“Katakan di mana dia! Atau gue bunuh lo!” ancam Ken. Namun Dony sama sekali tak pedulikan, dan membuat Ken menyarangkan kembali tinjunya. Kali ini mengenai pelipis lelaki itu. Melihat keributan yang terjadi, orang-orang mulai berkerumun dan menahan Ken agar tak memukuli Dony lagi.Mereka memisahkan Ken dan Dony sejauh mungkin. Beberapa mahasiswa dan sekuriti menarik Ken agar segera pergi dari sana, jika tidak, para sekuriti itu mengancam akan membawa Ken ke kantor polisi.Lelaki itu tak punya pilihan lain selain meninggalkan tempat itu secepatnya. Lagi pula ponselnya sedari tadi berdering karena sekretarisnya terus menelepon.Sementara itu Dony pun memutuskan untuk pulang setelah lukanya diobati. Kuis yang akan dia adakan diganti menjadi tugas. Lagi pula dia teringat terus dengan Kinan yang dia kira masih ada di rumahnya.Mobil Dony meluncur di jalanan, tanpa dia sadari jika seseorang mengikutinya hingga ke rumah. Ken, dia tidak pergi ke mana-mana, karena ingin mengikuti dosen itu ke
Ken terbangun di pagi hari. Menatap ke arah samping di mana biasanya Kinan terlelap. Bayangan gadis polos itu masih saja terlintas. Ken biasanya mencium pipi kemerahan itu dan memeluk tubuh kurusnya dengan erat. Rasa rindu itu semakin menggebu.Ken bangkit dan menuju ke luar, menatap ke arah dapur di mana biasanya Kinan sedang asik menyiapkan sarapan untuknya. Ken tersenyum seakan melihat bayangan gadis itu sedang tersenyum ke arahnya dan memintanya duduk di meja makan. Namun, bayangan itu perlahan hilang dan menyisakan sesak yang teramat sangat.Lelaki itu mengempaskan bokongnya di kursi, menghela napas panjang berusaha menghilangkan sesak di dada. Ken membayangkan bagaimana sakitnya Kinan saat mendengar jika semua ini hanyalah sandiwara. Terlebih saat dia menemukan test pack itu yang dikemas di dalam kotak kado kecil. Ken membayangkan jika Kinan pulang terburu-buru dari kampus untuk mengabarkan berita bahagia itu padanya. Lalu, yang didapatkannya hanya rasa kecewa karena dia hanya m
Kinan mengerjap. Hidungnya mencium bau obat-obatan. Dia kaget saat mengetahui sedang berada di atas brankar dengan selang infus tersambung ke punggung tangannya.Kinan gegas bangkit dan hendak melepaskan selang infus itu. Namun, seorang perawat mencegahnya.“Mbak, jangan dilepas.” Suster itu mencegah.“Siapa yang bawa saya ke sini, Suster? Saya nggak punya uang buat bayar.” Kinan masih berusaha melepaskan selang yang tersambung ke tangannya. Namun, suster itu sekuat tenaga menahannya.“Sudah ada yang bayarkan, Mbak. Tenang saja.” Suster itu memberitahu setengah berteriak, karena Kinan bersikukuh ingin turun dari tempat tidur.Mendengar ucapan suster, Kinan tak lagi berontak. Tangannya melemah. Dia menatap wanita berseragam putih itu dengan bingung.“Ada yang bayarin?” Kinan mengerutkan dahinya. “Si-apa?” tanyanya dengan tergagap.“Mmh, Bapak yang bawa Mbak ke sini,” jawab Suster itu.“Bapak?” Kinan semakin bingung. Jika Bapak yang disebutkan oleh suster itu adalah lelaki pemilik rest
Kinan menatap sekeliling yang sudah pasti bukan ruang perawatan biasa. Ini adalah ruang perawatan VIP yang hanya pernah dilihatnya saat mengantarkan pakaian ganti untuk Ken saat Ken menjadi korban penusukan sebelum menikah dengannya.Kinan menghela napas panjang saat mengingat masa-masa bersama dengan lelaki itu. laki-laki yang telah menitipkan benih di rahimnya.Tak terasa air matanya tiba-tiba bergerombol begitu saja. Kinan pun gegas mengusapnya dengan punggung tangan. Dia bersumpah tidak akan lagi menangisi lelaki yang telah membuatnya jatuh cinta, melambung ke atas langit ketujuh, lalu diempaskan ke dasar bumi yang tergelap.“Kita harus kuat, Sayang, meskipun hidup tanpa ayahmu,” ucapnya pelan seraya mengelus perutnya yang masih rata.Air mata yang sama yang jatuh dari pelupuk Ken saat mengingat Kinan tak lagi di sisinya. Setiap hari dia menuliskan cerita yang dilalui seharian.Dear Cinta dan KenangankuApa kabar kamu hari ini?Apakah kamu baik-baik saja di sana dengan buah cinta
“Iya,” jawabnya sesingkat mungkin. Lelaki di depan sana tampak seperti seorang penjahat yang akan mengeksekusi korbannya. Itu yanng Kinan rasakan.Lelaki itu bergumam dan manggut-manggut.“Saya berterima kasih sama kamu untuk malam itu.”“Bapak nggak usah berterima kasih. Saya ikhlas ngelakuinnya. Kenapa saya mesti ke sini segala? Pake ngancem-ngancem nggak mau bayarin biaya rumah sakit segala. Emangnya siapa yang minta bawa saya ke rumah sakit?” cerocos Kinan tanpa jeda. Keberaniannya mendadak muncul begitu saja.Aldebaran mengerutkan keningnya. “Mengancam? Siapa yang mengancam tidak akan bayar rumah sakit?” tanyanya bingung.Kinan pun langsung nyengir malas. Sepertinya dia sudah dikerjai oleh lelaki bernama Javier itu.“I-itu … emmh, nggak.” Kinan sepertinya merasa kasihan juga dengan Javier. Dia takut jika lelaki itu akan dihukum oleh bosnya ini.“Aku salah paham,” lanjutnya lalu menunduk. Aldebaran mengangkat sebelah alisnya kala menatap wanita itu.“Sekarang Anda sudah bilang ter
“Sudah lihat, kan?” tanya Aldebaran membuyarkan lamunan Kinan yang membayangkan bagaimana kesepiannya lelaki tua di dalam sana.“Eh, i-iya, sudah,” jawab Kinan tergagap.“Kenapa dia nggak mau keluar?” tanya Kinan.“Entahlah. Mungkin dia merasa lebih baik jika menyendiri.” Aldebaran menjawab sembari mengedikan bahunya. Namun, Kinan tak menangkapnya seperti itu.“Ya sudah, saya mau pulang dulu,ya, Pak,” ucap Kinan dan menghentikan langkah Aldebaran yang lebar. Dia menoleh ke belakangnya.“Untuk apa?” Keningnya mengerut.“Mmh, ya mau pulang. Mau … ambil baju.” Kinan nyengir kuda.Aldebaran menilik penampilan Kinan dari atas sampai bawah yang tak ada mewah-mewahnya.“Apa baju kamu semua seperti ini?” tanyanya sedikit ragu.“I-iya, memangnya kenapa? Ada yang salah?” Kinan memperhatikan pakaiannya yang memang sangat sederhana.“Kalau begitu. Kamu tidak usah pulang. Nanti biar Javier yang bawa kamu ke toko baju.” Aldebaran kembali berbalik dan melangkah lebar-lebar meninggalkan Kinan yang me
“Pakailah salah satu. Buang saja baju yang kau pakai,” katanya seperti yang kesal. Kinan mendengkus dan kembali ke kamar pas untuk berganti pakaian.Keluar dari kamar pas kali ini sudah dengan baju yang baru dan membuat Aldebaran terpaku sesaat. Namun, dia gegas membuang muka.“Ayo, masih ada tempat lain yang harus kau kunjungi,” katanya sambil berjalan, lalu diikuti oleh Javier.Kinan melongo karena dua lelaki itu malah melenggang tanpa ke kasir dulu. Dia gegas menyusul Javier dan menarik tangan lelaki itu.“Ada apa?” tanya Javier yang kaget saat tangannya ditarik.“Kenapa nggak bayar? Kalian penjahat yang lagi merampok?” tanya Kinan sambil berbisik. Javier langsung terbahak dan membuat Aldebaran berhenti dan menoleh ke belakangnya. Javier langsung berhenti tertawa dan menunduk hormat.“Butik itu punya Tuan Aldebaran,” bisik Javier dan kembali membuat Kinan melongo.“Ayo cepat!” teriak Aldebaran yang kemballi berhenti karena Javier dan Kinan malah mengobrol dan berjalan lambat.“Ini
Aldebaran terbahak mendengar pertanyaan Kinan.“Kau pikir aku akan melakukannya? Yang benar saja. Aku tidak akan pernah mau terikat dalam pernikahan.”Mendengar kalimat dari mulut Aldebaran, Kinan pun merasa lega.“Baguslah. Aku juga tidak mau,” balas Kinan sambil membuang muka. Aldebaran melotot. Belum pernah ada yang berani seperti itu padanya. Biasanya wanita akan tunduk dan merengek agar didekati, yang ini malah sebaliknya.“Kamu!” desisnya. Namun, Kinan malah nyengir kuda. Aldebaran mendengkus pelan.“Cepat pose yang baik, aku akan mengambil gambarmu,” titah Aldebaran sambil menunjuk ke arah tembok untuk memberi kode pada Kinan untuk berdiri di sana.“Ok,” sahut Kinan gegas berdiri di depan tembok berwarna putih.Cekrek.Aldebaran kemudian melihat hasil fotonya. Dia mendesis kesal, karena ternyata Kinan malah menggosok matanya.“Kamu ini, foto aja susah. Tahan dulu sebentar,” ucap Aldebaran sedikit emosi.“Maaf, tadi mataku kelilipan,” jawab Kinan yang masih mengucek matanya. “S