coba mencegah.“Itu, kan, udah lama. Nyetir itu butuh tenaga, Kinan. Iya, kan, Bun?” ujar Ken yang sudah duduk di sana. Za lalu memberi isyarat pada Kinan agar menemani suaminya makan.“Iya, dong. Kalian itu harus banyak makan, biar fit. Biar cepet ngasih cucu buat kami,” katanya diiringi tawa.Kinan dengan berat hati ikut juga ke meja makan dan mengambilkan nasi dan tongseng kambing untuk sang suami.“Wah, pasti jos ini,” gumam Ken yang mulai mengambil sendok dan menyicip kuah tongsengnya. Kinan justru memberengut.“Ayo, ikut makan, Kinan,” kata Za menepuk kursi di depan Ken.“A-aku, masih kenyang, Bun.” Kinan senyum dengan terpaksa.“Halah, ayo, makan aja barang sedikit. Temenin suamimu,” ucap Za sembari menekan pundak Kinan agar segera duduk.“I-iya, Bun.” Kinan pun mau tak mau terpaksa i
“Kenapa?” tanya Ken tertawa pelan melihat istrinya merem. Kinan menggeleng dengan tangan terus memijat.“Terus naik,” pinta Ken. Kinan pun melakukan sesuai perintah dengan mata yang masih terpejam.“Iya, terus,” pintanya lagi. Tangan Kinan terus naik sesuai permintaan. Hingga akhirnya dia menjerit kaget karena menyenggol sesuatu yang keras di sana.“Kenapa takut?” ucap Ken yang menahan tangan Kinan agar tetap berada di sana.“A-bang,” ucapnya sambil menggeleng, tetapi bukannya dilepaskan, Ken malah menarik Kinan hingga jatuh tepat di atasnya.“Katanya nggak akan ‘itu’,” ucap Kinan dengan wajah cemberut.“Iya, itu tadi, sebelum kamu pegang-pegang ke sana. Sekarang karena dia udah bangun, kamu harus tanggung jawab bikin dia tidur lagi,” bisik Ken dengan napas yang memburu.“Iih, Abang licik. Tadi, kan, Abang yang nyuruh aku pijit ke sana-sana,” rengeknya. Ken malah tertawa melihat wajah polos istrinya. Dia lalu melepaskan jilbab dari kepala Kinan dan menaruhnya di atas meja kecil di sam
Satu bulan berlalu.Kinan bergegas pulang saat mata kuliah usai. Langit lagi-lagi sedang tidak bersahabat akhir-akhir ini. hujan selalu datang di sore hari.“Hai, Kinan. Mau hujan, aku antar saja,” tawar Dony yang tampak menjejeri langkah gadis itu, diiringi tatapan heran juga cemburu dari Sesyl.“Mmh, tidak usah, Pak. Saya bisa pulang sendiri,” sahut Kinan.“Ini sudah mulai hujan. Jangan sampai kamu sakit lagi seperti waktu itu.” Dony terdengar sedikit memaksa.“Insyaallah saya tidak akan kehujanan, Pak. Soalnya sekarang saya udah berani bawa mobil sendiri,” ujar Kinan seraya menunjukan kunci mobilnya pada Dony. Lelaki itu terperangah sesaat, begitu juga dengan Sesyl.“E-elu, udah bisa bawa mobil?” tanya Sesyl kaget. Kinan mengangguk.“Abang yang ajarin waktu sakit dulu,” jawabnya polos.“Lho, sakit kok, malah belajar nyetir? Itu sangat berbahaya, Kinan,” tegur Dony. Kinan pun hanya tertawa pelan.“Dasar suami tidak bertanggung jawab,” gumam Dony pelan.“Wah, kalau gitu, gue ikut ya,
“Ibu tidak apa-apa?” tanya Kinan khawatir. Wanita tua itu menggeleng.“Maaf, ya, Bu. Saya tidak hati-hati,” ucap Kinan dengan badan diguyur air hujan. Wanita tua itu mengangguk lalu meneruskan langkahnya. Kinan pun kembali ke mobilnya dengan badan yang basah kuyup.Saat tiba di rumah terlihat mobil Ken sudah terparkir di garasi. Kinan pun gegas turun dari mobilnya dan masuk lewat pintu samping.Ken yang sedang berdiri memegangi ponsel di telinganya sontak menoleh dan menautkan alisnya. Sepertinya tadi dia sedang menerima telepon dari seseorang. Namun, dia gegas matikan saat tahu jika Kinan sudah sampai di rumah.“Kinan? Kamu nggak bawa payung?” tanyanya heran karena tubuh istrinya sudah basah kuyup. Kinan bukannya menjawab, dia malah berlalri menghambur lalu memluk Ken dari belakang, lengkap dengan baju basahnya.“Abang jangan pergi. Abang jangan berubah lagi,” rengeknya mulai terisak. Ken menautkan alisnya tak mengerti dengan yang dibicarakan oleh istrinya.“Maksud kamu apa?” Ken b
“Jangan pergi,” ucapnya lirih dan membuat hati Ken terasa pedih.**Hari ini Kinan kuliah pagi. Entah kenapa tubuhnya terasa sedikit aneh. Kepalanya berat dan perutnya mual. Namun, dia harus kuliah karena hari ini ada ujian.Mata kuliah pertama dia harus bertemu Dony, namun sebisa mungkin dia menghindar dari dosen ganteng itu. Dia tak ingin berdekatan apalagi memberi harapan pada lelaki itu. Dirinya bukan wanita singel. Dia sudah menjadi istri orang.“Elu kenapa? Tumben amat duduk di belakang? Ini, kan, pelajarannya Pak Dony, gue justru mau duduk paling depan biar bisa melihat kegantengannya yang paripurna,” ucap Sesyl merasa aneh pada Kinan yang selalu duduk paling depan.“Nggak, aku lagi pengen di belakang. Kurang enak badan,” jawab Kinan yang memang merasa kurang fit. Setiap kali ada orang yang memakai parfum, perutnya terasa mual.“Ya udah, tapi gue di depan, ya. Pengen memandangi … Bapak Dony …,” ucap Sesyl dengan lebay. Kinan melemparnya dengan ballpoint. Namun, Sesyl gegas men
Ken hendak melangkah mendekati istrinya. Namun, Kinan mengangkat tangannya untuk memberi isyarat agar Ken tetap di sana.“Jangan mendekat. Aku tidak mau berdekatan dengan manusia licik sepertimu,” sergah Kinan.“Kinan, aku bisa jelaskan,” pinta Ken dengan wajah menyesal. Namun, wanita itu sama sekali tidak mau lagi mendengarkan.“Tidak ada yang perlu dijelaskan. Semua sudah jelas bagiku sekarang.” Kinan mundur perlahan. Ken menggeleng pelan.“Ayo kita bicara,” ajaknya lagi.“Bicara apa? Agar aku tidak mengatakan semua ini pada orang tuamu? Kamu tidak ingin mereka tau dan mengambil lagi semua uang dan fasilitas yang sudah mereka kembalikan padamu?” cecar Kinan. Ken menggeleng pelan.“Tenang saja. Aku tidak akan mengatakan apapun pada mereka. Kamu tidak perlu takut akan kehilangan uang dan jabatan kamu.”“Tidak, Kinan, bukan begitu. Aku … aku ….” Ken seolah ragu untuk mengatakan sesuatu dalam hatinya yang sudah bergelora sejak lama.“Aku tidak akan membiarkanmu menderita karena kehabisa
“Kamu ke mana? Tolong jawab teleponku,” gumamnya sambil terus-terusan menghubungi nomor ponsel sang istri. Namun nihil, nomor itu tak bisa dihubungi.**Sementara itu di lain tempat, Kinan terus berlari menembus hujan. Napasnya berat karena terhalang air yang mengguyur tubuhnya terus menerus. Kinan sengaja mencari jalan tikus agar bisa berteduh di pos ataupun rumah yang dilaluinya.Setelah berada di jalan raya, Kinan menyetop taksi yang kebetulan lewat. Sayang, taksi itu berpenumpang dan Kinan pun mundur kembali untuk berteduh.Semakin malam hujannya semakin membesar. Kinan memeluk tubuhnya yang menggigil kedinginan.Wajahnya menoleh ke jalanan saat terdengar bunyi klakson dan sebuah mobil menepi tak jauh darinya. Kaca jendelanya turun dan memperlihatkan wajah Dony di sana. tak lama pintunya terbuka dan laki-laki itu turun dari sana dengan sebuah payung besar.“Kamu kenapa di sini?” tanyanya heran. Kinan bergeming. Dia tak menjawab sepatah kata pun.“Ayo, ikut aku,” ucap Dony sambil m
“Lina, Ima! Apa Nyonya sudah selesai?” tanya Javier dari luar pintu.“Sudah Bang Jev,” jawab Ima.“Tuan Al sudah menunggu di bawah untuk sarapan,” katanya. Lina dan Ima pun bergegas membereskan peralatannya.“Silakan duluan, Nyonya. Kamarnya biar kami yang bereskan,” ucap Ima. Walaupun merasa tak enak hati, tetapi Kinan tak punya pilihan lain, Aldebaran sudah menunggunya di bawah.Saat pintu terbuka Javier sempat terperangah melihat Kinan yang semakin cantik. Sebagai lelaki normal dia kagum dengan wanita ini.“Silakan,” ujar Javier yang mendadak bersikap begitu sopan.“I-iya,” jawab Kinan terlihat gugup.Dia berjalan pelan menuruni tangga lebar yang melingkar. Di bawah sana Aldebaran yang mendengar bunyi heels pendek dari sepatu yang dikenakan Kinan sontak menoleh ke arah tangga.Matanya terperangah untuk sesaat, sebelum akhirnya dia membuang muka karena Javier melihat padanya.Sangat aneh. Aldebaran sering berurusan dengan wanita berbaju seksi. Dia bahkan sering menikmati wanita tan
Aldebaran menatap tak berkedip pada wanita yang jatuh terlelap karena saking capenya. Kinan bercerita tentang hidupnya sambil menangis tadi. Entah kenapa Aldebaran ingin sekali memeluk dan memberikan bahunya untuk bersandar saat Kinan menangis, tetapi dia tak bisa melakukannya. Wanita itu masih sah menjadi istri orang.Saking lelahnya, Kinan meracau lalu kepalanya terkulai di pinggiran sofa.“Kupikir kisah hidupku yang paling buruk,” gumam Aldebaran sambil menatap dengan rasa kasihan pada Kinan. Dia menunggu hingga Kinan benar-benar terlelap, lalu memindahkannya ke atas kasur miliknya. Setelah yakin jika Kinan tidur dalam keadaan nyaman, dia lalu keluar dan menuju ruang kerjanya untuk tidur di sana.Aldebaran seakan susah untuk memejamkan matanya. Dia masih teringat saat Kinan menceritakan kisahnya dengan sang suami.“Kamu wanita tegar dan berprinsip. Berani meninggalkan suami seperti itu demi sebuah harga diri,” gumamnya, lalu terbayang wajah Kinan yang polos, namun pemberani. Ide-id
Kinan masih fokus memijit kaki Ahmet, sementara Aldebaran mengajaknya untuk cepat-cepat. Dia sudah tidak sabar ingin menginterogasi wanita yang menjadi istri gadungannya ini.“Udah mendingan, kan, Dad?” tanya Aldebaran.Ahmet mendelikan matanya. “Aku lagi enak dipijitin. Ganggu saja kamu ini!” Dia hendak melemparkan lagi sebuah bantal pada anaknya, tetapi Kinan menahannya.“Ssst, jangan ribut.” Kinan menyilangkan telunjuknya di bibir.“Tuh denger! Sana pergi kau!” usir Ahmet mengacungkan tinjunya pada Aldebaran.“Hei, dia itu istriku. Seharusnya aku yang lebih berhak, bukan kau Pak Tua!” sergah Aldebaran.“Kau bisa sepuasnya sama istrimu nanti. Aku hanya sebentar saja. Aku ingin mengobrol dengannya.” Ahmet mengangkat bogemnya.“Aku kasih waktu lima menit lagi. setelah itu aku ajak Kinan pergi tidur. Ini sudah malam. Apa kau tidak mengerti bagaimana rasanya pengantin baru?” kata Aldebaran sambil melirik jam yang melingkar di tangannya.“Ya sudahlah. Pergilah kalian. Kakiku sudah jauh l
Sementara itu Kinan dan Ahmet yang mendengar keributan di luar langsung terbangun. Ahmet terperangah saat melihat ada Kinan di kamarnya.“Ngapain kamu di sini?” tanyanya marah.“Emmh, itu … Kek, aku mau bawakan makan malam, tapi Kakek udah tidur. Jadi aku tunggu di sini,” jawab Kinan sambil menunjuk ke sofa yang tadi didudukinya.“Kakek! Sudah kubilang jangan panggil aku kakek.” Ahmet berteriak dengan keras dan membuat Aldebaran mendengarnya. Dia gegas ke sana untuk melihat.Betapa bahagia rasanya saat melihat ada Kinan di sana yang tadi dia kira kabur.“Kenapa kamu di sini, Sayang?” tanya Aldebaran menghampiri Kinan dan berpura-pura bersikap romantis. Kinan tampak risih saat tangan Aldebaran menyentuh pinggangnya.“Mmh, itu, Tuan. Saya … mau ambilkan makan malam buat Kakek,” jawab Kinan polos. Aldebaran mengedipkan sebelah matanya berulang kali, memberi kode pada Kinan agar tidak menyebutnya tuan.Lelaki itu mendekatkan wajahnya pada Kinan dan berbisik, “Panggil aku sayang jika di de
Aldebaran terbahak mendengar pertanyaan Kinan.“Kau pikir aku akan melakukannya? Yang benar saja. Aku tidak akan pernah mau terikat dalam pernikahan.”Mendengar kalimat dari mulut Aldebaran, Kinan pun merasa lega.“Baguslah. Aku juga tidak mau,” balas Kinan sambil membuang muka. Aldebaran melotot. Belum pernah ada yang berani seperti itu padanya. Biasanya wanita akan tunduk dan merengek agar didekati, yang ini malah sebaliknya.“Kamu!” desisnya. Namun, Kinan malah nyengir kuda. Aldebaran mendengkus pelan.“Cepat pose yang baik, aku akan mengambil gambarmu,” titah Aldebaran sambil menunjuk ke arah tembok untuk memberi kode pada Kinan untuk berdiri di sana.“Ok,” sahut Kinan gegas berdiri di depan tembok berwarna putih.Cekrek.Aldebaran kemudian melihat hasil fotonya. Dia mendesis kesal, karena ternyata Kinan malah menggosok matanya.“Kamu ini, foto aja susah. Tahan dulu sebentar,” ucap Aldebaran sedikit emosi.“Maaf, tadi mataku kelilipan,” jawab Kinan yang masih mengucek matanya. “S
“Pakailah salah satu. Buang saja baju yang kau pakai,” katanya seperti yang kesal. Kinan mendengkus dan kembali ke kamar pas untuk berganti pakaian.Keluar dari kamar pas kali ini sudah dengan baju yang baru dan membuat Aldebaran terpaku sesaat. Namun, dia gegas membuang muka.“Ayo, masih ada tempat lain yang harus kau kunjungi,” katanya sambil berjalan, lalu diikuti oleh Javier.Kinan melongo karena dua lelaki itu malah melenggang tanpa ke kasir dulu. Dia gegas menyusul Javier dan menarik tangan lelaki itu.“Ada apa?” tanya Javier yang kaget saat tangannya ditarik.“Kenapa nggak bayar? Kalian penjahat yang lagi merampok?” tanya Kinan sambil berbisik. Javier langsung terbahak dan membuat Aldebaran berhenti dan menoleh ke belakangnya. Javier langsung berhenti tertawa dan menunduk hormat.“Butik itu punya Tuan Aldebaran,” bisik Javier dan kembali membuat Kinan melongo.“Ayo cepat!” teriak Aldebaran yang kemballi berhenti karena Javier dan Kinan malah mengobrol dan berjalan lambat.“Ini
“Sudah lihat, kan?” tanya Aldebaran membuyarkan lamunan Kinan yang membayangkan bagaimana kesepiannya lelaki tua di dalam sana.“Eh, i-iya, sudah,” jawab Kinan tergagap.“Kenapa dia nggak mau keluar?” tanya Kinan.“Entahlah. Mungkin dia merasa lebih baik jika menyendiri.” Aldebaran menjawab sembari mengedikan bahunya. Namun, Kinan tak menangkapnya seperti itu.“Ya sudah, saya mau pulang dulu,ya, Pak,” ucap Kinan dan menghentikan langkah Aldebaran yang lebar. Dia menoleh ke belakangnya.“Untuk apa?” Keningnya mengerut.“Mmh, ya mau pulang. Mau … ambil baju.” Kinan nyengir kuda.Aldebaran menilik penampilan Kinan dari atas sampai bawah yang tak ada mewah-mewahnya.“Apa baju kamu semua seperti ini?” tanyanya sedikit ragu.“I-iya, memangnya kenapa? Ada yang salah?” Kinan memperhatikan pakaiannya yang memang sangat sederhana.“Kalau begitu. Kamu tidak usah pulang. Nanti biar Javier yang bawa kamu ke toko baju.” Aldebaran kembali berbalik dan melangkah lebar-lebar meninggalkan Kinan yang me
“Iya,” jawabnya sesingkat mungkin. Lelaki di depan sana tampak seperti seorang penjahat yang akan mengeksekusi korbannya. Itu yanng Kinan rasakan.Lelaki itu bergumam dan manggut-manggut.“Saya berterima kasih sama kamu untuk malam itu.”“Bapak nggak usah berterima kasih. Saya ikhlas ngelakuinnya. Kenapa saya mesti ke sini segala? Pake ngancem-ngancem nggak mau bayarin biaya rumah sakit segala. Emangnya siapa yang minta bawa saya ke rumah sakit?” cerocos Kinan tanpa jeda. Keberaniannya mendadak muncul begitu saja.Aldebaran mengerutkan keningnya. “Mengancam? Siapa yang mengancam tidak akan bayar rumah sakit?” tanyanya bingung.Kinan pun langsung nyengir malas. Sepertinya dia sudah dikerjai oleh lelaki bernama Javier itu.“I-itu … emmh, nggak.” Kinan sepertinya merasa kasihan juga dengan Javier. Dia takut jika lelaki itu akan dihukum oleh bosnya ini.“Aku salah paham,” lanjutnya lalu menunduk. Aldebaran mengangkat sebelah alisnya kala menatap wanita itu.“Sekarang Anda sudah bilang ter
Kinan menatap sekeliling yang sudah pasti bukan ruang perawatan biasa. Ini adalah ruang perawatan VIP yang hanya pernah dilihatnya saat mengantarkan pakaian ganti untuk Ken saat Ken menjadi korban penusukan sebelum menikah dengannya.Kinan menghela napas panjang saat mengingat masa-masa bersama dengan lelaki itu. laki-laki yang telah menitipkan benih di rahimnya.Tak terasa air matanya tiba-tiba bergerombol begitu saja. Kinan pun gegas mengusapnya dengan punggung tangan. Dia bersumpah tidak akan lagi menangisi lelaki yang telah membuatnya jatuh cinta, melambung ke atas langit ketujuh, lalu diempaskan ke dasar bumi yang tergelap.“Kita harus kuat, Sayang, meskipun hidup tanpa ayahmu,” ucapnya pelan seraya mengelus perutnya yang masih rata.Air mata yang sama yang jatuh dari pelupuk Ken saat mengingat Kinan tak lagi di sisinya. Setiap hari dia menuliskan cerita yang dilalui seharian.Dear Cinta dan KenangankuApa kabar kamu hari ini?Apakah kamu baik-baik saja di sana dengan buah cinta