4.
Pada akhirnya, Lina dan Anggi tak jadi pergi. Keduanya ikut memasak meski hanya setengah hati. Sementara Vita merasa lega karena tak diperlakukan seperti pembantu. Terkadang, dibutuhkan sedikit keberanian agar tak terus disepelekan. Jangan biarkan harga diri diinjak-injak hanya karena miskin. Selepas Asyar, tamu undangan sudah mulai berdatangan. Dengan penuh semangat Agung menyambut para tetangga. Dia sudah tak sabar untuk memamerkan kalau dirinya telah menjadi orang sukses. Setelah semua berkumpul, acara dimulai. “Silakan Pak Haji, mohon didoakan ini selamatanku,” ucap Agung pada lelaki berkopiah putih di sebelahnya. “Memangnya selamatan apa?” Lelaki itu bertanya balik. “Begini, Pak Haji. Aku baru saja membeli mobil baru. Harganya 300 juta lebih,” Sengaja Agung menyebutkan nominal agar para tetangga tahu harga mobilnya. “Wah ... hebat kamu, Gung! Sekarang sudah sukses,” puji salah satu tetangga. “Iya. Uangmu pasti banyak. Tiap mudik selalu ganti mobil,” puji yang lain. “Alhamdulillah, Bapak-bapak. Ini berkat keseriusanku dalam bekerja. Kalau ada yang jual sawah, aku juga mau beli.” Agung tersenyum bangga sebab dirinya dibanjiri pujian. “Iya. Mas Agung pasti berani bayar lebih mahal kalau ada yang jual tanah,” imbuh Dimas. Para tetangga juga ikut memuji Dimas yang telah menjadi ASN. Di kampung tempat tinggal mereka, pekerjaan Dimas sesuatu yang istimewa. Dari hampir 2.000 penduduk, yang berprofesi sebagai ASN bisa dihitung dengan jari. Tak lama kemudian, terdengar suara Pak Haji berdehem. Ini menjadi pertanda kalau doa akan segera di mulai. Seketika semua diam, bersiap mengamini. *** Sekitar pukul lima sore, acara sudah selesai. Semua tamu undangan pulang, menyisakan Bu Aminah sekeluarga. Vita yang merasa pekerjaannya sudah selesai langsung pamit pulang. “Loh ... kamu enggak nginep lagi, Vit?” tanya sang Ibu. “Enggak, Bu! Nanti rumahnya kosong terus,” “Kenapa buru-buru pulang, Vit! Kan gelas dan piring belum pada di cuci,” celetuk Linda. Vita menoleh pada kakak iparnya. Sebelumnya dia sudah menduga kalau Linda bakalan bicara seperti itu. “Maaf, Mbak! Aku harus pulang. Lagian kan masih ada kamu dan Mbak Anggi. Cucian segitu paling sebentar juga kelar,” ucap Vita. Anggi dan Linda mendengkus kesal, tapi tak bisa berbuat banyak. Sekarang Vita semakin susah kalau dimintai bantuan. “Ya sudah kalau begitu. Hati-hati di jalan. Kamu sudah bawa nasi sama lauknya kan?” tanya Bu Aminah. “Widih ... Enak betul jadi kamu, Vit. Datang tangan kosong, pulang bawa banyak. Kalau sering-sering begini bisa hancur bandar.” Sebelum sempat Vita menjawab pertanyaan Ibunya, Linda lebih dulu menyindir. “Maaf, Mbak! Aku pulang enggak bawa apa-apa kok! Jangan pikir karena aku miskin jadi rakus gratisan. Kamu salah menilaiku, Mbak!” Kalimat Vita terdengar dingin. Wajahnya nyaris tanpa ekspresi. Dia semakin berani menyangkal hal-hal yang tidak sesuai kenyataan. Detik berikutnya, perempuan berhijab itu melangkah ke luar rumah. Lalu segera meluncur pergi bersama anak semata wayangnya. Vita menghentikan motor di halaman rumah. Pandangannya langsung tertuju pada sosok lelaki yang sedang duduk di bangku teras. Sesaat lelaki itu menoleh dan melempar senyum. Vita membalas dengan senyum yang sama lalu mendekat padanya. “Kamu, Don! Sudah lama? Maaf tadi aku dari rumah Ibu,” cerocos Vita sembari mengulurkan tangan. “Belum kok, Mbak! Paling satu jam.” Doni meraih tangan kakak iparnya dan menyalami. Vita menurunkan Kesya dari gendongan, membiarkan anak itu dibopong adik iparnya, sementara dia mengeluarkan anak kunci lalu membuka pintu. “Masuk, Don!” Lelaki itu mengangguk. Kemudian masuk ke dalam sambil terus membopong Kesya. Dia memang sangat menyayangi keponakannya. “Mau minum apa? Teh atau ...” “Enggak usah, Mbak! Aku cuma sebentar kok,” Kemudian Vita duduk di sofa, berhadapan dengan tamunya. Doni mengambil dompet, membuka lalu mengeluarkan amplop dari dalam. Diletakkan benda tipis itu di atas meja, persis di depan Vita. “Ini buat jajan Kesya, Mbak,” Vita tertegun menatap amplop di depannya. Nyaris setiap bulan Doni memberinya uang, padahal Bagas yang seharusnya memberi nafkah jarang melakukannya. “Duh ... gimana ya, Don! Aku kok jadi enggak enak kalau tiap bulan kamu kasih uang terus,” Walaupun hidup serba pas-pasan, Vita bukan tipe orang yang silau saat melihat uang. Dia lebih senang mencari sendiri ketimbang di kasih. Meski tak banyak, usaha sayur matang yang digelutinya masih cukup jika sekedar untuk makan dia dan Kesya. “Enggak apa-apa kok, Mbak! Lagian Mas Bagas kan enggak pernah kasih uang. Aku tak ingin keponakanku kelaparan. Maafkan Mas Bagas ya, Mbak!” Terdengar lirih, tapi menyayat hati. Doni yang lebih muda saja begitu peduli dengan Kesya, sedangkan Bagas malah abai dengan darah dagingnya. Jarang sekali memberi uang pada Vita, makanya saat Bagas merantau, Vita tak begitu kaget. Sebenarnya perekonomian Vita justru sedikit membaik setelah Bagas merantau. Bukan karena dikirim uang, melainkan dia bisa lebih berhemat karena tak ada lagi yang meminta uang untuk membeli rokok. Gemetar tangan Vita mengambil amplop tersebut. Tak banyak yang bisa dia ucapkan selain kata terima kasih . “Ya sudah kalau begitu, aku pulang dulu, Mbak! Kalau butuh sesuatu, bilang saja sama aku atau Mbak Arum. Insya Alloh kami siap membantu,” pamit Doni. Vita tersenyum penuh haru. Kelopak matanya telah dibanjiri bulir bening yang siap meleleh kapan saja. Hatinya terenyuh dengan perlakuan adik iparnya. Jika saja Bagas bersikap seperti Doi, Sudah barang tentu Vita akan bahagia. “Loh ... kenapa menangis, Mbak?” Dengan kening berkerut, Doni menatap lekat wajah kakak iparnya yang sudah dibanjiri air mata. Sama sekali dia tak mengerti kenapa Vita menangis. “Enggak apa-apa kok.” Vita meraih ujung jilbab lalu menyeka sudut mata. Memaksakan senyum walau hanya membentuk lengkung patah. Hatinya begitu tersentuh dengan kebaikan semua keluarga suami. “Ya sudah kalau begitu, aku pulang dulu ya, Mbak!” ulang Doni. Vita mengangguk lalu mengantar adik iparnya sampai ke teras. Tak butuh waktu lama, Doni sudah berada di atas motor dan segera beranjak pergi, sementara Vita mematung di depan teras sembari menatap punggung adik iparnya yang semakin menjauh. “Ah ... andai saja Mas Bagas sosok lelaki yang bertanggung jawab seperti Doni,” Vita menggumam lirih.Rumah Bu Aminah yang semula lengang, seketika menjadi riuh tatkala Linda berteriak histeris. Sontak saja semua penghuni rumah berhamburan keluar menuju sumber teriakan. “Ada apa, Ma! Kok teriak-teriak,” tanya Agung sembari mengatur nafas. “Iya nih! Pagi-pagi Mbak Linda sudah teriak-teriak. Bikin jantungan saja!” imbuh Anggi yang juga sudah berada di teras. “Mobil kita, Mas! Mobil kita enggak ada!” Linda menatap nanar pada halaman di mana tadi malam mobil terparkir. Agung yang sejak tadi belum sadar akan hal itu, seketika mengalihkan pandangan pada arah yang ditunjuk istrinya. Darahnya berdesir hebat, dengan degup jantung begitu kencang. Pun dengan keluarga yang lain, mereka terperangah saat tak melihat Mitsubishi Xpander terparkir di halaman. “Mo-mobilnya hilang, Ma!” Lirih suara Agung terdengar. Pandangannya kosong terpaku pada tempat yang sama. Lututnya bergetar hebat hingga persendian tulang tak lagi mampu menopang berat tubuh. Lelaki itu luruh ke lantai dan terkulai lemas.
Meski sudah berdandan ala kadarnya, Vita masih asyik melangut di kamar. Sebenarnya hari ini dia berencana akan kembali berjualan setelah tiga hari libur, tapi terpaksa dibatalkan karena Dimas menelepon, memintanya pagi ini datang ke rumah. Sempat semalam menolak, tapi Dimas bilang Ibu yang menyuruh.Sebentar kemudian, Vita bangkit lalu membopong Kesya. Firasat mengatakan sesuatu sedang terjadi pada Ibu, makanya dia mau datang. Setelah hampir 15 menit berkendara, akhirnya sampai di rumah Ibu. Vita turun lalu segera naik ke teras. Bu Aminah yang mendengar deru mesin motor berhenti, langsung membuka pintu dan menyambut anak perempuan satu-satunya dan mengajak ke dalam. Sampai di ruang tengah, Vita mengernyit heran melihat semua saudara berkumpul, tapi tak terlihat keceriaan di wajah mereka. Vita duduk di sebelah Ibunya, sementara Kesya bermain di ruang depan bersama anak dari dua kakaknya. “Vit, Ibu minta kamu ke sini karena ada yang ingin dibicarakan,” ucap Bu Aminah membuka percak
Mobil yang mereka kendarai berhenti tepat di halaman rumah. Dari balik kaca, Vita menatap rindu pada lelaki yang sedang berdiri di teras rumah. Desiran halus di hati kian terasa saat lelaki itu menoleh, meski sorot mereka tak bertemu. Buru-buru Vita melepas safety belt, turun lalu setengah berlari menghampiri lelaki tersebut. “Mas Bagas!” Vita menghambur dalam pelukan suaminya. Namun, lelaki itu justru kaget melihat kedatangan sang istri. Dia hanya mematung, tanpa membalas pelukan. Vita yang menyadari perubahan sikap suami, melepas pelukan lalu menatap lekat pada wajah. “Kamu enggak kangen aku, Mas?” tanya Vita dengan suara sedikit gemetar. “Kangen kok.” Suara Bagas sedikit tergagap. Pandangannya tertuju pada Arum yang sedang membopong Kesya, mendekat padanya. Sama sekali Bagas tak menyangka jika kakak perempuannya justru membawa Vita ke rumah, padahal dia sudah mewanti-wanti agar tak menceritakan kepulangannya. Semakin lekat Vita menatap wajah suaminya, tapi Bagas justru mengh
“Baik! Ceraikan aku sekarang!” tantang Vita. Tak ada pilihan lain. Jika harus berbagi suami, Vita tak akan sanggup. Merasa tertantang, Bagas langsung menjatuhkan talak pada perempuan yang empat tahun belakangan menemani hidupnya. Vita tersenyum getir, menertawakan perihnya hidup yang harus dijalani. Di keluarganya, saudara dan ipar selalu menghina, sedangkan suami yang diharap akan memberi kedamaian, nyatanya membunuh perlahan. “Kamu menceraikan Vita, Gas!” Arum menggeleng lemah, menyadari kebodohan adiknya. Sebagai seorang kakak ipar, dia tahu betul karakter Vita. Susah rasanya jika Bagas menemukan yang lebih baik dari Vita. “Dia yang minta, Mbak! Lagian aku sudah punya penggantinya,” sahut Bagas enteng. Terperangah Arum mendengar jawaban adiknya. Sebagai perempuan, dia membenci lelaki model Bagas yang begitu mudah mencampakkan. Sementara itu, Gea yang sejak tadi tergugu seolah larut dalam kesedihan, tiba-tiba mengangkat wajah dan menyeka air mata. Senyum kemenangan jelas se
Doni menghentikan motor di halaman rumah yang tampak sepi. Mobil kakaknya yang biasanya teronggok di halaman, tak terlihat. Pun motor anggota keluarga yang lain. Dia mengalihkan pandangan pada rumah yang pintunya sedikit terbuka. Langkahnya mendekat, menduga ada salah satu anggota keluarga yang berdiam di rumah. “Assalamu alaikum.” Doni berteriak seraya membuka pintu. Dia terkejut melihat seorang perempuan yang sedang bersandar si sofa ruang tamu dengan posisi kaki berada di atas meja. Sesaat dia memindai wajah perempuan yang rambutnya dicat merah itu, mencoba untuk mengenali. “Hei! Siapa kamu! Kenapa masuk rumah orang sembarangan!” Gea membentak dengan sepasang mata melotot. Kontan saja Doni bertambah bingung. Sama sekali dia tak merasa kenal dengan perempuan itu, tapi kenapa bisa ada di rumahnya. “Maaf, aku pemilik rumah ini. Harusnya aku yang bertanya kamu siapa. Kenapa ada di dalam?” Doni bertanya balik. Gea tercenung. Dia menarik ingatan pada cerita-cerita Bagas sebelumnya
Sekuat apa pun mencoba tegar, hakikatnya Vita hanya perempuan rapuh, yang butuh seseorang untuk menguatkan di saat hati terpuruk. Tiga hari sejak talak dijatuhkan, akhirnya dia menyerah untuk memikul beban itu sendiri. Vita pulang ke rumah Ibunya, mengeluh kesahkan semua perih pada keluarga. “Nah kan! Apa aku bilang! Bagas itu bukan lelaki yang baik buat kamu. Salah sendiri dulu enggak mendengar nasihat kami. Sekarang jadi janda kan!” celetuk Lina. “Kamu sih! Sekarang nyesel kan!” imbuh Anggi. Bukan! Bukan ini yang ingin Vita dengar. Setidaknya kalimat motivasi akan membuatnya sedikit lega. Namun, dua kakak iparnya justru seakan menyalahkan. Benar. Dulu mereka tak suka dengan Bagas. Tapi, bukan karena karakternya. Baik Lina maupun Anggi tak setuju karena Bagas berasal dari keluarga biasa. Vita menyeka sudut mata. Aroma perih menguar, tatkala empati dari keluarga tak di dapat. Hanya Bu Aminah yang sesekali memintanya sabar, tapi tak bereaksi saat dua kakak iparnya mencemooh. “Te
Dari balik kaca jendela, Gea melongok ke luar. Dahinya berkerut saat melihat dua perempuan turun dari mobil, di mana salah satunya ada Vita. “Mas, itu kok mantan istrimu datang ke sini? Mau ngapain?” tanya Gea tanpa mengalihkan pandangan pada dua perempuan yang berjalan mendekat. “Paling juga mau jenguk Ibu,” sahut Bagas santai. Lelaki itu paham betul seperti apa sifat mantan istrinya. Vita pasti akan datang saat mendengar kabar jila Bu Asti sakit. Gea kembali duduk di tempat semula saat Vita dan Arum semakin dekat. Pura-pura memainkan ponsel agar tak ada yang rahu kalau habis mengintip. Pintu terbuka. Arum dan Vita langsung masuk dan berjalan ke arah kamar tidur Bu Asti tanpa menyapa dua orang yang sedang duduk di sofa, sementara Gea merasa tersinggung karena diabaikan. “Masuk rumah orang kok enggak ketuk pintu dulu. Enggak sopan!” cibir Vita. Suara itu berhasil menghentikan langkah Arum dan Vita. Keduanya berbalik. “Kamu mengatai aku?” Arum menatap tajam pada adik ipar barun
Selepas Magrib, Vita, Arum dan Bu Asti berjibaku di dapur bersama-sama menyiapkan makan malam. Seperti itulah keseharian mereka saat Vita datang. Berbeda dengan mereka, Gea yang saat ini berstatus istri Bagas justru mengeram di kamar. Hampir seminggu dia tinggal di rumah mertua, tapi sekali pun belum pernah membantu masak. Dia akan keluar setelah tercium harum aroma masakan matang. Di saat bersamaan, Doni yang baru pulang kerja langsung menuju dapur karena sejak tadi sudah kehausan. Dia terkejut mendapati sang kakak ipar ada di rumahnya. “Mbak Vita, kamu di sini,” ujar Doni yang wajahnya dihiasi senyum semringah. “Iya, Don! Kamu baru pulang?” Vita mengulurkan tangan dan disambut oleh mantan adik iparnya. “Iya. Tadi macet di jalan.” Doni mengambil gelas di atas rak, menuangkan air putih, lalu meneguk isinya hingga tandas. “Oh iya, Don! Nanti malam kamu tidur di ruang tamu ya! Vita mau menginap di sini. Biar dia tinggal di kamarmu,” pesan sang Ibu. Dulu, sebelum ada perempuan be
Azam berjalan pelan meninggalkan pekarangan rumah itu. Langkahnya terasa ringan, sebab semua beban di hati sirna setelah bertemu Vita. Soal kata maaf, dia tak terlalu banyak berharap. Semua kesalahan yang dilakukan sudah teramat fatal. Baginya, yang terpenting sudah menunjukkan itikad baik dengan meminta maaf. Di teras, Arsyi menunggu sang pemilik rumah kembali. Ia langsung bangkit saat melihat Azam melenggang ke arahnya. “Bagaimana, Mas?” Arsyi langsung menyambut dengan pertanyaan. Azam meletakkan bokong di kursi teras, diikuti Arsyi yang duduk di tempat semula. Lelaki itu menarik nafas panjang lalu membuang perlahan. Lega setelah hampir tiga hari batinnya bergolak. “Aku sudah meminta maaf,” sahut Azam. “Syukurlah ... apa Mbak Vita memaafkanmu?” Lelaki itu mengendikan bahu, bingung karena saat dia pergi belum terdengar kata maaf dari Vita. “Entah.” “Enggak apa-apa, Mas! Yang penting kamu sudah berusaha menjadi lebih baik. Aku bangga padamu,” ujar Vita kemudian. Sesaat Azam m
Bu Aminah gelisah mendapati anak bungsunya masih belum juga keluar kamar meski matahari sudah sepenggalah. Biasanya, setiap hari Vita selalu bangun pagi untuk menyiapkan dagangan. Kalaupun libur tak jualan, dia tetap bangun pagi lalu menemani Kesya-anaknya. Namun, kali ini ada sesuatu yang mengganjal. Sejak tadi malam pulang dini hari, sama sekali Vita tak menunjukkan batang hidung meski Kesya sudah berlarian sejak pagi. Khawatir terjadi sesuatu yang buruk menimpa, Bu Aminah berinisiatif mengetuk pintu kamar Vita. Nihil. Tak ada sahutan dari dalam. Lalu, perempuan paruh baya itu memberanikan diri memutar gagang pintu. Dia bernafas lega saat melihat anaknya baik-baik saja. Namun, ada sesuatu yang beda. Tak biasanya Vita melangut di sudut ranjang sambil memeluk lutut. Bu Aminah mendekat lalu duduk di tepian ranjang. “Kamu kenapa, Vit? Kok sejak tadi enggak keluar?” tanyanya kemudian. Sama sekali ucapan sang Ibu tak membuat Vita menyahut, atau sekedar menoleh. Perempuan itu masih s
Azam semringah saat perempuan yang sedang ditunggu muncul di halaman rumah. Seketika dia bangkit menyambut Vita yang mengenakan daster longgar khas ibu rumah tangga. “Akhirnya kamu datang juga, Mbak!” ujar Azam saat perempuan itu telah berada di depannya. Vita memasang senyum. Sebuah senyum tulus untuk seorang sahabat, bukan kekasih. “Ayo masuk, Mbak!” Azam membuka pintu lalu mendahului masuk, sementara Vita mengekori di belakang. “Enggak usah di tutup pintunya, Mbak!” perintah Azam saat Vita hendak menutup pintu. “Loh .... kenapa? Ini kan sudah malam?” “Enggak apa-apa. Biar enggak jadi fitnah karena kita berduaan di dalam rumah,” Vita bernafas lega karena ternyata lelaki yang didatangi masih berpikir waras. Lalu, mereka duduk saling hadap, terhalang meja yang berisi dua piring nasi goreng, juga dua gelas air putih. Vita mengedarkan pandangan ke sekeliling. Suasana tampak lengang, nyaris tanpa suara terdengar selain bunyi kendaraan yang berlalu lalang di depan sana. “Bapak
“Terima kasih ya, Dek! Kamu sudah mau menemaniku,” ucap Doni saat mereka baru pulang dari Dokter Urologi. Menurut hasil diagnosa, Doni ditengarai kekurangan hormon testosteron, dan untuk penanganan awal dia diberi suntikan hormon serupa. Selain itu, Doni juga disarankan banyak mengonsumsi makanan berprotein tinggi seperti daging sapi, telur ataupun ikan jenis Tuna dan Salmon. Vita juga dihimbau untuk menjaga suasana hati calon pasangannya agar tak sampai stres berlebihan. Karena biar bagaimanapun tingkat stres yang tinggi turut memberi andil bagi masalah yang tengah Doni hadapi. “Enggak harus berterima kasih, Mas! Ini juga demi kebahagiaan kita,” sahut Vita disertai senyum tulus.“Tapi bagaimana kalau nanti aku tak kunjung sembuh?” Buru-buru Vita mendesis lalu menempelkan jemari telunjuk di bibir calon suaminya. Dia tak ingin Doni terbebani dengan masalah itu yang tentu saja akan membuatnya stres. “Kamu pasti sembuh, Mas!” Tersenyum penuh arti, batin Doni bersyukur memiliki cal
Benar adanya jika roda kehidupan itu berputar. Setelah semua perih dialami, setelah perjuangan yang seakan tak terhenti, hari ini kebahagiaan datang mengganti. Sempat Vita merasa trauma dengan kegagalan pada pernikahan pertama. Sempat pula berpikir untuk selamanya menjadi orang tua tunggal. Namun, sosok Doni yang kembali masuk dalam hidupnya seakan membangkitkan gairah cinta yang padam. Lelaki itu berhasil memberi warna baru dalam hidup. Perhatiannya, ketulusannya, semua membuat Vita merasa berarti. Perempuan pemilik nama lengkap Novita Anggraeni itu tersenyum simpul memerhatikan penampilan dari balik cermin. Demi terlihat anggun di acara lamaran, dia memadukan maxi dress putih dengan pashmina cokelat nude. Tambahan mini belt di pinggang semakin mempertegas bahwa ibu satu anak itu memiliki tubuh langsing. Jantung Vita berdebar-debar menunggu kedatangan keluarga Doni yang akan melamar. Meski ini bukan yang pertama, tapi efek yang ditimbulkan justru lebih kentara, sebab lelaki yang
“Sampai kapan kamu akan menyiksa diri seperti ini, Don?” tanya Arum saat mereka sedang duduk berdua. “Menyiksa bagaimana, Mbak?” Meski sebenarnya paham akan arah pembicaraan kakaknya, Doni masih bersikeras pura-pura tak mengerti. “Sudahlah, Don! Jangan seperti anak kecil. Kami semua tahu sejak dulu kamu mencintai Vita. Dia juga begitu. Lalu kenapa kamu malah seperti ini?” Doni terdiam. Bayangan sosok perempuan itu langsung melintas di kepala hanya dengan mendengar namanya saja. Tak dipungkiri semua itu benar, hanya saja masih ragu sebab keadaan yang dialami. Bagi seorang Doni, cinta itu bukan sekedar bersama. Percuma saja terjalin hubungan jika pada akhirnya harus saling menyakiti. “Kamu sudah tahu alasannya kan, Mbak!” sahutnya datar. “Ya. Aku tahu. Aku mengerti perasaanmu. Tapi bukan berarti kamu harus menyerah. Aku yakin kamu bisa sembuh, Don. Apalagi Vita juga mau menerima kekuranganmu. Kamu harus semangat!” Menyuntikan mental pada adiknya, Arum terus memberi wejangan. Di
Lelaki yang baru pulang kerja itu terperanjat saat mendapati motor mantan kakak iparnya ada di halaman. Berbagai prasangka tentang tujuan kedatangan Vita mulai menari di kepala. Seketika dadanya berdebar kencang. Ketakutan mulai melanda, khawatir Vita akan membuka aibnya di depan keluarga. Langkah lelaki itu tergesa menuju pintu yang sedikit terbuka. Seiring salam yang terucap, dia langsung menyelonong masuk dan baru berhenti saat sampai di ruang tengah. “Mbak Vita! Ngapain ke sini?” tanya Doni. Vita menoleh, tersenyum. “Iya, Don! Baru pulang kerja?” Karena memang tak fokus, Doni hanya mematung. Raganya memang berdiri di situ, tapi pikirannya melanglang buana, masih menerka tujuan kedatangan mantan kakak iparnya. “Loh kok malah ngelamun sih! Sini duduk. Kami mau bicara.” Arum menepuk kursi kosong di sebelahnya. Doni yang masih belum fokus, menuruti saja perintah kakak perempuannya. Dia meletakkan bokong di atas kursi lalu menatap semua bergantian. Matanya menangkap sesuatu yang
Di depan teras Vita masih terisak. Dia semakin dihantui bersalah dengan Vonis ‘pengecut’ yang disematkan pada Doni. Nyatanya, lelaki itu rela terluka saking khawatirnya menyakiti. Buru-buru dia menyeka sudut mata saat sesosok lelaki yang sangat dikenali mendadak muncul di depannya. Lalu, tanpa permisi duduk di sebelahnya. “Kamu, Zam! Bikin kaget saja. Ngapain malam-malam ke sini?” Sebisa mungkin Vita menyembunyikan kesedihan. “Aku sudah dengar semuanya, Mbak!” Sontak Vita menoleh, menatap kaget pada lelaki di sebelahnya. “Dengar apa?” tanya Vita berusaha memastikan. “Dengar tentang perasaanmu, juga tentang Doni dan keadaannya,” Seketika wajah Vita menegang. Dia tak menyangka Azam sudah tahu, padahal dia berniat menyembunyikan dari semua orang. “Jangan khawatir, Mbak! Aku enggak akan cerita sama siapa pun,” ungkap Azam yang bisa membaca isi kepala Vita hanya dari gelagatnya saja. Vita sedikit lega, tapi masalah yang sedang dihadapi kembali menghantui. Dia begitu bingung harus
Sejak tadi Doni tak henti mondar-mandir di dalam kamar. Sesekali duduk sambil melangut, terkadang menghempaskan tubuh di atas ranjang. Kabar yang didengar dari Bagas membuat hati gundah gulana. Ada semacam rasa tidak rela jika kekasih hatinya dimiliki lelaki lain. Meski tanpa kejelasan, dia merasa ada yang belum selesai antara dirinya dan Vita. Selain itu, sikap dingin Vita semakin menghantui pikiran. Rasa bersalah menjadi beban karena selama ini dia belum berterus terang alasan dibalik sikapnya yang tak berani mengungkap cinta. Lelaki itu memejam erat sambil menengadah. Dijambaknya rambut kasar berusaha mengempas beban pikiran. Sayangnya apa yang dilakukan tak kunjung membuat tenang. Dia berganti menangkupkan kedua tangan pada wajah. Mencoba berpikir jernih, berusaha mengesampingkan harga diri. Detik berikutnya bangkit lalu beranjak keluar. Ya. Dia menyadari bahwa harus berterus terang sebelum terlambat. Sebelum perempuan yang bertahun dicinta menjadi istri orang, hingga tak mun