Dalam haru heningnya malam, sesosok perempuan bersujud, bersimpuh mengadukan nasib pada Sang Khalik. Dia merasa tak sanggup memikul beban ini sendiri.Sejatinya Lebaran menjadi momen bahagia bagi semua insan, tapi justru menjadi titik terendah bagi seorang Vita. Pengkhianatan, luka dan air mata kerap mewarnai harinya dalam sepekan belakangan. Keluarga yang dikasihi, suami yang dicintai, menjauh, menepi karena ego yang sebenarnya menghancurkan semua. Vita menengadahkan tangan, memohon petunjuk pada Sang Pencipta, berharap setiap luka yang dikecap, akan menjadi manis di kemudian hari. Dalam kepedihan, dia hanya mampu menghibur diri, bahwa semua yang terjadi adalah kuasa-Nya. Hingga tertanam satu keyakinan, semua akan baik-baik saja. Tanpa terasa, sayup terdengar Adzan Subuh berkumandang. Vita lekas melaksanakan kewajibannya sebagai makhluk, lalu beranjak ke dapur menyiapkan sarapan untuk keluarga mantan suaminya. Rupanya, di saat yang sama, Arum dan Bu Asti juga keluar dari kamar, da
Seiring bergulirnya waktu, kesedihan Vita mulai memudar. Dia mulai menikmati peran barunya sebagai single parent. Merawat Kesya seorang diri, seperti kebanyakan perempuan yang ditinggal suami. Tiap hari Vita bangun jam tiga dini hari. Menyiapkan masakan untuk dijual paginya. Meski untung tak seberapa, tapi setidaknya cukup untuk makan sekeluarga. Doni, lelaki itu sudah dua kali datang ke rumah. Dia menepati janji untuk membantu keuangan. Namun, Vita tak memakai uang tersebut, sebab penghasilan dari jualan sayur matang sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan. *** Mentari baru sepenggalah tingginya saat dagangan Vita telah disapu bersih oleh pelanggan yang kebanyakan para tetangga. Perempuan yang setiap hari memakai hijab itu tersenyum puas menghitung laba. Total keuntungan pagi ini 125 ribu. Sebuah nominal yang lumayan jika untuk hidup di kampung. Selesai, dia menyimpan uang ke dalam dompet. Lalu, mulai merapikan wadah tempat sayur yang dijual barusan. Di saat Vita sedang sibuk den
"Bu ..., Bu ...." Berteriak panik dari dalam kamar, Arum berlarian mencari ibunya ke depan. Bu Asti yang sedang menyapu halaman seketika menghentikan aktivitas. "Ada apa, Rum, teriak-teriak kayak orang kesetanan?" Arum tak langsung menjawab. Mengatur nafas yang masih terengah-engah. "Ibu lihat uang aku yang di lemari enggak?" "Uang apaan?" "Ya uang yang buat persediaan belanja, Bu! Tadi sebelum kita pergi, aku simpan di lemari. Tapi sekarang enggak ada," jelas Arum dengan nada suara panik. "Loh, kok bisa? Jangan-jangan kamu lupa naruh kali. Coba cari yang benar," "Enggak ada, Bu! Aku sudah mencarinya tapi tetap enggak ketemu," Uang sebesar dua juta yang kini telah raib, sejatinya adalah uang belanja bulanan. Siang tadi Arum dan Ibunya pergi kondangan. Sebelum pergi, dia menyimpan uang tersebut di dalam lemari. Sepulang dari kondangan, dia berniat mengambil uang itu untuk belanja. Betapa kagetnya Arum saat mendapati uang itu sudah tak ada. "Ayo Ibu bantu cari. Siapa tahu na
“Dek ... Dek ... buka pintunya. Ada yang harus kuta bicarakan.” Bagas terus berteriak sembari mengetuk pintu, sementara Vita bolak balik dari kamar ke ruang tamu. Sesekali menyingkap korden, melongok mantan suaminya yang tak kunjung pergi. “Ayolah, Dek! Buka pintunya. Aku enggak bakal pergi sebelum kita bicara.” Luluh sudah pertahanan Vita. Bukan karena tersentuh hatinya, melainkan merasa risi jika sampai lelaki itu tak kunjung pulang. Membuka pintu dengan perasaan dongkol, Vita keluar memberi kesempatan Bagas bicara. Lelaki yang telah mencampakkannya itu tersenyum bahagia karena berhasil memaksa Vita keluar.“Cepat katakan apa yang ingin kamu katakan. Setelah ini lekas pulang dan jangan kembali lagi” Vita memasang wajah masam sembari melipat tangan di depan dada. Jika bukan karena terpaksa, ia pasti menolak, meladeni bagas. “Kita bicara sambil duduk.” Bagas menarik kursi, mempersilakan Vita.Sekali lagi keinginan Bagas terpaksa dituruti dengan satu harapan dia lekas bicara la
Seperti hari-hari sebelumnya, Vita selalu menjalani pagi dengan berjualan sayur matang di teras rumah. Pekerjaan menjadi lebih ringan sejak Ibunya ikut tinggal bersama. Setidaknya, ada Bu Aminah yang menjaga Kesya, jadi dia tak terlalu pontang-panting. “Tumis kangkung sepuluh ribu,” “Tempe goreng lima.” “Aku bandeng goreng empat.” Dengan ramah, Vita melayani pelanggannya satu per satu. Tak jarang mereka terlibat obrolan ringan, atau sekedar basa-basi. Maklum. Hampir semua tetangga mengenalnya sebagai sosok yang ramah. Jadi wajar jika mereka lebih akrab. “Bu Vita, jadi nyari tempat buat jualan enggak? Tadi Azam bilang sudah nemu tempat yang strategis,” ujar Bu Eka salah satu pelanggan yang mendiami rumah di seberang jalan.“Jadi, Bu! Letaknya di daerah mana?” tanya Vita. “Enggak tahu juga sih. Azam cuma bilang sudah nemu. Entar biar dia ke sini saja,” sahut Bu Eka. Seperti rencana sebelumnya, Vita memang berniat membuka warung makan kecil-kecilan, tapi terkendala tempat. Semula
18“Enggak terlalu nyaman sih. Sepertinya aku harus banyak beradaptasi biar betah,” ujar Lina sembari mengedarkan pandangan ke semua sudut ruang tamu. Dahi Vita bekerja dengan kerutan, mencoba mencerna kalimat dari tamu yang tak diundang. “Maksudnya bagaimana ya?” “Begini, Vit. Perusahaan tempatku bekerja kolaps, dan aku kena PHK. Mau tak mau kami harus pulang kampung,” jelas Agung. “Terus apa hubungannya dengan rumah ini?” “Ya kan kami belum punya tempat tinggal. Sementara kami mau tinggal di sini,” Mendengar perkataan sang kakak, Vita terperanjat. Sama sekali tak menyangka jika kedatangan Agung dan keluarganya untuk menumpang di rumahnya. Ya, beberapa saat yang lalu, kakak sulung beserta anak istrinya datang menggunakan sepeda motor tua. Vita sempat kaget saat mereka tiba-tiba muncul di hadapannya. Sempat ingin menolak kedatangan mereka, tapi sebagai tuan rumah, tentu lebih bijak jika mempersilakan sang tamu masuk. “Jadi kalian mau tinggal di sini?” tanya Vita masih tak perca
Menyandang gelar single parent membuat Vita menjelma menjadi sosok pekerja keras. Berjuang seorang diri demi masa depan si buah hati. Belum lagi Ibunya yang kini tinggal bersama dan otomatis menjadi tanggung jawabnya. Bermodal uang 100 juta sisa penjualan sawah, Perempuan tangguh itu sukses membuka warung makan. Tak dipungkiri jika semua itu tak lepas dari bantuan Azam. Lelaki itulah yang kerap meluangkan waktu saat mempersiapkan semua keperluan usahanya. Tanpa terasa, warung makan yang dirintis sudah seminggu berjalan. Sejak dini hari Vita memasak aneka menu. Jualan di teras rumah sampai sekitar pukul sembilan, lalu berpindah ke tempat barunya sampai menjelang magrib. Padatnya pekerjaan membuat tubuhnya letih. “Kayaknya kamu kecapean deh, Mbak. Kamu butuh karyawan!” ujar Azam yang setiap pulang kerja selalu menyempatkan singgah di warung, sekedar melihat perkembangan. “Karyawan buat apa, Zam? Aku masih bisa sendiri kok.” Meletakkan secangkir kopi di depan Azam Vita kemudian dudu
Sejak beberapa hari terakhir, Arum selalu mengawasi gerak gerik adik iparnya. Bukan karena khawatir dia akan kembali mengambil uang, melainkan ada yang janggal dari bentuk tubuhnya. Ya. Menurut pengakuan Gea, saat dia datang usia kehamilannya sudah lebih dari empat minggu, tapi setelah tiga bulan berlalu, tak terlihat ada perubahan dari bentuk tubuhnya. Perut itu masih terlihat rata, bahkan tambah langsing. Selain itu, sejak tinggal bersama, sekali pun Arum tak pernah melihat Gea muntah-muntah atau menghindari makanan dengan aroma tertentu. Arum yang merasa curiga lantas memanggil Bagas untuk bicara. “Ada apa, Mbak?” tanya Bagas saat dipanggil ke ruang tamu oleh sang kakak. “Gini, Gas! Kan kehamilan istrimu sudah memasuki bulan ke lima, apa enggak sebaiknya di suruh USG biar tahu kesehatan calon bayi kalian?” Arum berpura-pura perhatian demi membuktikan kecurigaannya. Jika bicara langsung, mungkin akan membuat Bagas tersinggung. “sudah berulang kali aku mengajak, tapi Gea selal
Azam berjalan pelan meninggalkan pekarangan rumah itu. Langkahnya terasa ringan, sebab semua beban di hati sirna setelah bertemu Vita. Soal kata maaf, dia tak terlalu banyak berharap. Semua kesalahan yang dilakukan sudah teramat fatal. Baginya, yang terpenting sudah menunjukkan itikad baik dengan meminta maaf. Di teras, Arsyi menunggu sang pemilik rumah kembali. Ia langsung bangkit saat melihat Azam melenggang ke arahnya. “Bagaimana, Mas?” Arsyi langsung menyambut dengan pertanyaan. Azam meletakkan bokong di kursi teras, diikuti Arsyi yang duduk di tempat semula. Lelaki itu menarik nafas panjang lalu membuang perlahan. Lega setelah hampir tiga hari batinnya bergolak. “Aku sudah meminta maaf,” sahut Azam. “Syukurlah ... apa Mbak Vita memaafkanmu?” Lelaki itu mengendikan bahu, bingung karena saat dia pergi belum terdengar kata maaf dari Vita. “Entah.” “Enggak apa-apa, Mas! Yang penting kamu sudah berusaha menjadi lebih baik. Aku bangga padamu,” ujar Vita kemudian. Sesaat Azam m
Bu Aminah gelisah mendapati anak bungsunya masih belum juga keluar kamar meski matahari sudah sepenggalah. Biasanya, setiap hari Vita selalu bangun pagi untuk menyiapkan dagangan. Kalaupun libur tak jualan, dia tetap bangun pagi lalu menemani Kesya-anaknya. Namun, kali ini ada sesuatu yang mengganjal. Sejak tadi malam pulang dini hari, sama sekali Vita tak menunjukkan batang hidung meski Kesya sudah berlarian sejak pagi. Khawatir terjadi sesuatu yang buruk menimpa, Bu Aminah berinisiatif mengetuk pintu kamar Vita. Nihil. Tak ada sahutan dari dalam. Lalu, perempuan paruh baya itu memberanikan diri memutar gagang pintu. Dia bernafas lega saat melihat anaknya baik-baik saja. Namun, ada sesuatu yang beda. Tak biasanya Vita melangut di sudut ranjang sambil memeluk lutut. Bu Aminah mendekat lalu duduk di tepian ranjang. “Kamu kenapa, Vit? Kok sejak tadi enggak keluar?” tanyanya kemudian. Sama sekali ucapan sang Ibu tak membuat Vita menyahut, atau sekedar menoleh. Perempuan itu masih s
Azam semringah saat perempuan yang sedang ditunggu muncul di halaman rumah. Seketika dia bangkit menyambut Vita yang mengenakan daster longgar khas ibu rumah tangga. “Akhirnya kamu datang juga, Mbak!” ujar Azam saat perempuan itu telah berada di depannya. Vita memasang senyum. Sebuah senyum tulus untuk seorang sahabat, bukan kekasih. “Ayo masuk, Mbak!” Azam membuka pintu lalu mendahului masuk, sementara Vita mengekori di belakang. “Enggak usah di tutup pintunya, Mbak!” perintah Azam saat Vita hendak menutup pintu. “Loh .... kenapa? Ini kan sudah malam?” “Enggak apa-apa. Biar enggak jadi fitnah karena kita berduaan di dalam rumah,” Vita bernafas lega karena ternyata lelaki yang didatangi masih berpikir waras. Lalu, mereka duduk saling hadap, terhalang meja yang berisi dua piring nasi goreng, juga dua gelas air putih. Vita mengedarkan pandangan ke sekeliling. Suasana tampak lengang, nyaris tanpa suara terdengar selain bunyi kendaraan yang berlalu lalang di depan sana. “Bapak
“Terima kasih ya, Dek! Kamu sudah mau menemaniku,” ucap Doni saat mereka baru pulang dari Dokter Urologi. Menurut hasil diagnosa, Doni ditengarai kekurangan hormon testosteron, dan untuk penanganan awal dia diberi suntikan hormon serupa. Selain itu, Doni juga disarankan banyak mengonsumsi makanan berprotein tinggi seperti daging sapi, telur ataupun ikan jenis Tuna dan Salmon. Vita juga dihimbau untuk menjaga suasana hati calon pasangannya agar tak sampai stres berlebihan. Karena biar bagaimanapun tingkat stres yang tinggi turut memberi andil bagi masalah yang tengah Doni hadapi. “Enggak harus berterima kasih, Mas! Ini juga demi kebahagiaan kita,” sahut Vita disertai senyum tulus.“Tapi bagaimana kalau nanti aku tak kunjung sembuh?” Buru-buru Vita mendesis lalu menempelkan jemari telunjuk di bibir calon suaminya. Dia tak ingin Doni terbebani dengan masalah itu yang tentu saja akan membuatnya stres. “Kamu pasti sembuh, Mas!” Tersenyum penuh arti, batin Doni bersyukur memiliki cal
Benar adanya jika roda kehidupan itu berputar. Setelah semua perih dialami, setelah perjuangan yang seakan tak terhenti, hari ini kebahagiaan datang mengganti. Sempat Vita merasa trauma dengan kegagalan pada pernikahan pertama. Sempat pula berpikir untuk selamanya menjadi orang tua tunggal. Namun, sosok Doni yang kembali masuk dalam hidupnya seakan membangkitkan gairah cinta yang padam. Lelaki itu berhasil memberi warna baru dalam hidup. Perhatiannya, ketulusannya, semua membuat Vita merasa berarti. Perempuan pemilik nama lengkap Novita Anggraeni itu tersenyum simpul memerhatikan penampilan dari balik cermin. Demi terlihat anggun di acara lamaran, dia memadukan maxi dress putih dengan pashmina cokelat nude. Tambahan mini belt di pinggang semakin mempertegas bahwa ibu satu anak itu memiliki tubuh langsing. Jantung Vita berdebar-debar menunggu kedatangan keluarga Doni yang akan melamar. Meski ini bukan yang pertama, tapi efek yang ditimbulkan justru lebih kentara, sebab lelaki yang
“Sampai kapan kamu akan menyiksa diri seperti ini, Don?” tanya Arum saat mereka sedang duduk berdua. “Menyiksa bagaimana, Mbak?” Meski sebenarnya paham akan arah pembicaraan kakaknya, Doni masih bersikeras pura-pura tak mengerti. “Sudahlah, Don! Jangan seperti anak kecil. Kami semua tahu sejak dulu kamu mencintai Vita. Dia juga begitu. Lalu kenapa kamu malah seperti ini?” Doni terdiam. Bayangan sosok perempuan itu langsung melintas di kepala hanya dengan mendengar namanya saja. Tak dipungkiri semua itu benar, hanya saja masih ragu sebab keadaan yang dialami. Bagi seorang Doni, cinta itu bukan sekedar bersama. Percuma saja terjalin hubungan jika pada akhirnya harus saling menyakiti. “Kamu sudah tahu alasannya kan, Mbak!” sahutnya datar. “Ya. Aku tahu. Aku mengerti perasaanmu. Tapi bukan berarti kamu harus menyerah. Aku yakin kamu bisa sembuh, Don. Apalagi Vita juga mau menerima kekuranganmu. Kamu harus semangat!” Menyuntikan mental pada adiknya, Arum terus memberi wejangan. Di
Lelaki yang baru pulang kerja itu terperanjat saat mendapati motor mantan kakak iparnya ada di halaman. Berbagai prasangka tentang tujuan kedatangan Vita mulai menari di kepala. Seketika dadanya berdebar kencang. Ketakutan mulai melanda, khawatir Vita akan membuka aibnya di depan keluarga. Langkah lelaki itu tergesa menuju pintu yang sedikit terbuka. Seiring salam yang terucap, dia langsung menyelonong masuk dan baru berhenti saat sampai di ruang tengah. “Mbak Vita! Ngapain ke sini?” tanya Doni. Vita menoleh, tersenyum. “Iya, Don! Baru pulang kerja?” Karena memang tak fokus, Doni hanya mematung. Raganya memang berdiri di situ, tapi pikirannya melanglang buana, masih menerka tujuan kedatangan mantan kakak iparnya. “Loh kok malah ngelamun sih! Sini duduk. Kami mau bicara.” Arum menepuk kursi kosong di sebelahnya. Doni yang masih belum fokus, menuruti saja perintah kakak perempuannya. Dia meletakkan bokong di atas kursi lalu menatap semua bergantian. Matanya menangkap sesuatu yang
Di depan teras Vita masih terisak. Dia semakin dihantui bersalah dengan Vonis ‘pengecut’ yang disematkan pada Doni. Nyatanya, lelaki itu rela terluka saking khawatirnya menyakiti. Buru-buru dia menyeka sudut mata saat sesosok lelaki yang sangat dikenali mendadak muncul di depannya. Lalu, tanpa permisi duduk di sebelahnya. “Kamu, Zam! Bikin kaget saja. Ngapain malam-malam ke sini?” Sebisa mungkin Vita menyembunyikan kesedihan. “Aku sudah dengar semuanya, Mbak!” Sontak Vita menoleh, menatap kaget pada lelaki di sebelahnya. “Dengar apa?” tanya Vita berusaha memastikan. “Dengar tentang perasaanmu, juga tentang Doni dan keadaannya,” Seketika wajah Vita menegang. Dia tak menyangka Azam sudah tahu, padahal dia berniat menyembunyikan dari semua orang. “Jangan khawatir, Mbak! Aku enggak akan cerita sama siapa pun,” ungkap Azam yang bisa membaca isi kepala Vita hanya dari gelagatnya saja. Vita sedikit lega, tapi masalah yang sedang dihadapi kembali menghantui. Dia begitu bingung harus
Sejak tadi Doni tak henti mondar-mandir di dalam kamar. Sesekali duduk sambil melangut, terkadang menghempaskan tubuh di atas ranjang. Kabar yang didengar dari Bagas membuat hati gundah gulana. Ada semacam rasa tidak rela jika kekasih hatinya dimiliki lelaki lain. Meski tanpa kejelasan, dia merasa ada yang belum selesai antara dirinya dan Vita. Selain itu, sikap dingin Vita semakin menghantui pikiran. Rasa bersalah menjadi beban karena selama ini dia belum berterus terang alasan dibalik sikapnya yang tak berani mengungkap cinta. Lelaki itu memejam erat sambil menengadah. Dijambaknya rambut kasar berusaha mengempas beban pikiran. Sayangnya apa yang dilakukan tak kunjung membuat tenang. Dia berganti menangkupkan kedua tangan pada wajah. Mencoba berpikir jernih, berusaha mengesampingkan harga diri. Detik berikutnya bangkit lalu beranjak keluar. Ya. Dia menyadari bahwa harus berterus terang sebelum terlambat. Sebelum perempuan yang bertahun dicinta menjadi istri orang, hingga tak mun