Azam semringah saat perempuan yang sedang ditunggu muncul di halaman rumah. Seketika dia bangkit menyambut Vita yang mengenakan daster longgar khas ibu rumah tangga. “Akhirnya kamu datang juga, Mbak!” ujar Azam saat perempuan itu telah berada di depannya. Vita memasang senyum. Sebuah senyum tulus untuk seorang sahabat, bukan kekasih. “Ayo masuk, Mbak!” Azam membuka pintu lalu mendahului masuk, sementara Vita mengekori di belakang. “Enggak usah di tutup pintunya, Mbak!” perintah Azam saat Vita hendak menutup pintu. “Loh .... kenapa? Ini kan sudah malam?” “Enggak apa-apa. Biar enggak jadi fitnah karena kita berduaan di dalam rumah,” Vita bernafas lega karena ternyata lelaki yang didatangi masih berpikir waras. Lalu, mereka duduk saling hadap, terhalang meja yang berisi dua piring nasi goreng, juga dua gelas air putih. Vita mengedarkan pandangan ke sekeliling. Suasana tampak lengang, nyaris tanpa suara terdengar selain bunyi kendaraan yang berlalu lalang di depan sana. “Bapak
Bu Aminah gelisah mendapati anak bungsunya masih belum juga keluar kamar meski matahari sudah sepenggalah. Biasanya, setiap hari Vita selalu bangun pagi untuk menyiapkan dagangan. Kalaupun libur tak jualan, dia tetap bangun pagi lalu menemani Kesya-anaknya. Namun, kali ini ada sesuatu yang mengganjal. Sejak tadi malam pulang dini hari, sama sekali Vita tak menunjukkan batang hidung meski Kesya sudah berlarian sejak pagi. Khawatir terjadi sesuatu yang buruk menimpa, Bu Aminah berinisiatif mengetuk pintu kamar Vita. Nihil. Tak ada sahutan dari dalam. Lalu, perempuan paruh baya itu memberanikan diri memutar gagang pintu. Dia bernafas lega saat melihat anaknya baik-baik saja. Namun, ada sesuatu yang beda. Tak biasanya Vita melangut di sudut ranjang sambil memeluk lutut. Bu Aminah mendekat lalu duduk di tepian ranjang. “Kamu kenapa, Vit? Kok sejak tadi enggak keluar?” tanyanya kemudian. Sama sekali ucapan sang Ibu tak membuat Vita menyahut, atau sekedar menoleh. Perempuan itu masih s
Azam berjalan pelan meninggalkan pekarangan rumah itu. Langkahnya terasa ringan, sebab semua beban di hati sirna setelah bertemu Vita. Soal kata maaf, dia tak terlalu banyak berharap. Semua kesalahan yang dilakukan sudah teramat fatal. Baginya, yang terpenting sudah menunjukkan itikad baik dengan meminta maaf. Di teras, Arsyi menunggu sang pemilik rumah kembali. Ia langsung bangkit saat melihat Azam melenggang ke arahnya. “Bagaimana, Mas?” Arsyi langsung menyambut dengan pertanyaan. Azam meletakkan bokong di kursi teras, diikuti Arsyi yang duduk di tempat semula. Lelaki itu menarik nafas panjang lalu membuang perlahan. Lega setelah hampir tiga hari batinnya bergolak. “Aku sudah meminta maaf,” sahut Azam. “Syukurlah ... apa Mbak Vita memaafkanmu?” Lelaki itu mengendikan bahu, bingung karena saat dia pergi belum terdengar kata maaf dari Vita. “Entah.” “Enggak apa-apa, Mas! Yang penting kamu sudah berusaha menjadi lebih baik. Aku bangga padamu,” ujar Vita kemudian. Sesaat Azam m
“Ini buat jajan ya.” Vita memberikan amplop pada dua keponakannya. “Terima kasih, Bibi,” ucap dua bocah itu hampir berbarengan. Keduanya berjingkrak girang mendapat amplop lebaran. Lalu, mereka bergelayut pada Ibu masing-masing. “Coba sini amplopnya, biar Mama simpan,” ujar Lina pada anak perempuannya yang berusia lima tahun. Setelah menerima benda tersebut, dia langsung membuka dan mengeluarkan isinya. Lina terbelalak saat menyadari isi amplop tersebut hanya lima lembar uang pecahan dua ribuan. “Astaghfirulloh, Vit! Masa iya amplop lebaran isinya cuma sepuluh ribu? Uang segini dapat apa?” Lina menatap sinis pada adik iparnya. Vita sedikit menunduk, tak menyangka amplop yang dia berikan dibuka langsung di depan keluarga besar.“Maklum, Mbak! Aku tinggal di kampung jadi enggak bisa kasih banyak,” ujarnya menahan malu. “Anggi juga tinggal di kampung, tapi dia bisa memberi anakku 100 ribu.” Lina menoleh pada adik iparnya yang satu lagi. “Lebaran kan setahun sekali, malu dong kalau
Sampai di rumah, Vita langsung membuka lemari hendak mengganti pakaian anaknya. Sesaat dia termangu memilih pakaian yang cocok. Lebaran tahun ini dia hanya membeli satu setel pakaian untuk Kesya dan sudah di pakai kemarin. Setelah melalui sedikit pertimbangan, dia mengeluarkan pakaian lebaran tahun lalu dan lekas memakaikan pada anaknya. Selesai dengan pakaian anaknya, Vita dihadapkan kembali dengan sebuah dilema. Sudah dua tahun dia rak membeli baju lebaran. Yang lama pun sudah mulai usang. Satu-satunya gamis yang terbaru sudah dipakai kemarin, jadi tak mungkin dipakai kembali. Akhirnya dia mengeluarkan gamis hitam yang dibeli saat masih gadis dulu.Bermodalkan tiga toples kue kering, Vita memacu motor ke rumah mertuanya. Apa yang dibawa saat ini sama dengan yang diberikan pada Ibunya. Dia tak pernah membeda-bedakan. Motor yang Vita kendarai berhenti di halaman sebuah bangunan yang tak terlalu besar, tapi rapi. Halamannya lumayan luas ditumbuhi beberapa tanaman bunga. Vita turun
Malam menjelang. Bu Asti dan keluarganya sudah kembali ke rumah. Tadi mereka berkeliling menikmati kebersamaan. Sekarang semua sudah beristirahat, menyisakan Vita dan Arum yang masih betah mengobrol. Keduanya memang akrab. “Oh iya, Vit! Memangnya tadi ada apa kok kakakmu minta kamu ke sana?” tanya Arum disela obrolan. Vita pun bercerita kalau kakaknya akan mengadakan selamat besok. Dia di suruh datang, tapi rasanya malas. “Ya enggak boleh gitu, Vit! Kamu harus datang. Jangan memutus silaturahmi,” “Tapi, Mbak! Mereka belum berubah. Malah semakin kebangetan. Soal amplop lebaran saja aku diketawain,” keluh Vita. Arum tersenyum. Vita sudah sering bercerita soal kelakuan dua kakaknya yang suka menghina. “Aku tahu ini enggak mudah, Vit! Tapi bukan berarti kamu harus menjauh. Datang saja! Tapi kamu juga jangan diam saat ditindas. Jangan mau jika diperlakukan seperti pembantu!” pesan Arum. Sejenak Vita memikirkan kalimat kakak iparnya. Selama ini memang dia hanya diam saat dipermaluka
4. Pada akhirnya, Lina dan Anggi tak jadi pergi. Keduanya ikut memasak meski hanya setengah hati. Sementara Vita merasa lega karena tak diperlakukan seperti pembantu. Terkadang, dibutuhkan sedikit keberanian agar tak terus disepelekan. Jangan biarkan harga diri diinjak-injak hanya karena miskin. Selepas Asyar, tamu undangan sudah mulai berdatangan. Dengan penuh semangat Agung menyambut para tetangga. Dia sudah tak sabar untuk memamerkan kalau dirinya telah menjadi orang sukses.Setelah semua berkumpul, acara dimulai. “Silakan Pak Haji, mohon didoakan ini selamatanku,” ucap Agung pada lelaki berkopiah putih di sebelahnya. “Memangnya selamatan apa?” Lelaki itu bertanya balik. “Begini, Pak Haji. Aku baru saja membeli mobil baru. Harganya 300 juta lebih,” Sengaja Agung menyebutkan nominal agar para tetangga tahu harga mobilnya. “Wah ... hebat kamu, Gung! Sekarang sudah sukses,” puji salah satu tetangga. “Iya. Uangmu pasti banyak. Tiap mudik selalu ganti mobil,” puji yang lain. “
Rumah Bu Aminah yang semula lengang, seketika menjadi riuh tatkala Linda berteriak histeris. Sontak saja semua penghuni rumah berhamburan keluar menuju sumber teriakan. “Ada apa, Ma! Kok teriak-teriak,” tanya Agung sembari mengatur nafas. “Iya nih! Pagi-pagi Mbak Linda sudah teriak-teriak. Bikin jantungan saja!” imbuh Anggi yang juga sudah berada di teras. “Mobil kita, Mas! Mobil kita enggak ada!” Linda menatap nanar pada halaman di mana tadi malam mobil terparkir. Agung yang sejak tadi belum sadar akan hal itu, seketika mengalihkan pandangan pada arah yang ditunjuk istrinya. Darahnya berdesir hebat, dengan degup jantung begitu kencang. Pun dengan keluarga yang lain, mereka terperangah saat tak melihat Mitsubishi Xpander terparkir di halaman. “Mo-mobilnya hilang, Ma!” Lirih suara Agung terdengar. Pandangannya kosong terpaku pada tempat yang sama. Lututnya bergetar hebat hingga persendian tulang tak lagi mampu menopang berat tubuh. Lelaki itu luruh ke lantai dan terkulai lemas.
Azam berjalan pelan meninggalkan pekarangan rumah itu. Langkahnya terasa ringan, sebab semua beban di hati sirna setelah bertemu Vita. Soal kata maaf, dia tak terlalu banyak berharap. Semua kesalahan yang dilakukan sudah teramat fatal. Baginya, yang terpenting sudah menunjukkan itikad baik dengan meminta maaf. Di teras, Arsyi menunggu sang pemilik rumah kembali. Ia langsung bangkit saat melihat Azam melenggang ke arahnya. “Bagaimana, Mas?” Arsyi langsung menyambut dengan pertanyaan. Azam meletakkan bokong di kursi teras, diikuti Arsyi yang duduk di tempat semula. Lelaki itu menarik nafas panjang lalu membuang perlahan. Lega setelah hampir tiga hari batinnya bergolak. “Aku sudah meminta maaf,” sahut Azam. “Syukurlah ... apa Mbak Vita memaafkanmu?” Lelaki itu mengendikan bahu, bingung karena saat dia pergi belum terdengar kata maaf dari Vita. “Entah.” “Enggak apa-apa, Mas! Yang penting kamu sudah berusaha menjadi lebih baik. Aku bangga padamu,” ujar Vita kemudian. Sesaat Azam m
Bu Aminah gelisah mendapati anak bungsunya masih belum juga keluar kamar meski matahari sudah sepenggalah. Biasanya, setiap hari Vita selalu bangun pagi untuk menyiapkan dagangan. Kalaupun libur tak jualan, dia tetap bangun pagi lalu menemani Kesya-anaknya. Namun, kali ini ada sesuatu yang mengganjal. Sejak tadi malam pulang dini hari, sama sekali Vita tak menunjukkan batang hidung meski Kesya sudah berlarian sejak pagi. Khawatir terjadi sesuatu yang buruk menimpa, Bu Aminah berinisiatif mengetuk pintu kamar Vita. Nihil. Tak ada sahutan dari dalam. Lalu, perempuan paruh baya itu memberanikan diri memutar gagang pintu. Dia bernafas lega saat melihat anaknya baik-baik saja. Namun, ada sesuatu yang beda. Tak biasanya Vita melangut di sudut ranjang sambil memeluk lutut. Bu Aminah mendekat lalu duduk di tepian ranjang. “Kamu kenapa, Vit? Kok sejak tadi enggak keluar?” tanyanya kemudian. Sama sekali ucapan sang Ibu tak membuat Vita menyahut, atau sekedar menoleh. Perempuan itu masih s
Azam semringah saat perempuan yang sedang ditunggu muncul di halaman rumah. Seketika dia bangkit menyambut Vita yang mengenakan daster longgar khas ibu rumah tangga. “Akhirnya kamu datang juga, Mbak!” ujar Azam saat perempuan itu telah berada di depannya. Vita memasang senyum. Sebuah senyum tulus untuk seorang sahabat, bukan kekasih. “Ayo masuk, Mbak!” Azam membuka pintu lalu mendahului masuk, sementara Vita mengekori di belakang. “Enggak usah di tutup pintunya, Mbak!” perintah Azam saat Vita hendak menutup pintu. “Loh .... kenapa? Ini kan sudah malam?” “Enggak apa-apa. Biar enggak jadi fitnah karena kita berduaan di dalam rumah,” Vita bernafas lega karena ternyata lelaki yang didatangi masih berpikir waras. Lalu, mereka duduk saling hadap, terhalang meja yang berisi dua piring nasi goreng, juga dua gelas air putih. Vita mengedarkan pandangan ke sekeliling. Suasana tampak lengang, nyaris tanpa suara terdengar selain bunyi kendaraan yang berlalu lalang di depan sana. “Bapak
“Terima kasih ya, Dek! Kamu sudah mau menemaniku,” ucap Doni saat mereka baru pulang dari Dokter Urologi. Menurut hasil diagnosa, Doni ditengarai kekurangan hormon testosteron, dan untuk penanganan awal dia diberi suntikan hormon serupa. Selain itu, Doni juga disarankan banyak mengonsumsi makanan berprotein tinggi seperti daging sapi, telur ataupun ikan jenis Tuna dan Salmon. Vita juga dihimbau untuk menjaga suasana hati calon pasangannya agar tak sampai stres berlebihan. Karena biar bagaimanapun tingkat stres yang tinggi turut memberi andil bagi masalah yang tengah Doni hadapi. “Enggak harus berterima kasih, Mas! Ini juga demi kebahagiaan kita,” sahut Vita disertai senyum tulus.“Tapi bagaimana kalau nanti aku tak kunjung sembuh?” Buru-buru Vita mendesis lalu menempelkan jemari telunjuk di bibir calon suaminya. Dia tak ingin Doni terbebani dengan masalah itu yang tentu saja akan membuatnya stres. “Kamu pasti sembuh, Mas!” Tersenyum penuh arti, batin Doni bersyukur memiliki cal
Benar adanya jika roda kehidupan itu berputar. Setelah semua perih dialami, setelah perjuangan yang seakan tak terhenti, hari ini kebahagiaan datang mengganti. Sempat Vita merasa trauma dengan kegagalan pada pernikahan pertama. Sempat pula berpikir untuk selamanya menjadi orang tua tunggal. Namun, sosok Doni yang kembali masuk dalam hidupnya seakan membangkitkan gairah cinta yang padam. Lelaki itu berhasil memberi warna baru dalam hidup. Perhatiannya, ketulusannya, semua membuat Vita merasa berarti. Perempuan pemilik nama lengkap Novita Anggraeni itu tersenyum simpul memerhatikan penampilan dari balik cermin. Demi terlihat anggun di acara lamaran, dia memadukan maxi dress putih dengan pashmina cokelat nude. Tambahan mini belt di pinggang semakin mempertegas bahwa ibu satu anak itu memiliki tubuh langsing. Jantung Vita berdebar-debar menunggu kedatangan keluarga Doni yang akan melamar. Meski ini bukan yang pertama, tapi efek yang ditimbulkan justru lebih kentara, sebab lelaki yang
“Sampai kapan kamu akan menyiksa diri seperti ini, Don?” tanya Arum saat mereka sedang duduk berdua. “Menyiksa bagaimana, Mbak?” Meski sebenarnya paham akan arah pembicaraan kakaknya, Doni masih bersikeras pura-pura tak mengerti. “Sudahlah, Don! Jangan seperti anak kecil. Kami semua tahu sejak dulu kamu mencintai Vita. Dia juga begitu. Lalu kenapa kamu malah seperti ini?” Doni terdiam. Bayangan sosok perempuan itu langsung melintas di kepala hanya dengan mendengar namanya saja. Tak dipungkiri semua itu benar, hanya saja masih ragu sebab keadaan yang dialami. Bagi seorang Doni, cinta itu bukan sekedar bersama. Percuma saja terjalin hubungan jika pada akhirnya harus saling menyakiti. “Kamu sudah tahu alasannya kan, Mbak!” sahutnya datar. “Ya. Aku tahu. Aku mengerti perasaanmu. Tapi bukan berarti kamu harus menyerah. Aku yakin kamu bisa sembuh, Don. Apalagi Vita juga mau menerima kekuranganmu. Kamu harus semangat!” Menyuntikan mental pada adiknya, Arum terus memberi wejangan. Di
Lelaki yang baru pulang kerja itu terperanjat saat mendapati motor mantan kakak iparnya ada di halaman. Berbagai prasangka tentang tujuan kedatangan Vita mulai menari di kepala. Seketika dadanya berdebar kencang. Ketakutan mulai melanda, khawatir Vita akan membuka aibnya di depan keluarga. Langkah lelaki itu tergesa menuju pintu yang sedikit terbuka. Seiring salam yang terucap, dia langsung menyelonong masuk dan baru berhenti saat sampai di ruang tengah. “Mbak Vita! Ngapain ke sini?” tanya Doni. Vita menoleh, tersenyum. “Iya, Don! Baru pulang kerja?” Karena memang tak fokus, Doni hanya mematung. Raganya memang berdiri di situ, tapi pikirannya melanglang buana, masih menerka tujuan kedatangan mantan kakak iparnya. “Loh kok malah ngelamun sih! Sini duduk. Kami mau bicara.” Arum menepuk kursi kosong di sebelahnya. Doni yang masih belum fokus, menuruti saja perintah kakak perempuannya. Dia meletakkan bokong di atas kursi lalu menatap semua bergantian. Matanya menangkap sesuatu yang
Di depan teras Vita masih terisak. Dia semakin dihantui bersalah dengan Vonis ‘pengecut’ yang disematkan pada Doni. Nyatanya, lelaki itu rela terluka saking khawatirnya menyakiti. Buru-buru dia menyeka sudut mata saat sesosok lelaki yang sangat dikenali mendadak muncul di depannya. Lalu, tanpa permisi duduk di sebelahnya. “Kamu, Zam! Bikin kaget saja. Ngapain malam-malam ke sini?” Sebisa mungkin Vita menyembunyikan kesedihan. “Aku sudah dengar semuanya, Mbak!” Sontak Vita menoleh, menatap kaget pada lelaki di sebelahnya. “Dengar apa?” tanya Vita berusaha memastikan. “Dengar tentang perasaanmu, juga tentang Doni dan keadaannya,” Seketika wajah Vita menegang. Dia tak menyangka Azam sudah tahu, padahal dia berniat menyembunyikan dari semua orang. “Jangan khawatir, Mbak! Aku enggak akan cerita sama siapa pun,” ungkap Azam yang bisa membaca isi kepala Vita hanya dari gelagatnya saja. Vita sedikit lega, tapi masalah yang sedang dihadapi kembali menghantui. Dia begitu bingung harus
Sejak tadi Doni tak henti mondar-mandir di dalam kamar. Sesekali duduk sambil melangut, terkadang menghempaskan tubuh di atas ranjang. Kabar yang didengar dari Bagas membuat hati gundah gulana. Ada semacam rasa tidak rela jika kekasih hatinya dimiliki lelaki lain. Meski tanpa kejelasan, dia merasa ada yang belum selesai antara dirinya dan Vita. Selain itu, sikap dingin Vita semakin menghantui pikiran. Rasa bersalah menjadi beban karena selama ini dia belum berterus terang alasan dibalik sikapnya yang tak berani mengungkap cinta. Lelaki itu memejam erat sambil menengadah. Dijambaknya rambut kasar berusaha mengempas beban pikiran. Sayangnya apa yang dilakukan tak kunjung membuat tenang. Dia berganti menangkupkan kedua tangan pada wajah. Mencoba berpikir jernih, berusaha mengesampingkan harga diri. Detik berikutnya bangkit lalu beranjak keluar. Ya. Dia menyadari bahwa harus berterus terang sebelum terlambat. Sebelum perempuan yang bertahun dicinta menjadi istri orang, hingga tak mun