Pagi-pagi buta Kinan bangun hendak melaksanakan sholat. Namun, tidak ada mukena yang bisa dipakainya. Dia lalu memindai sekeliling. Hanya selimut tipis putih itu yang sepertinya bisa membantu. Kinan pun melaksakanan sholat dengan selimut yang menutupi rambut hingga kakinya.“Kinan?” terdengar suara Dony dari luar sambil mengetuk pintu. Sepertinya dia tahu jika Kinan sudah bangun.“I-iya, Pak,” jawab Kinan yang selesai melaksanakan sholat.“Ayo sarapan dulu,” ajaknya. “Sekalian bawa baju kamu yang basah, biar aku cucikan.” Dony kembali berkata.“Eh?” Kinan baru ingat jika semalam dia menyimpan baju basahnya di kamar mandi.“Biar sama saya aja nyucinya, Pak,” ujar Kinan yang menongolkan kepalanya.“Sini biar sama saya aja.” Dony kembali memaksa. Namun, Kinan bersikukuh ingin mencuci sendiri.“Baiklah. Bawalah bajumu pakai ini,” kata Dony yang memberikan wadah kepada wanita itu. kinan pun menerima dan membawa baju basahnya.“Sini,” ajak Dony melangkah menuju ke bagian belakang. Ternyata
Pukul 8 Dony pamit karena harus pergi ke kampus. Dia tidak mungkin mangnkir begitu saja dari tanggung jawabnya.“Kamu istirahat saja di sini. Kalau ada apa-apa kamu telpon aku. Ok,” pinta Dony. Kinan mengangguk pelan. Lelaki itu pergi dengan rasa ragu. Dia takut terjadi apa-apa pada Kinan. Namun, hari ini ada jadwal kuis di kelasnya dan tak mungkin dia menggagalkannya begitu saja.Kinan menuju ruang laundry dan mengeluarkan bajunya dari mesin cuci. Sudah hampir kering 90 persen. Kinan lalu membawanya ke atas meja setrika. Setelah dirasa rapih, Kinan lantas berganti pakaian.Tidak ada yang dimilikinya sekarang selain baju yang terakhir dipakainya. Dia bahkan tidak membawa dompetnya. Hanya ponsel, barang berharga yang kini dimilikinya.Kinan melihat pada meja kerja di sudur ruangan keluarga. Ada buku note juga ballpoint yang tersusun di wadah. Kinan lalu duduk di sana dan mulai menulis pesan.Dear Pak Dony,Terima kasih untuk kebaiakan Bapak selama ini pada saya.Terima kasih juga kare
Ken terbangun saat matahari mulai meninggi. Semalam dia tanpa terasa jatuh tertidur ketika meratapi kepergian sang istri. Ken mengucek matanya dan melihat ke arah jam yang ada di dekatnya. Dia terperanjat, ternyata sudah hampir jam sembilan.Ken bergegas mandi. Dia harus ke kantor, tapi sebelumnya dia akan ke kampus Kinan untuk mencarinya. Selesai mandi, Ken masuk ke kamarnya untuk berganti pakaian. Selama ini, walaupun dia tidur di kamar Kinan, tetapi baju-bajunya masih berada di kamarnya yang dulu.Pintu terbuka dan mata Ken melebar saat melihat Miranda yang dengan santainya tidur di sana.“Hei, ngapain kamu di sini? keluar!” teriak Ken yang entah kenapa merasa tak nyaman, karena dirinya hanya memakai handuk yang dililitkan di bagian bawah tubuhnya.Miranda menggeliat dan terbelalak saat melihat pemandangan yang sudah lama dia rindukan. Entah berapa hari berlalu tanpa menikmati tubuh kekar itu menyatu dengan tubuhnya. Miranda tersenyum dan bangkit. Tubuhnya yang hanya terbalut linge
“Katakan di mana dia! Atau gue bunuh lo!” ancam Ken. Namun Dony sama sekali tak pedulikan, dan membuat Ken menyarangkan kembali tinjunya. Kali ini mengenai pelipis lelaki itu. Melihat keributan yang terjadi, orang-orang mulai berkerumun dan menahan Ken agar tak memukuli Dony lagi.Mereka memisahkan Ken dan Dony sejauh mungkin. Beberapa mahasiswa dan sekuriti menarik Ken agar segera pergi dari sana, jika tidak, para sekuriti itu mengancam akan membawa Ken ke kantor polisi.Lelaki itu tak punya pilihan lain selain meninggalkan tempat itu secepatnya. Lagi pula ponselnya sedari tadi berdering karena sekretarisnya terus menelepon.Sementara itu Dony pun memutuskan untuk pulang setelah lukanya diobati. Kuis yang akan dia adakan diganti menjadi tugas. Lagi pula dia teringat terus dengan Kinan yang dia kira masih ada di rumahnya.Mobil Dony meluncur di jalanan, tanpa dia sadari jika seseorang mengikutinya hingga ke rumah. Ken, dia tidak pergi ke mana-mana, karena ingin mengikuti dosen itu ke
Ken terbangun di pagi hari. Menatap ke arah samping di mana biasanya Kinan terlelap. Bayangan gadis polos itu masih saja terlintas. Ken biasanya mencium pipi kemerahan itu dan memeluk tubuh kurusnya dengan erat. Rasa rindu itu semakin menggebu.Ken bangkit dan menuju ke luar, menatap ke arah dapur di mana biasanya Kinan sedang asik menyiapkan sarapan untuknya. Ken tersenyum seakan melihat bayangan gadis itu sedang tersenyum ke arahnya dan memintanya duduk di meja makan. Namun, bayangan itu perlahan hilang dan menyisakan sesak yang teramat sangat.Lelaki itu mengempaskan bokongnya di kursi, menghela napas panjang berusaha menghilangkan sesak di dada. Ken membayangkan bagaimana sakitnya Kinan saat mendengar jika semua ini hanyalah sandiwara. Terlebih saat dia menemukan test pack itu yang dikemas di dalam kotak kado kecil. Ken membayangkan jika Kinan pulang terburu-buru dari kampus untuk mengabarkan berita bahagia itu padanya. Lalu, yang didapatkannya hanya rasa kecewa karena dia hanya m
Kinan mengerjap. Hidungnya mencium bau obat-obatan. Dia kaget saat mengetahui sedang berada di atas brankar dengan selang infus tersambung ke punggung tangannya.Kinan gegas bangkit dan hendak melepaskan selang infus itu. Namun, seorang perawat mencegahnya.“Mbak, jangan dilepas.” Suster itu mencegah.“Siapa yang bawa saya ke sini, Suster? Saya nggak punya uang buat bayar.” Kinan masih berusaha melepaskan selang yang tersambung ke tangannya. Namun, suster itu sekuat tenaga menahannya.“Sudah ada yang bayarkan, Mbak. Tenang saja.” Suster itu memberitahu setengah berteriak, karena Kinan bersikukuh ingin turun dari tempat tidur.Mendengar ucapan suster, Kinan tak lagi berontak. Tangannya melemah. Dia menatap wanita berseragam putih itu dengan bingung.“Ada yang bayarin?” Kinan mengerutkan dahinya. “Si-apa?” tanyanya dengan tergagap.“Mmh, Bapak yang bawa Mbak ke sini,” jawab Suster itu.“Bapak?” Kinan semakin bingung. Jika Bapak yang disebutkan oleh suster itu adalah lelaki pemilik rest
Kinan menatap sekeliling yang sudah pasti bukan ruang perawatan biasa. Ini adalah ruang perawatan VIP yang hanya pernah dilihatnya saat mengantarkan pakaian ganti untuk Ken saat Ken menjadi korban penusukan sebelum menikah dengannya.Kinan menghela napas panjang saat mengingat masa-masa bersama dengan lelaki itu. laki-laki yang telah menitipkan benih di rahimnya.Tak terasa air matanya tiba-tiba bergerombol begitu saja. Kinan pun gegas mengusapnya dengan punggung tangan. Dia bersumpah tidak akan lagi menangisi lelaki yang telah membuatnya jatuh cinta, melambung ke atas langit ketujuh, lalu diempaskan ke dasar bumi yang tergelap.“Kita harus kuat, Sayang, meskipun hidup tanpa ayahmu,” ucapnya pelan seraya mengelus perutnya yang masih rata.Air mata yang sama yang jatuh dari pelupuk Ken saat mengingat Kinan tak lagi di sisinya. Setiap hari dia menuliskan cerita yang dilalui seharian.Dear Cinta dan KenangankuApa kabar kamu hari ini?Apakah kamu baik-baik saja di sana dengan buah cinta
“Iya,” jawabnya sesingkat mungkin. Lelaki di depan sana tampak seperti seorang penjahat yang akan mengeksekusi korbannya. Itu yanng Kinan rasakan.Lelaki itu bergumam dan manggut-manggut.“Saya berterima kasih sama kamu untuk malam itu.”“Bapak nggak usah berterima kasih. Saya ikhlas ngelakuinnya. Kenapa saya mesti ke sini segala? Pake ngancem-ngancem nggak mau bayarin biaya rumah sakit segala. Emangnya siapa yang minta bawa saya ke rumah sakit?” cerocos Kinan tanpa jeda. Keberaniannya mendadak muncul begitu saja.Aldebaran mengerutkan keningnya. “Mengancam? Siapa yang mengancam tidak akan bayar rumah sakit?” tanyanya bingung.Kinan pun langsung nyengir malas. Sepertinya dia sudah dikerjai oleh lelaki bernama Javier itu.“I-itu … emmh, nggak.” Kinan sepertinya merasa kasihan juga dengan Javier. Dia takut jika lelaki itu akan dihukum oleh bosnya ini.“Aku salah paham,” lanjutnya lalu menunduk. Aldebaran mengangkat sebelah alisnya kala menatap wanita itu.“Sekarang Anda sudah bilang ter